Semenjak kejadian saat bersama Rendra itu, kini Attar dan Ayra sudah berpindah tempat. Mereka bahkan berpindah kota. Tidak lagi di Berlin, tetapi berada di kota Munich.Malam ini Ayra duduk di sofa kamar penginapan yang bernuansa hangat. Dia sedang fokus dengan ponselnya hanya untuk menonton hiburan musik di youtobe. Tepat di depannya, ada meja yang terdapat beberapa sisa makanan beserta camilan utuh serta minuman. Dia dan Attar baru saja menyelesaikan makan malam bersama di kamar itu.“Sayang, sini deh.” Attar yang berdiri di dekat jendela tiba-tiba memanggil Ayra. Namun, wanita yang dipanggil namanya itu terlalu asik dengan apa yang sedang dilihatnya di layar ponsel sehingga tidak menyadari kalau suaminya memanggil.Attar menoleh. Menatap wajah istrinya. Dia pun berjalan mendekat seraya menahan rasa gemasnya. Sesampainya di depan Ayra, Attar berdiri sejenak memperhatikan wanita yang saat ini sedang senyum-senyum sendiri. Tak lama kemudian, jemari tangannya bergerak menarik ujung hid
“Iya, deh. Terserah istriku. Kan emang yang wajib nyari nafkah itu aku.”“Nah, itu sadar. Nanti kalau Mas Attar nyari uang, aku juga nyari uang, yang ngabisin siapa? Hayo siapa? Kan lebih enak kalau yang kerja itu suami terus yang make uangnya istrinya. Biar istrinya makin cantik juga harus dikasih jatah lebih banyak buat perawatan. Iya ‘kan, Mas?” Ayra tak hentinya tersenyum sumringah sepanjang mengatakan itu sambil memijit punggung suaminya.“Cerewet banget kamu, Ay. Siapa yang ngajarin sih?” tanya Attar pada istri kecilnya itu. Dia merasakan otot-otot di punggungnya mulai merasa rileks sedikit demi sedikit karena tekanan jemari tangan Ayra yang sejak tadi dilakukan.“Mas Attar tadi juga cerewet,” balas Ayra.“Kapan aku cerewet?” protes Attar karena merasa sama sekali tidak benar dengan apa yang Ayra tuduhkan padanya.“Tadi.”“Eh, nggak ya?”“Iya. Mas Attar tadi juga cerewet, jangan sok nggak ingat,” kekeh Ayra.“Kapan?”“Tadi!”“Tadi kapan?”“Aku doain hilang ingatan beneran.”“Ser
Ayra terdiam sejenak setelah Attar melontarkan kalimat permintaan yang membuatnya harus mempertimbangkan keputusan itu secara matang. Di usianya yang masih muda, mampukah Ayra menjadi sosok ibu yang baik? Apakah dia akan kuat secara mental dan fisik?Namun pada saat dia meminta untuk dinikahi oleh pria itu, Ayra bahkan sudah sangat siap untuk memiliki anak. Ya, dia mengingat akan hal itu.Kepala Ayra mengangguk pelan. “Aku siap, Mas. Aku nggak keberatan punya anak secepatnya.” Akhirnya Ayra menjawab sesuai dengan apa yang dia rasakan. Dia akan banyak belajar di usianya yang masih sangat muda.Attar tersenyum senang. “Kamu beneran nggak merasa keberatan? Aku tahu kalau kamu masih muda.”“Nggak apa-apa, Mas. Justru selagi muda, aku ingin banyak belajar. Asalkan Mas Attar mau bantuin aku terus, jagain aku, dan nggak pernah ninggalin aku apapun kondisinya. Mas Attar mau ‘kan janji sama aku?” mohon Ayra dengan wajah yang berubah menjadi sedih. Dia bersedih membayangkan saat dirinya berjuan
Rendra tidak menyerah. Meskipun sadar kalau dirinya sedang diabaikan oleh wanita di sebelahnya, dia tetap berharap bisa dimaafkan. Berharap bahwa hubungan mereka dapat membaik seperti sebelumnya.Rendra terus berusaha membujuk Reti. Dia pergi ke dapur untuk mengambil sendok makan. Kemudian kembali duduk di sebelah Reti yang belum juga bergeming. Kali ini Rendra berpindah tempat duduk, ke mana wajah Reti mengarah.Rendra mencoba menyuapi istrinya lagi. “Ret, mau ya, makan? Buka mulut kamu. Jangan nyiksa anak kita. Kamu sendiri juga butuh makan. Ayo buka mulut kamu, Ret,” pinta Rendra dengan suara lembut.Satu tangan Rendra membenarkan anak rambut Reti ke belakang telinga hingga tidak ada satu helaipun rambut panjang itu yang menjuntai di depan wajah.Kedua bola mata Reti masih enggan untuk menatap ke arah suaminya. Dia tidak tahu lagi bagaimana cara mendeskripsikan perasaannya. Seluruhnya bercampur menjadi satu. Luka, sakit, amarah, kecewa, sedih, takut, semuanya sedang bertahta.Rendr
