Home / Romansa / Good Sister / 04 - Suara

Share

04 - Suara

Author: Erluthh
last update Last Updated: 2021-05-16 13:28:08

“Awan!! Bintang! Langit!!” Bulan terburu masuk ke dalam rumah Mbok Intan. Ia sudah berteriak bahkan dari pagar rumah memanggil ketiga adiknya yang berada di dalam rumah Mbok Intan.

“Assalamualaikum dulu, Neng,” tegur Mbok Intan yang disalami oleh Bulan.

Bulan tersenyum cengengesan sambil mengucap salam yang ia lupakan saking tak sabarnya ia untuk bercerita kepada adik-adiknya.

Mbok Intan menjawab salam sambil tersenyum senang. Bagaimana bisa seorang gadis yang masih butuh kasing sayang seperti Bulan menjadi tulang punggung keluarga, bagaimana bisa tangan mungil itu setiap harinya mengangkat berkilo-kilo gula jawa  selama lebih dari dua tahun, bagaimana bisa ia tidak sama sekali mengeluh akan kehidupannya padahal hidupnya sungguh berat. Bagaimana bisa ia masih tersenyum manis seperti itu?

Mungkin Mbok Intan yang bergeming di pintu memikirkan banyak hal itu di kepalanya. Ia menatap gadis itu dan hampir saja menangis karenanya.

“Kak Bulan, ada apa?” tanya Awan dengan sifat dinginnya.

Bulan menggiring ketiga adiknya untuk duduk di karpet milik Mbok Intan. Ia menyiapkan nafas yang masih menderu sebelum mulai bicara dan bercerita.

Bahagia sekali raut wajahnya. Banyak hal bahagia yang harus ia ceritakan dan banggakan hari ini kepada ketiga adiknya.

***

Tidak seperti biasanya, hari ini Ghandara banyak diam. Saat pulang sekolah ia tidak langsung masuk ke dalam kamar tetapi ia singgah sebentar ke perusahaan papahnya. Entah apa yang sedang ia lakukan di sini sekarang, tapi ia hanya ingin memastikan sesuatu.

Beberapa karyawan menyapanya. Meski perusahaan papahnya ini terbilang baru tetapi sudah memiliki cukup banyak karyawan jadi mau tidak mau Ghandara yang menjadi calon pengganti papahnya nanti harus bisa bersosial terlebih dahulu kepada para karyawan yang akan menjadi calon karyawannya.

“Pah!”

“Lho, Nak? Tumben singgah, ada apa?”

Ghandara itu nakal. Tapi tidak jika di depan papahnya. Sebab ia tahu papahnya sudah sangat kesulitan dalam menjadi hidup semenjak bercerai dengan mamahnya. Jadi setidaknya ia tidak menjadi beban papahnya lagi.

Lantas bagaimana dengan kenakalan Ghandara di sekolah? Memanggil orangtua? Tentu saja tidak. Ghandara punya Tasya untuk segalanya. Anak kesayangan guru itu beruntung Ghandara dapatkan dan jadikan pacar.

“Papah udah makan siang belum?” tanya Ghandara meneliti papahnya yang ia tebak belum makan sian sebab berbagai kertas yang tak dipahaminya masih berserakan di meja kerja papahnya.

“Setelah ini Papah makan siang, kamu kenapa kesini? Ada apa?”

Ghandara menggaruk belakang kepalanya tak sama sekali tak gatal. Ia kikuk. Ia sendiri tidak tahu apa yang tengah ia lakukan saat ini. Dia hanya otomatis menarik pedal gas motornya dan tiba-tiba sampai di sini.

“Enggak ada, Pah, cuman pengen makan bareng Papah aja.”

Bohong. Ghandara baru saja selesai makan siang bersama Tasya tadi. Ia bahkan makan milik Tasya yang tidak dihabiskan oleh pemiliknya. Dengan kata lain ia makan satu setengah porsi.

“Kalau begitu ayo makan di kantin bawah saja.”

***

Ghandara memainkan sendoknya, mengaduk kuah sop yang tidak ingin ia makan. Ia menunggu papahnya selesai makan dengan diam.

“Katanya pengen makan.”

“Tau deh, Pah, sampe sini malah gak nafsu.”

