Firasat buruk selalu menjadi nyata. Setidaknya Bulan yakin itu sekarang. Ia berjanji tidak akan pernah berpikir hal negatif lagi.
Malam itu, selepas Bulan menjemput adik-adiknya di rumah Mbok Intan, Bulan langsung panik. Bintang benar-benar terkena demam. Musim hujan memang menjadi yang Bulan khawatirkan. Pasalnya Bintang sangat sensitif terhadap air hujan.
"Wan, jaga Langit di rumah ya! Kak Bulan mau bawa Bintang ke puskesmas dulu! Tolong ambilkan kartu kesehatan Bintang di laci kamar!" perintah Bulan yang menggendong Bintang dan Awan dengan sigap bergerak menjalankan perintah kakaknya setelah menurunkan Langit dari gendongannya.
"Terima kasih, Wan, jaga Langit ya!!"
Bulan dan Bintang pergi ke puskesmas, hari yang hampir menurunkan hujan. Langit malam tidak berbintang dan hanya gelap gulita tak berhias cahaya di atas sana. Bulan dengan kaki mungilnya berderap cepat menggendong Bintang di punggungnya lantaran sepeda gayung miliknya rusak dan sepeda Sari sudah ia kembalikan.
"Langit mau bobo?" Awan mendudukkan Langit di kursi usang yang berada di ruang tengah.
Anak itu menggeleng pelan. Langit ini tipe anak yang tidak menyusahkan sama sekali. Dibandingkan dengan Bintang, malah lebih mudah mengurus Langit.
"Nanti kalo mau bobo bilang sama Bang Awan ya? Bang Awan mau belajar dulu, Langit main ini aja."
Langit menurut, diberi kertas dan sebuah pensil warna, Langit bermain dengan itu. Memang terlihat membosankan, tapi saat Langit bermain, dua benda itu nampak seperti mainan yang paling seru untuk dimainkan.
Sesekali Awan menatap Langit. Terkadang ia masih saja membenci Langit. Langit adalah awal dari semuanya. Seandainya Langit tak ada di dunia ini maka ayahnya tak akan meninggalkan mereka, seandainya Langit tak ada di dunia ini maka beban Kak Bulan akan sedikit berkurang.
Tapi, Awan perlahan berusaha untuk melupakan itu. Kak Bulan bilang, Langit adalah bagian dari kita. Dan Kak Bulan tak sama sekali keberatan dengan adanya Langit di rumah ini.
"Bang ..."
"Ya? Langit mau bobo?"
"Mau cali Kak Buyan," ucapnya dengan pengucapan cadel sesuai usianya yang baru tiga tahun.
"Kak Bulan? Ya sebentar lagi Kak Bulan sama Bang Bintang dateng, kita tunggu sebentar, ya?"
Selayaknya orang dewasa yang mengasuh anak, Awan begitu fasihnya menenangkan Langit yang kemudian kembali bermain dengan dua pensil warna di tangan kiri dan kanannya serta selembar kertas yang Awan robek dari satu-satunya buku miliknya.
Paginya, saat hendak berangkat ke sekolah. Bintang mengamuk tak ingin ditinggal oleh Bulan. Bintang memang agak manja jika sudah sakit, selalu ingin semua orang ada di dekatnya, termasuk Bulan.
Bulan bingung apakah ia harus libur saja hari ini atau memaksakan diri untuk berangkat ke sekolah. Tapi jika berangkat ke sekolah ia khawatir Awan yang akan kesusahan mengurus dua adiknya di rumah.
"Kak Bulan gak papa, berangkat aja, katanya ada latihan hari ini, kan?" ucap Awan.
Bulan tergoyahkan. Tapi mau bagaimana pun juga, yang harus ia prioritaskan adalah keluarganya yang hanya memiliki dirinya. Urusan belakangan dimarahi oleh Kak Rey dan Kak Ghandara, pikirnya.
***
"Bulan mana?""Kamu gak di telpon? Tadi Bulan nelpon aku katanya hari ini dia gak masuk," ucap Rey dengan percaya diri. Karena memang pagi tadi Bulan menelpon dua orang, Rey dan Rara. Itu saja.