“Selamat pagi, Ibu hamil. Sarapan pagi udah siap, loh. Nggak mau bangun?”“Kamu udah bangun, Ren?” Reti yang baru membuka mata pun membenarkan penglihatannya agar lebih jelas.“Udah, dong. Aku udah bikinin kamu menu sarapan yang sehat buat ibu hamil. Ayo duduk,” perintah Rendra. Dia menyibak selimut yang semula masih menutupi tubuh Reti sampai ke bahu.Reti menarik napas panjang, lalu menoleh ke arah Rendra yang duduk di tepi kasur dengan membawakan sesuatu di atas nampan. Karena merasa penasaran dengan isinya, Reti pun perlahan duduk di sebelah Rendra.“Kamu bikin sarapan apa?” gumamnya pelan. Pandangan mata Reti memindai apapun yang ada di atas nampan yang dipangku oleh suaminya.Rendra membenahi tatanan rambut Reti yang tidak begitu berantakan. “Aku siapin buah segar sama masakin sayur dan telor rebus. Gimana? Kamu suka buah sama sayur, ‘kan?”“Telor? Aku ‘kan lagi mual-mual! Kenapa dimasakin telor?” Reti langsung menutup hidungnya saat melihat telor rebus yang sudah dikupas dan di
Beberapa hari setelah menghabiskan waktunya selama berlibur di Jerman, kini Attar dan Ayra sudah kembali ke tanah air. Mereka pulang ke Indonesia satu hari lebih cepat dari rencana yang telah ditata sebelumnya.Kepulangan suami istri yang memiliki perbedaan umur sepuluh tahun itu di sambut oleh orang tuanya Attar di sebuah bandara di mana mereka mendarat.Karena Ayra baru bertemu dengan orang tuanya Attar saat acara pernikahan dan mereka kurang begitu akrab, wanita itu merasa malu-malu saat ketika akan bertemu kembali untuk yang ke-dua kalinya.“Aku masih malu sama orang tuamu, Mas,” ucap Ayra sambil memeluk lengan tangan Attar. Keduanya berjalan menuju ke titik penjemputan.Sementara, barang-barang mereka dibawakan oleh orang lain yang menyewakan jasa untuk membawakan barang.“Malu kenapa? Jangan malu-malu gitu. Nanti ditagih cucu, loh.” Attar merasa senang tatkala menggoda istrinya.“Ayah sama Ibu ke sini berdua aja?” tanya Ayra untuk memastikan siapa saja yang hendak dia temui nant
“Ibu tahu kalau kalian juga pasti nggak sabar ingin punya momongan, ‘kan? Ibu doakan yang terbaik buat kalian. Semoga secepatnya dikasih rejeki berupa anak. Ibu juga udah tahu kalau Attar usianya udah dewasa. Pasti ingn segera punya anak ‘kan?” sejak tadi, wanita bernama Sarah itu tiada henti membahas tentang kehamilan bahkan sampai mereka tiba di rumah.Usai turun dari mobil, Sarah masuk bersama Ayra. Sementara, Attar dan ayahnya sibuk menurunkan barang bawaan selama perjalanannya dengan sang istri.“Ayra, ayo duduk sini. Kenapa dari tadi cuma diam sama senyum aja? Atau jangan-jangan kamu sudah isi ya?” tebak Sarah sambil mendahului duduk di ruang tamu usai mereka tiba di ruang tamu.Ayra pun duduk di hadapan ibu mertuanya. Dia masih belum bisa menjawab seluruh percakapan Sarah karena masih bingung harus menjelaskan bagaimana. Ibu mertuanya sudah terlanjur sangat berharap besar akan kehamilannya, sedangkan sampai kini, Ayra belum merasakan adanya tanda-tanda kehadiran janin di dalam
“Udah, Mas. Lepasin. Aku bisa jalan sendiri,” ujar Ayra yang masih berada di gendongan depan suaminya bahkan setelah mereka baru saja tiba di dalam kamar.“Malu?”“Ya iyalah, Mas! Aku malu!” ketus wanita itu.“Tapi sekarang udah nggak ada mereka dan kita udah ada di kamar. Ngapain malu, hm?” Attar perlahan membaringkan tubuh Ayra ke atas tempat tidur. Dia membelai rambut dan wajah Ayra dengan lembut. Posisinya masih membungkuk di atas tubuh sang istri.Kedua insan itu saling bertatapan dengan tatapan yang dalam. Seakan keduanya tengah menciptakan dan menumbuhkan ulang perasaan cinta mereka yang berasal dari hati.“Mas Attar mau langsung turun lagi?” tanya Ayra dengan raut wajah sedih. Jemari tangannya bergerak mencapai pipi Attar. Kemudian menusuk-nusuk pipi Attar dengan pelan.“Kamu nggak mau ditinggal?” Attar menangkup jemari tangan Ayra yang menggelitik kulit pipinya.Kepala Ayra menggeleng. Dia memang tidak ingin ditinggal oleh suaminya karena merasa badannya sedang kurang sehat.