Luna memandang Devin dengan cara yang tidak biasa. Andai saja pria itu menatapnya walau sedikit, ia ingin sekali membuat pria itu berhenti berucap sesuatu yang tidak masuk akal.
“Aku yang memperkosa Luna.”
Tidak ada keraguan di wajah pria itu. Bahkan ketika akhirnya mereka bertukar pandang. Ia mengatakan kebohongan secara cuma-cuma tanpa memikirkan akibatnya. Luna tidak bisa menemukan alasan yang logis, ia tak tahu. Untuk apa berbohong dan melindungi seseorang yang sudah nyata bersalah atas semuanya?
“Aku yang memaksa Luna. Bukan salah dia. Aku akan bertanggungjawab atas semua ya—“
“—Devin!”
Seketika Devin meringis, tanpa perlawanan ia membiarkan sebagian besar rambutnya ditarik oleh sang ibu tiri.
“Apa yang—apa yang dia lakukan sampai kau tega menyakitinya? Apa yang kau lakukan pada anakku? Jawab aku Devin!” Wanita itu berteriak sambil menangis. Ia menarik rambut Devin dengan
"Dia orangnya. Orang yang memperkosaku. Ayah dari janinku. Kak Colin."Semua orang tentu saja terkejut. Raut kekecewaan menghampiri kedua orang tua mereka. Colin, jelas sekali ekspresi wajah kesalnya terlihat. Ia mungkin mengumpat kecil, sampai akhirnya hanya bisa terkekeh kecil untuk mengungkapkan perasaannya.Kedua bahu Luna dipegang erat oleh sang ayah. Pria itu mungkin tidak sadar melakukannya, karena terlalu terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. “Colin? Colin yang— Kakakmu Colin?” Pria itu akhirnya mengeluarkan air mata yang seperti sudah lama sekali tertahan di ujung matanya. “Colin? Dia ayah dari janinmu? Kau bersungguh-sungguh?”Devin juga muak dengan kenyataan yang ia ketahui itu, perlahan ia berdiri, ikut menunjuk wajah Colin yang entah sejak kapan menjadi sangat menjengkelkan bagi semua orang.“Benar, Ayah. Colin, anak kesayangan dan kebanggaan Ayah. Dia orang yang menghamili Luna. Ayah berpikir dia a
Devin dan kedua orang tuanya berlari secepat yang mereka bisa menyusuri koridor rumah sakit setelah mereka mendapat telepon dari seseorang yang mengetahui keberadaan Luna. Bukan Colin, tentu saja. Pria itu menghilang. Mereka terengah masih dengan pakaian tidur. Walau dia yang menghilang telah ditemukan, mereka belum bisa berhenti khawatir.Devin mengenali seseorang yang sedang berdiri di depan ruang IGD. Dia mengenali orang itu sebagai orang yang pernah dilihatnya di sekolah Luna. Sang ibu juga mengenalnya. Dia yang tidak tenang, juga masih dengan baju tidur yang dilapisi cardigan panjang berwarna hijau pucat begitu lega melihat keluarga Luna sudah datang."Linda," Ibu Luna segera memimpin menghampirinya."Bibi,"Ibu Luna langsung menyerbu gadis itu dengan pertanyaan. "Bagaimana dengan Luna? Apa yang terjadi padanya?" Adalah Linda, orang yang menghubungi dan memberitahu mereka jika Luna ia bawa ke rumah sakit.Linda menggeleng sambil memel
Awal yang kurang begitu baik bagi pagi yang cerah hari ini. Luna masih belum sadar dari tidur, terlihat begitu lemah dengan luka-luka kecil di tangan dan kakinya. Mereka yang melihatnya seperti itu hanya bisa khawatir dan menunggu. Tubuh lemah itu tengah mengandung janin berusia lima minggu.Luna mesti bersyukur karena janinnya masih bisa bertahan setelah guncangan fisik dan batin yang dialaminya semalam. Diagnosa dokter adalah terlalu stres, kelelahan dan terlambat makan. Memang sangat sulit hamil di usia muda. Setidaknya mereka bersyukur tidak ada sesuatu yang menakutkan terjadi dengan ia dan janinnya.Devin menemani Luna yang masih tertidur di rumah sakit. Ia menggenggam tangannya yang dibalut perban, mencoba membuat kontak batin pada si adik agar segera bangun. Sudah bukan rahasia lagi jika Devin benar-benar menyayangi Luna. Sebagai kakak atau lebih, ia hanya ingin gadis itu tidak tersakiti lagi. Ia mungkin bukan tipe anak penurut yang selalu mendengarkan kata oran
"Lalu, janin sialan itu, apa sudah musnah?"Ketakutan Luna pada pria itu bukan tanpa alasan. Cara dia menatap seraya mengucapkan kalimat sekejam itu sangatlah mengerikan. Kata-katanya tak disaring, bagaikan petir yang langsung menghantam hati. Luna hanya meremas selimutnya, ia tak berani memandang pria itu lebih lama. Ia ingin sekali menangis dan berteriak meminta bantuan, hanya saja tak punya keberanian. Ia gemetar, hanya dengan berada dalam ruangan bersama pria tu."Belum, ya?" Colin menjawab pertanyaannya sendiri. Ia kecewa, walau raut wajahnya cenderung terlihat senang. "Aku membiarkanmu kabur, karena aku berpikir kau mungkin keguguran karena itu. Tapi ternyata tidak. Dia kuat juga, ya?" Pria itu bicara sendiri, dia tertawa seakan pembicaraan sepihak ini adalah lelucon.Luna tak habis pikir, di mana logika pria ini? Atas dasar apa dia berpikiran segila itu? Ia mempertanyakan kecerdasan yang selalu dipuji sang Ayah. Karakter Colin sangatlah jomplang, antara k
