“Ah!”
Luna meringis, tidak tahu bagian mana lagi dari tubuhnya yang mesti ia dahulukan untuk menahan rasa sakit. Matanya bengkak, akibat menangis terlalu banyak. Mungkin air matanya sudah kering, hingga kelopak mata itu menggembung hitam bersamaan dengan mascara tipisnya yang berhamburan. Wajahnya terasa sakit karena terus berbenturan dengan lantai. Kepala dan rambutnya puluhan kali didorong atau ditarik. Tubuhnya yang lain? Mati rasa.
Tenggorokan Luna terasa gersang. Dia tidak memproduksi air liur sebagai mana mestinya. Teriakan dan penolakan yang ia layangkan terlalu banyak untuk dihitung sehingga pita suaranya mungkin membengkak. Ia tidak bisa mencegah mulutnya untuk tidak terbuka, memberikan entrance pada udara kering tanpa ada penyaringan.
Perasaan dalam hatinya bercampur aduk. Entah, ia tidak lagi bisa mengatakan atau merasakan apapun kecuali: ia ingin semua ini segera berakhir.
Luna meringis dengan bibir mengatup ketika rambut kuncir kuda yang telah tak beraturan itu ditarik. Ia bukan pesenam, tetapi punggungnya dipaksa menjadi lebih elastis untuk melengkung, mengikuti arah kepalanya yang terasa sakit. Tangannya kini jadi tumpuan, setelah hampir beberapa waktu terakhir tak bisa ia gerakkan. Mereka berdua terlalu lelah meregangkan diri karena ditahan di belakang punggung lama sekali, sehingga tak sangguplah Luna menahan beban tubuhnya sendiri. Satu-satunya tumpuan agar tubuhnya terus terangkat adalah kulit kepala yang mungkin sebentar lagi akan melepaskan akar rambutnya.
Pria yang sedang sibuk itu tidak sekali dua kali melemparkan kata-kata kasar pada Luna. Entah, telinga gadis itu tidak lagi melakukan fungsinya sebagaimana mesti. Kelima inderanya telah dimatikan sejak beberapa waktu lalu.
Luna melirih kemudian menangis kembali bahkan setelah Colin selesai dengan apapun yang ia lakukan. Ia tidak tahu apa yang mungkin terjadi setelah ini, tetapi ia sama sekali tidak bisa melakukan perlawanan. Menggerakkan tubuhnya pun tidak bisa. Matanya yang terlanjur kabur hanya mampu melihat siluet sang kakak yang menjauh. Cahaya lampu bahkan menjadi terlalu menyakitkan bagi retinanya. Kelopak matanya begitu berat untuk terus dibuka, hingga akhirnya ia menyerah untuk menahannya.
Meski matanya sudah tak sanggup bekerja, telinga Luna masih bisa mendengar. Mereka mengambil alih fungsi mata, untuk mengetahui apa yang sedang dikerjakan oleh si kakak itu.
“Sakit, ya?” Pria itu mengusap kepala Luna. “Ini tidak akan terjadi kalau kau tidak menganggu kehidupanku. Atau setidaknya ketika kau menurut padaku.” Ia menghadiahi kecupan di tempat yang sama, kemudian membisikkan sesuatu di telinga Luna. “Aku akan melakukan hal yang lebih menyakitkan dari ini kalau kau bercerita pada siapapun. Kau mengerti? Anak pintar.”
Luna tidak tahan lagi, entah apa yang dikatakan atau dilakukan pria itu setelahnya, ia tidak lagi tahu. Kesadaran telah menguap dari tubuhnya.
.
.
.
.
.
Kegelisahan yang menjadi membuat Luna membuka matanya dengan penuh tenaga. Ia seperti baru saja dihampiri oleh mimpi buruk, seperti dibangunkan dengan paksa hingga tidak ada sama sekali kesegaran melainkan rasa sakit. Napasnya memburu, juga kepalanya yang berdenyut akibat itu. Ia langsung memegangi kepalanya. Lupa dengan keadaan diri sendiri karena rasa sakit itu.
