Matahari sore bersinar cerah hari ini, walaupun tidak begitu terik lagi dan juga eksistensinya tidak sepenuh tadi siang. Cahaya berwarna putih yang terbias seakan-akan berwarna oranye itu benar-benar menghangatkan, membawa suasana siapapun yang berada di bawahnya terasa begitu nyaman.
Colin memarkir mobilnya di lapangan parkir sebuah pusat perbelanjaan. Mereka memutuskan untuk melakukan kencan pertama di sini. Sebenarnya Luna memilih tempat yang sedikit kekanakan bagi Colin—taman bermain, tetapi mereka tidak jadi pergi ke sana dengan alasan sudah hampir tutup. Tidak ideal datang ke sana di waktu sesore ini.
Sepanjang perjalanan, mereka sudah merencanakan agenda kencan hari ini. Pertama, menonton film di bioskop. Setelah itu, makan malam di salah satu restoran. Lalu, mereka akan berbelanja sesuatu. Colin berkata ia harus membeli beberapa barang dan menginginkan Luna untuk menemaninya. Rencana ini lekas disetujui oleh keduanya dan mereka langsung meluncur menuju bi
Devin turun dari kamarnya menuju ruang makan setelah mendengar ketukan dari sang ibu untuk makan malam. Ia seharian mengurung diri di kamar karena ia sama sekali tidak punya niat untuk pergi ke manapun. Ia masih merasa resah sejak semalam. Soal keretakan hubungannya dengan Luna, ia begitu merasa terbebani. Ia membuat Luna membencinya karena kecurigaan dan ketidakpercayaannya pada Colin yang berlebihan. Dan soal cemburu itu, dia seakan menyesal mengatakannya. Itu adalah senjata makan tuan. Hal yang akan sangat menyakitkan jika terus disimpan, tetapi akan lebih menyakitkan lagi setelah diungkapkan: cemburu.Ia berkali-kali menoleh ke belakang, mencari sosok Luna yang ia tidak lihat seharian. Ia berharap di makan malam kali ini bisa melihatnya. Satu hari tidak melihatnya saja, ia merindukannya. Dia yang mulai menjauh karena kesalahan yang ia perbuat sendiri.Devin sampai di meja makan dengan disuguhi makanan lezat buatan ibunya yang sangat menggugah selera, setidaknya bag
Satu ciuman saja. Hanya dengan sebuah ciuman sederhana yang mendarat di pipinya, ia merasa begitu senang. Padahal, jika dibandingkan dengan semua pengalaman dan apa yang terjadi, ciuman seperti itu bukanlah apa-apa. Tetapi entah mengapa Devin menjadi sangat bersemangat karenanya.Ada dua arti yang mungkin. Pertama: ‘Terima kasih, Kak. Aku juga mencintaimu.’ Kedua: ‘Ini untuk terakhirnya. Lupakan aku’.Luna mungkin mau menciumnya, bukan karena ia menaruh harapan padanya. Tapi karena ia ingin harapan itu segera berakhir. Ia mengabulkan permintaan yang ia anggap sebagai permintaan terakhir sebagai pria yang mencintainya. Menyedihkan jika memikirkan kemungkinan itu adalah kenyataan yang sebenarnya. Tapi, setidaknya itu ciuman itu berhasil membuat Devin terus saja gagal menutup matanya.Acara menonton film tengah malam ia batalkan. Cupcake tadi sudah ia telan hingga tiada tersisa, bahkan hingga ia tidak sadar menguny
Luna masih mengingat bagaimana bagusnya bentuk mobil baru Devin. Begitu keren dan sangat bergaya. Tetapi yang ia lihat sekarang? Ia bahkan tidak ingin mengingatnya. Hatinya begitu sakit. Jika ia tahu, ia tidak akan meninggalkan Devin sendiri. Ia sangat menyesal membiarkan Devin sendiri di makam dan berakhir seperti ini. "Bagaimana bisa?" Colin sedang menelepon di sampingnya. Entah siapa yang ia hubungi, ia terdengar sangat marah. Mereka berdua sampai lebih dulu di rumah sakit dan sekarang Devin sedang berada di IGD. "Sial." Colin membanting tubuhnya di kursi menahan kesal. Rambutnya sudah berantakan sejak tadi karena terlalu sering diacak. Luna menangis di kursi tunggu ruang IGD, memegangi ponsel Devin yang layarnya tampak pecah karena terjatuh atau mungkin lainnya. Ia tidak habis pikir, mengapa Devin bisa melakukan itu, menabrak pembatas jalan padahal saat itu tidak ada mobil lain di jalur yang sama. Kecelakaan tunggal yang masih belum diketahui penyebabnya.
"Cepat!" "Aku tidak mau!" "Luna! Dengarkan apa yang aku perintahkan!" Colin terus saja berusaha menarik Luna untuk ikut dengannya. Gadis itu memcoba menarik tubuhnya ke arah yang berlawanan, namun ia tak sanggup dan berakhir kehilangan keseimbangan. Dengan mudah dirinya terseret mengikuti langkah Colin yang begitu tak sabar mencapai tempat tujuannya. "Tidak mau! Kak! Aku ingin kembali ke rumah sakit! Aku tidak mau membiarkan Kak Devin sendirian." Colin mengacak rambutnya asal, polesan pomade sudah hilang dari sana. "Lagi-lagi anak sialan itu. Berhenti memikirkan dia dan cepat ikuti aku!" Luna menolak dan meringis di saat yang bersamaan. Bukan tidak mungkin kulit lengannya sudah berubah warna saat ini. Colin memaksanya untuk ikut ke apartemen. Ia merasa jika ia ikut, ia akan berakhir diperkosa lagi. Tatapan pria sekarang benar-benar sama seperti orang gila. Dia seakan-akan kembali menjadi Hyde setelah lama tertidur dalam tubuh Jekyll.