Seperti dikhianati, Ghandara sedikit merasa geram entah sebab apa. Padahal Ghandara yakin kemaren menyuruh gadis itu menyimpan nomornya sebab ia tak menulis nomor ponselnya di data diri. Tapi apa ini? Dia malah mengabari Rey dan bukan dirinya yang tidak lain adalah ketua band?
Ghandara keluar dari ruang seni, bukan menuju aula sekolah untuk latihan tapi menuju ke kelas Bulan. Pikirannya tak jernih karena ia merasa terkalahkan oleh Rey. Ia tak suka itu.
Pelajaran sedang berlangsung di dalam kelas Bulan. Tentu saja ada guru yang sibuk menjelaskan materi di depan. Namun, lelaki yang dikenal tidak memiliki rasa takut kecuali pada Tasya itu membuka pintu dengan sangat nyaman, tak peduli guru di depan tercengang melihat tingkahnya yang memang selalu begitu.
Semua murid tertegun melihat kedatangan dirinya yang tiba-tiba dan tanpa kabar. Ghandara meneliti satu persatu wajah siswa, mencari seseorang di sana.
"Kamu, kan? Yaa kamu temen Bulan!" Ghandara mendekati Rara. Jika tidak salah dia sering melihat Bulan bersama dengan gadis ini. "Berikan nomor ponsel Bulan!" pintanya menyodorkan ponsel kepada Rara.
Seluruh kelas hanya terdiam sesaat sebelum Bu Ririn, guru bahasa melempar penghapus kayu dan tepat terkena di kepala Ghandara.
"Ahhh Ibu! Sakit!!" Sempatnya dia mengeluh sebelum kemudian kabur setelah mendapat nomor Bulan.
"Jangan di contoh yang seperti ini ya!!" pekik jerit Bu Ririn kesal atas tingkah Ghandara yang menganggu kelasnya. "Sampai mana tadi?" tanyanya lupa, maklum usia lanjut.
Berhasil kabur dari Bu Ririn, salah satu guru favoritnya dulu saat duduk di bangku kelas sepuluh, Ghandara menjalan aksi selanjutnya. Tanpa ragu sekali ia menekan tombol panggilan pada kontak Bulan. Cukup lama berdering tanpa mendapat sahutan, akhirnya Ghandara putuskan untuk menelpon kembali nanti, namun belum sempat ia menekan tombol matika suara merdu Bulan terdengar.
"Bulan! Kenapa kamu gak ngehubungi aku kalo kamu gak bisa latihan hari ini? Yang seharusnya kamu hubungi aku bukan malah Rey, kamu itu--"
"Kak!! Maaf, nanti aku telpon lagi!"
Panggilan dimatikan dengan sepihak. Ghandara menatap bingung ponselnya. Baru kali ini ada orang yang memutus panggilannya, bahkan ia mengamuk jika Tasya melakukan hal ini.
"Apa ini? Aku diabaikan?" ucapnya tak terima. Ia kembali menekan tombol panggilan pada nomor itu karena kesal, ia berniat memarahi Bulan karena mengabaikan dirinya dan memutus panggilan secara sepihak.
"Hei Bulan! Kamu pikir kamu itu heb--" Kalimatnya terhenti. "Bulan? Kenapa?" tanyanya dengan suara yang lebih pelan sebab yang ia dengar dari seberang sana adalah isak tangis dari gadis itu.
Tak ada suara yang terdengar, ia mengecek panggilan dan masih tersambung. "Bulan?"
"Aku tutup panggilannya, Kak."
Suara panggilan yang ditutup. Ghandara menatap bingung nama yang tertera di atas ponselnya. Kenapa ia merasa hampa? Tidak mungkin saat ini ia khawatir pada gadis itu, kan?
"Ghandara!!"
Panggilan itu membawa kembali pikiran waras Ghandara.
"Kenapa, Bby?"
