"Cepat!"
"Aku tidak mau!"
"Luna! Dengarkan apa yang aku perintahkan!" Colin terus saja berusaha menarik Luna untuk ikut dengannya. Gadis itu memcoba menarik tubuhnya ke arah yang berlawanan, namun ia tak sanggup dan berakhir kehilangan keseimbangan. Dengan mudah dirinya terseret mengikuti langkah Colin yang begitu tak sabar mencapai tempat tujuannya.
"Tidak mau! Kak! Aku ingin kembali ke rumah sakit! Aku tidak mau membiarkan Kak Devin sendirian."
Colin mengacak rambutnya asal, polesan pomade sudah hilang dari sana. "Lagi-lagi anak sialan itu. Berhenti memikirkan dia dan cepat ikuti aku!"
Luna menolak dan meringis di saat yang bersamaan. Bukan tidak mungkin kulit lengannya sudah berubah warna saat ini. Colin memaksanya untuk ikut ke apartemen. Ia merasa jika ia ikut, ia akan berakhir diperkosa lagi. Tatapan pria sekarang benar-benar sama seperti orang gila. Dia seakan-akan kembali menjadi Hyde setelah lama tertidur dalam tubuh Jekyll.<
Gadis itu mengumpat tak henti-hentinya di antara jalan yang macet. Jemarinya mengetuk kemudi mobil tak sabar. Ia tak peduli lagi dengan cat kuku jarinya yang mungkin rusak dan terkelupas, ia sangat panik. Tanpa sadar ia berkeringat hebat dan sangat tidak tenang. Ia merutuk karena orang yang sedang ia coba hubungi tak juga menjawab panggilannya. "Ah, sial. Luna, jawablah panggilanku!" Ia memukul keras kemudinya frustrasi. Ia merasa bersalah sekaligus khawatir karena sejak tadi orang yang ia coba hubungi tidak kunjung menjawab panggilannya. Sudah sejak sepuluh menit tadi ia mencoba menghubungi Luna, namun tidak ada satupun panggilannya yang terjawab. "Luna! kau ini pergi ke mana?" Entah sudah berapa kali kemudi mobilnya menjadi sasaran empuk kekesalan yang menjadi. Luna begitu membuatnya bersalah hingga perjalanan pulang yang seharusnya sudah berakhir masih saja berlanjut. Ia kehabisan ide untuk mencoba menghubungi Luna. Bahkan ponsel Devin—yang sebelumnya teru
Kaki itu masih terasa nyeri karena terkena pecahan kaca dan juga bagian depan mobil yang ringsek karena tertabrak pembatas jalan. Namun apalah rasa sakit itu, seseorang sedang dalam bahaya. Ia tidak peduli dengan betapa dinginnya malam ini. Ia tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang sangat heran dengan penampilannya. Ia tidak peduli dengan rasa sakit yang masih terus-terusan menghampiri seluruh tubuhnya. Luna. Hanya Luna yang saat ini ia pedulikan. Ia sudah terbangun saat Colin datang ke rumah sakit. Ia sudah terbangun saat Luna dan Linda menelepon saksi yang menemukannya. Ia sudah terbangun untuk mengetahui kenyataan yang terjadi. Semua tentang siapa pemilik bunga yang membuatnya begitu penasaran, alasan mengapa mobil barunya bisa mengalami kerusakan pada rem, dan bagaimana seorang Colin menipu semua orang dan mencoba membunuhnya. Dia sudah tahu semuanya. Perasaannya mengatakan Luna akan berada di tempat tinggal Colin. Entah atas dasar apa ia berpikir s
"Ernest! Jawab aku!" Wanita itu sangat tidak bisa menahan dirinya sendiri. Ia memegangi dahinya dan mengacak pinggang dengan wajah tak sabar. "Kau berkata dia tidak akan berulah semacam ini!" Ia sangat frustrasi sampai menggigiti ujung kukunya tak sadar. "Sekarang bahkan mereka berdua tidak ada! Ernest!" "Diamlah sebentar, aku sedang coba menghubunginya." "Dia bahkan tidak menjawab panggilanmu sejak tadi! Cepat panggil polisi!" "Jangan lapor polisi! Biarkan aku yang mengatasinya." "Mengatasi apa? Dia sudah melewati batas! Bisa saja dia ingin melukai Luna dan Dev—" "—Nadia! Tenanglah. Tidak akan terjadi apa-apa pada mereka." Dua suami istri itu berwajah panik menatapi ruangan kosong yang ditinggalkan oleh penghuninya itu. "Tidak akan terjadi apa-apa? Anakku bahkan hamil, harus terluka karena perilaku kedua anakmu. Bagaimana aku bisa tenang? Ini sudah terlalu sering!" "Aku mengerti, Nadia. Tenanglah sebentar. Aku tidak ak
"Kakak?" “Luna?” Devin hampir tak bisa berdiri, ia bertumpu pada pelukan Luna untuk tetap pada posisinya. Matanya basah, berkunang-kunang dan tak bisa fokus. Namun senyuman ia berikan tatkala mendengarkan suara gadis itu. Ia menyadari pelukannya, begitu senang karena ia berhasil sampai dan menemukan gadis itu dengan keadaan yang baik. Dugaannya tepat, Luna berada di apartemen Colin. "Kakak ... Kakak sedang apa di sini?" Namun kesenangan yang dirasakannya tak berlangsung lama, hatinya sakit ketika mendengar suara Luna yang serak. Jelas sekali ia habis menangis. Devin membersihkan air di sekitar matanya agar bisa melihat dengan baik. Ketika ia berhasil, ia semakin sedih. Mata gadis itu sembap, bahkan ada bekas linangan air mata di sudutnya. Tidak sampai di sana, Devin menemukan sebuah luka dengan darah mengering di sisi bibirnya. "Bukankah Kakak masih sakit? Kakak kenapa ada di sini?" "K—kau... kau tidak apa-apa? Ada apa dengan bibirmu?"
