Minggu pagi. Tak di sangka bahwa setelah bersekolah di sekolah formal, Bulan menjadi sanat amat sibuk. Pagi tadi ia pergi ke rumah Mbok Intan, bukan untuk bekerja tapi untuk menghaturkan permohonan maaf karena harus ijin untuk tidak kerja hari ini.
Klub musik mengadakan latihan di aula kota, jadi mau tidak mau Bulan yang sudah menjadi anggota dari klub itu juga harus hadir. Ia tidak mau di cap menjadi orang egois yang tidak menghargai kepentingan kelompok.
Untungnya Mbok Intan bisa berbaik hati untuk memberinya hari libur untuk hari ini. Sebenarnya hari minggu adalah hari tersibuk Bulan karena ia harus bekerja ekstra di hari minggu sebab tak bisa bekerja maksimal di hari masuk sekolah.
“Makasih ya, Mbok,” ucap Bulan, ia juga meminjam sepeda gayung Sari, anak Mbok Intan yang kuliah di luar kota. Karena ia jarang bekerja, jadi mau tidak mau ia harus menghemat uangnya pula. Naik sepeda adalah pilihan terbaik.
“Nanti kalau pulangnya sampai sore, biarlah adik-adik nunggu di sini aja,” ucap Mbok Intan dibalas senyum dan anggukan dari Bulan kemudian gadis itu benar-benar pergi mengayuh sepeda dengan semangat.
Sampai di sana, sudah banyak ada orang-orang yang menunggu. Bulan pikir ia tidak terlambat. Ia sudah buru-buru tapi tetap saja mengayuh sepeda kecepatannya pasti tetap di bawah rata-rata. Menatap di sekelilingnya ia menjadi tidak percaya diri. Ia tidak tahu, bahwa di luar sekolah, teman-temannya menjadi terlihat lebih mewah dan anggun dengan balutan pakaian mahal.
Gadis bersurai baju kaos dan celana jins polos itu ragu untuk masuk setelah melihat keadaan di sekelilingnya. Ia bahkan berniat untuk kembali ke rumah saja, ia akan mencari alasan untuk tidak bisa hadir nanti. Mungkin ia lebih baik.
Saat ia berbalik. Tubuhnya menabrak tubuh seseorang. Hampir saja ia terjatuh jika orang yang ia tabrak tidak menahannya.
"Masuk, jangan buat orang nunggu kamu!"Kata-kata yang cukup pedas untuk didengar, namun ada benarnya. Ia sudah sampai di sini lalu kenapa ia ingin beralasan untuk tidak hadir. Bulan bukan pengecut seperti itu.
Langkah kaki Bulan mengekori di belakang Ghandara yang juga hendak masuk ke dalam aula besar yang belum sama sekali Bulan pernah masuki. Biasanya aula ini digunakan untuk pertunjukan, dan sekarang mereka menggunakan aula ini hanya untujk berlatih? Entahlah siapa yang membayar biasa sewanya. Tentu saja sudah Bulan pastikan bahwa dirinya tak ikut campur masalah itu.
"Kamu diberi tahu datang jam tiga kenapa baru sampai sekarang?"
"Macet," jawab Ghandara singkat, membuka kacamata hitam yang ia gunakan lalu dengan santai duduk di kursi seolah itu memang tempatnya.
Sedang Bulan masih berdiri dengan tangan di belakang, sopan sekali. Ia tahu setelah ini adalah gilirannya terkena marah.
"Duduk, kamu nunggu dimarahin? Rey gak akan marahin cewek cantik."
Bulan kebingungan, menatap Ghandara lalu memastikannya kembali dengan menatap Rey.
Senyum Rey menjawab pertanyaan di kepala Bulan. "Duduk aja, macet, kan? Makanya kamu terlambat?"
Dengan begitu, Bulan ikut duduk di kursi di samping Ghandara. Sontak semua mata menatap ke arahnya dan ia pun menjadi bingung dengan tatapan yang tak dapat ia artikan.
"Kamu duduk di sana," ucap Rey sambil menunjuk kursi yang berderet di bawah panggung dengan senyum kesabaran? Atau mungkin tidak.
"Aahh, maaf, Kak," ucap Bulan sungkan. Ia melirik ke arah Ghandara sebentar. Bukan tanpa alasan ia dengan pede duduk di sebelah lelaki itu. Jika Bulan tak salah, Ghandara-lah yang menarik kursi itu saat Rey menyuruh dirinya untuk duduk. Jadi ia pikir ia harus duduk di sana. Siaal.