Tasya mengerutkan keningnya. Tidak biasanya Ghandara menyambut panggilannya dengan wajah murung.
"Kenapa wajahmu? Tak suka ketemu sama aku?"
"Ehh? Bukan gitu, cuman lagi ... sibuk! Iya sibuk banget, nyiapin penampilan, kamu tau kan band aku bakal tampil di acara bulan bahasa."
Ghandara, ada apa denganmu? Kenapa kamu berbohong kepada Tasya?
"Ohh gitu, ya udah, kalo ada yang bisa aku bantu kamu bilang ya?"
"Tentu dong pacar!" ucapnya mencoba untuk terlihat riang.
"Aku ke ruang OSIS dulu, kamu ke kelas, jangan main ke kelas orang!"
Ghandara memberi pose siap dan hormat kepada Tasya yang tersenyum geli kemudian berjalan menjauh sambil melambaikan tangan dengan lucu.
Ghandara, ini bukan dirimu.
Rambut panjang yang tidak diikat, sepatu usang dan baju kaos kusut menjadi penampilan gadis bermata indah pada siang ini. Matanya cukup bengak, setelah mengakhiri panggilan dari Ghandara ia kembali masuk ke dalam bilik. Saat ini ia berada di ruang gawat darurat.Dilihatnya adiknya terkapar diatas ranjang. Kenapa ia baru menyadari betapa kurus adiknya yang divonis terkena tipes. Ia benar-benar merasa sangat bersalah melihat adiknya itu.Melihat kakaknya yang menyalahkan diri sendiri, Awan yang menganggandeng Langit menyentuh tangan Bulan dan mengelusnya dengan lembut. "Bintang akan baik-baik aja, Kak, gak usah khawatir, ya?"Bulan mengangguk meski hatinya tak benar-benar setuju dengan pernyataan Langit. Tapi saat ini ia ingin meyakini bahwa Bintang akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja.
Hari ke-tujuh sekarang. Sudah tujuh hari lamanya Bulan tak masuk sekolah. Hari ini Bintang sudah diijinkan pulang. Hal yang paling Bulan bingungkan adalah saat ini. Saat dia berdiri di depan meja administrasi, melihat nominal angka yang terdapat di selembar kertas yang tertulis nama adiknya.Nominal yang katanya tidak besar itu, bagi Bulan sangat besar, butuh waktu dua bulan lamanya bekerja untuk mendapat uang itu. Tapi mau bagaimana lagi, Bulan tidak punya pilihan selain mengambil uang tabungan yang hendak ia gunakan untuk sekolah adik-adiknya."Kak Bulan hari ini sekolah, kan?" tanya Bintang. Ia resah juga karena Bulan sudah seminggu lamanya tak masuk sekolah, ia khawatir kakaknya akan tertinggal pelajaran. Meski ia menyuruh kakaknya untuk pergi sekolah, Bulan tetap ingin tinggal."Iya, Tang, Kak Bulan hari ini sekolah setelah
Pintu ruang kesenian terbuka secara tiba-tiba. Bulan yang memang cepat terkejut pun terlonjak dari kursi dan hampir jatuh jika tidak ada tangan Ghandara yang menangkap tangannya.Malangnya, kejadian itu disebabkan oleh seorang yang tidak seharusnya melihat hal ini.Tasya kaku di depan pintu. Menatap tepat ke dalam kornea mata Bulan. Secara cepat Bulan melepaskan tangan Ghandara."Kalau kamu mau mesra-mesraan setidaknya lakuin tugas dan tanggung jawab kamu dulu!" Tasya langsung membentak.Mengapa Bulan ada di sini? Sepertinya ia akan terkena masalah jika tetap berada diantara pasangan yang sedang terikat masalah ini.Dengan mengendap-endap, Bulan memundurkan kursi kemudian hendak bangkit sampai ia terkejut tangannya ditahan oleh tangan dingin dan sialnya tangan itu milik Ghandara."Kamu punya hutang latihan seminggu yang harus kamu bayar lunas hari ini."Bulan terkejut, ia sangat takut akan terlibat diantara mereka. Sedikit ia melirik