Tempat tidur yang nyaman itu mungkin menjadi teman yang baik di saat seperti ini. Kepalanya yang masih lengket di sana dibiarkannya begitu saja, ia fokus untuk mengatur napas. Gadis itu mengurangi rasa sakitnya dengan bernapas lebih tenang.
Apa itu mimpi buruk? Ingatannya yang begitu jahat, tidak membiarkannya beristirahat sebentar saja. Pemerkosaan, apa itu hanya bagian dari mimpinya yang selalu tidak bisa dijelaskan? Tetapi tempat tidur itu terasa bukan seperti miliknya. Walau penglihatannya sedikit kabur, ia tahu berkas-berkas cahaya yang membias dan bisa dilihatnya itu tidak sama dengan yang biasa ia lihat saat pagi hari. Luna bergerak sedikit saja, hanya untuk meregangkan kakinya yang terasa kaku saat tiba-tiba rasa perih menghampiri pangkal pahanya. Ah, tidak. Itu bukan mimpi.
"Sudah bangun?"
Luna mengangkat kepalanya kecil, terkejut ketika ada suara yang seharusnya tidak ada di sana. Jika ini kamarnya, maka seharusnya tidak ada suara itu. Tetapi yang terjadi adalah berbeda. Ini bukan kamarnya, dan dia tidak sendiri di sana.
Pria itu, peran utama dari adegan yang ingin sekali dianggap Luna sebagai mimpi, tengah berdiri di sudut lain ruangan. Dia sedang berganti pakaian, mengancingkan satu-persatu kemeja di depan sebuah cermin. Dia terlihat baik, bahkan terlalu baik jika dibandingkan dengan dirinya dalam ingatan Luna.
"Cepat mandi. Lalu buatkan aku sesuatu untuk dimakan. Aku dengar kau sangat hebat memasak, bukan?" ucap pria itu dengan nada tidak suka, seperti menghina di antara pujiannya.
Luna, dia terlalu terpana untuk merespon. Bukan, dia bukan terpesona seperti yang biasa ia lakukan. Ia hanya tidak tahu harus melakukan apa. Semakin detik berlalu, ia semakin ragu bahwa ia tengah bermimpi.
Colin menatapnya yang termenung, mendadak kesal hanya karena itu. "Hei! Kenapa kau melamun? Cepat mandi! Kau pikir tubuh baumu itu menggoda?" Masih dengan ekspresi yang sama, ia membuka lemarinya dan meraih pakaian yang berada di lipatan paling bawah. Dia bahkan melemparkan kain itu ke wajah Luna. "Kau bisa gunakan itu."
Luna merasa kembali takut, ia dengan perlahan menarik pakaian itu dan kembali menyembunyikan dirinya dengan selimut yang sejak tadi menutupi tubuhnya. Ia pun baru sadar jika tidur tanpa pakaian. Sepertinya Colin membawanya ke kamar ini saat dia masih telanjang. Membayangkan itu membuat perut Luna tidak karuan rasa.
"Kau ingat dengan apa yang ku katakan tadi, bukan? Aku bisa melakukan sesuatu yang lebih menyakitkan lagi. Jadi jangan coba-coba memberitahunya pada siapapun. Terutama ayahku."
Luna menundukkan matanya dalam, tiba-tiba saja ia merasa sakit. Ia bahkan tidak tahu mana yang lebih sakit, kewanitaan atau hatinya.
"Mulutmu perlu aku sobek juga?"
Luna segera menggeleng, memberikan respon yang lupa ia berikan sebelumnya. "Aku tak akan beritahu siapapun." ucapnya terbata.
"You better do,"
Pintu ditutup dengan seringai yang mengikutinya.
.
.
.
.
.
Sangat sakit jika harus bergerak. Luna menyeret kakinya dengan susah payah menuju kamar mandi, mencoba untuk tidak merasakan apapun. Jika bisa memilih, ia tidak ingin beranjak dari tempat tidur. Walau tubuhnya terasa lengket, ia hanya ingin berbaring lebih lama saja. Tetapi ia takut dengan ancaman Colin. Ia takut jika saat pria itu kembali, dia masih di sana tanpa melakukan satupun perintahnya. Satu kali sudah cukup membekas bagi Luna untuk menjadikannya sebagai trauma.
