Luna bersyukur ia baru saja menelan bubur yang ia kunyah saat cerita dari Bibi Susi begitu mengejutkannya hingga ia hampir tersedak. "Hah?"
Bibi Susi tersenyum kecil karena reaksinya yang sangat berlebihan, namun Luna tak bisa menyangkal bahwa ia benar-benar terkejut. Apakah hubungan mereka seburuk itu?
"Apa yang terjadi Bi? Mengapa bisa seperti itu?”
Bibi Susi tersenyum lagi. "Mereka sudah seperti ini sejak kecil. Sangat kecil sampai mereka sendiri lupa kapan itu dimulai."
"Alasannya?"
"Tuan Colin membenci Tuan Devin."
Luna seperti tidak terkejut dengan hal itu. Colin memang terlihat lebih membenci Devin ketimbang sebaliknya. Orang yang selalu terlihat punya masalah adalah Colin.
"Kenapa dia membenci Kak Devin?"
"Karena Ibu mereka."
Topik ini tidak pernah dibicarakan sebelumnya. Luna tak tahu apapun tentang ibu kandung mereka kecuali beliau sudah lama meninggal dunia. Hal itu tentu ia ketahui dari sang Mama, bu
Penglihatan mata Luna menjadi kabur, dirinya mencoba tetap seimbang dengan memegangi bagian kepalanya yang mengeluarkan darah. Ia tidak bisa mencerna keadaan, terserang rasa sakit yang luar biasa ketika terus berusaha untuk membuka mata. “Luna!” Colin melihat darah sebagai kecelakaan yang mengerikan, emosinya pada Devin menggebu. Dengan mudah ia menendang tubuh lelaki itu menjauh. Ia segera menghampiri Luna. Pelan-pelan ia memeriksa asal keluarnya darah, sela-sela rambut Luna terlihat basah. Dirinya langsung sigap menyandarkan tubuh Luna pada sisi sofa. “Lihat apa yang kau perbuat! Masih kau mencoba melukai dia?” Colin panik dan bertindak tergesa-gesa. “Kau … kau tunggu di sini. Tetap tutup lukanya dengan tanganmu.” Ia mengambil langkah seribu, dalam hitungan detik menggapai semua benda yang ia butuhkan. Ia mengambil kunci mobil beserta hal yang mungkin bisa ia temukan untuk membantu menghentikan pendarahan. Ia sangat panik. Seorang Colin yang tega menyakiti adiknya
Dipenuhi kekhawatiran, Luna sedang menatap keluar jendela tanpa suara. Ia melamun, terlalu memikirkan keadaan orang yang sedang ia cari saat ini. Ia memiliki berbagai spekulasi negatif, mulai dari kecelakaan atau bisa saja perkelahian. Ia terus mencari ke sisi jalan, takut menemui kerumunan di mana seorang mayat pria dengan banyak tindik telinga ditemukan. Kekhawatirannya mulai tidak logis, ia kalut hanya berusaha tenang namun gagal. “Apa kau yakin dia ada di sana?” Colin memecah keheningan di antara mereka dengan bertanya, dirinya sedang mengemudi. Matanya terarah pada jalan, namun juga sesekali melirik pada Luna yang memberikan ekspresi sangat khawatir. “Aku tidak tahu pasti, Kak. Aku hanya tahu tempat itu yang mungkin,” jawab Luna dengan lesu. Dirinya menyesali keadaan tak berdaya dan tak perhatian, hanya sedikit kemungkinan tebakannya benar. Si naïf nan polos, ia memikirkan setiap orang yang ia sayangi. Seburuk apapun perlakuan mereka terhadapnya, kekhawa
"Kenapa tidak memeriksanya? Semakin cepat tahu, semakin baik. Semakin cepat pula bisa disingkirkan." Jantung Luna hendak terjatuh, napasnya tertahan di tenggorokan karena perasaan buruk dan mual menyerang seketika. Ujung rok sekolah yang ia pakai menjadi pelampiasan, ia meremasnya sebagai cara untuk mengendalikan diri. Telinganya mendengar dengan jelas, semua ia proses dengan tepat, namun akal sehatnya tak langsung menerima semua informasi. Apa yang baru saja dikatakan oleh Colin? Menyingkirkan? Pemilihan kata lelaki itu terlalu sadis untuk satu topik yang bahkan masih abu-abu. Butuh beberapa detik bagi Luna untuk kembali menggenggam kesadarannya sampai ia berani membuka mulut untuk bertanya. "Ma—maksudnya?" "Kau mengerti maksudku." Tanpa menoleh, Colin memberi jawaban rancu yang hanya membuat Luna semakin gemetar. Ia mengalami masalah kepercayaan pada lelaki itu. Berada dalam satu tempat bersamanya membuat ia takut. Pemikiran positif berupa seorang C