Seorang Ghandara yang dikenal oleh papahnya tidak akan pernah tidak nafsu makan. Kepekaan papahnya lebih tinggi dari yang Ghandara kira. Papahnya meletakkan sendok, meminum air untuk membersihkan mulut kemudian menatap Ghandara dengan tenang. Mata tenang itu selalu membuat Ghandara takut untuk berbuat salah. Lalu entah darimana sifat nakal Ghandara ini ia dapatkan.

Ahh benar. Ia lupa bahwa ia terlahir dari rahim seorang perempuan kurang ajar itu.

“Ada apa? Ada masalah sama Tasya lagi?”

Ghandara menggeleng dengan cepat, tidak ingin perkataan itu nantinya menjadi kenyataan. “Bukan, Pah, cuman pengen aja main kesini.”

Bohong. Ghandara tidak pernah suka jika disuruh datang ke perusahaan meskipun hanya sekedar mengantarkan file papahnya yang tertinggal di computer rumah.

“Tumben banget, biasanya gak mau disuruh kesini.”

Kali ini Ghandara memilih untuk diam masih memainkan sendok di tangannya. “Pah,” panggilnya pelan kemudian. Tapi bukannya melanjutkan kalimat, ia malah menggeleng, menolak untuk berkata lebih banyak.

“Aku pulang aja deh, ntar malem mau nememin Tasya beli buku.”

Setelah berpamit dan disetujui oleh papahnya, Ghandara kembali ke parkiran seorang diri tak diantar oleh papahnya, bukan papahnya tak mau mengantar tapi Ghandara yang menolak untuk diantar, memangnya anak kecil.

***

Suara gadis siang tadi menghantui Ghandara. Saat mandi, makan, bermain game dan apapun serta kapanpun. Bahkan suara mersu Tasya dikalahkan oleh suara gadis itu. Ghandara yakin ia tidk salah pendengaran. Ghandara pemusik yang baik, ia juga mengenal nada dengan sangat baik, jadi setidaknya ia bisa menilai mana orang yang bisa bernyanyi dan mana yang tidak.

“Ahh siialan.” Ghandara membanting ponselnya ke atas kasur. Setelah mendapat pesan dari Tasya bahwa mereka tidak jadi pergi karena keponakan Tasya ada di rumahnya maka ia tidak tahu harus melakukan apa di kamar ini. Ia sangat bosan. Ingin menghubungi Riki ia sudah tahu kegiatan apa yang dilakukan lelaki itu saat ini.

Eko.

“Halo, Man!” sapanya sok akrab padahal ia menelpon Eko bukan dari kontak ponselnya melainkan menelpon nomor Eko yang tadi ia cari di grup obrolan OSIS. Alias ia tidak menyimpan nomor Eko secara pribadi. Untung saja Eko menggunakan foto asli jika tidak ia yakin tak bisa menemukan kontak Eko.

“Gimana kencan kamu sama Siska tadi siang?” tanya Ghandara cukup penasaran apa yang mereka berdua lakukan setelah Ghandara tinggalkan berdua di kantin siang tadi.

“Kacau.”

Ghandara ingin tertawa tapi ia tahan sebab ia tahu Eko anaknya sensi. “Parah, kacau gimana?”

“Pokoknya kacau.”

“Ahh kamu mah, Ko! Coba beraniin diri langsung tembak aja!”

“Ghan,” panggil Eko dengan suara sabar. “Aku tau kamu itu ibaratnya permata, tapi sadar dong aku ini umbi-umbian, jadi cara dia mandang kita sudah jelas beda.”

Sekali lagi Ghandara menutup bibirnya rapat kali ini dibantu dengan tangan kiri, ia menyumpal agar suara tawanya tak terdengar oleh Eko.

Banyak hal yang mereka bicarakan sekitar dua puluh menit itu. Tapi tetap saja setelah panggilan berakhir malam belum hilang juga, kesepian masih menghantui Ghandara di rumah itu. Ia yakin papahnya lembur malam ini jadi setelah bibi rumah tangga pulang ia mengunci rapat gerbangnya dan mematikan lampu rumah. Yang tersisa hanya lampu di dalam kamarnya.

Kembali ia merebahkan badannya yang tidak benar-benar lelah, hanya kesepian dan tidak tahu harus melakukan apa.