Suasana canggung hidup di tengah-tengah kegiatan ini. Banyak hal yang harus disiapkan untuk kegiatan bulan bahasa. Anggota OSIS yang bekerja pun memerlukan bantuan hingga mereka membuat pengumuman bahwa setiap kelas wajib mengeluarkan tiga siswa sebagai sukarelawan dalam membantu pekerjaan OSIS yang lumayan banyak. Dari banyaknya anggota OSIS yang menyebar ke kelas-kelas untuk mengambil siswa, kenapa harus Ghandara yang mendapat tugas untuk datang ke kelas Bulan. Dan tatapan mata Ghandara saat masuk ke kelas Bulan, pertama kali adalah langsung tertuju kepada Bulan. Sebanyak apapun Bulan menghindari tatapan mata Ghandara ia tak bisa lari. Lelaki itu menatapnya terlalu intens. "Kalian sudah denger pengumumannya, kan?" tanya Ghandara berdiri di depan papan seperti guru biasanya. "Jadi siapa yang mau jadi sukarelawan?" tanya Ghandara lagi tapi matanya hanya menatap satu orang. "Kamu!!" Tunjuknya langsung tanpa memberi luang bagi yang lain mengan
Sepatu kets putih yang sudah kusam dan berubah warna melangkah, beberapa kali melompat menghindari genangan air sisa hujan pagi tadi. Raut lelah juga terpancar dari wajah gadis cantik berkulit pucat dengan tas kresek yang dijinjing tinggi agar tidak terciprat air. Tiga bungkus nasi goreng. Ia sudah tersenyum membayangkan betapa indah senyum adik-adiknya nanti. Sambil membayangkan itu, akhirnya langkahnya berhenti di depan pintu kayu dengan alas lantai tak berkarpet. Dua anak lelaki yang sangat rukun bermain dengan sebuah kertas dan sebuah pensil yang mereka gunakan bergantian. "Mana langit?" tanya gadis cantik dengan wajah kucal tak terurus ini. Matanya sibuk mencari sosok yang paling muda diantara ketiga adiknya. "Awan? Mana langit?" tanya gadis ini sambil membujuk adik tertuanya yang berusia 6 tahun untuk menjawab. "Bintang? Langit dimana?" tanya gadis ini kepada salah satunya lagi, adik kedua yang berusia 5 tahun sebab sang ka
Senin. Hari tersibuk Bulan selama 16 tahun ia hidup mengurus tiga adik kecil. Sekarang yang menjadi fokus utamanya adalah karena hari ini adalah hari pertama ia masuk sekolah formal. Saat SMP ia bersekolah di yayasan, hanya melakukan beberapa kali pertemuan dengan teman-temannya, waktu belajar lebih banyak ia habiskan untuk bekerja. Hari ini akhirnya salah satu keinginannya terwujud. Ia memandangi dirinya dengan panik di depan kaca yang retak dibagian atasnya sebab Bintang melemparkan buku sebulan yang lalu ke arah kaca itu. "Wan, gimana? Udah rapi belum?" tanya Bulan was-was dengan mata masih fokus meneliti pantulan dirinya di dalam kaca. Awan menghela berat dengan gelas minum berisi air di tangannya. Ia berniat memberi Langit yang kehausan saat bangun tidur tapi berhenti ketika melihat Bulan masih berada di depan kaca dalam waktu hampir setangah jam. "Gak akan berubah kali, Kak, tetep aja gitu." Ka