Gadis itu mengumpat tak henti-hentinya di antara jalan yang macet. Jemarinya mengetuk kemudi mobil tak sabar. Ia tak peduli lagi dengan cat kuku jarinya yang mungkin rusak dan terkelupas, ia sangat panik. Tanpa sadar ia berkeringat hebat dan sangat tidak tenang. Ia merutuk karena orang yang sedang ia coba hubungi tak juga menjawab panggilannya. "Ah, sial. Luna, jawablah panggilanku!" Ia memukul keras kemudinya frustrasi. Ia merasa bersalah sekaligus khawatir karena sejak tadi orang yang ia coba hubungi tidak kunjung menjawab panggilannya. Sudah sejak sepuluh menit tadi ia mencoba menghubungi Luna, namun tidak ada satupun panggilannya yang terjawab. "Luna! kau ini pergi ke mana?" Entah sudah berapa kali kemudi mobilnya menjadi sasaran empuk kekesalan yang menjadi. Luna begitu membuatnya bersalah hingga perjalanan pulang yang seharusnya sudah berakhir masih saja berlanjut. Ia kehabisan ide untuk mencoba menghubungi Luna. Bahkan ponsel Devin—yang sebelumnya teru
Kaki itu masih terasa nyeri karena terkena pecahan kaca dan juga bagian depan mobil yang ringsek karena tertabrak pembatas jalan. Namun apalah rasa sakit itu, seseorang sedang dalam bahaya. Ia tidak peduli dengan betapa dinginnya malam ini. Ia tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang sangat heran dengan penampilannya. Ia tidak peduli dengan rasa sakit yang masih terus-terusan menghampiri seluruh tubuhnya. Luna. Hanya Luna yang saat ini ia pedulikan. Ia sudah terbangun saat Colin datang ke rumah sakit. Ia sudah terbangun saat Luna dan Linda menelepon saksi yang menemukannya. Ia sudah terbangun untuk mengetahui kenyataan yang terjadi. Semua tentang siapa pemilik bunga yang membuatnya begitu penasaran, alasan mengapa mobil barunya bisa mengalami kerusakan pada rem, dan bagaimana seorang Colin menipu semua orang dan mencoba membunuhnya. Dia sudah tahu semuanya. Perasaannya mengatakan Luna akan berada di tempat tinggal Colin. Entah atas dasar apa ia berpikir s
"Ernest! Jawab aku!" Wanita itu sangat tidak bisa menahan dirinya sendiri. Ia memegangi dahinya dan mengacak pinggang dengan wajah tak sabar. "Kau berkata dia tidak akan berulah semacam ini!" Ia sangat frustrasi sampai menggigiti ujung kukunya tak sadar. "Sekarang bahkan mereka berdua tidak ada! Ernest!" "Diamlah sebentar, aku sedang coba menghubunginya." "Dia bahkan tidak menjawab panggilanmu sejak tadi! Cepat panggil polisi!" "Jangan lapor polisi! Biarkan aku yang mengatasinya." "Mengatasi apa? Dia sudah melewati batas! Bisa saja dia ingin melukai Luna dan Dev—" "—Nadia! Tenanglah. Tidak akan terjadi apa-apa pada mereka." Dua suami istri itu berwajah panik menatapi ruangan kosong yang ditinggalkan oleh penghuninya itu. "Tidak akan terjadi apa-apa? Anakku bahkan hamil, harus terluka karena perilaku kedua anakmu. Bagaimana aku bisa tenang? Ini sudah terlalu sering!" "Aku mengerti, Nadia. Tenanglah sebentar. Aku tidak ak
"Kakak?" “Luna?” Devin hampir tak bisa berdiri, ia bertumpu pada pelukan Luna untuk tetap pada posisinya. Matanya basah, berkunang-kunang dan tak bisa fokus. Namun senyuman ia berikan tatkala mendengarkan suara gadis itu. Ia menyadari pelukannya, begitu senang karena ia berhasil sampai dan menemukan gadis itu dengan keadaan yang baik. Dugaannya tepat, Luna berada di apartemen Colin. "Kakak ... Kakak sedang apa di sini?" Namun kesenangan yang dirasakannya tak berlangsung lama, hatinya sakit ketika mendengar suara Luna yang serak. Jelas sekali ia habis menangis. Devin membersihkan air di sekitar matanya agar bisa melihat dengan baik. Ketika ia berhasil, ia semakin sedih. Mata gadis itu sembap, bahkan ada bekas linangan air mata di sudutnya. Tidak sampai di sana, Devin menemukan sebuah luka dengan darah mengering di sisi bibirnya. "Bukankah Kakak masih sakit? Kakak kenapa ada di sini?" "K—kau... kau tidak apa-apa? Ada apa dengan bibirmu?"