"Aku tidak akan biarkan dia menyentuhmu. Kau itu milikku."
Kalimat itu berputar-putar di kepala Luna sepanjang hari. Apakah kakaknya itu serius? Apakah Devin benar-benar menaruh hati padanya? Bagaimana mungkin kedua bersaudara itu punya obsesi yang sama? Colin mungkin memperbudaknya hanya untuk kesenangan saja, namun bagaimana dengan Devin? Mereka belum terlalu lama saling mengenal. Lalu mengapa dengan mudahnya dia mengatakan hal seperti itu? Saat ini semua pertanyaan itu berkecamuk meminta jawaban di kepalanya.
Tidak hanya itu, Luna juga tengah pusing dengan kebohongan yang ia katakan pada Devin. Colin jelas melakukan sesuatu, namun ia memilih untuk tidak melaporkannya. Tidak melakukan apapun? Bagaimana dengan rasa sakit, tangis, dan segala perlakukan buruknya selama ini? Hal itu tidak dihitung sebagai sesuatu? Apa yang ada di dalam pikirannya, ia tak mengerti.
Luna memastikan Colin sedang tidak ada di sekitarnya sebelum menghampiri Devin. Sang kaka
Apabila sebuah pintu bisa merasakan sakit, keluhan saja tidak akan cukup untuk meluapkan sakit yang ia terima. Seperti orang gila, pria itu memukulinya, seakan-akan tangan dan kakinya tidak merasakan sakit sama sekali. Tidak habis hanya pukulan, umpatan juga ia layangkan pada benda mati itu. Devin, bisa dikatakan dia begitu marah saat ini. Dia merasa dibohongi, dibodohi, diperdaya dan dipermainkan. Baru saja dia mengakui perasaannya, tetapi apa yang dia dapatkan? Kebohongan bahkan hal menjijikkan. Jelas saja ia marah. Selama ini perasaan aneh yang ia rasakan di antara dua orang itu memang benar adanya. Ia bahkan berpikir jika sebenarnya mereka berdua sedang menertawakan kebodohannya. Luapan amarahnya memuncak dengan tendangan pada pintu untuk terakhir kali. Rambutnya diacak kasar, mode amarahnya meluap-luap. Ia tak bisa tenang dengan hanya menghancurkan apapun yang ada di hadapannya, itu tidak cukup. Dirogohnya saku celana untuk sesuatu yang ia sembunyikan sejak mala
Aktivitas pagi di rumah keluarga itu berjalan seperti biasa. Asisten rumah tangga mereka yang tidak tau apapun datang pagi sekali untuk membuatkan sarapan bagi penghuni rumah. Si anak tertua yang tidak biasanya memilih menginap juga bangun lebih pagi karena dia punya kelas di pagi. Kepalanya sedikit berputar saat pertama kali membuka mata, tetapi karena dia sudah mengetahui apa yang mesti ia lakukan, rasa itu bisa ia hilangkan dengan segera. Sama halnya dengan anak gadis di rumah itu. Ia terbiasa untuk bangun pagi, tidak perlu seseorang untuk membangunkannya. Ini hari Senin. Dia harus kembali ke sekolah, dunia yang seharusnya ia nikmati dengan kesenangan. Luna sekali lagi merasakan sakit pada tubuhnya karena perlakuan yang ia terima akhir-akhir ini. Jika saja bisa, ia ingin memperpanjang hari libur untuk beristirahat. Tetapi jika berada di sekolah berarti aman dari kedua kakak laki-lakinya, maka ia memilih untuk pergi. Satu-satunya orang yang memulai hari dengan cara
"Ahh," Desahan terdengar keras ke seluruh penjuru ruangan. Suara napas menderu, pukulan kecil juga lenguhan bersela di setiap oksigen yang beterbangan. Beberapa saat kemudian terdengar lagi suara lain. Sebuah mangkuk jatuh ke lantai dan pecah, suara dentingannya berkecamuk dengan desahan. Pelakunya adalah Luna, gadis yang sedang di cumbu oleh kakak tirinya sendiri, Colin. Colin bahkan tak membiarkan sang adik bersiap atau berpindah, mereka bercumbu di atas meja makan tanpa merapikan sama sekali peralatan bekas makan. “Kakak … tunggu, a-aku—tunggu.” Tangan Luna tak tentu, ia meremas bahu dan lengan Colin bergantian. Ia merasakan geli yang luar biasa di seluruh tubuhnya. Kupu-kupu seperti beterbangan di perutnya. Perilaku sang kakak terhadap lehernya membuat bulu kuduknya berdiri. Lelaki itu bahkan tak segan menggigitnya, meninggalkan bekas kebiruan tak bertanggung jawab. Ada kepuasan ketika sang gadis melenguh hebat akibat karya seninya itu, ia kemudia
Luna bersyukur ia baru saja menelan bubur yang ia kunyah saat cerita dari Bibi Susi begitu mengejutkannya hingga ia hampir tersedak. "Hah?" Bibi Susi tersenyum kecil karena reaksinya yang sangat berlebihan, namun Luna tak bisa menyangkal bahwa ia benar-benar terkejut. Apakah hubungan mereka seburuk itu? "Apa yang terjadi Bi? Mengapa bisa seperti itu?” Bibi Susi tersenyum lagi. "Mereka sudah seperti ini sejak kecil. Sangat kecil sampai mereka sendiri lupa kapan itu dimulai." "Alasannya?" "Tuan Colin membenci Tuan Devin." Luna seperti tidak terkejut dengan hal itu. Colin memang terlihat lebih membenci Devin ketimbang sebaliknya. Orang yang selalu terlihat punya masalah adalah Colin. "Kenapa dia membenci Kak Devin?" "Karena Ibu mereka." Topik ini tidak pernah dibicarakan sebelumnya. Luna tak tahu apapun tentang ibu kandung mereka kecuali beliau sudah lama meninggal dunia. Hal itu tentu ia ketahui dari sang Mama, bu
