"Kakak!"
.
.
.
.
.
"Kakak, aku mohon… Kakak! Buka pintunya! Kakak!"
Teriakan Luna terdengar hingga sepanjang koridor, memancing seseorang untuk keluar di antara keributan yang ia buat. Di apartemen ini, Colin tidak punya begitu banyak tetangga, terutama di lantai atas seperti itu. Hanya seorang pemuda yang terlihat tidak lebih tua darinya yang keluar karena mendengar keributan di kawasan tempat tinggalnya.
"Kakak!"
Luna bahkan tidak menyadari jika ia telah membuat keributan, membiarkan telapak tangannya semerah buah apel segar karena terus saja menampar pintu apartemen Colin. Ia menangis minta di bukakan pintu. Teriakannya akan semakin keras saat telinganya mendengar sesuatu yang tidak ia inginkan: rintihan Devin.
"Kakak! Buka pintunya!"
"Permisi." Seseorang mendekat dan mencoba mencari tahu, namun Luna mengabaikannya. "Pe-permisi." Ada beberapa titik di mana orang itu menjadi enggan karena terkejut
Dua buah ambulan datang bersamaan. Seketika IGD menjadi ramai karena suara dua ambulan ini memanggili banyak perawat dan dokter untuk datang menerima dua pasien baru. Lebih tepatnya, satu pasien baru dan satu pasien lama yang kabur dari rumah sakit. Keduanya langsung dikurung di dalam ruang darurat, bersama dengan para dokter yang langsung menangani keduanya yang penuh luka dan darah.Luna berdiri sambil menangis saat ia langsung diusir pergi meninggalkan ruangan. Kepalanya pening tiap kali mengingat kejadian demi kejadian yang telah terjadi. Ia merasa sakit sekali, saat melihat Colin, dia tidak bergerak. Matanya tertutup rapat, seakan-akan nyawa sudah tak lagi memberikan kesempatan untuk meeka membuka kembali. Ia tak mampu menahan tangisannya sendiri, selalu terbayang bagaimana penampakan wajah orang yang ia cintai dipenuhi darah. Bahkan telapak tangannya saat ini berlumuran darah pria itu. Bekas darah itu sudah di sana, sebagian besar juga karena dirinya.Luna mengum
"K—kau …." Mulutnya membisu, kehilangan fungsi beberapa saat tatkala tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. "K-kau ingin pergi ke mana?" Ia terbata, tak bisa bertanya lebih banyak karena lidahnya terasa kelu.Genggaman Devin pada kruk di tangannya gemetar. Meski pertanyaannya tak digubris, ia sudah lebih dulu dapat menduga jawabannya. Tetapi ia tak suka dengan jawaban itu. Ia tak suka dengan kemungkinan yang ia pikirkan. Ia tak siap dengan pertemuan yang seperti ini.Gadis itu tersenyum basi, tampak ia juga tidak siap dengan pertemuan ini. Ia membeku dalam posisinya, membuang pandangan tak ingin menatap mata Devin."Lu-Luna?" Menyebut nama gadis itu saja tenggorokan Devin terasa kering. Ia perlahan bergerak mendekat, menggerakkan kedua kakinya dengan susah payah untuk meraih jemari gadis itu. Jemari-jemari yang gemetar ragu mengenggam sebuah koper. “Hei, kau ingin pergi ke mana?”"Kakak ada di sini?" Perasaan bercampur kar
Aku membencimu. . . . . . Aku tidak ingin bertemu denganmu lagi. . . . . . Kau adalah mimpi buruk bagiku. . . . . . Aku tidak mencintaimu. "Tidak! Jangan pernah katakan itu. Jangan pernah katakan kau membenciku. Jangan pernah katakan kau tidak mencintaiku setelah apa yang kau lakukan terhadapku. Aku mencintaimu lebih dari apapun. Aku mencintaimu dengan segala hidupku. Aku tidak mampu hidup tanpamu. Kau membuatku cacat tanpa adanya kau di sisiku. Jangan pernah ucapkan itu lagi. Aku sangat tidak ingin mendengarnya. Aku sangat tidak ingin mendengarnya!" . . . . . Pria itu membuka mata cepat atas reaksi terhadap sesuatu ya
What is your worst nightmare? Apa mimpi terburukmu? Mimpi terburuk bagiku adalah sesuatu yang disebut sebagai karma. Karma, adalah ketika apa yang selama ini kau lakukan pada orang lain hingga sakit, telah berbalik pada dirimu sendiri hingga rasanya lebih sakit. Ini adalah karma bagiku: hidup tanpanya. Rasanya sakit, saat menjalani hari tanpanya dan dipenuhi rasa bersalah semacam ini. Jangankan bisa bertemu dengannya, aku sama sekali tidak mendengar satupun kabar tentang dia. Bagaimana keadaannya, apakah dia sehat, di mana dia tinggal, bahkan bagaimana keadaan calon anak kami. Aku tak tahu apapun. Mereka merahasiakan semuanya dariku. Aku merasa aku sangat berhak untuk tahu. Mereka berdua tanggung jawabku. Tetapi aku sama sekali tidak dipercaya. Mereka tidak percaya padaku. Mereka tidak percaya jika aku akan berubah untuknya. Seperti yang aku katakan, aku terkena karma atas perlakuanku sendiri. Mereka menghukumku dengan ketidaktahuan ini. Aku