Gadis itu menangis. Ia sedang murka. Kemurkaan itu ia luapkan dengan air mata yang tidak bisa berhenti jatuh. Dadanya sesak, tapi itu sepadan. Ia kesulitan bernapas, itu hukuman. Amarah memunca menangisi dirinya yang bersikap bodoh dan tak bisa melindungi diri sendiri. Tidak, ia tidak menyalahkan siapapun dalam masalah ini. Baginya bukan Colin si psikopat atau Devin si pecandu yang membuatnya kesal. Adalah sikapnya sendiri yang membuat dirinya terjatuh dalam rasa sakit. Semua orang pasti akan menganggapnya gila karena telah bersikap tak sesuai terhadap kedua kakak tirinya. Seharusnya ia tidak terlibat terlalu jauh. Ia tidak boleh menjalin hubungan apapun dengan mereka. Ia tak seharusnya menempatkan harapan. Dia merasa dungu karena sudah menjadi seorang lugu yang terpesona pada keindahan fisik saja. Ia mengaku bahwa dalam beberapa waktu terakhir ia telah dipermainkan oleh keluguan perasaannya. Tentang hubungannya bersama Colin, hal itu gila. Dia tahu dengan sangat bah
Luna memandang Devin dengan cara yang tidak biasa. Andai saja pria itu menatapnya walau sedikit, ia ingin sekali membuat pria itu berhenti berucap sesuatu yang tidak masuk akal.“Aku yang memperkosa Luna.”Tidak ada keraguan di wajah pria itu. Bahkan ketika akhirnya mereka bertukar pandang. Ia mengatakan kebohongan secara cuma-cuma tanpa memikirkan akibatnya. Luna tidak bisa menemukan alasan yang logis, ia tak tahu. Untuk apa berbohong dan melindungi seseorang yang sudah nyata bersalah atas semuanya?“Aku yang memaksa Luna. Bukan salah dia. Aku akan bertanggungjawab atas semua ya—““—Devin!”Seketika Devin meringis, tanpa perlawanan ia membiarkan sebagian besar rambutnya ditarik oleh sang ibu tiri.“Apa yang—apa yang dia lakukan sampai kau tega menyakitinya? Apa yang kau lakukan pada anakku? Jawab aku Devin!” Wanita itu berteriak sambil menangis. Ia menarik rambut Devin dengan
"Dia orangnya. Orang yang memperkosaku. Ayah dari janinku. Kak Colin."Semua orang tentu saja terkejut. Raut kekecewaan menghampiri kedua orang tua mereka. Colin, jelas sekali ekspresi wajah kesalnya terlihat. Ia mungkin mengumpat kecil, sampai akhirnya hanya bisa terkekeh kecil untuk mengungkapkan perasaannya.Kedua bahu Luna dipegang erat oleh sang ayah. Pria itu mungkin tidak sadar melakukannya, karena terlalu terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. “Colin? Colin yang— Kakakmu Colin?” Pria itu akhirnya mengeluarkan air mata yang seperti sudah lama sekali tertahan di ujung matanya. “Colin? Dia ayah dari janinmu? Kau bersungguh-sungguh?”Devin juga muak dengan kenyataan yang ia ketahui itu, perlahan ia berdiri, ikut menunjuk wajah Colin yang entah sejak kapan menjadi sangat menjengkelkan bagi semua orang.“Benar, Ayah. Colin, anak kesayangan dan kebanggaan Ayah. Dia orang yang menghamili Luna. Ayah berpikir dia a
