Penglihatan mata Luna menjadi kabur, dirinya mencoba tetap seimbang dengan memegangi bagian kepalanya yang mengeluarkan darah. Ia tidak bisa mencerna keadaan, terserang rasa sakit yang luar biasa ketika terus berusaha untuk membuka mata.
“Luna!” Colin melihat darah sebagai kecelakaan yang mengerikan, emosinya pada Devin menggebu. Dengan mudah ia menendang tubuh lelaki itu menjauh. Ia segera menghampiri Luna. Pelan-pelan ia memeriksa asal keluarnya darah, sela-sela rambut Luna terlihat basah. Dirinya langsung sigap menyandarkan tubuh Luna pada sisi sofa. “Lihat apa yang kau perbuat! Masih kau mencoba melukai dia?”
Colin panik dan bertindak tergesa-gesa. “Kau … kau tunggu di sini. Tetap tutup lukanya dengan tanganmu.” Ia mengambil langkah seribu, dalam hitungan detik menggapai semua benda yang ia butuhkan. Ia mengambil kunci mobil beserta hal yang mungkin bisa ia temukan untuk membantu menghentikan pendarahan. Ia sangat panik. Seorang Colin yang tega menyakiti adiknya
Dipenuhi kekhawatiran, Luna sedang menatap keluar jendela tanpa suara. Ia melamun, terlalu memikirkan keadaan orang yang sedang ia cari saat ini. Ia memiliki berbagai spekulasi negatif, mulai dari kecelakaan atau bisa saja perkelahian. Ia terus mencari ke sisi jalan, takut menemui kerumunan di mana seorang mayat pria dengan banyak tindik telinga ditemukan. Kekhawatirannya mulai tidak logis, ia kalut hanya berusaha tenang namun gagal. “Apa kau yakin dia ada di sana?” Colin memecah keheningan di antara mereka dengan bertanya, dirinya sedang mengemudi. Matanya terarah pada jalan, namun juga sesekali melirik pada Luna yang memberikan ekspresi sangat khawatir. “Aku tidak tahu pasti, Kak. Aku hanya tahu tempat itu yang mungkin,” jawab Luna dengan lesu. Dirinya menyesali keadaan tak berdaya dan tak perhatian, hanya sedikit kemungkinan tebakannya benar. Si naïf nan polos, ia memikirkan setiap orang yang ia sayangi. Seburuk apapun perlakuan mereka terhadapnya, kekhawa
"Kenapa tidak memeriksanya? Semakin cepat tahu, semakin baik. Semakin cepat pula bisa disingkirkan." Jantung Luna hendak terjatuh, napasnya tertahan di tenggorokan karena perasaan buruk dan mual menyerang seketika. Ujung rok sekolah yang ia pakai menjadi pelampiasan, ia meremasnya sebagai cara untuk mengendalikan diri. Telinganya mendengar dengan jelas, semua ia proses dengan tepat, namun akal sehatnya tak langsung menerima semua informasi. Apa yang baru saja dikatakan oleh Colin? Menyingkirkan? Pemilihan kata lelaki itu terlalu sadis untuk satu topik yang bahkan masih abu-abu. Butuh beberapa detik bagi Luna untuk kembali menggenggam kesadarannya sampai ia berani membuka mulut untuk bertanya. "Ma—maksudnya?" "Kau mengerti maksudku." Tanpa menoleh, Colin memberi jawaban rancu yang hanya membuat Luna semakin gemetar. Ia mengalami masalah kepercayaan pada lelaki itu. Berada dalam satu tempat bersamanya membuat ia takut. Pemikiran positif berupa seorang C
Gadis itu menangis. Ia sedang murka. Kemurkaan itu ia luapkan dengan air mata yang tidak bisa berhenti jatuh. Dadanya sesak, tapi itu sepadan. Ia kesulitan bernapas, itu hukuman. Amarah memunca menangisi dirinya yang bersikap bodoh dan tak bisa melindungi diri sendiri. Tidak, ia tidak menyalahkan siapapun dalam masalah ini. Baginya bukan Colin si psikopat atau Devin si pecandu yang membuatnya kesal. Adalah sikapnya sendiri yang membuat dirinya terjatuh dalam rasa sakit. Semua orang pasti akan menganggapnya gila karena telah bersikap tak sesuai terhadap kedua kakak tirinya. Seharusnya ia tidak terlibat terlalu jauh. Ia tidak boleh menjalin hubungan apapun dengan mereka. Ia tak seharusnya menempatkan harapan. Dia merasa dungu karena sudah menjadi seorang lugu yang terpesona pada keindahan fisik saja. Ia mengaku bahwa dalam beberapa waktu terakhir ia telah dipermainkan oleh keluguan perasaannya. Tentang hubungannya bersama Colin, hal itu gila. Dia tahu dengan sangat bah