Terasa sulit untuk melangkahkan kaki. Jangankan untuk menjauh, membawa diri sedikit untuk jarak yang sedikit saja ia seakan-akan tak sanggup. Kakinya terasa lunglai, ia lemas. Napasnya sulit, namun bukan karena terdapat masalah pada tubuhnya. Tujuan yang seharusnya berada sejauh mungkin hanya berakhir pada sebuah kursi pada koridor kosong yang hanya berjarak kurang dari sepuluh meter dari ruangan Luna. Kepalanya tersandar pada tembok, terasa pening dengan masalah yang membuat urat-urat bermunculan. Ia ingin marah. Ia merasa hancur. Ia ingin merobohkan dinding yang terlalu kokoh, dirundung rasa iri karena tak bisa menata hati sekeras benda itu. Air mata mungkin bisa mengurangi rasa sakit, namun tidak ada yang bisa ia keluarkan. Perasaan buruk memupuk dalam dada menyisakan sesak dan perih. Semua tak pernah berjalan baik untuknya. Sebuah cobaan yang tak kunjung berhenti datang tanpa alasan. Ibunya, orang yang melahirkannya ke dunia telah pergi, segera setelah ia lahir.
Perjalanan pulang tanpa diduga tidak berlangsung senyap. Luna, Sang Ibu, dan Devin mengunci mulut mereka dengan rapat. Satu-satunya orang yang sedang bersuara saat ini adalah si pengemudi. Dia mengejutkan semua orang dengan bersenandung santai mengikuti lagu yang ia putar di mobilnya. Para penonton terpana, tidak pernah menyangka pemandangan ini adalah kenyataan; terutama bagi Devin.Colin, pria dingin dengan reputasi buruk, seorang melankolis dengan pola pikir yang tak bisa diduga-duga, tengah bersenandung ria. Devin tak bisa berhenti meliriknya, terkejut dengan sebuah perbedaan ini. Meski hubungan di antara mereka tidak baik, ia tahu bahwa hal ini adalah sesuatu yang berbeda.Belum sampai di situ, perbedaan yang mengejutkan juga ditunjukkan oleh Colin tadi. Posisi duduk mereka saat ini adalah idenya. Luna, ia biarkan duduk di kursi belakang bersama ibunya, sedangkan Devin berada di kursi depan.“Biarkan Luna bersama Ibu. Jika dia merasa sesuatu yang tida
Devin sama sekali tidak bisa menenangkan hatinya walau sebentar. Ia sungguh khawatir, saat mendorong troli mengelilingi rak bahan makanan. Setiap ada kesempatan, ia menoleh ke arah pintu masuk, mencari-cari keberadaan mobil si Colin dan memastikan mereka masih di tempat yang sama. Ketakutannya bukan tak berdasar. Ia tak ingin Colin berulah lagi. Dia merasa mengenal baik sang kakak hingga tahu perubahan drastis itu bukanlah sesuatu yang baik. Ia tak ingin lelaki gila itu membawa Luna kabur dan mencoba menyakiti dia dan janinnya.Sialan, ia mengumpat pelan ketika pikiran yang tak bisa terkendali itu memberikan visualisasi dari ketakutan yang ia alami. Dia tidak akan bisa tenang, sampai ia memastikan Luna baik-baik saja. Jika terjadi sesuatu, ia tak akan segan membunuh si Colin itu.Devin mempercepat langkahnya untuk menuju tempat parkir setelah tak tahan menunggu lebih lama. Ia mungkin sedikit menjaga harga diri, terlihat tenang di luar. Namun ekspresinya tak bisa menipu
"Lalu bagaimana dengan perasaanku? Tidakkah kau peduli dengan perasaanku? Melihatmu seharian bersamanya, kau tidak ingin tahu perasaanku? Aku cemburu, Luna. Aku cemburu."Luna dan Devin saling menatap."Tidakkah kau memikirkan perasaanku?""Kak, bukankah sudah aku katakan aku ingin—""Tidak semudah itu! Aku tidak mungkin secepat itu melupakan perasaanku padamu."Luna membuang wajahnya, tak mau menatap Devin. Jika ia terus melakukan itu, hal yang pasti adalah ia akan menangis lagi. Tidak boleh ada tangis lagi. Dia tidak mau menangis lagi. Terutama di hadapan Devin. "Maaf, Kak. Aku membuat Kakak merasa tidak nyaman. Kalau begitu aku ingin ke kamar saja. Selamat malam."Tanpa menatap Devin, Luna melangkah pergi meninggalkan pria itu sendiri di depan pintu. Bagaimanapun perasaan Devin padanya, ia tidak akan pernah bisa membalas perasaan itu. Dia hanya akan menyakiti Devin jika memberi harapan padanya. Harapan tentang betapa perasaan itu ak