"Kakak!"....."Kakak, aku mohon… Kakak! Buka pintunya! Kakak!"Teriakan Luna terdengar hingga sepanjang koridor, memancing seseorang untuk keluar di antara keributan yang ia buat. Di apartemen ini, Colin tidak punya begitu banyak tetangga, terutama di lantai atas seperti itu. Hanya seorang pemuda yang terlihat tidak lebih tua darinya yang keluar karena mendengar keributan di kawasan tempat tinggalnya."Kakak!"Luna bahkan tidak menyadari jika ia telah membuat keributan, membiarkan telapak tangannya semerah buah apel segar karena terus saja menampar pintu apartemen Colin. Ia menangis minta di bukakan pintu. Teriakannya akan semakin keras saat telinganya mendengar sesuatu yang tidak ia inginkan: rintihan Devin."Kakak! Buka pintunya!""Permisi." Seseorang mendekat dan mencoba mencari tahu, namun Luna mengabaikannya. "Pe-permisi." Ada beberapa titik di mana orang itu menjadi enggan karena terkejut
Dua buah ambulan datang bersamaan. Seketika IGD menjadi ramai karena suara dua ambulan ini memanggili banyak perawat dan dokter untuk datang menerima dua pasien baru. Lebih tepatnya, satu pasien baru dan satu pasien lama yang kabur dari rumah sakit. Keduanya langsung dikurung di dalam ruang darurat, bersama dengan para dokter yang langsung menangani keduanya yang penuh luka dan darah.Luna berdiri sambil menangis saat ia langsung diusir pergi meninggalkan ruangan. Kepalanya pening tiap kali mengingat kejadian demi kejadian yang telah terjadi. Ia merasa sakit sekali, saat melihat Colin, dia tidak bergerak. Matanya tertutup rapat, seakan-akan nyawa sudah tak lagi memberikan kesempatan untuk meeka membuka kembali. Ia tak mampu menahan tangisannya sendiri, selalu terbayang bagaimana penampakan wajah orang yang ia cintai dipenuhi darah. Bahkan telapak tangannya saat ini berlumuran darah pria itu. Bekas darah itu sudah di sana, sebagian besar juga karena dirinya.Luna mengum
"K—kau …." Mulutnya membisu, kehilangan fungsi beberapa saat tatkala tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. "K-kau ingin pergi ke mana?" Ia terbata, tak bisa bertanya lebih banyak karena lidahnya terasa kelu.Genggaman Devin pada kruk di tangannya gemetar. Meski pertanyaannya tak digubris, ia sudah lebih dulu dapat menduga jawabannya. Tetapi ia tak suka dengan jawaban itu. Ia tak suka dengan kemungkinan yang ia pikirkan. Ia tak siap dengan pertemuan yang seperti ini.Gadis itu tersenyum basi, tampak ia juga tidak siap dengan pertemuan ini. Ia membeku dalam posisinya, membuang pandangan tak ingin menatap mata Devin."Lu-Luna?" Menyebut nama gadis itu saja tenggorokan Devin terasa kering. Ia perlahan bergerak mendekat, menggerakkan kedua kakinya dengan susah payah untuk meraih jemari gadis itu. Jemari-jemari yang gemetar ragu mengenggam sebuah koper. “Hei, kau ingin pergi ke mana?”"Kakak ada di sini?" Perasaan bercampur kar
Aku membencimu. . . . . . Aku tidak ingin bertemu denganmu lagi. . . . . . Kau adalah mimpi buruk bagiku. . . . . . Aku tidak mencintaimu. "Tidak! Jangan pernah katakan itu. Jangan pernah katakan kau membenciku. Jangan pernah katakan kau tidak mencintaiku setelah apa yang kau lakukan terhadapku. Aku mencintaimu lebih dari apapun. Aku mencintaimu dengan segala hidupku. Aku tidak mampu hidup tanpamu. Kau membuatku cacat tanpa adanya kau di sisiku. Jangan pernah ucapkan itu lagi. Aku sangat tidak ingin mendengarnya. Aku sangat tidak ingin mendengarnya!" . . . . . Pria itu membuka mata cepat atas reaksi terhadap sesuatu ya