"Ernest! Jawab aku!" Wanita itu sangat tidak bisa menahan dirinya sendiri. Ia memegangi dahinya dan mengacak pinggang dengan wajah tak sabar. "Kau berkata dia tidak akan berulah semacam ini!" Ia sangat frustrasi sampai menggigiti ujung kukunya tak sadar. "Sekarang bahkan mereka berdua tidak ada! Ernest!"
"Diamlah sebentar, aku sedang coba menghubunginya."
"Dia bahkan tidak menjawab panggilanmu sejak tadi! Cepat panggil polisi!"
"Jangan lapor polisi! Biarkan aku yang mengatasinya."
"Mengatasi apa? Dia sudah melewati batas! Bisa saja dia ingin melukai Luna dan Dev—"
"—Nadia! Tenanglah. Tidak akan terjadi apa-apa pada mereka."
Dua suami istri itu berwajah panik menatapi ruangan kosong yang ditinggalkan oleh penghuninya itu.
"Tidak akan terjadi apa-apa? Anakku bahkan hamil, harus terluka karena perilaku kedua anakmu. Bagaimana aku bisa tenang? Ini sudah terlalu sering!"
"Aku mengerti, Nadia. Tenanglah sebentar. Aku tidak ak
"Kakak?" “Luna?” Devin hampir tak bisa berdiri, ia bertumpu pada pelukan Luna untuk tetap pada posisinya. Matanya basah, berkunang-kunang dan tak bisa fokus. Namun senyuman ia berikan tatkala mendengarkan suara gadis itu. Ia menyadari pelukannya, begitu senang karena ia berhasil sampai dan menemukan gadis itu dengan keadaan yang baik. Dugaannya tepat, Luna berada di apartemen Colin. "Kakak ... Kakak sedang apa di sini?" Namun kesenangan yang dirasakannya tak berlangsung lama, hatinya sakit ketika mendengar suara Luna yang serak. Jelas sekali ia habis menangis. Devin membersihkan air di sekitar matanya agar bisa melihat dengan baik. Ketika ia berhasil, ia semakin sedih. Mata gadis itu sembap, bahkan ada bekas linangan air mata di sudutnya. Tidak sampai di sana, Devin menemukan sebuah luka dengan darah mengering di sisi bibirnya. "Bukankah Kakak masih sakit? Kakak kenapa ada di sini?" "K—kau... kau tidak apa-apa? Ada apa dengan bibirmu?"
"Kakak!"....."Kakak, aku mohon… Kakak! Buka pintunya! Kakak!"Teriakan Luna terdengar hingga sepanjang koridor, memancing seseorang untuk keluar di antara keributan yang ia buat. Di apartemen ini, Colin tidak punya begitu banyak tetangga, terutama di lantai atas seperti itu. Hanya seorang pemuda yang terlihat tidak lebih tua darinya yang keluar karena mendengar keributan di kawasan tempat tinggalnya."Kakak!"Luna bahkan tidak menyadari jika ia telah membuat keributan, membiarkan telapak tangannya semerah buah apel segar karena terus saja menampar pintu apartemen Colin. Ia menangis minta di bukakan pintu. Teriakannya akan semakin keras saat telinganya mendengar sesuatu yang tidak ia inginkan: rintihan Devin."Kakak! Buka pintunya!""Permisi." Seseorang mendekat dan mencoba mencari tahu, namun Luna mengabaikannya. "Pe-permisi." Ada beberapa titik di mana orang itu menjadi enggan karena terkejut
Dua buah ambulan datang bersamaan. Seketika IGD menjadi ramai karena suara dua ambulan ini memanggili banyak perawat dan dokter untuk datang menerima dua pasien baru. Lebih tepatnya, satu pasien baru dan satu pasien lama yang kabur dari rumah sakit. Keduanya langsung dikurung di dalam ruang darurat, bersama dengan para dokter yang langsung menangani keduanya yang penuh luka dan darah.Luna berdiri sambil menangis saat ia langsung diusir pergi meninggalkan ruangan. Kepalanya pening tiap kali mengingat kejadian demi kejadian yang telah terjadi. Ia merasa sakit sekali, saat melihat Colin, dia tidak bergerak. Matanya tertutup rapat, seakan-akan nyawa sudah tak lagi memberikan kesempatan untuk meeka membuka kembali. Ia tak mampu menahan tangisannya sendiri, selalu terbayang bagaimana penampakan wajah orang yang ia cintai dipenuhi darah. Bahkan telapak tangannya saat ini berlumuran darah pria itu. Bekas darah itu sudah di sana, sebagian besar juga karena dirinya.Luna mengum