Seragam sekolahnya sudah tidak berbentuk, Luna tidak mungkin menggunakannya lagi. Dia memakai pakaian yang diberikan oleh Colin padanya. Namun itu tetap tidak membantu. Pria itu memberikannya sebuah kemeja lama. Memang ukurannya sedikit lebih kecil namun tetap terlalu besar untuk Luna. Panjangnya hanya sampai sepertiga paha, tidak bisa menutupi sampai ke bawah. Ia tak punya celana dalam. Miliknya entah ada di mana, dan Colin tidak memberikannya celana apapun. Mencari sendiri di lemari? Rasanya Luna takut jika pria itu marah karena dia menyentuh barangnya tanpa izin.
Gadis itu kebingungan, ia terus menarik ujung kemeja itu ke bawah agar tidak ada angin bertiup yang bisa lolos menyentuh kulitnya. Apa dia harus membiarkannya saja? Ah, rasanya ia tidak tahan dengan dingin. Lagipula jika Colin melihatnya seperti itu, dia mungkin akan diperkosa lagi.
Luna hampir melupakan satu hal. Dia harus memasak sesuatu untuk pria itu. Belum habis ia memikirkan cara untuk menemukan celana, ia mesti memikirkan makan malam untuk pria itu. Ia pun bergegas—dengan susah payah—pergi ke dapur untuk membuat sesuatu.
Dapur apartemen Colin tidaklah istimewa. Memang, Luna dengar dia sering membuat makanannya sendiri karena dia tinggal sendiri di sana. Namun ketika ia melihat bahan apa saja yang dipunyai pria itu di lemari pendingin, ia tidak melihat banyak variasi. Hanya telur, sayuran yang sebagian besar sudah layu, dan beberapa kaleng bir. Ia tidak tahu apakah pria itu akan suka dengan apa yang akan dibuatnya, tetapi ia akan mencoba membuat sesuatu dengan mereka.
Luna masih terganggu dengan pakaian terbatasnya. Ia berencana untuk kembali ke kamar Colin saat ia melihat seragamnya berada di keranjang cucian kotor. Ia mendapatkan ide, untuk menggunakan rok sekolahnya saja. Walau angin tetap akan menganggunya, setidaknya bagian itu tidak akan terlihat jelas. Ia bisa menutupi pantatnya.
Luna sadar bahwa blus sekolahnya telah tersobek. Tangannya refleks memegangi bagian tubuhnya di tempat yang sama dengan bagian blusnya yang tersobek, ia meringis. Sepertinya tubuhnya memar. Entah apalagi sakit yang akan ditemukan di tubuhnya nanti, ia hanya berharap agar ada jalan keluar dari semua ini.
Kakak tirinya itu, semoga saja dia tidak akan melakukan kekerasan lagi.
Kepala Luna sakit, begitu pula dengan dadanya yang sesak apabila mesti mengingat apa yang dilakukan pria itu padanya. Pemerkosaan, itu tidak pernah ia pikirkan. Luna tidak bisa menemukan alasan mengapa pria itu begitu membencinya. Dirinya tidak tahu apapun. Sulit menerima kenyataan bahwa dirinya tidak lagi suci dan orang yang melakukan itu adalah kakaknya sendiri.
“Aku kira kau akan nekat kabur dari sini. Ternyata kau mendengarkanku, ya?”
Luna tersentak ketika lamunannya terpecahkan oleh seruan dari Colin. Ia buru-buru membalik tubuhnya menghadap pria itu, seperti tengah dihukum ia menundukkan kepalanya. Jangankan untuk memandang, berada dalam jarak sejauh itu saja Luna sudah gemetar.
Colin melempar sebuah kantong plastik berisi sayuran juga sebuah paperbag—yang tak bisa dilihat Luna isinya. Pria itu kemudian berjalan mendekati Luna dengan sebuah seringai. “Apa-apaan dengan rokmu itu?” Ia terkekeh. “Lumayan juga. Padahal aku sengaja membiarkanmu setengah telanjang.”