Devin dan kedua orang tuanya berlari secepat yang mereka bisa menyusuri koridor rumah sakit setelah mereka mendapat telepon dari seseorang yang mengetahui keberadaan Luna. Bukan Colin, tentu saja. Pria itu menghilang. Mereka terengah masih dengan pakaian tidur. Walau dia yang menghilang telah ditemukan, mereka belum bisa berhenti khawatir.Devin mengenali seseorang yang sedang berdiri di depan ruang IGD. Dia mengenali orang itu sebagai orang yang pernah dilihatnya di sekolah Luna. Sang ibu juga mengenalnya. Dia yang tidak tenang, juga masih dengan baju tidur yang dilapisi cardigan panjang berwarna hijau pucat begitu lega melihat keluarga Luna sudah datang."Linda," Ibu Luna segera memimpin menghampirinya."Bibi,"Ibu Luna langsung menyerbu gadis itu dengan pertanyaan. "Bagaimana dengan Luna? Apa yang terjadi padanya?" Adalah Linda, orang yang menghubungi dan memberitahu mereka jika Luna ia bawa ke rumah sakit.Linda menggeleng sambil memel
Awal yang kurang begitu baik bagi pagi yang cerah hari ini. Luna masih belum sadar dari tidur, terlihat begitu lemah dengan luka-luka kecil di tangan dan kakinya. Mereka yang melihatnya seperti itu hanya bisa khawatir dan menunggu. Tubuh lemah itu tengah mengandung janin berusia lima minggu.Luna mesti bersyukur karena janinnya masih bisa bertahan setelah guncangan fisik dan batin yang dialaminya semalam. Diagnosa dokter adalah terlalu stres, kelelahan dan terlambat makan. Memang sangat sulit hamil di usia muda. Setidaknya mereka bersyukur tidak ada sesuatu yang menakutkan terjadi dengan ia dan janinnya.Devin menemani Luna yang masih tertidur di rumah sakit. Ia menggenggam tangannya yang dibalut perban, mencoba membuat kontak batin pada si adik agar segera bangun. Sudah bukan rahasia lagi jika Devin benar-benar menyayangi Luna. Sebagai kakak atau lebih, ia hanya ingin gadis itu tidak tersakiti lagi. Ia mungkin bukan tipe anak penurut yang selalu mendengarkan kata oran
"Ya, mereka memanggilku Ares karena aku dianggap saingan paling berat dalam perang." Tatapan pria itu sangat yakin, mencoba menaikkan harga dirinya di depan seorang wanita cantik yang sedang ia incar. "Aku suka olahraga, hobiku sepakbola tapi aku lebih sering bermain basket bersama teman-temanku. Yah, hanya bermain saja." "Bagaimana dengan keluargamu?" "Keluargaku? Hmm ... Ayahku seorang pengusaha dan aku punya kakak laki-laki yang sudah menikah." "Kau juga ingin menikah?" "Denganmu? Tentu saja." Entah sejak kapan ia memiliki keahlian menggoda wanita seperti itu, tetapi ia berkata jujur jika ia ingin segera menikah. "Daddy!" Keduanya serentak menoleh ke arah sumber suara, si kecil manis yang tiba-tiba mendekat dan memanggilnya dengan sebutan 'Daddy'. "Daddy!" Seorang gadis kecil, dengan rambut di kuncir dua, memeluk kaki si pria dengan erat. "Daddy~" "Wait? Daddy? Kau
Ballroom penuh dengan para undangan, gadis-gadis kecil dengan gaun merah muda mereka, dan juga kedua pengantin yang saling menatap di depan altar. Semua perhatian tertuju pada mereka yang saling mengucap janji. Janji suci pernikahan. "You may kiss the bride." Senyum tidak pernah hilang dari keduanya. Luna pelan-pelan mendekat, menunggu Colin untuk bertindak, apapun itu. Wajah mereka sangat dekat, semua orang menunggu ciuman pengantin mereka. Namun sudah lima detik dan keduanya belum berciuman. "Kakak akan menciumku atau tidak?" Colin tersenyum licik. "Kenapa kau bertanya? Tentu saja." Semua orang berseru seakan-akan apa yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Ciuman sederhana dari Colin, membuat semua orang senang. Colin sendiri tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Balutan jas formal berwarna putih senada dengan gaun Luna, melengkapi kisah cinta mereka yang akhirnya berakhir indah. Mereka sudah resmi m