Kemudian keheningan di telinganya membuat suara merdu gadis siang tadi kembali terngiang. Bahasa inggris fasih dan tidak ada terdeteksi buta nada. Ghandara menyukai suara manis itu.

“Astaga!!” Ghandara menyadarkan pikirannya. Ia memukul kedua telinganya yang tengah berhalusinasi.”Gak ada suara yang lebih indah dari suara Tasya!”

Ghandara berbohong. Dan ia tahu itu. Ia tahu kali ini ia berbohong pasal mengatakan bahwa suara Tasya adalah suara terindah. Ya setidaknya hingga hari ini.

“Siapa gadis itu?” Ghandara termenung sendirian. Mencari suara tanpa sosok yang ia lihat. Mana mungkin bisa ditemukan. Akan sangat gila jika Ghandara menyuruh para murid baru untuk bernyanyi satu persatu dan menemukan suara yang hampir membuatnya gila ini.

***

Bulan tengah menatap bulan. Senyum indah itu menggambarkan betapa indahnya lukisan bulan diatas sana. Entah siapa yang ia ajak berbicara, tapi Bulan sedang bahagia saat ini. Ia bercerita kepada semesta, ia mengatakan bahwa ia sangat bahagia dan berharap setiap harinya ia akan merasakan hal yang sama.

Setelah menidurkan Langit dan mengecek Awan dan Bintang sudah tertidur ia mulai menikmati waktu kesendiriannya. Di tempat favoritnya, duduk di depan pintu sambil menopang dagu menatap indahnya bulan bersinar berharap ia bisa menjadi sama indahnya seperti bulan asli di atas sana.

Sebab bahagia, secara tidak sadar ia mulai bersenandung lagi. Ia sering sekali bersenandung secara tidak sadar. Mungkin karena ia terbiasa bernyanyi di yayasan dulu jadi bibirnya terbiasa mengeluarkan nada-nada acak yang terdengar merdu.

“Siang tadi, aku sudah melakukan yang terbaik. Aku harap aku bisa melewati semua hari seperti hari ini, terima kasih,” ucapnya menangkupkan tangan kemudian masuk ke dalam rumah, sebab hawa dingin mulai menyerang tubuhnya membuat tulang-tulangnya terasa ngilu. Lagipula besok ia harus sekolah.

“Ayo tidur.”

Lampu rumah sudah padam dan tersisa lampu tidur using yang sudah tua, menyala menitip cahaya menemani Bulan yang tertidur dengan senyum indah di wajah cantiknya.

Tanpa Bulan tahu, lelaki berusia enam tahun itu sedari tadi mencuri pandang. Mendengar suara merdu yang Bulan lantunkan. Awan bangun, membuka selimut yang bulan pasangkan ke tubuhnya, dan menutupi tubuh Bulan yang hanya menggunakan kaos tipis. Awan memeluk tubuh Bintang dengan semakin erat seiring bertambahnya malam demi menghangatkan tubuhnya tanpa selimut itu.

“Terima kasih, Awan,” ucap Bunga dengan bibir tersenyum dan mata yang masih menutup.

“Kak Bulan belum tidur?”

“Siapa yang bisa langsung segera tidur setelah merebahkan badan?”

Awan hanya diam.

“Kakak harap, Awan juga berlaku yang sama kepada Langit. Sebagaimana Awan sayang sama Kak Bulan, Awan juga harus sayang sama Langit, ya?”

“Tapi, Kak, Langit—“

“Dia keluarga kita.”

Awan segera terdiam.

Kadang, Bulan merasa bersalah. Ia merasa paling bersalah kepada Awan, lelaki kecil yang seharusnya tidak berpikir untuk menjadi tulang punggung keluarga.

“Wan,” panggil Bulan lagi.

“Apa, Kak?”

“Awan gak pengen sekolah?”

Awan diam-diam menelan ludah.

“Awan udah sekolah. Udah bisa baca dan nulis.”

“Maksud Kakak bukan sekolah di yayasan, tapi sekolah di sekolah umum kayak temen-temen Awan.”

Bulan tau Awan sangat ingin itu, hanya saja Awan tak ingin memberati biaya kepada Kakaknya.