"Duduk."
"Ya?"
"Duduk di sini."
Bulan tak yakin dengan apa yang ia dengar. Bukan hanya Bulan, mungkin semua orang yakin bahwa mereka semua salah mendengar.
"Maksudnya, Kak?" tanya Bulan benar-benar tak mengerti. "Ahh gak papa, Kak, aku duduk di sana aja sama yang lainnya." Bulan pikir mungkin Ghandara merasa bersalah karena sudah membuatnya malu, tapi sudah Bulan maafkan.
"Bukan, kamu duduk di sini karena kamu vokal utama sekarang."
Vokal utama? Ghandara Ayudhya membicarakan vokal utama? Apakah dia sadar apa yang sudah ia katakan?
"Ghan?!" Rey mencoba untuk menyadarkan lelaki itu.
"Dia vokal band aku sekarang."
Suasana menjadi cukup riuh karena hal itu. Pernyataan Ghandara yang tidak pernah di sangka-sangka. Sudah hampir setengah tahun lamanya band bentukan Ghandara tidak memiliki vokal wanita, hanya dia seorang, setelah Tasya memutuskan untuk keluar dari klub dan band. Tak ada yang menggantikan posisi Tasya sampai saat Bulan datang kini. Dan tentu saja semua orang yakin Ghandara sedang tak sehat jiwa raga.
"Kamu yakin? Setengah tahun kamu gak pernah niat cari vokal cewe, kenapa tiba-tiba banget?" tanya Rey. Sebenarnya Rey juga setuju, dia tahu sendiri Bulan memiliki suara indah yang sangat khas, hanya saja ia tidak memiliki hak atas band bentukan Ghandara meski ia ketua dari klub ini.
Ghandara tak menjawab dan cuma memberi sinyal kepada Bulan untuk duduk di sampingnya.
Dia memiliki sesuatu hal untuk dipastikan kepada gadis itu.
***
Bulan kembali ke aula setelah selesai menelpon Mbok Intan. Yang ia khawatirkan benar-benar terjadi. Latihan ini benar-benar akan mencapai petang sebentar lagi. Mendung juga membuat suasana sedikit menyeramkan.
"Ya sudah, Mbok, nanti kalau mereka sudah di rumah Mbok Intan, hubungi saya ya Mbok, saya khawatir soalnya tadi pagi Bintang badannya agak panas."
Bintang menjadi fokus Bulan hari ini, pasalnya anak itu tadi pagi juga tak mau bangun pagi, katanya badannya tak enak dan dia lelah. Jadi bulan meninggalkan Bintang yang belum mandi dan berpesan kepada Awan untuk menyuruh Bintang makan nanti.
"Kalo bolos kelamaan kamu buang-buang waktu yang lain."
Bulan terperanjat mendengar suara berat dan dalam itu tiba-tiba muncul di belakangnya. Ia sudah hafal siapa pemilik suara ini.
"Ahh maaf, Kak, saya bertelepon tadi."
Mendengar suara Ghandara, Bulan secepat mungkin memasukkan ponselnya ke dalam saku. Bukan tanpa alasan, ponsel Bulan bukan ponsel tipe baru. Ponselnya adalah ponsel jadul yang diberikan Mbok Intan secara cuma-cuman agar mudah dihubungi. Pasalnya sampai hari ini Bulan belum memiliki kesempatan untum mengakui jati dirinya.
Maafkan Bulan.
"Kak!"
Ghandara berhenti dan berbalik menatap Bulan yang ragu meremas tangan. "Sekali aku aku bilang, aku gak makan orang."
Bulan tahu, hanya saja Bulan tetap tidak berani. Aneh.
"Kenapa pilih aku?"
Ghandara yakin sejak tadi gadis ini sangat ingin bertanya tentang itu. Sejak tadi Bulan melirik-lirik Ghandara dengan takut berani. Sebenarnya Ghandara juga menunggu Bulan bertanya hal ini.
"Alasannya? Itu yang akan aku cari."
Bulan tertegun. Mendengar jawaban dari Ghandara yang sama sekali tak membantu membuatnya tak bisa berkata-kata.
"Satu lagi." Ghandara kembali berbalik membuat tubuh Bulan kembali menegang. "Tulis nomor ponsel di data diri. Memangnya kamu artis sampai tidak mengisi nomor ponsel di data keanggotaan?"