Luna tidak bisa duduk dengan tenang. Ia terus saja menoleh ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kiri Devin. Berkali-kali ia menarik tangan sang Kakak. Jangan salahkan, dia memang sedang menunggu seseorang. Aksinya bahkan terlalu mengejutkan bagi Devin yang juga menemaninya di sana. Tangannya terus ditarik bahkan sampai ia mengaduh. "Kakak sudah menghitung waktunya dengan benar, 'kan? Apa mungkin kita datang terlalu cepat?" Gadis itu menggerutu, wajahnya masam, dan ia tak betah duduk diam. Devin benar-benar kebingungan dengan hal ini. Ia merasa Luna menjadi sering mengomel dan menggerutu belakangan ini. "Iya. Aku sudah menghitungnya dengan benar." Devin menjawabnya sedikit kesal. "Lagipula kenapa kau tidak tanya Colin saja? Kau tahu jawabannya lebih menjanjikan daripada jawabanku." "Kakak sungguh-sungguh tidak salah, kan?" Luna menepuk lengan Devin dengan keras. "Dia bukan datang besok, 'kan?" Devin seketika meringis, ia otomatis menyapu lengann
Ketiga pria itu berwajah gusar di depan ruang bersalin. Mereka berada pada mode panik, karena dilarang masuk melihat kondisi Luna. Dimas sibuk dengan ponselnya, menghubungi semua orang yang ia bisa hubungi. Devin duduk menggigit jarinya, berusaha tenang, padahal ia sangat takut. Colin? Dia berdiri di depan pintu ruang bersalin, mencuri lihat dari kaca buram yang sama sekali tidak membantu apapun. Segera setelah ketuban Luna pecah, ia menggendong Luna dan membawanya menuju ruang bersalin, mengejutkan semua orang yang sedang bersantai. Ketiga pria itu sama-sama menggila, ingin sekali masuk dan mendampingi Luna di tengah-tengah perjuangannya. "Ah! Kakak!" Mereka otomatis terkejut, sama-sama khawatir dan merasa terpanggil dengan sebutan Kakak’ yang diucapkan Luna. Tubuh Colin bergetar, ketakutannya kembali datang. Matanya mengerjap disandingi airmatanya yang tidak bisa dihentikan. "Devin," Ia bergetar memanggil nama Devin, seakan-akan ingin adiknya itu tahu apa y
Matahari belum terlihat, dua pria itu menghambur koridor panjang rumah sakit yang masih tidak begitu ramai. Seorang darinya masih dengan mata yang bengkak, rambutnya tak beraturan dan juga baju kaosnya yang mungkin terbalik. Satu lagi memilih untuk menggunakan kacamata karena jujur, matanya sangat sakit karena dia paksa terbuka. Dua pria itu berlari secepat yang mereka bisa menuju IGD di mana mereka di beri kabar bahwa Luna akan melahirkan.Dimas berdiri di tengah koridor membuat mereka tak perlu seperti orang gila mencari-cari kepastian."Di mana Luna?" Pertanyaan langsung keluar dari mulut Colin bahkan sebelum ia benar-benar berhenti berlari. Napasnya sedikit sesak, mengingat dia bersama adiknya itu melakukan sprint dari tempat parkir. "Apa dia ... baik-baik saja? Apa dia sudah ... melahirkan?"Devin juga tidak sabar, tak mau duduk karena butuh kepastian. Dia juga akan bertanya hal yang sama jika berada di posisi Colin."Maaf.""Maaf?""Ka
