Perjalanan pulang tanpa diduga tidak berlangsung senyap. Luna, Sang Ibu, dan Devin mengunci mulut mereka dengan rapat. Satu-satunya orang yang sedang bersuara saat ini adalah si pengemudi. Dia mengejutkan semua orang dengan bersenandung santai mengikuti lagu yang ia putar di mobilnya. Para penonton terpana, tidak pernah menyangka pemandangan ini adalah kenyataan; terutama bagi Devin.
Colin, pria dingin dengan reputasi buruk, seorang melankolis dengan pola pikir yang tak bisa diduga-duga, tengah bersenandung ria. Devin tak bisa berhenti meliriknya, terkejut dengan sebuah perbedaan ini. Meski hubungan di antara mereka tidak baik, ia tahu bahwa hal ini adalah sesuatu yang berbeda.
Belum sampai di situ, perbedaan yang mengejutkan juga ditunjukkan oleh Colin tadi. Posisi duduk mereka saat ini adalah idenya. Luna, ia biarkan duduk di kursi belakang bersama ibunya, sedangkan Devin berada di kursi depan.
“Biarkan Luna bersama Ibu. Jika dia merasa sesuatu yang tida
Devin sama sekali tidak bisa menenangkan hatinya walau sebentar. Ia sungguh khawatir, saat mendorong troli mengelilingi rak bahan makanan. Setiap ada kesempatan, ia menoleh ke arah pintu masuk, mencari-cari keberadaan mobil si Colin dan memastikan mereka masih di tempat yang sama. Ketakutannya bukan tak berdasar. Ia tak ingin Colin berulah lagi. Dia merasa mengenal baik sang kakak hingga tahu perubahan drastis itu bukanlah sesuatu yang baik. Ia tak ingin lelaki gila itu membawa Luna kabur dan mencoba menyakiti dia dan janinnya.Sialan, ia mengumpat pelan ketika pikiran yang tak bisa terkendali itu memberikan visualisasi dari ketakutan yang ia alami. Dia tidak akan bisa tenang, sampai ia memastikan Luna baik-baik saja. Jika terjadi sesuatu, ia tak akan segan membunuh si Colin itu.Devin mempercepat langkahnya untuk menuju tempat parkir setelah tak tahan menunggu lebih lama. Ia mungkin sedikit menjaga harga diri, terlihat tenang di luar. Namun ekspresinya tak bisa menipu
"Lalu bagaimana dengan perasaanku? Tidakkah kau peduli dengan perasaanku? Melihatmu seharian bersamanya, kau tidak ingin tahu perasaanku? Aku cemburu, Luna. Aku cemburu."Luna dan Devin saling menatap."Tidakkah kau memikirkan perasaanku?""Kak, bukankah sudah aku katakan aku ingin—""Tidak semudah itu! Aku tidak mungkin secepat itu melupakan perasaanku padamu."Luna membuang wajahnya, tak mau menatap Devin. Jika ia terus melakukan itu, hal yang pasti adalah ia akan menangis lagi. Tidak boleh ada tangis lagi. Dia tidak mau menangis lagi. Terutama di hadapan Devin. "Maaf, Kak. Aku membuat Kakak merasa tidak nyaman. Kalau begitu aku ingin ke kamar saja. Selamat malam."Tanpa menatap Devin, Luna melangkah pergi meninggalkan pria itu sendiri di depan pintu. Bagaimanapun perasaan Devin padanya, ia tidak akan pernah bisa membalas perasaan itu. Dia hanya akan menyakiti Devin jika memberi harapan padanya. Harapan tentang betapa perasaan itu ak
Matahari sore bersinar cerah hari ini, walaupun tidak begitu terik lagi dan juga eksistensinya tidak sepenuh tadi siang. Cahaya berwarna putih yang terbias seakan-akan berwarna oranye itu benar-benar menghangatkan, membawa suasana siapapun yang berada di bawahnya terasa begitu nyaman.Colin memarkir mobilnya di lapangan parkir sebuah pusat perbelanjaan. Mereka memutuskan untuk melakukan kencan pertama di sini. Sebenarnya Luna memilih tempat yang sedikit kekanakan bagi Colin—taman bermain, tetapi mereka tidak jadi pergi ke sana dengan alasan sudah hampir tutup. Tidak ideal datang ke sana di waktu sesore ini.Sepanjang perjalanan, mereka sudah merencanakan agenda kencan hari ini. Pertama, menonton film di bioskop. Setelah itu, makan malam di salah satu restoran. Lalu, mereka akan berbelanja sesuatu. Colin berkata ia harus membeli beberapa barang dan menginginkan Luna untuk menemaninya. Rencana ini lekas disetujui oleh keduanya dan mereka langsung meluncur menuju bi