Entah itu cibiran atau permintaan, entahlah. Yang pasti Bulan yakin hidupnya sedang dalam bahaya.
***
Yang ditakutkan Bulan benar terjadi. Hujan turun dengan derasnya. Lantas bagaimana cara ia akan pulang? Ia khawatir adik-adiknya menunggu terlalu lama. Biasanya saat hujan seperti ini Bintang akan manja sekali, meminta agar ada Bulan di sisinya. Yang menjadi beban pikiran Bulan saat ini adalah bagaimana repotnya Awan mengurus adiknya itu. Kalau Langit, Bulan yakin anak itu hanya akan duduk tenang dan bermain dengan segala hal yang ada di dekatnya.
Aula juga sudah hampir sepi. Rata-rata dari mereka membawa mobil, atau bahkan dijemput oleh supir mereka, ada juga yang naik taksi untuk menghindari hujan.
Tidak ada yang bisa Bulan lakukan selain menunggu hujan sedikit mereda dan pulang terpaksa agak malam. Ia juga sudah mengabari Awan lewat ponsel Mbok Intan bahwa dirinya masih terjebak hujan dan tidak bisa pulang.
“Ayo!”
Bulan yang awalnya duduk tenang di luar aula, erkejut dengan suara berat dan dalam milik seorang yang ia kenal.
“Kamu mau di sini sampe subuh? Nunggu ujan reda juga gak bakal reda dalam waktu cepet.”
Bulan tak tahu harus berkata apa. Ia memandang sepeda milik Sari yang ia pinjam dari Mbok Intan tadi.
“Itu sepeda kamu? Dari merknya itu sepeda mahal, dan pasti bisa dilipat.” Ghandara tidak ragu, ia berlari kea rah parkiran sepeda gayung dengan tangannya yang menutupi kepala. “Tunggu disana!” teriaknya di sela-sela bunyi hujan yang membasahi bumi. Ghandara tahu cara melipat sepeda, Bulan kagum, ia bahkan tidak tahu bahwa sepeda itu bisa dilipat.
Tak lama, sebuah mobil warna hitam legam menghampiri Bulan. Bulan masih terbengong di tempat, ia tidak tahu bahwa pemilik mobil itu adalah Ghandara sampai akhirnya lelaki itu keluar dari mobil memberi sebuah payung dan membukakan pintu mobil belakang.
Bulan bersungut, kenapa harus di belakang sedang jok depan kosong. Tidak ikhlas sekali.
“Jok depan khusus pacar aku.” Sepertinya Ghandara memang bisa membaca pikiran dan berhasil mebuat Bulan tak lagi berpikir macam-macam.
Firasat buruk selalu menjadi nyata. Setidaknya Bulan yakin itu sekarang. Ia berjanji tidak akan pernah berpikir hal negatif lagi.Malam itu, selepas Bulan menjemput adik-adiknya di rumah Mbok Intan, Bulan langsung panik. Bintang benar-benar terkena demam. Musim hujan memang menjadi yang Bulan khawatirkan. Pasalnya Bintang sangat sensitif terhadap air hujan."Wan, jaga Langit di rumah ya! Kak Bulan mau bawa Bintang ke puskesmas dulu! Tolong ambilkan kartu kesehatan Bintang di laci kamar!" perintah Bulan yang menggendong Bintang dan Awan dengan sigap bergerak menjalankan perintah kakaknya setelah menurunkan Langit dari gendongannya."Terima kasih, Wan, jaga Langit ya!!"Bulan dan Bintang pergi ke puskesmas, hari yang hampir menurunkan hujan. Langit malam tidak berbintang dan hanya gelap gulita tak berhias cahaya di atas sana. Bulan dengan kaki mungilnya berderap cepat menggendong Bintang di punggungnya lantaran sepeda gayung miliknya rusak dan sepeda Sari s
Rambut panjang yang tidak diikat, sepatu usang dan baju kaos kusut menjadi penampilan gadis bermata indah pada siang ini. Matanya cukup bengak, setelah mengakhiri panggilan dari Ghandara ia kembali masuk ke dalam bilik. Saat ini ia berada di ruang gawat darurat.Dilihatnya adiknya terkapar diatas ranjang. Kenapa ia baru menyadari betapa kurus adiknya yang divonis terkena tipes. Ia benar-benar merasa sangat bersalah melihat adiknya itu.Melihat kakaknya yang menyalahkan diri sendiri, Awan yang menganggandeng Langit menyentuh tangan Bulan dan mengelusnya dengan lembut. "Bintang akan baik-baik aja, Kak, gak usah khawatir, ya?"Bulan mengangguk meski hatinya tak benar-benar setuju dengan pernyataan Langit. Tapi saat ini ia ingin meyakini bahwa Bintang akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja.