Luna memandang Devin dengan cara yang tidak biasa. Andai saja pria itu menatapnya walau sedikit, ia ingin sekali membuat pria itu berhenti berucap sesuatu yang tidak masuk akal.“Aku yang memperkosa Luna.”Tidak ada keraguan di wajah pria itu. Bahkan ketika akhirnya mereka bertukar pandang. Ia mengatakan kebohongan secara cuma-cuma tanpa memikirkan akibatnya. Luna tidak bisa menemukan alasan yang logis, ia tak tahu. Untuk apa berbohong dan melindungi seseorang yang sudah nyata bersalah atas semuanya?“Aku yang memaksa Luna. Bukan salah dia. Aku akan bertanggungjawab atas semua ya—““—Devin!”Seketika Devin meringis, tanpa perlawanan ia membiarkan sebagian besar rambutnya ditarik oleh sang ibu tiri.“Apa yang—apa yang dia lakukan sampai kau tega menyakitinya? Apa yang kau lakukan pada anakku? Jawab aku Devin!” Wanita itu berteriak sambil menangis. Ia menarik rambut Devin dengan
"Dia orangnya. Orang yang memperkosaku. Ayah dari janinku. Kak Colin."Semua orang tentu saja terkejut. Raut kekecewaan menghampiri kedua orang tua mereka. Colin, jelas sekali ekspresi wajah kesalnya terlihat. Ia mungkin mengumpat kecil, sampai akhirnya hanya bisa terkekeh kecil untuk mengungkapkan perasaannya.Kedua bahu Luna dipegang erat oleh sang ayah. Pria itu mungkin tidak sadar melakukannya, karena terlalu terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. “Colin? Colin yang— Kakakmu Colin?” Pria itu akhirnya mengeluarkan air mata yang seperti sudah lama sekali tertahan di ujung matanya. “Colin? Dia ayah dari janinmu? Kau bersungguh-sungguh?”Devin juga muak dengan kenyataan yang ia ketahui itu, perlahan ia berdiri, ikut menunjuk wajah Colin yang entah sejak kapan menjadi sangat menjengkelkan bagi semua orang.“Benar, Ayah. Colin, anak kesayangan dan kebanggaan Ayah. Dia orang yang menghamili Luna. Ayah berpikir dia a
Devin dan kedua orang tuanya berlari secepat yang mereka bisa menyusuri koridor rumah sakit setelah mereka mendapat telepon dari seseorang yang mengetahui keberadaan Luna. Bukan Colin, tentu saja. Pria itu menghilang. Mereka terengah masih dengan pakaian tidur. Walau dia yang menghilang telah ditemukan, mereka belum bisa berhenti khawatir.Devin mengenali seseorang yang sedang berdiri di depan ruang IGD. Dia mengenali orang itu sebagai orang yang pernah dilihatnya di sekolah Luna. Sang ibu juga mengenalnya. Dia yang tidak tenang, juga masih dengan baju tidur yang dilapisi cardigan panjang berwarna hijau pucat begitu lega melihat keluarga Luna sudah datang."Linda," Ibu Luna segera memimpin menghampirinya."Bibi,"Ibu Luna langsung menyerbu gadis itu dengan pertanyaan. "Bagaimana dengan Luna? Apa yang terjadi padanya?" Adalah Linda, orang yang menghubungi dan memberitahu mereka jika Luna ia bawa ke rumah sakit.Linda menggeleng sambil memel
Awal yang kurang begitu baik bagi pagi yang cerah hari ini. Luna masih belum sadar dari tidur, terlihat begitu lemah dengan luka-luka kecil di tangan dan kakinya. Mereka yang melihatnya seperti itu hanya bisa khawatir dan menunggu. Tubuh lemah itu tengah mengandung janin berusia lima minggu.Luna mesti bersyukur karena janinnya masih bisa bertahan setelah guncangan fisik dan batin yang dialaminya semalam. Diagnosa dokter adalah terlalu stres, kelelahan dan terlambat makan. Memang sangat sulit hamil di usia muda. Setidaknya mereka bersyukur tidak ada sesuatu yang menakutkan terjadi dengan ia dan janinnya.Devin menemani Luna yang masih tertidur di rumah sakit. Ia menggenggam tangannya yang dibalut perban, mencoba membuat kontak batin pada si adik agar segera bangun. Sudah bukan rahasia lagi jika Devin benar-benar menyayangi Luna. Sebagai kakak atau lebih, ia hanya ingin gadis itu tidak tersakiti lagi. Ia mungkin bukan tipe anak penurut yang selalu mendengarkan kata oran
"Lalu, janin sialan itu, apa sudah musnah?"Ketakutan Luna pada pria itu bukan tanpa alasan. Cara dia menatap seraya mengucapkan kalimat sekejam itu sangatlah mengerikan. Kata-katanya tak disaring, bagaikan petir yang langsung menghantam hati. Luna hanya meremas selimutnya, ia tak berani memandang pria itu lebih lama. Ia ingin sekali menangis dan berteriak meminta bantuan, hanya saja tak punya keberanian. Ia gemetar, hanya dengan berada dalam ruangan bersama pria tu."Belum, ya?" Colin menjawab pertanyaannya sendiri. Ia kecewa, walau raut wajahnya cenderung terlihat senang. "Aku membiarkanmu kabur, karena aku berpikir kau mungkin keguguran karena itu. Tapi ternyata tidak. Dia kuat juga, ya?" Pria itu bicara sendiri, dia tertawa seakan pembicaraan sepihak ini adalah lelucon.Luna tak habis pikir, di mana logika pria ini? Atas dasar apa dia berpikiran segila itu? Ia mempertanyakan kecerdasan yang selalu dipuji sang Ayah. Karakter Colin sangatlah jomplang, antara k