“Awan lebih pinter dari mereka. Meskipun sekolah di yayasan, tapi Awan belajar dengan baik, jadi gak usah khawatir! Awan pasti bisa jadi orang hebat.”

Air mata Bulan mengalir begitu saja. Segera ia usap dengan punggung tangannya. Ia menyesal atas segalanya.

Related chapters

  • Good Sister   05 - Hadiah dari Pertengkaran

    Seorang lelaki berseragam SMA sama seperti gadis yang melipat tangan di depan dada, sedang menginjak-injak puntung rokok yang sebelumnya ia hisap hingga tak banyak lagi tersisa batang rokok itu. Raut menakutkan dari Tasya hanya dibalas dengan cengiran tak bersalah dari Ghandara. Ghandara punya banyak keburukan, tapi yang paling tidak bisa Tasya maafkan adalah rokok. Tasya benci melihat Ghandara yang sembunyi-sembunyi darinya untuk merokok. “Pacar, dengarkan aku dulu. Serius!!” Ghandara mencoba menahan tubuh Tasya yang hendak pergi dengan tubuh lebarnya ia memeluk gadis itu sembari mengelus lembut rambut hitam milik Tasya. “Dalam sebulan ini serius baru hari ini aku merokok lagi, serius, sumpah demi aku gak jodoh sama kamu, deh!” Dengan penuh khidmat Ghandara menjelaskan berharap Tasya percaya pada perkataannya, namun, sepertinya tatapan mata Tasya jelas mengatakan kalau dia tidak memaafkan Ghandara semudah itu. Jelas sekali. “Oke! Jadi aku harus ngapa

    Last Updated : 2021-06-14
  • Good Sister   06 - Entah Keajaiban atau Bencana

    Beruntungnya mereka berdua. Ghandara si pembuat onar dan Bulan yang tidak tahu apa-apa juga ikut terkena hukuman. Pasalnya Bulan tidak diberikan kesempatan untuk menjelaskan, guru BK itu sudah terlanjur menuduh bahwa Bulan merupakan kaki tangan dari Ghandara hanya karena kuas cat yang dia pungut dengan tujuan untuk dibuang itu ada di tangannya.“Kamu … siswa baru ya?”Bulan tak ambil pusing dan tidak berniat untuk angkat bicara, pasalnya setelah ini dia ada pelajaran olahraga yang gurunya super duper galak, bisa-bisa dia kehilangan kesan pertamanya pada guru olahraga yang ingin ia ambil hatinya itu. Kebetulan sama seperti Eko yang sekelas dengan pacar Ghandara, kelas Bulan memang mendapat jadwal olahraga bersama.“Maaf, tapi bisakah kau lakukan itu lebih cepat? Kita harus menghapus semua cat ini sebelum pelajaran keempat dimulai!” Dengan memberanikan diri Bulan angkat bicara, walau ia tidak berani secara langsung menatap mata lawan

    Last Updated : 2021-06-16
  • Good Sister   07 - Antara Keberuntungan dan Celaka

    Malam sendu dengan rintik hujan yang entah berniat turun atau tidak, Bulan di tempat favoritnya, duduk di depan pintu rumah, tersihir dengan dinginnya angin yang menyapa hingga ke tulangnya, namun sama sekali tak membuat dirinya merasakan kedinginan itu.Setelah selesai mengantar gula-gula jawa ke rumah pemesan, ia langsung pulang ke rumah tidak seperti biasa ia akan mengambil kerjaan lain agar dapat upah tambahan. Bukan karena ia lelah, hanya saja ia tidak fokus, ia terus memikirkan kalimat Ghandara siang tadi.Sampai saat ini pun, melihat kertas yang sudah remuk ada di tangannya itu, hatinya bergerak. Ia tidak yakin dan tidak setuju dengan apa yang ada di pikirannya saat ini, tapi ia sangat ingin untuk mencoba.“Coba aja, Kak!”Bulan buru-buru kembali melipat kertas itu dan memasukkan sembarang ke kantongnya setelah mendapati Awan ada di belakangnya. Awan memang masih berusia enam tahun, tapi anak kecil ini belajar dengan sangat baik dari an