Hari ke-tujuh sekarang. Sudah tujuh hari lamanya Bulan tak masuk sekolah. Hari ini Bintang sudah diijinkan pulang. Hal yang paling Bulan bingungkan adalah saat ini. Saat dia berdiri di depan meja administrasi, melihat nominal angka yang terdapat di selembar kertas yang tertulis nama adiknya.Nominal yang katanya tidak besar itu, bagi Bulan sangat besar, butuh waktu dua bulan lamanya bekerja untuk mendapat uang itu. Tapi mau bagaimana lagi, Bulan tidak punya pilihan selain mengambil uang tabungan yang hendak ia gunakan untuk sekolah adik-adiknya."Kak Bulan hari ini sekolah, kan?" tanya Bintang. Ia resah juga karena Bulan sudah seminggu lamanya tak masuk sekolah, ia khawatir kakaknya akan tertinggal pelajaran. Meski ia menyuruh kakaknya untuk pergi sekolah, Bulan tetap ingin tinggal."Iya, Tang, Kak Bulan hari ini sekolah setelah
Pintu ruang kesenian terbuka secara tiba-tiba. Bulan yang memang cepat terkejut pun terlonjak dari kursi dan hampir jatuh jika tidak ada tangan Ghandara yang menangkap tangannya.Malangnya, kejadian itu disebabkan oleh seorang yang tidak seharusnya melihat hal ini.Tasya kaku di depan pintu. Menatap tepat ke dalam kornea mata Bulan. Secara cepat Bulan melepaskan tangan Ghandara."Kalau kamu mau mesra-mesraan setidaknya lakuin tugas dan tanggung jawab kamu dulu!" Tasya langsung membentak.Mengapa Bulan ada di sini? Sepertinya ia akan terkena masalah jika tetap berada diantara pasangan yang sedang terikat masalah ini.Dengan mengendap-endap, Bulan memundurkan kursi kemudian hendak bangkit sampai ia terkejut tangannya ditahan oleh tangan dingin dan sialnya tangan itu milik Ghandara."Kamu punya hutang latihan seminggu yang harus kamu bayar lunas hari ini."Bulan terkejut, ia sangat takut akan terlibat diantara mereka. Sedikit ia melirik
Suasana canggung hidup di tengah-tengah kegiatan ini. Banyak hal yang harus disiapkan untuk kegiatan bulan bahasa. Anggota OSIS yang bekerja pun memerlukan bantuan hingga mereka membuat pengumuman bahwa setiap kelas wajib mengeluarkan tiga siswa sebagai sukarelawan dalam membantu pekerjaan OSIS yang lumayan banyak. Dari banyaknya anggota OSIS yang menyebar ke kelas-kelas untuk mengambil siswa, kenapa harus Ghandara yang mendapat tugas untuk datang ke kelas Bulan. Dan tatapan mata Ghandara saat masuk ke kelas Bulan, pertama kali adalah langsung tertuju kepada Bulan. Sebanyak apapun Bulan menghindari tatapan mata Ghandara ia tak bisa lari. Lelaki itu menatapnya terlalu intens. "Kalian sudah denger pengumumannya, kan?" tanya Ghandara berdiri di depan papan seperti guru biasanya. "Jadi siapa yang mau jadi sukarelawan?" tanya Ghandara lagi tapi matanya hanya menatap satu orang. "Kamu!!" Tunjuknya langsung tanpa memberi luang bagi yang lain mengan
Sepatu kets putih yang sudah kusam dan berubah warna melangkah, beberapa kali melompat menghindari genangan air sisa hujan pagi tadi. Raut lelah juga terpancar dari wajah gadis cantik berkulit pucat dengan tas kresek yang dijinjing tinggi agar tidak terciprat air. Tiga bungkus nasi goreng. Ia sudah tersenyum membayangkan betapa indah senyum adik-adiknya nanti. Sambil membayangkan itu, akhirnya langkahnya berhenti di depan pintu kayu dengan alas lantai tak berkarpet. Dua anak lelaki yang sangat rukun bermain dengan sebuah kertas dan sebuah pensil yang mereka gunakan bergantian. "Mana langit?" tanya gadis cantik dengan wajah kucal tak terurus ini. Matanya sibuk mencari sosok yang paling muda diantara ketiga adiknya. "Awan? Mana langit?" tanya gadis ini sambil membujuk adik tertuanya yang berusia 6 tahun untuk menjawab. "Bintang? Langit dimana?" tanya gadis ini kepada salah satunya lagi, adik kedua yang berusia 5 tahun sebab sang ka