Semilir angin yang sejuk masih ia nikmati dengan tenang, damai dan tenteram sampai suara ponselnya memecah keheningan. Colin, yang saat ini tengah berbaring di atas rerumputan di sebelah makan ibunya itu beralih duduk, mengambil ponselnya yang sudah sejak 5 detik lalu berdering dalam saku mantelnya. Sebenarnya, dalam hati pria itu berniat untuk tidak menjawab panggilan siapapun saat ini. Namun nama yang tertera di layar ponselnya membuatnya tertarik untuk menerima telepon dan melupakan niatnya. Devin. "Halo? Kak!" Colin menarik napas panjang sebelum akhirnya memberikan respon. "Ada apa? Apa ada masalah?" "Apa-apaan? Apa menurutmu aku hanya meneleponmu saat ada masalah?" Ujung bibir Colin naik sedikit. Benar juga apa yang Devin katakan. "Lalu apa? Tidak biasanya kau menghubungiku hanya untuk basa-basi." "Ah, kau ini. Seperti wanita saja. Apa kau sibuk?" "Iya." "Kau sudah makan siang? Mau ma
Aku berjalan keluar kelas dengan perasaan senang. Pasalnya, sebuah surel baru saja masuk ke ponselku dan isinya membuatku sangat gembira hingga ke ubun-ubun. Nilai Indeks Prestasi semesterku sangat membuatku senang. Aku tidak menyangka. Sangat tidak menyangka. Aku berpikir aku hanya akan mendapat nilai seadanya. Ternyata aku lumayan juga. Baiklah, biarkan aku sombong untuk sesaat. Aku pantas mendapatkannya atas kerja kerasku, bukan? Seorang Devin, mendapat IP dengan sebagus ini? Bukankah itu sesuatu yang sangat hebat? Aku mengakui kerja kerasku selama ini juga karena bantuan seseorang. Dosen memujiku karena tugasku selalu bagus. Dan itu adalah karena aku punya seseorang dengan otak cerdas yang mau membantuku: Colin. Tidak percaya? Awalnya aku juga tidak. Tapi memang itu kenyataannya. Hubunganku dan dia membaik. Kami mengalami kemajuan pesat terutama setelah Colin menyelesaikan terapinya. Mau tak mau aku mengakui, kepergian Luna ke Amerika membuat kami berubah. Aku da
"Kau yakin?"Pria itu dipenuhi kekhawatiran, mengulang pertanyaan yang sama sepuluh kali karena tak kunjung merasa senang dengan keputusan yang mendadak ini.Berbanding terbalik dengan lawan bicaranya, pria yang satu lagi dengan tenang meluruskan punggungnya pada bantalan kursi untuk sebuah kenyamanan tiada tara. "Sudahlah. Santai saja. Tidak perlu memikirkan banyak hal."Ini hal yang jarang terjadi. Tidak biasanya, seorang Devin menjadi pria yang santai sementara kakaknya yang sedingin es menjadi pesimis."Kenapa kau takut? Bukankah kau tipe pria Yandere? Ini juga demi Luna.""Yandere? Apa itu yandere?""Kau tidak tahu?" Terlalu bersemangat, Devin setengah berteriak dan membuat orang-orang yang berada di sekitar mereka terkejut."Aku tidak mempelajari sesuatu yang tidak penting," jawab Colin congkak, mencoba menyembunyikan rasa malunya karena tidak tahu istilah semacam itu."Intinya kau akan memperju
"Kau harus kencani gadis itu nanti." Setelah mereka berdua sampai, Colin langsung membanting tubuhnya di tempat tidur. Punggungnya lelah, ia merindukan tempat tidur lebih dari apapun saat ini. “Kau gila?” ucap Devin seraya menuju kamar mandi. “ Dia pacar temanku,” lanjutnya dari dalam toilet. "Kalau begitu kau rebut saja." Colin terkekeh, “dia lebih cocok denganmu.” Devin tidak memberikan jawaban sampai keluar dari kamar mandi. “Cih,” ia mencibir. “Kau pikir aku serendah itu? Daripada dia, bukankah aku lebih baik merebut Luna saja darimu?” Sebuah teori yang sangat apik, Devin berhasil membuat sang kakak menerbangkan bantal ke arahnya. “Sialan.” Devin berhasil menghindar, ia tertawa keras karena itu. "Kalau begitu jangan berikan aku saran yang kau sendiri tidak suka." "Diam kau." Devin hanya bisa tertawa lebih keras, sementara sang kakak begitu kesal. Dan terjadi waktu diam di antara mereka setelahnya. Apa yang terjadi s