"Kau di mana?"Pria itu berjalan dengan senyuman. Hatinya senang sekali, berbunga-bunga hingga ia tak bisa menghilangkan senyuman itu walau sekejap. Sambil berjalan dengan santai, ia berbicara di telepon."Aku sudah di hotel. Kau di mana? Belikan aku pizza.""Aku sudah di depan pintu.""Ah, sial. Aku ingin makan."Ia tertawa kecil, kemudian meraih gagang pintu. "Kita pesan saja." Ia kemudian memutuskan panggilan dan masuk ke dalam hotel."Kak!" Devin segera menghambur diri menghampirinya. "Bagaimana tadi? Apa semuanya lancar? Apa yang mereka katakan? Ayah juga ada di sini bukan? Apa dia melakukan sesuatu padamu?”Bagai angin lalu, semua pertanyaan Devin tak ia dengarkan sama sekali. Colin tak punya niat untuk memikirkan apapun saat ini. Ia membanting tubuhnya di kasur. Tubuh lelahnya butuh istirahat. Ia segera menutup mata, merasa siap untuk mimpi indah yang ia yakini akan menyambanginya lagi setelah sekian lam
"Kalau begitu beri aku tambahan uang." Pria itu bergumul di kasurnya dengan mata mengantuk. "Jika kau bawa mobilnya maka aku akan gunakan apa? Taksi?" "Kau sudah jawab pertanyaanmu sendiri." Lawan bicaranya sibuk merapikan penampilannya di depan cermin. "Ah!" Pria di bawah selimut itu merasa kesal, hanya bisa berguling-guling di kasurnya dengan kekanakan. "Kenapa aku tidak boleh ikut?" "Bagaimana mungkin aku membiarkan kau ikut? Ini kencanku! Kau ingin menggangguku?" "Baiklah, aku tidak ikut. Tapi berikan aku kartu ATM milikmu." "Aku membutuhkannya." "Ah, kau sama sekali tidak pengertian." Colin hanya terkekeh, ia lebih memfokuskan matanya untuk menata penampilannya. Ia akan menemui Luna! Sedikit gugup dengan apa yang terjadi kemarin, namun ia tidak akan mundur. Bukan Paman Ed, bukan sang Ibu Tiri, dan bukan Dimas. Dia ingin menemui Luna. Tidak peduli apapun yang dikatakan orang-orang itu, hari ini ia akan bertemu Luna.
"Dia tidak ingin menemuimu. Kau tidak perlu menemaninya. Dia bisa melakukannya sendiri." Keraguan terlihat di wajah Dimas, ia tak yakin dengan ucapan Luna, namun tetap menyampaikan seperti yang ia katakan. "Aku sudah mencoba membujuknya, tapi dia tetap menolak untuk keluar. Dia berkata kalau dia pusing dan tidak ingin diganggu. Kau diminta untuk pulang." Colin, yang sudah terlanjur tak senang dengan Dimas, tak bisa tenang dan percaya. "Kau bercanda? Luna tidak mungkin mengatakan hal itu!" Dia yakin pria itu mengada-ada, mengucapkan sesuatu yang tidak seharusnya dan membuat Luna tak ingin menemuinya. "Aku sudah berkata sebagaimana dia memberitahuku." Nada suara Dimas sedikit lebih tinggi. Namun masih kalah tinggi dari Colin yang bagai kebakaran jenggot. "Kau menipuku. Dia tidak mungkin mengusirku! Aku ayah dari bayinya!" "Tapi dia memang menolakmu! Seharusnya kau sadari itu sebelum kau hendak membunuhnya dulu!" "Aku membunuhnya? Beraninya kau!"
Colin diam, berusaha untuk tidak mempercayai apa yang tengah disaksikannya saat ini. Ia berusaha menghentikan pikirannya untuk menarik kesimpulan, bahwa apa yang dilihat oleh matanya kali ini tidaklah nyata. Pria asing yang ia biarkan membawa beruang tadi, adalah pria yang sama yang sedang menggandeng tangan Luna sekarang. Bukan, ia sangat sulit menerima kenyataan bahwa gadis itu adalah Luna. Ia berharap orang itu bukanlah Luna. "Itu benar-benar Luna." Sayangnya Devin tidak berkehendak sama dengannya. Daripada terkejut dan sakit, Devin lebih bersemangat. "Benar. Itu Kak Dimas. Sudah pasti itu Luna. Wah kebetulan sekali! Ayo kita—" Colin segera menghentikannya. Tangannya memegang lengan Devin erat-erat. Devin memasang ekspresi penuh tanda tanya. "Ada apa?" "Pria yang bersama dia itu, siapa?" "Dia Kak Dimas. Anak Paman Ed." "Anak Paman Ed? Dia?" Devin mengangguk. Lebih dari itu ia merasa sedikit sakit pada lengannya. Genggaman Co