Senin. Hari tersibuk Bulan selama 16 tahun ia hidup mengurus tiga adik kecil. Sekarang yang menjadi fokus utamanya adalah karena hari ini adalah hari pertama ia masuk sekolah formal. Saat SMP ia bersekolah di yayasan, hanya melakukan beberapa kali pertemuan dengan teman-temannya, waktu belajar lebih banyak ia habiskan untuk bekerja. Hari ini akhirnya salah satu keinginannya terwujud. Ia memandangi dirinya dengan panik di depan kaca yang retak dibagian atasnya sebab Bintang melemparkan buku sebulan yang lalu ke arah kaca itu. "Wan, gimana? Udah rapi belum?" tanya Bulan was-was dengan mata masih fokus meneliti pantulan dirinya di dalam kaca. Awan menghela berat dengan gelas minum berisi air di tangannya. Ia berniat memberi Langit yang kehausan saat bangun tidur tapi berhenti ketika melihat Bulan masih berada di depan kaca dalam waktu hampir setangah jam. "Gak akan berubah kali, Kak, tetep aja gitu." Ka
Setelah bergegas mendekati Eko yang sudah berkacak pinggang melihat Ghandara si bucin ini baru datang setelah ia selesai melakukan tugas yang seharusnya dilakukan berdua, Ghandara menaikkan alisnya dengan genit dan tak lupa mengangkat dua jari di samping kepala. Eko hanya bisa menghembus nafas kasar saja dengan kerjaan Ghandara. Memang tidak membantu sama sekali dan kenapa selalu dia yang dijadikan satu tim dengan Ghandara yang pada akhirnya ia selalu bekerja sendiri. “Ghan, bisa gak sih kalo dikasih tanggung jawab itu kamu tanggung jawab dikit?” “Ko, bukan gitu masalahnya aku—yaudah aku traktir makan siang ntar,” ucap Ghandara menyerah karena Eko masih merajuk. “Aku ajak Siska juga, gimana?” rayunya. Wajah Eko langsung tertarik. Matanya berbinar menatap Ghandara yang tidak lain tidak bukan adalah lelaki yang disukai oleh Siska. Meski Ghandara sudah memiliki Tasya tak sedikit yang menyatakan bahwa Siska menyukai Ghandara, ya meskipun berakhir dengan kesedihan
Suasana canggung hidup di tengah-tengah kegiatan ini. Banyak hal yang harus disiapkan untuk kegiatan bulan bahasa. Anggota OSIS yang bekerja pun memerlukan bantuan hingga mereka membuat pengumuman bahwa setiap kelas wajib mengeluarkan tiga siswa sebagai sukarelawan dalam membantu pekerjaan OSIS yang lumayan banyak. Dari banyaknya anggota OSIS yang menyebar ke kelas-kelas untuk mengambil siswa, kenapa harus Ghandara yang mendapat tugas untuk datang ke kelas Bulan. Dan tatapan mata Ghandara saat masuk ke kelas Bulan, pertama kali adalah langsung tertuju kepada Bulan. Sebanyak apapun Bulan menghindari tatapan mata Ghandara ia tak bisa lari. Lelaki itu menatapnya terlalu intens. "Kalian sudah denger pengumumannya, kan?" tanya Ghandara berdiri di depan papan seperti guru biasanya. "Jadi siapa yang mau jadi sukarelawan?" tanya Ghandara lagi tapi matanya hanya menatap satu orang. "Kamu!!" Tunjuknya langsung tanpa memberi luang bagi yang lain mengan