    Last Updated : 2021-06-17
  • Good Sister   08 - Ekstrakulikuler

    Subuh tadi Langit menangis entah sebab apa. Anak lelaki itu menangis dengan cukup keras sampai membangunkan semua saudara tirinya. Awan, Bintang juga Bulan.“Apa badannya panas, Kak?” tanya Awan dengan nada cemas, Bintang juga ikut menunggu jawaban Bulan yang menggendong Langit sambil berusaha menidurkannya kembali.“Tidak, jangan khawatir, kalian tidur saja lagi, Langit sudah tidak nangis lagi, kok.” Bulan tersenyum sambil menyuruh Awan untuk menyelimuti Bintang sebab udara di subuh hari masih begitu dingin tapi tidak untuk dirinya.Lelah sekali rasanya, semakin hari Langit sudah semakin berat, dan untuk menggendong Langit butuh tenaga ekstra. Setelah Langit kembali tertidur, sambil merilekskan tulangnya Bulan melirik ke arah jam dinding yang sudah nampak usang namun masih berfungsi dengan baik.Tidak lama lagi, mungkin sekitar empat puluh lima menit lagi ia sudah harus bangun dan menyiapkan makanan untuk adik-adiknya sebab ia har

    Last Updated : 2021-06-19
  • Good Sister   09 - Keresahan

    Bulan tak seperti ini biasanya. Menyanyi bukan hal yang sulit bagi Bulan. Tapi mengapa berdiri di depan lelaki ini membuat keringat Bulan memaksa untuk terus keluar dari dahinya. Mengerikan sekali.“Lagu apa saja, aku hanya ingin denger nada kamu. Jangan bilang si Rey ngerekrut kamu cuman karena kamu cantik.”Cantik? Ya tentu saja Bulan, seorang wanita memang cantik, mana ada wanita yang tampan, jangan bercanda.“Aku hanya tau beberapa lagu lama,” ucap Bulan dengan keraguan.Ghandara tak bersuara dalam waktu sebentar, Bulan mendongak penasaran mengapa Ghandara tidak bersuara.“Apa aku semenakutkan itu?”Buru-buru Bulan kembali menundukkan pandangannya ke lantai, menggerak-gerakkan sepatu hitamnya dengan canggung sambil menggeleng pelan.“Kamu gadis aneh pertama yang aku jumpai,” ucap Ghandara. “Biasanya gadis-gadis akan berebut untuk melihat wajah tampanku, tapi kenapa kau malah ke

    Last Updated : 2021-06-19
  • Good Sister   10 - Latihan Pertama

    Minggu pagi. Tak di sangka bahwa setelah bersekolah di sekolah formal, Bulan menjadi sanat amat sibuk. Pagi tadi ia pergi ke rumah Mbok Intan, bukan untuk bekerja tapi untuk menghaturkan permohonan maaf karena harus ijin untuk tidak kerja hari ini.Klub musik mengadakan latihan di aula kota, jadi mau tidak mau Bulan yang sudah menjadi anggota dari klub itu juga harus hadir. Ia tidak mau di cap menjadi orang egois yang tidak menghargai kepentingan kelompok.Untungnya Mbok Intan bisa berbaik hati untuk memberinya hari libur untuk hari ini. Sebenarnya hari minggu adalah hari tersibuk Bulan karena ia harus bekerja ekstra di hari minggu sebab tak bisa bekerja maksimal di hari masuk sekolah.“Makasih ya, Mbok,” ucap Bulan, ia juga meminjam sepeda gayung Sari, anak Mbok Intan yang kuliah di luar kota. Karena ia jarang bekerja, jadi mau tidak mau ia harus menghemat uangnya pula. Naik sepeda adalah pilihan terbaik.“Nanti kalau pulangnya sa

    Last Updated : 2021-06-21
  • Good Sister   11 - Ghandara, Ini Bukan Dirimu!