Devin turun dari kamarnya menuju ruang makan setelah mendengar ketukan dari sang ibu untuk makan malam. Ia seharian mengurung diri di kamar karena ia sama sekali tidak punya niat untuk pergi ke manapun. Ia masih merasa resah sejak semalam. Soal keretakan hubungannya dengan Luna, ia begitu merasa terbebani. Ia membuat Luna membencinya karena kecurigaan dan ketidakpercayaannya pada Colin yang berlebihan. Dan soal cemburu itu, dia seakan menyesal mengatakannya. Itu adalah senjata makan tuan. Hal yang akan sangat menyakitkan jika terus disimpan, tetapi akan lebih menyakitkan lagi setelah diungkapkan: cemburu.Ia berkali-kali menoleh ke belakang, mencari sosok Luna yang ia tidak lihat seharian. Ia berharap di makan malam kali ini bisa melihatnya. Satu hari tidak melihatnya saja, ia merindukannya. Dia yang mulai menjauh karena kesalahan yang ia perbuat sendiri.Devin sampai di meja makan dengan disuguhi makanan lezat buatan ibunya yang sangat menggugah selera, setidaknya bag
Satu ciuman saja. Hanya dengan sebuah ciuman sederhana yang mendarat di pipinya, ia merasa begitu senang. Padahal, jika dibandingkan dengan semua pengalaman dan apa yang terjadi, ciuman seperti itu bukanlah apa-apa. Tetapi entah mengapa Devin menjadi sangat bersemangat karenanya.Ada dua arti yang mungkin. Pertama: ‘Terima kasih, Kak. Aku juga mencintaimu.’ Kedua: ‘Ini untuk terakhirnya. Lupakan aku’.Luna mungkin mau menciumnya, bukan karena ia menaruh harapan padanya. Tapi karena ia ingin harapan itu segera berakhir. Ia mengabulkan permintaan yang ia anggap sebagai permintaan terakhir sebagai pria yang mencintainya. Menyedihkan jika memikirkan kemungkinan itu adalah kenyataan yang sebenarnya. Tapi, setidaknya itu ciuman itu berhasil membuat Devin terus saja gagal menutup matanya.Acara menonton film tengah malam ia batalkan. Cupcake tadi sudah ia telan hingga tiada tersisa, bahkan hingga ia tidak sadar menguny
Luna masih mengingat bagaimana bagusnya bentuk mobil baru Devin. Begitu keren dan sangat bergaya. Tetapi yang ia lihat sekarang? Ia bahkan tidak ingin mengingatnya. Hatinya begitu sakit. Jika ia tahu, ia tidak akan meninggalkan Devin sendiri. Ia sangat menyesal membiarkan Devin sendiri di makam dan berakhir seperti ini. "Bagaimana bisa?" Colin sedang menelepon di sampingnya. Entah siapa yang ia hubungi, ia terdengar sangat marah. Mereka berdua sampai lebih dulu di rumah sakit dan sekarang Devin sedang berada di IGD. "Sial." Colin membanting tubuhnya di kursi menahan kesal. Rambutnya sudah berantakan sejak tadi karena terlalu sering diacak. Luna menangis di kursi tunggu ruang IGD, memegangi ponsel Devin yang layarnya tampak pecah karena terjatuh atau mungkin lainnya. Ia tidak habis pikir, mengapa Devin bisa melakukan itu, menabrak pembatas jalan padahal saat itu tidak ada mobil lain di jalur yang sama. Kecelakaan tunggal yang masih belum diketahui penyebabnya.
"Cepat!" "Aku tidak mau!" "Luna! Dengarkan apa yang aku perintahkan!" Colin terus saja berusaha menarik Luna untuk ikut dengannya. Gadis itu memcoba menarik tubuhnya ke arah yang berlawanan, namun ia tak sanggup dan berakhir kehilangan keseimbangan. Dengan mudah dirinya terseret mengikuti langkah Colin yang begitu tak sabar mencapai tempat tujuannya. "Tidak mau! Kak! Aku ingin kembali ke rumah sakit! Aku tidak mau membiarkan Kak Devin sendirian." Colin mengacak rambutnya asal, polesan pomade sudah hilang dari sana. "Lagi-lagi anak sialan itu. Berhenti memikirkan dia dan cepat ikuti aku!" Luna menolak dan meringis di saat yang bersamaan. Bukan tidak mungkin kulit lengannya sudah berubah warna saat ini. Colin memaksanya untuk ikut ke apartemen. Ia merasa jika ia ikut, ia akan berakhir diperkosa lagi. Tatapan pria sekarang benar-benar sama seperti orang gila. Dia seakan-akan kembali menjadi Hyde setelah lama tertidur dalam tubuh Jekyll.
Gadis itu mengumpat tak henti-hentinya di antara jalan yang macet. Jemarinya mengetuk kemudi mobil tak sabar. Ia tak peduli lagi dengan cat kuku jarinya yang mungkin rusak dan terkelupas, ia sangat panik. Tanpa sadar ia berkeringat hebat dan sangat tidak tenang. Ia merutuk karena orang yang sedang ia coba hubungi tak juga menjawab panggilannya. "Ah, sial. Luna, jawablah panggilanku!" Ia memukul keras kemudinya frustrasi. Ia merasa bersalah sekaligus khawatir karena sejak tadi orang yang ia coba hubungi tidak kunjung menjawab panggilannya. Sudah sejak sepuluh menit tadi ia mencoba menghubungi Luna, namun tidak ada satupun panggilannya yang terjawab. "Luna! kau ini pergi ke mana?" Entah sudah berapa kali kemudi mobilnya menjadi sasaran empuk kekesalan yang menjadi. Luna begitu membuatnya bersalah hingga perjalanan pulang yang seharusnya sudah berakhir masih saja berlanjut. Ia kehabisan ide untuk mencoba menghubungi Luna. Bahkan ponsel Devin—yang sebelumnya teru