Pintu ruang kesenian terbuka secara tiba-tiba. Bulan yang memang cepat terkejut pun terlonjak dari kursi dan hampir jatuh jika tidak ada tangan Ghandara yang menangkap tangannya.Malangnya, kejadian itu disebabkan oleh seorang yang tidak seharusnya melihat hal ini.Tasya kaku di depan pintu. Menatap tepat ke dalam kornea mata Bulan. Secara cepat Bulan melepaskan tangan Ghandara."Kalau kamu mau mesra-mesraan setidaknya lakuin tugas dan tanggung jawab kamu dulu!" Tasya langsung membentak.Mengapa Bulan ada di sini? Sepertinya ia akan terkena masalah jika tetap berada diantara pasangan yang sedang terikat masalah ini.Dengan mengendap-endap, Bulan memundurkan kursi kemudian hendak bangkit sampai ia terkejut tangannya ditahan oleh tangan dingin dan sialnya tangan itu milik Ghandara."Kamu punya hutang latihan seminggu yang harus kamu bayar lunas hari ini."Bulan terkejut, ia sangat takut akan terlibat diantara mereka. Sedikit ia melirik
Hari ke-tujuh sekarang. Sudah tujuh hari lamanya Bulan tak masuk sekolah. Hari ini Bintang sudah diijinkan pulang. Hal yang paling Bulan bingungkan adalah saat ini. Saat dia berdiri di depan meja administrasi, melihat nominal angka yang terdapat di selembar kertas yang tertulis nama adiknya.Nominal yang katanya tidak besar itu, bagi Bulan sangat besar, butuh waktu dua bulan lamanya bekerja untuk mendapat uang itu. Tapi mau bagaimana lagi, Bulan tidak punya pilihan selain mengambil uang tabungan yang hendak ia gunakan untuk sekolah adik-adiknya."Kak Bulan hari ini sekolah, kan?" tanya Bintang. Ia resah juga karena Bulan sudah seminggu lamanya tak masuk sekolah, ia khawatir kakaknya akan tertinggal pelajaran. Meski ia menyuruh kakaknya untuk pergi sekolah, Bulan tetap ingin tinggal."Iya, Tang, Kak Bulan hari ini sekolah setelah
Rambut panjang yang tidak diikat, sepatu usang dan baju kaos kusut menjadi penampilan gadis bermata indah pada siang ini. Matanya cukup bengak, setelah mengakhiri panggilan dari Ghandara ia kembali masuk ke dalam bilik. Saat ini ia berada di ruang gawat darurat.Dilihatnya adiknya terkapar diatas ranjang. Kenapa ia baru menyadari betapa kurus adiknya yang divonis terkena tipes. Ia benar-benar merasa sangat bersalah melihat adiknya itu.Melihat kakaknya yang menyalahkan diri sendiri, Awan yang menganggandeng Langit menyentuh tangan Bulan dan mengelusnya dengan lembut. "Bintang akan baik-baik aja, Kak, gak usah khawatir, ya?"Bulan mengangguk meski hatinya tak benar-benar setuju dengan pernyataan Langit. Tapi saat ini ia ingin meyakini bahwa Bintang akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja.
Firasat buruk selalu menjadi nyata. Setidaknya Bulan yakin itu sekarang. Ia berjanji tidak akan pernah berpikir hal negatif lagi.Malam itu, selepas Bulan menjemput adik-adiknya di rumah Mbok Intan, Bulan langsung panik. Bintang benar-benar terkena demam. Musim hujan memang menjadi yang Bulan khawatirkan. Pasalnya Bintang sangat sensitif terhadap air hujan."Wan, jaga Langit di rumah ya! Kak Bulan mau bawa Bintang ke puskesmas dulu! Tolong ambilkan kartu kesehatan Bintang di laci kamar!" perintah Bulan yang menggendong Bintang dan Awan dengan sigap bergerak menjalankan perintah kakaknya setelah menurunkan Langit dari gendongannya."Terima kasih, Wan, jaga Langit ya!!"Bulan dan Bintang pergi ke puskesmas, hari yang hampir menurunkan hujan. Langit malam tidak berbintang dan hanya gelap gulita tak berhias cahaya di atas sana. Bulan dengan kaki mungilnya berderap cepat menggendong Bintang di punggungnya lantaran sepeda gayung miliknya rusak dan sepeda Sari s