    Firasat buruk selalu menjadi nyata. Setidaknya Bulan yakin itu sekarang. Ia berjanji tidak akan pernah berpikir hal negatif lagi.Malam itu, selepas Bulan menjemput adik-adiknya di rumah Mbok Intan, Bulan langsung panik. Bintang benar-benar terkena demam. Musim hujan memang menjadi yang Bulan khawatirkan. Pasalnya Bintang sangat sensitif terhadap air hujan."Wan, jaga Langit di rumah ya! Kak Bulan mau bawa Bintang ke puskesmas dulu! Tolong ambilkan kartu kesehatan Bintang di laci kamar!" perintah Bulan yang menggendong Bintang dan Awan dengan sigap bergerak menjalankan perintah kakaknya setelah menurunkan Langit dari gendongannya."Terima kasih, Wan, jaga Langit ya!!"Bulan dan Bintang pergi ke puskesmas, hari yang hampir menurunkan hujan. Langit malam tidak berbintang dan hanya gelap gulita tak berhias cahaya di atas sana. Bulan dengan kaki mungilnya berderap cepat menggendong Bintang di punggungnya lantaran sepeda gayung miliknya rusak dan sepeda Sari s

    Last Updated : 2021-06-21
  • Good Sister   12 - Senyum yang Dipalsukan

    Rambut panjang yang tidak diikat, sepatu usang dan baju kaos kusut menjadi penampilan gadis bermata indah pada siang ini. Matanya cukup bengak, setelah mengakhiri panggilan dari Ghandara ia kembali masuk ke dalam bilik. Saat ini ia berada di ruang gawat darurat.Dilihatnya adiknya terkapar diatas ranjang. Kenapa ia baru menyadari betapa kurus adiknya yang divonis terkena tipes. Ia benar-benar merasa sangat bersalah melihat adiknya itu.Melihat kakaknya yang menyalahkan diri sendiri, Awan yang menganggandeng Langit menyentuh tangan Bulan dan mengelusnya dengan lembut. "Bintang akan baik-baik aja, Kak, gak usah khawatir, ya?"Bulan mengangguk meski hatinya tak benar-benar setuju dengan pernyataan Langit. Tapi saat ini ia ingin meyakini bahwa Bintang akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja.

    Last Updated : 2021-06-21

Latest chapter

  • Good Sister   15 - Menjadi Orang Tengah

    Suasana canggung hidup di tengah-tengah kegiatan ini. Banyak hal yang harus disiapkan untuk kegiatan bulan bahasa. Anggota OSIS yang bekerja pun memerlukan bantuan hingga mereka membuat pengumuman bahwa setiap kelas wajib mengeluarkan tiga siswa sebagai sukarelawan dalam membantu pekerjaan OSIS yang lumayan banyak. Dari banyaknya anggota OSIS yang menyebar ke kelas-kelas untuk mengambil siswa, kenapa harus Ghandara yang mendapat tugas untuk datang ke kelas Bulan. Dan tatapan mata Ghandara saat masuk ke kelas Bulan, pertama kali adalah langsung tertuju kepada Bulan. Sebanyak apapun Bulan menghindari tatapan mata Ghandara ia tak bisa lari. Lelaki itu menatapnya terlalu intens. "Kalian sudah denger pengumumannya, kan?" tanya Ghandara berdiri di depan papan seperti guru biasanya. "Jadi siapa yang mau jadi sukarelawan?" tanya Ghandara lagi tapi matanya hanya menatap satu orang. "Kamu!!" Tunjuknya langsung tanpa memberi luang bagi yang lain mengan

  • Good Sister   14 - Salah Paham yang Berlanjut

    Pintu ruang kesenian terbuka secara tiba-tiba. Bulan yang memang cepat terkejut pun terlonjak dari kursi dan hampir jatuh jika tidak ada tangan Ghandara yang menangkap tangannya.Malangnya, kejadian itu disebabkan oleh seorang yang tidak seharusnya melihat hal ini.Tasya kaku di depan pintu. Menatap tepat ke dalam kornea mata Bulan. Secara cepat Bulan melepaskan tangan Ghandara."Kalau kamu mau mesra-mesraan setidaknya lakuin tugas dan tanggung jawab kamu dulu!" Tasya langsung membentak.Mengapa Bulan ada di sini? Sepertinya ia akan terkena masalah jika tetap berada diantara pasangan yang sedang terikat masalah ini.Dengan mengendap-endap, Bulan memundurkan kursi kemudian hendak bangkit sampai ia terkejut tangannya ditahan oleh tangan dingin dan sialnya tangan itu milik Ghandara."Kamu punya hutang latihan seminggu yang harus kamu bayar lunas hari ini."Bulan terkejut, ia sangat takut akan terlibat diantara mereka. Sedikit ia melirik