Luna membeku di tempat, tidak bisa pergi kemana-mana karena dia terpojok di sudut dapur. Mudah saja bagi Colin untuk mendekatinya, bahkan menyentuhnya tanpa perlawanan. Meski Luna mencoba menolak, tangan dingin pria itu masih berhasil menggenggam lengannya bahkan membelai pahanya. “Menggemaskan sekali, kau tahu? Wajah ketakutanmu itu. Aku jadi ingin memakanmu lagi.” Ia menyeringai seraya menggigit telinga Luna.
Gadis itu memekik di antara bibirnya yang ia paksa terus menutup.
“Sebaiknya kau cepat buatkan aku sesuatu sebelum aku memakanmu.”
Luna lari terbirit-birit, seperti anjing peliharaan yang mendapatkan perintah, ia melakukan tugasnya dengan perasaan takut sang Tuan akan marah dan menyakitinya. Sepanjang hidupnya, ia tidak pernah memasak dengan perasaan takut seperti ini. Pekerjaannya diawasi oleh pria itu, seperti dia akan menerkamnya kapan saja. Sesekali Luna menoleh ke belakang punggungnya, takut jika sesuatu tengah direncanakan oleh pria itu.
Benar saja, dalam beberapa menit pria itu dengan usil meremas pantatnya. “Setelah kupikir lagi, tidak seharusnya aku membiarkanmu bekerja sendiri.” Tangan pria itu tidak berhenti mengganggu Luna, justru semakin semangat ketika Luna memberikan respon dengan mendelik. “Dasar jalang, berlagak tak suka namun sebenarnya kau tidak mau aku berhenti, kan?”
“Tidak! Kakak t-tolong, jangan—“ kalimat Luna terpotong karena dirinya sendiri, sebisa mungkin ia tidak ingin mengeluarkan desahan. Ia tidak bisa lari begitu saja dari genggaman pria itu.
“Jangan berhenti, ya?”
“Bukan!”
“Lalu apa?”
“A-aku tidak bisa.” Luna menghempas tangan pria itu dari tubuhnya. “Aku tidak bisa memasak jika Kak Colin mengangguku. Sangat berbahaya k-kalau kakak tidak berhenti.”
Luna menghela napas lega ketika alasannya berhasil membuat pria itu melepaskannya. Lagi, pria itu malah menjauh dari dapur. Benar-benar keberuntungan yang ditunggu. Luna tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika pria itu tak mau melepaskannya. Berjalan saja masih terasa sakit, apalagi jika dia mesti diperkosa lagi.
Tidak. Jangan membayangkan hal itu. Luna sudah memutuskan untuk tidak mengingat kejadian itu sejenak. Setidaknya sampai dia bisa berada di tempat yang lebih aman, ia tidak ingin menambah beban pikiran di kepalanya.
Luna bekerja dengan cepat, ia berhasil menyelesaikan masakan sederhana untuk makan malam. Ia tidak tahu apa buatannya bisa membuat Colin senang, tetapi ia pun hanya bisa berharap. Pria itu kembali ke dapur tepat ketika makanan sudah siap, wajahnya terlihat senang walau hanya sesaat.
Luna membuat dua porsi spaghetti, bahan makanan tambahan yang dibawa Colin saat pulang tadi. Dia berdoa, agar makanan ini dapat mengurangi setidaknya sedikit saja rasa benci pria itu padanya. Lagi, ia sebenarnya merasa lapar.
Luna hampir duduk di meja makan bersama piringnya saat tiba-tiba Colin menatapnya dengan tatapan tajam. “Sedang apa kau? Siapa yang berkata kau boleh makan?” Sudut mata Luna mendadak basah ketika mendengar itu. “Bersihkan kekacauan yang kau buat di ruang depan. Pastikan lantai apartemenku bersih. Setelah itu baru kupikirkan kau boleh makan atau tidak.”
“Tapi—”
“Kau mau aku perkosa lagi?”
Luna mati kutu. Tangannya gemetar hanya untuk meletakkan kembali piring kosongnya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak terisak di hadapan pria itu. Apa kesalahan yang diperbuatnya hingga harus diperlakukan seperti ini?
.
.
.
.
.