Setelah bergegas mendekati Eko yang sudah berkacak pinggang melihat Ghandara si bucin ini baru datang setelah ia selesai melakukan tugas yang seharusnya dilakukan berdua, Ghandara menaikkan alisnya dengan genit dan tak lupa mengangkat dua jari di samping kepala. Eko hanya bisa menghembus nafas kasar saja dengan kerjaan Ghandara. Memang tidak membantu sama sekali dan kenapa selalu dia yang dijadikan satu tim dengan Ghandara yang pada akhirnya ia selalu bekerja sendiri. “Ghan, bisa gak sih kalo dikasih tanggung jawab itu kamu tanggung jawab dikit?” “Ko, bukan gitu masalahnya aku—yaudah aku traktir makan siang ntar,” ucap Ghandara menyerah karena Eko masih merajuk. “Aku ajak Siska juga, gimana?” rayunya. Wajah Eko langsung tertarik. Matanya berbinar menatap Ghandara yang tidak lain tidak bukan adalah lelaki yang disukai oleh Siska. Meski Ghandara sudah memiliki Tasya tak sedikit yang menyatakan bahwa Siska menyukai Ghandara, ya meskipun berakhir dengan kesedihan
“Awan!! Bintang! Langit!!” Bulan terburu masuk ke dalam rumah Mbok Intan. Ia sudah berteriak bahkan dari pagar rumah memanggil ketiga adiknya yang berada di dalam rumah Mbok Intan. “Assalamualaikum dulu, Neng,” tegur Mbok Intan yang disalami oleh Bulan. Bulan tersenyum cengengesan sambil mengucap salam yang ia lupakan saking tak sabarnya ia untuk bercerita kepada adik-adiknya. Mbok Intan menjawab salam sambil tersenyum senang. Bagaimana bisa seorang gadis yang masih butuh kasing sayang seperti Bulan menjadi tulang punggung keluarga, bagaimana bisa tangan mungil itu setiap harinya mengangkat berkilo-kilo gula jawa selama lebih dari dua tahun, bagaimana bisa ia tidak sama sekali mengeluh akan kehidupannya padahal hidupnya sungguh berat. Bagaimana bisa ia masih tersenyum manis seperti itu? Mungkin Mbok Intan yang bergeming di pintu memikirkan banyak hal itu di kepalanya. Ia menatap gadis itu dan hampir saja menangis karenanya. “Kak Bulan, a
Suasana canggung hidup di tengah-tengah kegiatan ini. Banyak hal yang harus disiapkan untuk kegiatan bulan bahasa. Anggota OSIS yang bekerja pun memerlukan bantuan hingga mereka membuat pengumuman bahwa setiap kelas wajib mengeluarkan tiga siswa sebagai sukarelawan dalam membantu pekerjaan OSIS yang lumayan banyak. Dari banyaknya anggota OSIS yang menyebar ke kelas-kelas untuk mengambil siswa, kenapa harus Ghandara yang mendapat tugas untuk datang ke kelas Bulan. Dan tatapan mata Ghandara saat masuk ke kelas Bulan, pertama kali adalah langsung tertuju kepada Bulan. Sebanyak apapun Bulan menghindari tatapan mata Ghandara ia tak bisa lari. Lelaki itu menatapnya terlalu intens. "Kalian sudah denger pengumumannya, kan?" tanya Ghandara berdiri di depan papan seperti guru biasanya. "Jadi siapa yang mau jadi sukarelawan?" tanya Ghandara lagi tapi matanya hanya menatap satu orang. "Kamu!!" Tunjuknya langsung tanpa memberi luang bagi yang lain mengan
Pintu ruang kesenian terbuka secara tiba-tiba. Bulan yang memang cepat terkejut pun terlonjak dari kursi dan hampir jatuh jika tidak ada tangan Ghandara yang menangkap tangannya.Malangnya, kejadian itu disebabkan oleh seorang yang tidak seharusnya melihat hal ini.Tasya kaku di depan pintu. Menatap tepat ke dalam kornea mata Bulan. Secara cepat Bulan melepaskan tangan Ghandara."Kalau kamu mau mesra-mesraan setidaknya lakuin tugas dan tanggung jawab kamu dulu!" Tasya langsung membentak.Mengapa Bulan ada di sini? Sepertinya ia akan terkena masalah jika tetap berada diantara pasangan yang sedang terikat masalah ini.Dengan mengendap-endap, Bulan memundurkan kursi kemudian hendak bangkit sampai ia terkejut tangannya ditahan oleh tangan dingin dan sialnya tangan itu milik Ghandara."Kamu punya hutang latihan seminggu yang harus kamu bayar lunas hari ini."Bulan terkejut, ia sangat takut akan terlibat diantara mereka. Sedikit ia melirik