  • Good Sister   13 - Sikap Manis itu Membingungkan

    Hari ke-tujuh sekarang. Sudah tujuh hari lamanya Bulan tak masuk sekolah. Hari ini Bintang sudah diijinkan pulang. Hal yang paling Bulan bingungkan adalah saat ini. Saat dia berdiri di depan meja administrasi, melihat nominal angka yang terdapat di selembar kertas yang tertulis nama adiknya.Nominal yang katanya tidak besar itu, bagi Bulan sangat besar, butuh waktu dua bulan lamanya bekerja untuk mendapat uang itu. Tapi mau bagaimana lagi, Bulan tidak punya pilihan selain mengambil uang tabungan yang hendak ia gunakan untuk sekolah adik-adiknya."Kak Bulan hari ini sekolah, kan?" tanya Bintang. Ia resah juga karena Bulan sudah seminggu lamanya tak masuk sekolah, ia khawatir kakaknya akan tertinggal pelajaran. Meski ia menyuruh kakaknya untuk pergi sekolah, Bulan tetap ingin tinggal."Iya, Tang, Kak Bulan hari ini sekolah setelah

  • Good Sister   12 - Senyum yang Dipalsukan

    Rambut panjang yang tidak diikat, sepatu usang dan baju kaos kusut menjadi penampilan gadis bermata indah pada siang ini. Matanya cukup bengak, setelah mengakhiri panggilan dari Ghandara ia kembali masuk ke dalam bilik. Saat ini ia berada di ruang gawat darurat.Dilihatnya adiknya terkapar diatas ranjang. Kenapa ia baru menyadari betapa kurus adiknya yang divonis terkena tipes. Ia benar-benar merasa sangat bersalah melihat adiknya itu.Melihat kakaknya yang menyalahkan diri sendiri, Awan yang menganggandeng Langit menyentuh tangan Bulan dan mengelusnya dengan lembut. "Bintang akan baik-baik aja, Kak, gak usah khawatir, ya?"Bulan mengangguk meski hatinya tak benar-benar setuju dengan pernyataan Langit. Tapi saat ini ia ingin meyakini bahwa Bintang akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja.

  • Good Sister   11 - Ghandara, Ini Bukan Dirimu!

    Firasat buruk selalu menjadi nyata. Setidaknya Bulan yakin itu sekarang. Ia berjanji tidak akan pernah berpikir hal negatif lagi.Malam itu, selepas Bulan menjemput adik-adiknya di rumah Mbok Intan, Bulan langsung panik. Bintang benar-benar terkena demam. Musim hujan memang menjadi yang Bulan khawatirkan. Pasalnya Bintang sangat sensitif terhadap air hujan."Wan, jaga Langit di rumah ya! Kak Bulan mau bawa Bintang ke puskesmas dulu! Tolong ambilkan kartu kesehatan Bintang di laci kamar!" perintah Bulan yang menggendong Bintang dan Awan dengan sigap bergerak menjalankan perintah kakaknya setelah menurunkan Langit dari gendongannya."Terima kasih, Wan, jaga Langit ya!!"Bulan dan Bintang pergi ke puskesmas, hari yang hampir menurunkan hujan. Langit malam tidak berbintang dan hanya gelap gulita tak berhias cahaya di atas sana. Bulan dengan kaki mungilnya berderap cepat menggendong Bintang di punggungnya lantaran sepeda gayung miliknya rusak dan sepeda Sari s

  • Good Sister   10 - Latihan Pertama

    Minggu pagi. Tak di sangka bahwa setelah bersekolah di sekolah formal, Bulan menjadi sanat amat sibuk. Pagi tadi ia pergi ke rumah Mbok Intan, bukan untuk bekerja tapi untuk menghaturkan permohonan maaf karena harus ijin untuk tidak kerja hari ini.Klub musik mengadakan latihan di aula kota, jadi mau tidak mau Bulan yang sudah menjadi anggota dari klub itu juga harus hadir. Ia tidak mau di cap menjadi orang egois yang tidak menghargai kepentingan kelompok.Untungnya Mbok Intan bisa berbaik hati untuk memberinya hari libur untuk hari ini. Sebenarnya hari minggu adalah hari tersibuk Bulan karena ia harus bekerja ekstra di hari minggu sebab tak bisa bekerja maksimal di hari masuk sekolah.“Makasih ya, Mbok,” ucap Bulan, ia juga meminjam sepeda gayung Sari, anak Mbok Intan yang kuliah di luar kota. Karena ia jarang bekerja, jadi mau tidak mau ia harus menghemat uangnya pula. Naik sepeda adalah pilihan terbaik.“Nanti kalau pulangnya sa