Luna tidak tahu, pembersih lantai atau air matanya yang membasahi lantai apartemen itu. Padahal ia sudah berusaha menahan tangisan, tetapi yang terjadi adalah air matanya terus bercucuran tanpa henti. Ia ingin sekali kabur dari sana. Ia ingin sekali mengadu, mencari perlindungan pada orang yang ia percaya. Tetapi apa itu benar? Apa dia yakin dia akan mengabaikan ancaman pria itu?
Perutnya sakit, entah pengaruh lapar atau karena tangisan. Dadanya sudah sejak tadi terasa sesak. Jangan tanyakan tubuhnya yang lain. Ia mungkin akan segera pingsan, jika ia tidak memaksakan diri untuk membuka mata.
“Jalang sialan, tetap saja menggodaku.”
Luna seperti tidak lagi peduli, ia terlalu lemas untuk berbalik, menutupi pantatnya yang lagi-lagi menjadi bulan-bulanan pria itu.
“Aku jadi ingin mencobanya, karena posemu begitu bagus.”
Luna melirih, “apa salahku?”
“Apa?”
“Mengapa aku diperlakukan seperti ini?”
“Kau ingin tahu?”
“Kenapa Kakak begitu jahat padaku?”
Colin berjongkok untuk menyamakan tinggi mereka, kemudian diusapnya rambut Luna pelan. “Kau ingin tahu, sayang?”
“Aku ingin pulang.”
Colin mendengus, ia kemudian duduk di sebelah Luna dan menariknya ke dalam pelukan. “Oh sayang. Malangnya dirimu. Kau pasti kesakitan, ya?” Dibelainya gadis itu dengan lembut, kemudian ditangkupnya kedua pipi Luna. “Sebenarnya, aku menyukaimu. Aku membiarkan ibumu menikah dengan ayahku bukan karena aku suka dengannya, tetapi karena aku suka denganmu. Kau cantik, manis, juga menggairahkan. Namun, di satu sisi aku juga membencimu. Aku ingin melihatmu terluka, menangis karena aku. Itu sangat menyenangkan, kau tahu?” Ekspresinya berubah dan tanpa peringatan pria itu mencengkram leher Luna, gadis itu otomatis tersedak, “Karena kau menganggu kehidupanku.”
Penglihatan Luna memudar karena air mata juga kontras cahaya lampu. Tubuhnya sudah terlalu lemas untuk bergerak. Ia tidak lagi merasakan sakit, seluruhnya mati rasa. Ia tidak lagi melawan ketika Colin menyeretnya ke dalam kamar, membantingnya di tempat tidur atau apapun lagi yang ia akan lakukan setelahnya.
Luna sadar bahwa ia tengah diperkosa lagi. Dia tahu, tubuhnya diperlakukan seperti hewan oleh kakaknya sendiri. Tetapi ia tidak bisa melakukan apapun. Jangankan mencari pertolongan, kesadaran saja sangat sulit untuk ia pertahankan.
“Just sleep, Baby.”
Itu mungkin menjadi kalimat terakhir yang Luna ingat.