Hari ke-tujuh sekarang. Sudah tujuh hari lamanya Bulan tak masuk sekolah. Hari ini Bintang sudah diijinkan pulang. Hal yang paling Bulan bingungkan adalah saat ini. Saat dia berdiri di depan meja administrasi, melihat nominal angka yang terdapat di selembar kertas yang tertulis nama adiknya.Nominal yang katanya tidak besar itu, bagi Bulan sangat besar, butuh waktu dua bulan lamanya bekerja untuk mendapat uang itu. Tapi mau bagaimana lagi, Bulan tidak punya pilihan selain mengambil uang tabungan yang hendak ia gunakan untuk sekolah adik-adiknya."Kak Bulan hari ini sekolah, kan?" tanya Bintang. Ia resah juga karena Bulan sudah seminggu lamanya tak masuk sekolah, ia khawatir kakaknya akan tertinggal pelajaran. Meski ia menyuruh kakaknya untuk pergi sekolah, Bulan tetap ingin tinggal."Iya, Tang, Kak Bulan hari ini sekolah setelah
Rambut panjang yang tidak diikat, sepatu usang dan baju kaos kusut menjadi penampilan gadis bermata indah pada siang ini. Matanya cukup bengak, setelah mengakhiri panggilan dari Ghandara ia kembali masuk ke dalam bilik. Saat ini ia berada di ruang gawat darurat.Dilihatnya adiknya terkapar diatas ranjang. Kenapa ia baru menyadari betapa kurus adiknya yang divonis terkena tipes. Ia benar-benar merasa sangat bersalah melihat adiknya itu.Melihat kakaknya yang menyalahkan diri sendiri, Awan yang menganggandeng Langit menyentuh tangan Bulan dan mengelusnya dengan lembut. "Bintang akan baik-baik aja, Kak, gak usah khawatir, ya?"Bulan mengangguk meski hatinya tak benar-benar setuju dengan pernyataan Langit. Tapi saat ini ia ingin meyakini bahwa Bintang akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja.
Firasat buruk selalu menjadi nyata. Setidaknya Bulan yakin itu sekarang. Ia berjanji tidak akan pernah berpikir hal negatif lagi.Malam itu, selepas Bulan menjemput adik-adiknya di rumah Mbok Intan, Bulan langsung panik. Bintang benar-benar terkena demam. Musim hujan memang menjadi yang Bulan khawatirkan. Pasalnya Bintang sangat sensitif terhadap air hujan."Wan, jaga Langit di rumah ya! Kak Bulan mau bawa Bintang ke puskesmas dulu! Tolong ambilkan kartu kesehatan Bintang di laci kamar!" perintah Bulan yang menggendong Bintang dan Awan dengan sigap bergerak menjalankan perintah kakaknya setelah menurunkan Langit dari gendongannya."Terima kasih, Wan, jaga Langit ya!!"Bulan dan Bintang pergi ke puskesmas, hari yang hampir menurunkan hujan. Langit malam tidak berbintang dan hanya gelap gulita tak berhias cahaya di atas sana. Bulan dengan kaki mungilnya berderap cepat menggendong Bintang di punggungnya lantaran sepeda gayung miliknya rusak dan sepeda Sari s