"K—kau …." Mulutnya membisu, kehilangan fungsi beberapa saat tatkala tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. "K-kau ingin pergi ke mana?" Ia terbata, tak bisa bertanya lebih banyak karena lidahnya terasa kelu.Genggaman Devin pada kruk di tangannya gemetar. Meski pertanyaannya tak digubris, ia sudah lebih dulu dapat menduga jawabannya. Tetapi ia tak suka dengan jawaban itu. Ia tak suka dengan kemungkinan yang ia pikirkan. Ia tak siap dengan pertemuan yang seperti ini.Gadis itu tersenyum basi, tampak ia juga tidak siap dengan pertemuan ini. Ia membeku dalam posisinya, membuang pandangan tak ingin menatap mata Devin."Lu-Luna?" Menyebut nama gadis itu saja tenggorokan Devin terasa kering. Ia perlahan bergerak mendekat, menggerakkan kedua kakinya dengan susah payah untuk meraih jemari gadis itu. Jemari-jemari yang gemetar ragu mengenggam sebuah koper. “Hei, kau ingin pergi ke mana?”"Kakak ada di sini?" Perasaan bercampur kar
Aku membencimu. . . . . . Aku tidak ingin bertemu denganmu lagi. . . . . . Kau adalah mimpi buruk bagiku. . . . . . Aku tidak mencintaimu. "Tidak! Jangan pernah katakan itu. Jangan pernah katakan kau membenciku. Jangan pernah katakan kau tidak mencintaiku setelah apa yang kau lakukan terhadapku. Aku mencintaimu lebih dari apapun. Aku mencintaimu dengan segala hidupku. Aku tidak mampu hidup tanpamu. Kau membuatku cacat tanpa adanya kau di sisiku. Jangan pernah ucapkan itu lagi. Aku sangat tidak ingin mendengarnya. Aku sangat tidak ingin mendengarnya!" . . . . . Pria itu membuka mata cepat atas reaksi terhadap sesuatu ya
What is your worst nightmare? Apa mimpi terburukmu? Mimpi terburuk bagiku adalah sesuatu yang disebut sebagai karma. Karma, adalah ketika apa yang selama ini kau lakukan pada orang lain hingga sakit, telah berbalik pada dirimu sendiri hingga rasanya lebih sakit. Ini adalah karma bagiku: hidup tanpanya. Rasanya sakit, saat menjalani hari tanpanya dan dipenuhi rasa bersalah semacam ini. Jangankan bisa bertemu dengannya, aku sama sekali tidak mendengar satupun kabar tentang dia. Bagaimana keadaannya, apakah dia sehat, di mana dia tinggal, bahkan bagaimana keadaan calon anak kami. Aku tak tahu apapun. Mereka merahasiakan semuanya dariku. Aku merasa aku sangat berhak untuk tahu. Mereka berdua tanggung jawabku. Tetapi aku sama sekali tidak dipercaya. Mereka tidak percaya padaku. Mereka tidak percaya jika aku akan berubah untuknya. Seperti yang aku katakan, aku terkena karma atas perlakuanku sendiri. Mereka menghukumku dengan ketidaktahuan ini. Aku
Semilir angin yang sejuk masih ia nikmati dengan tenang, damai dan tenteram sampai suara ponselnya memecah keheningan. Colin, yang saat ini tengah berbaring di atas rerumputan di sebelah makan ibunya itu beralih duduk, mengambil ponselnya yang sudah sejak 5 detik lalu berdering dalam saku mantelnya. Sebenarnya, dalam hati pria itu berniat untuk tidak menjawab panggilan siapapun saat ini. Namun nama yang tertera di layar ponselnya membuatnya tertarik untuk menerima telepon dan melupakan niatnya. Devin. "Halo? Kak!" Colin menarik napas panjang sebelum akhirnya memberikan respon. "Ada apa? Apa ada masalah?" "Apa-apaan? Apa menurutmu aku hanya meneleponmu saat ada masalah?" Ujung bibir Colin naik sedikit. Benar juga apa yang Devin katakan. "Lalu apa? Tidak biasanya kau menghubungiku hanya untuk basa-basi." "Ah, kau ini. Seperti wanita saja. Apa kau sibuk?" "Iya." "Kau sudah makan siang? Mau ma
Aku berjalan keluar kelas dengan perasaan senang. Pasalnya, sebuah surel baru saja masuk ke ponselku dan isinya membuatku sangat gembira hingga ke ubun-ubun. Nilai Indeks Prestasi semesterku sangat membuatku senang. Aku tidak menyangka. Sangat tidak menyangka. Aku berpikir aku hanya akan mendapat nilai seadanya. Ternyata aku lumayan juga. Baiklah, biarkan aku sombong untuk sesaat. Aku pantas mendapatkannya atas kerja kerasku, bukan? Seorang Devin, mendapat IP dengan sebagus ini? Bukankah itu sesuatu yang sangat hebat? Aku mengakui kerja kerasku selama ini juga karena bantuan seseorang. Dosen memujiku karena tugasku selalu bagus. Dan itu adalah karena aku punya seseorang dengan otak cerdas yang mau membantuku: Colin. Tidak percaya? Awalnya aku juga tidak. Tapi memang itu kenyataannya. Hubunganku dan dia membaik. Kami mengalami kemajuan pesat terutama setelah Colin menyelesaikan terapinya. Mau tak mau aku mengakui, kepergian Luna ke Amerika membuat kami berubah. Aku da