To be continued
by Ayasa
“Aku tahu. Jangan khawatir.” Luna terusik. Tidur pulas tanpa mimpinya itu berakhir akibat suara sang kakak yang ia dengar. Perlahan ia membuka mata, lagi-lagi terserang vertigo ketika retinanya dipaksa menangkap cahaya terlalu banyak dalam waktu singkat. Meski lamban, ia segera tahu di mana dirinya sekarang. Tanpa pakaian, dalam pelukan pria itu. “Dia ada di sini, Ayah. Tidak hilang. Apa dia tidak memberitahu kalian?” Luna diam saja, menatapi sang kakak yang tengah berbicara dengan seseorang di telepon. Pelan-pelan ia mengintip ke dalam selimut, mencari kebenaran tentang siapa yang sebenarnya tidak berpakaian, dan dia segera tahu. Apa ini sudah pagi? Luna tidak ingat apa yang terjadi semalam. Walaupun begitu, sudah jelas jika dia telah diperkosa lagi. Terakhir kali ia mengingat bagaimana pria itu mengancamnya dengan rasa sakit. Lebih baik ia menurut saja kali ini. Ia tidak ingin lagi melawan karena ia tak punya kekuatan lagi. Seluruh tubuhnya tak bert
Luna tinggal bersama kedua orang tuanya, terpisah dari Colin yang tinggal sendiri di apartemen. Ia akan aman jika terus berada di bawah pengawasan mereka. Namun, hari terus bergulir hingga waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Waktunya perpisahan. Bulan madu sudah direncanakan, dan hari ini Luna akan ditinggal sendirian di rumah. Luna menjadi pendiam. Dirinya memang bukan orang yang banyak bicara, tetapi belakangan ia menjadi semakin senyap. Pikirannya kalut hanya dengan berbagai bayangan tentang apa yang mungkin Colin lakukan terhadapnya selama sebulan penuh. Rumah memang tidak benar-benar kosong karena mereka punya asisten rumah tangga. Tetapi ia tidak berharap banyak pada wanita tua yang hanya berada di rumah kurang dari 12 jam. Luna terlalu khawatir sampai dalam beberapa hari terakhir ia tak bisa tidur. Mimpinya tidak pernah bersih dari rentetan rasa sakit yang ditakutinya akan terulang. Saat ini Luna sedang termenung di halte bus sekolahnya. Ia sama sekali tidak gemb
Napas menderu tidak ikhlas, Luna meratapi pesawat yang lepas landas. Ia murung, awan hitam berada di atas kepalanya. Kedua orang yang bisa menjamin keselamatannya telah pergi, kini ia terjebak bersama di sadis Colin dan si gila Devin. Luna tersentak saat tiba-tiba sebuah lengan melingkari tubuhnya. Ia terkejut, tetapi berhasil menguasai diri karena sudah tau siapa yang melakukannya. Tanpa menoleh sekalipun, ia sudah mengenali dekapan siapa ini. Dia tidak malu, melakukan hal itu di depan umum. Sebuah kecupan di pucuk kepala Luna mengawali berbagai mimpi buruk yang akan menanti. Colin menempatkan bibirnya setengah inchi dekat telinga Luna lalu berbisik, “Ayo kita pulang. Ada janji yang perlu kau tepati dan … kasur yang perlu kau hangatkan.” Bulu kuduk Luna merinding. Saat napas Colin mengalir menuju lehernya, ia berkeringat. Bahkan setelah pelukan berakhir, kengerian masih tersisa. "Ayo pulang." Colin berjalan dengan perasaan bahagia, sementara
Luna berjalan pelan dengan kepala menunduk. Tidak bisa bebas dari ingatan, ia kembali mengingat apa yang terjadi kemarin. Dirinya menyesal ketidakberdayaan melawan Colin. Tubuhnya dipermainkan tanpa tanggung jawab. Sekarang ia perlu berpura-pura sehat, pelan-pelan melangkah dan mangkir dari pelajaran olahraga. Mana mungkin kewanitaannya tidak perih. Colin sama sekali tidak peduli dengan hasil perbuatannya sendiri, dia merajalela bahkan kurang dari 12 jam kepergian orang tua mereka. Gadis itu melangkah malas menuju gerbang sekolah. Dirinya tertinggal jauh dari iringan teman sekelas yang juga pulang. Ia tak bersemangat kembali ke rumah. Ia tidak ingin menemui Colin. Sekarang rumah bukan lagi tempatnya berlindung melainkan penjara. Lamunan menjadi membuatnya tertawan, tak sadar kakinya sampai di gerbang sekolah. Ia enggan mengangkat kepala. Ia tidak siap mendapati sedan Colin di sana. Ia tidak ingin naik kereta kematian. Setelah mempersiapkan hati, ia mengangkat kepala.