Minggu pagi. Tak di sangka bahwa setelah bersekolah di sekolah formal, Bulan menjadi sanat amat sibuk. Pagi tadi ia pergi ke rumah Mbok Intan, bukan untuk bekerja tapi untuk menghaturkan permohonan maaf karena harus ijin untuk tidak kerja hari ini.Klub musik mengadakan latihan di aula kota, jadi mau tidak mau Bulan yang sudah menjadi anggota dari klub itu juga harus hadir. Ia tidak mau di cap menjadi orang egois yang tidak menghargai kepentingan kelompok.Untungnya Mbok Intan bisa berbaik hati untuk memberinya hari libur untuk hari ini. Sebenarnya hari minggu adalah hari tersibuk Bulan karena ia harus bekerja ekstra di hari minggu sebab tak bisa bekerja maksimal di hari masuk sekolah.“Makasih ya, Mbok,” ucap Bulan, ia juga meminjam sepeda gayung Sari, anak Mbok Intan yang kuliah di luar kota. Karena ia jarang bekerja, jadi mau tidak mau ia harus menghemat uangnya pula. Naik sepeda adalah pilihan terbaik.“Nanti kalau pulangnya sa
Bulan tak seperti ini biasanya. Menyanyi bukan hal yang sulit bagi Bulan. Tapi mengapa berdiri di depan lelaki ini membuat keringat Bulan memaksa untuk terus keluar dari dahinya. Mengerikan sekali.“Lagu apa saja, aku hanya ingin denger nada kamu. Jangan bilang si Rey ngerekrut kamu cuman karena kamu cantik.”Cantik? Ya tentu saja Bulan, seorang wanita memang cantik, mana ada wanita yang tampan, jangan bercanda.“Aku hanya tau beberapa lagu lama,” ucap Bulan dengan keraguan.Ghandara tak bersuara dalam waktu sebentar, Bulan mendongak penasaran mengapa Ghandara tidak bersuara.“Apa aku semenakutkan itu?”Buru-buru Bulan kembali menundukkan pandangannya ke lantai, menggerak-gerakkan sepatu hitamnya dengan canggung sambil menggeleng pelan.“Kamu gadis aneh pertama yang aku jumpai,” ucap Ghandara. “Biasanya gadis-gadis akan berebut untuk melihat wajah tampanku, tapi kenapa kau malah ke
Subuh tadi Langit menangis entah sebab apa. Anak lelaki itu menangis dengan cukup keras sampai membangunkan semua saudara tirinya. Awan, Bintang juga Bulan.“Apa badannya panas, Kak?” tanya Awan dengan nada cemas, Bintang juga ikut menunggu jawaban Bulan yang menggendong Langit sambil berusaha menidurkannya kembali.“Tidak, jangan khawatir, kalian tidur saja lagi, Langit sudah tidak nangis lagi, kok.” Bulan tersenyum sambil menyuruh Awan untuk menyelimuti Bintang sebab udara di subuh hari masih begitu dingin tapi tidak untuk dirinya.Lelah sekali rasanya, semakin hari Langit sudah semakin berat, dan untuk menggendong Langit butuh tenaga ekstra. Setelah Langit kembali tertidur, sambil merilekskan tulangnya Bulan melirik ke arah jam dinding yang sudah nampak usang namun masih berfungsi dengan baik.Tidak lama lagi, mungkin sekitar empat puluh lima menit lagi ia sudah harus bangun dan menyiapkan makanan untuk adik-adiknya sebab ia har
Malam sendu dengan rintik hujan yang entah berniat turun atau tidak, Bulan di tempat favoritnya, duduk di depan pintu rumah, tersihir dengan dinginnya angin yang menyapa hingga ke tulangnya, namun sama sekali tak membuat dirinya merasakan kedinginan itu.Setelah selesai mengantar gula-gula jawa ke rumah pemesan, ia langsung pulang ke rumah tidak seperti biasa ia akan mengambil kerjaan lain agar dapat upah tambahan. Bukan karena ia lelah, hanya saja ia tidak fokus, ia terus memikirkan kalimat Ghandara siang tadi.Sampai saat ini pun, melihat kertas yang sudah remuk ada di tangannya itu, hatinya bergerak. Ia tidak yakin dan tidak setuju dengan apa yang ada di pikirannya saat ini, tapi ia sangat ingin untuk mencoba.“Coba aja, Kak!”Bulan buru-buru kembali melipat kertas itu dan memasukkan sembarang ke kantongnya setelah mendapati Awan ada di belakangnya. Awan memang masih berusia enam tahun, tapi anak kecil ini belajar dengan sangat baik dari an