Penglihatan mata Luna menjadi kabur, dirinya mencoba tetap seimbang dengan memegangi bagian kepalanya yang mengeluarkan darah. Ia tidak bisa mencerna keadaan, terserang rasa sakit yang luar biasa ketika terus berusaha untuk membuka mata. “Luna!” Colin melihat darah sebagai kecelakaan yang mengerikan, emosinya pada Devin menggebu. Dengan mudah ia menendang tubuh lelaki itu menjauh. Ia segera menghampiri Luna. Pelan-pelan ia memeriksa asal keluarnya darah, sela-sela rambut Luna terlihat basah. Dirinya langsung sigap menyandarkan tubuh Luna pada sisi sofa. “Lihat apa yang kau perbuat! Masih kau mencoba melukai dia?” Colin panik dan bertindak tergesa-gesa. “Kau … kau tunggu di sini. Tetap tutup lukanya dengan tanganmu.” Ia mengambil langkah seribu, dalam hitungan detik menggapai semua benda yang ia butuhkan. Ia mengambil kunci mobil beserta hal yang mungkin bisa ia temukan untuk membantu menghentikan pendarahan. Ia sangat panik. Seorang Colin yang tega menyakiti adiknya
Dipenuhi kekhawatiran, Luna sedang menatap keluar jendela tanpa suara. Ia melamun, terlalu memikirkan keadaan orang yang sedang ia cari saat ini. Ia memiliki berbagai spekulasi negatif, mulai dari kecelakaan atau bisa saja perkelahian. Ia terus mencari ke sisi jalan, takut menemui kerumunan di mana seorang mayat pria dengan banyak tindik telinga ditemukan. Kekhawatirannya mulai tidak logis, ia kalut hanya berusaha tenang namun gagal. “Apa kau yakin dia ada di sana?” Colin memecah keheningan di antara mereka dengan bertanya, dirinya sedang mengemudi. Matanya terarah pada jalan, namun juga sesekali melirik pada Luna yang memberikan ekspresi sangat khawatir. “Aku tidak tahu pasti, Kak. Aku hanya tahu tempat itu yang mungkin,” jawab Luna dengan lesu. Dirinya menyesali keadaan tak berdaya dan tak perhatian, hanya sedikit kemungkinan tebakannya benar. Si naïf nan polos, ia memikirkan setiap orang yang ia sayangi. Seburuk apapun perlakuan mereka terhadapnya, kekhawa
"Kenapa tidak memeriksanya? Semakin cepat tahu, semakin baik. Semakin cepat pula bisa disingkirkan." Jantung Luna hendak terjatuh, napasnya tertahan di tenggorokan karena perasaan buruk dan mual menyerang seketika. Ujung rok sekolah yang ia pakai menjadi pelampiasan, ia meremasnya sebagai cara untuk mengendalikan diri. Telinganya mendengar dengan jelas, semua ia proses dengan tepat, namun akal sehatnya tak langsung menerima semua informasi. Apa yang baru saja dikatakan oleh Colin? Menyingkirkan? Pemilihan kata lelaki itu terlalu sadis untuk satu topik yang bahkan masih abu-abu. Butuh beberapa detik bagi Luna untuk kembali menggenggam kesadarannya sampai ia berani membuka mulut untuk bertanya. "Ma—maksudnya?" "Kau mengerti maksudku." Tanpa menoleh, Colin memberi jawaban rancu yang hanya membuat Luna semakin gemetar. Ia mengalami masalah kepercayaan pada lelaki itu. Berada dalam satu tempat bersamanya membuat ia takut. Pemikiran positif berupa seorang C
Gadis itu menangis. Ia sedang murka. Kemurkaan itu ia luapkan dengan air mata yang tidak bisa berhenti jatuh. Dadanya sesak, tapi itu sepadan. Ia kesulitan bernapas, itu hukuman. Amarah memunca menangisi dirinya yang bersikap bodoh dan tak bisa melindungi diri sendiri. Tidak, ia tidak menyalahkan siapapun dalam masalah ini. Baginya bukan Colin si psikopat atau Devin si pecandu yang membuatnya kesal. Adalah sikapnya sendiri yang membuat dirinya terjatuh dalam rasa sakit. Semua orang pasti akan menganggapnya gila karena telah bersikap tak sesuai terhadap kedua kakak tirinya. Seharusnya ia tidak terlibat terlalu jauh. Ia tidak boleh menjalin hubungan apapun dengan mereka. Ia tak seharusnya menempatkan harapan. Dia merasa dungu karena sudah menjadi seorang lugu yang terpesona pada keindahan fisik saja. Ia mengaku bahwa dalam beberapa waktu terakhir ia telah dipermainkan oleh keluguan perasaannya. Tentang hubungannya bersama Colin, hal itu gila. Dia tahu dengan sangat bah