"Tenang saja. Karena kau sekarang adikku, aku akan menjagamu." Mata Luna berbinar, ia menatap pria di sampingnya dengan sungguh-sungguh. Ia berharap telinganya tidak berbohong, ketika ia mendengar ucapan seperti itu dari seorang Devin. Kalimatnya sangat indah, seperti sebuah mimpi yang sejak lama didambakan akhirnya dapat terwujudkan. “Su—sungguh?” Luna gagap karenanya. Devin menertawakannya, “Mengapa? Kau tidak percaya?” “Aku hanya … terkejut.” “Tidak perlu terkejut.” Devin kemudian menarik Luna mendekat dan merangkulnya, “kalau kau kedinginan kita sebaiknya pergi dari sini.” Luna begitu senang. Hal ini seperti mimpi yang sudah lama ia dambakan untuk terwujud. Semuanya benar-benar menyenangkan hingga ia mengingat sesuatu. "Kak Colin, dia pasti mencariku." Seperti kehilangan nyawa, ia menghela napas pelan. Ah, ia masih punya masalah dengan pria satu itu. Respon yang ia terima benar-benar menenangkan, Devin hanya tertawa, "Biarkan saja.
"Luna." Jantung Luna berdebar kencang setelah merasakan pelukan mendadak di punggungnya. Tangannya yang sedang bekerja segera terhenti. Ia mencoba menghilangkan gemetar yang terlihat jelas, tetapi jujur ia benar-benar takut. Hanya pikiran negatif yang saat ini bisa terlintas di otaknya. "I—iya?" "Ambilkan aku paper towel," Suara Devin menggelitik telinga Luna. Jelas, ia dapat merasakan udara yang mengalir keluar dari hidung lelaki itu. Telinganya seperti tengah dipermainkan oleh napas menderu yang begitu menggoyahkan. "Baik," Devin menempatkan dagunya di bahu Luna. Gadis itu segera memberikan paper towel untuknya. Ia dengan cepat melakukan itu karena ia mengalami senam jantung. "Thanks—sh. Ah, sialan." Akhirnya Devin melepaskan pelukannya. Astaga. Jantung Luna hampir jatuh. "Kurasa aku akan pergi ke kamar saja. Kau juga, langsung istirahat saja. Jangan melakukan apapun lagi. Sialan hidung ini." "Tapi, pulang—"
Matahari sudah naik saat pria itu bangun dan memilih untuk keluar kamar. Di depan pintu, ia menyambut pagi yang terlambat dengan sedikit meregangkan tubuhnya. Ah, tidur yang menyenangkan. Sudah lama sejak terakhir ia merasakan kenikmatan tidur seperti tadi malam. Ia bahkan belum membasuh wajah, apalagi menyikat gigi. Meski telihat begitu kusam, ia tidak peduli. Walau matanya masih sedikit malas untuk membuka, ia berhasil sampai ke dapur untuk mencari seteguk air. Devin, walau dia baru beberapa hari kembali dari Amerika, ia sama sekali tidak asing. Tidak ada yang berbeda dari rumahnya yang dulu dan sekarang. Setiap hari orang yang memberinya makan adalah Bibi Susi yang juga tak berubah, hanya sedikit menua. Ia tidak perlu adaptasi dengan keadaan rumah. Meski sudah bertahun-tahun tak tinggal di sana, ia menganggap semuanya tak berbeda. Suasana masih sama, tetapi ada hal yang berbeda juga. Jumlah anggota keluarga sudah bertambah. Ia punya ibu baru yang kelihatannya cuku
"Aku tidak akan biarkan dia menyentuhmu. Kau itu milikku." Kalimat itu berputar-putar di kepala Luna sepanjang hari. Apakah kakaknya itu serius? Apakah Devin benar-benar menaruh hati padanya? Bagaimana mungkin kedua bersaudara itu punya obsesi yang sama? Colin mungkin memperbudaknya hanya untuk kesenangan saja, namun bagaimana dengan Devin? Mereka belum terlalu lama saling mengenal. Lalu mengapa dengan mudahnya dia mengatakan hal seperti itu? Saat ini semua pertanyaan itu berkecamuk meminta jawaban di kepalanya. Tidak hanya itu, Luna juga tengah pusing dengan kebohongan yang ia katakan pada Devin. Colin jelas melakukan sesuatu, namun ia memilih untuk tidak melaporkannya. Tidak melakukan apapun? Bagaimana dengan rasa sakit, tangis, dan segala perlakukan buruknya selama ini? Hal itu tidak dihitung sebagai sesuatu? Apa yang ada di dalam pikirannya, ia tak mengerti. Luna memastikan Colin sedang tidak ada di sekitarnya sebelum menghampiri Devin. Sang kaka