  • Good Sister   09 - Keresahan

    Bulan tak seperti ini biasanya. Menyanyi bukan hal yang sulit bagi Bulan. Tapi mengapa berdiri di depan lelaki ini membuat keringat Bulan memaksa untuk terus keluar dari dahinya. Mengerikan sekali.“Lagu apa saja, aku hanya ingin denger nada kamu. Jangan bilang si Rey ngerekrut kamu cuman karena kamu cantik.”Cantik? Ya tentu saja Bulan, seorang wanita memang cantik, mana ada wanita yang tampan, jangan bercanda.“Aku hanya tau beberapa lagu lama,” ucap Bulan dengan keraguan.Ghandara tak bersuara dalam waktu sebentar, Bulan mendongak penasaran mengapa Ghandara tidak bersuara.“Apa aku semenakutkan itu?”Buru-buru Bulan kembali menundukkan pandangannya ke lantai, menggerak-gerakkan sepatu hitamnya dengan canggung sambil menggeleng pelan.“Kamu gadis aneh pertama yang aku jumpai,” ucap Ghandara. “Biasanya gadis-gadis akan berebut untuk melihat wajah tampanku, tapi kenapa kau malah ke

  • Good Sister   08 - Ekstrakulikuler

    Subuh tadi Langit menangis entah sebab apa. Anak lelaki itu menangis dengan cukup keras sampai membangunkan semua saudara tirinya. Awan, Bintang juga Bulan.“Apa badannya panas, Kak?” tanya Awan dengan nada cemas, Bintang juga ikut menunggu jawaban Bulan yang menggendong Langit sambil berusaha menidurkannya kembali.“Tidak, jangan khawatir, kalian tidur saja lagi, Langit sudah tidak nangis lagi, kok.” Bulan tersenyum sambil menyuruh Awan untuk menyelimuti Bintang sebab udara di subuh hari masih begitu dingin tapi tidak untuk dirinya.Lelah sekali rasanya, semakin hari Langit sudah semakin berat, dan untuk menggendong Langit butuh tenaga ekstra. Setelah Langit kembali tertidur, sambil merilekskan tulangnya Bulan melirik ke arah jam dinding yang sudah nampak usang namun masih berfungsi dengan baik.Tidak lama lagi, mungkin sekitar empat puluh lima menit lagi ia sudah harus bangun dan menyiapkan makanan untuk adik-adiknya sebab ia har

  • Good Sister   07 - Antara Keberuntungan dan Celaka

    Malam sendu dengan rintik hujan yang entah berniat turun atau tidak, Bulan di tempat favoritnya, duduk di depan pintu rumah, tersihir dengan dinginnya angin yang menyapa hingga ke tulangnya, namun sama sekali tak membuat dirinya merasakan kedinginan itu.Setelah selesai mengantar gula-gula jawa ke rumah pemesan, ia langsung pulang ke rumah tidak seperti biasa ia akan mengambil kerjaan lain agar dapat upah tambahan. Bukan karena ia lelah, hanya saja ia tidak fokus, ia terus memikirkan kalimat Ghandara siang tadi.Sampai saat ini pun, melihat kertas yang sudah remuk ada di tangannya itu, hatinya bergerak. Ia tidak yakin dan tidak setuju dengan apa yang ada di pikirannya saat ini, tapi ia sangat ingin untuk mencoba.“Coba aja, Kak!”Bulan buru-buru kembali melipat kertas itu dan memasukkan sembarang ke kantongnya setelah mendapati Awan ada di belakangnya. Awan memang masih berusia enam tahun, tapi anak kecil ini belajar dengan sangat baik dari an

DMCA.com Protection Status