Minggu pagi. Tak di sangka bahwa setelah bersekolah di sekolah formal, Bulan menjadi sanat amat sibuk. Pagi tadi ia pergi ke rumah Mbok Intan, bukan untuk bekerja tapi untuk menghaturkan permohonan maaf karena harus ijin untuk tidak kerja hari ini.Klub musik mengadakan latihan di aula kota, jadi mau tidak mau Bulan yang sudah menjadi anggota dari klub itu juga harus hadir. Ia tidak mau di cap menjadi orang egois yang tidak menghargai kepentingan kelompok.Untungnya Mbok Intan bisa berbaik hati untuk memberinya hari libur untuk hari ini. Sebenarnya hari minggu adalah hari tersibuk Bulan karena ia harus bekerja ekstra di hari minggu sebab tak bisa bekerja maksimal di hari masuk sekolah.“Makasih ya, Mbok,” ucap Bulan, ia juga meminjam sepeda gayung Sari, anak Mbok Intan yang kuliah di luar kota. Karena ia jarang bekerja, jadi mau tidak mau ia harus menghemat uangnya pula. Naik sepeda adalah pilihan terbaik.“Nanti kalau pulangnya sa
Bulan tak seperti ini biasanya. Menyanyi bukan hal yang sulit bagi Bulan. Tapi mengapa berdiri di depan lelaki ini membuat keringat Bulan memaksa untuk terus keluar dari dahinya. Mengerikan sekali.“Lagu apa saja, aku hanya ingin denger nada kamu. Jangan bilang si Rey ngerekrut kamu cuman karena kamu cantik.”Cantik? Ya tentu saja Bulan, seorang wanita memang cantik, mana ada wanita yang tampan, jangan bercanda.“Aku hanya tau beberapa lagu lama,” ucap Bulan dengan keraguan.Ghandara tak bersuara dalam waktu sebentar, Bulan mendongak penasaran mengapa Ghandara tidak bersuara.“Apa aku semenakutkan itu?”Buru-buru Bulan kembali menundukkan pandangannya ke lantai, menggerak-gerakkan sepatu hitamnya dengan canggung sambil menggeleng pelan.“Kamu gadis aneh pertama yang aku jumpai,” ucap Ghandara. “Biasanya gadis-gadis akan berebut untuk melihat wajah tampanku, tapi kenapa kau malah ke
Subuh tadi Langit menangis entah sebab apa. Anak lelaki itu menangis dengan cukup keras sampai membangunkan semua saudara tirinya. Awan, Bintang juga Bulan.“Apa badannya panas, Kak?” tanya Awan dengan nada cemas, Bintang juga ikut menunggu jawaban Bulan yang menggendong Langit sambil berusaha menidurkannya kembali.“Tidak, jangan khawatir, kalian tidur saja lagi, Langit sudah tidak nangis lagi, kok.” Bulan tersenyum sambil menyuruh Awan untuk menyelimuti Bintang sebab udara di subuh hari masih begitu dingin tapi tidak untuk dirinya.Lelah sekali rasanya, semakin hari Langit sudah semakin berat, dan untuk menggendong Langit butuh tenaga ekstra. Setelah Langit kembali tertidur, sambil merilekskan tulangnya Bulan melirik ke arah jam dinding yang sudah nampak usang namun masih berfungsi dengan baik.Tidak lama lagi, mungkin sekitar empat puluh lima menit lagi ia sudah harus bangun dan menyiapkan makanan untuk adik-adiknya sebab ia har
Malam sendu dengan rintik hujan yang entah berniat turun atau tidak, Bulan di tempat favoritnya, duduk di depan pintu rumah, tersihir dengan dinginnya angin yang menyapa hingga ke tulangnya, namun sama sekali tak membuat dirinya merasakan kedinginan itu.Setelah selesai mengantar gula-gula jawa ke rumah pemesan, ia langsung pulang ke rumah tidak seperti biasa ia akan mengambil kerjaan lain agar dapat upah tambahan. Bukan karena ia lelah, hanya saja ia tidak fokus, ia terus memikirkan kalimat Ghandara siang tadi.Sampai saat ini pun, melihat kertas yang sudah remuk ada di tangannya itu, hatinya bergerak. Ia tidak yakin dan tidak setuju dengan apa yang ada di pikirannya saat ini, tapi ia sangat ingin untuk mencoba.“Coba aja, Kak!”Bulan buru-buru kembali melipat kertas itu dan memasukkan sembarang ke kantongnya setelah mendapati Awan ada di belakangnya. Awan memang masih berusia enam tahun, tapi anak kecil ini belajar dengan sangat baik dari an