“Aku tahu. Jangan khawatir.”
Luna terusik. Tidur pulas tanpa mimpinya itu berakhir akibat suara sang kakak yang ia dengar. Perlahan ia membuka mata, lagi-lagi terserang vertigo ketika retinanya dipaksa menangkap cahaya terlalu banyak dalam waktu singkat. Meski lamban, ia segera tahu di mana dirinya sekarang. Tanpa pakaian, dalam pelukan pria itu.
“Dia ada di sini, Ayah. Tidak hilang. Apa dia tidak memberitahu kalian?”
Luna diam saja, menatapi sang kakak yang tengah berbicara dengan seseorang di telepon. Pelan-pelan ia mengintip ke dalam selimut, mencari kebenaran tentang siapa yang sebenarnya tidak berpakaian, dan dia segera tahu.
Apa ini sudah pagi? Luna tidak ingat apa yang terjadi semalam. Walaupun begitu, sudah jelas jika dia telah diperkosa lagi. Terakhir kali ia mengingat bagaimana pria itu mengancamnya dengan rasa sakit. Lebih baik ia menurut saja kali ini. Ia tidak ingin lagi melawan karena ia tak punya kekuatan lagi. Seluruh tubuhnya tak bertenaga.
Saat masih berbicara di telepon Colin sadar bahwa Luna telah bangun. Dirinya menginginkan kemudian, langsung saja memberikan ponsel itu padanya. Luna menatapnya dengan bingung si ponsel bergantian. Wajah bodoh itu membuatnya geram.
“Ayahku ingin bicara denganmu. Mereka khawatir karena kau tidak pulang ke rumah,” jelas Colin ketus untuk menjawab tatapan itu.
Pelan, Luna mencoba mengambil ponsel yang disodorkan ke arahnya. Namun, tidak akan benda itu berpindah tangan begitu saja. Ketika ia mengambilnya, Colin malah menggenggam ponsel itu lebih erat. Saat ia kebingungan dan menatap kembali pemiliknya, ia dihadiahi sebuah ciuman. Ciuman yang mungkin menjadi sentuhan terlembut sejak kemarin.
Mudah saja, Luna segera tahu bahwa dia harus merahasiakan apa yang terjadi. Ia mencoba bersikap tenang, namun tatapan pria yang sedang mengawasinya itu membuatnya gugup.
"H-halo?” ucapnya begitu gugup. "Maaf, Ma. Aku lupa." Luna merasa tidak tenang, Ia tidak fokus mendengarkan pertanyaan yang ia dengar. Ia lebih sering memperhatikan Colin yang tidak sedetikpun melepaskan pandangan dari dirinya. Bahkan saat pria itu meringsuk ke dalam selimut dan memeluk tubuhnya, ia makin tidak tenang. "Iya, Ma. Aku mengerti." Luna tergesa-gesa lalu memutus telepon lebih dulu.
"Apa yang mereka katakan?" tanya Colin segera.
"Mereka akan menjemputku ke sini dalam satu jam,” jelas Luna pelan.
“Oh, begitu,” sahut Colin tak ikhlas. Ia kemudian menarik tangan Luna, memaksanya untuk menipiskan jarak yang sudah terlalu dekat. Dagu Luna disentuh dengan lembut. Pelan, Colin membisikkan sesuatu. “Aku tidak perlu khawatir mulut itu akan bicara macam-macam, bukan?”
Luna terpaksa menjadi jinak, ia pelan-pelan mengangguk dan menerima perintah tanpa bantahan. Dirinya sudah seperti seekor binatang peliharan, atau lebih parah seperti budak yang tak punya kuasa terhadap dirinya sendiri. Hatinya sangat menolak semua perlakuan itu tetapi, apa daya dirinya tak punya kekuatan.
Ekspresi wajah Colin menjadi cerah. “Bagus. Sekarang buatkan aku sarapan. Aku lapar.”
Pria itu tanpa dosa beranjak pergi dari kasur menuju kamar mandi. Luna lagi-lagi memunguti sisa-sisa pakaian dan harga dirinya. Sakit. Tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Perutnya terasa pedih. Kepalanya berputar. Ia ingin sekali mengadukan perlakuan kakaknya. Tetapi, ia tak punya keberanian. Rasa sakit yang dia terima sejauh ini sudah cukup membuatnya gemetar hanya untuk menatap mata pria itu. Melaporkannya hanya akan mengakibatkan rasa sakit lebih banyak.
Lagi, seperti seekor hewan, Luna hanya bisa menurut untuk melakukan segala perintah kakaknya. Ia pergi ke dapur untuk membuat sarapan. Lalu, ia pergi mandi. Selama di dalam kamar mandi, ia menangis untuk kesekian kali. Hanya dengan menatap cerminan dirinya di kaca, ia tidak tahan. Bagaimana tubuh itu tidak suci lagi, tidak indah lagi, ia meratapinya.
Ia tidak makan apapun sejak kemarin. Bahkan segelas air pun tidak ada yang melewati kerongkongannya. Sarapan super sederhana yang dibuatnya itu terasa tidak cukup jika harus memenuhi kebutuhan tubuhnya yang lemas. Tetapi nafsu makannya juga tidak begitu baik. Ia memang menghabiskan sarapannya dengan penuh susah payah karena ia mesti menahan diri untuk tidak memuntahkan mereka.
Colin tidak banyak bicara pagi ini. Dia hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Luna sendiri pun tidak ingin tahu dengan apa yang ia lakukan. Tidak ada interaksi yang berarti dengan kedua kakak-beradik itu hingga sebuah bunyi memecah keheningan mereka.
Luna sedang mencuci piring kotor dan Colin sedang berada di ruang depan bersama laptopnya saat suara bel apartemen terdengar ke seluruh ruangan. Sang kakak sebagai orang yang terdekat segera saja membukakan pintu untuk tamu mereka.
"Colin, di mana Luna?"
Benar saja dugaannya, wanita yang kini menjadi ibunya itu segera menghantuinya dengan pertanyaan. Colin mengelus tengkuknya, memasang wajah tak bersalah yang meminimalisir kecurigaan. "Ada. Dia ada di dalam."
Wanita yang terlihat jauh lebih muda dari pria di belakangnya itu langsung menghambur masuk kedalam apartemen Colin. Pria di belakangnya tampak lebih tenang, tetapi langsung menyusul istrinya masuk.
Luna mendengar keributan di luar, tetapi dirinya malas untuk beranjak ke sana. Lagipula ia masih kesulitan berjalan. Ia hanya fokus menyelesaikan cucian piring saat ibunya menghampirinya ke dapur.
Colin sedikit terkekeh ketika ia melihat sang ibu tiri bukannya menghadiahi sang anak kesayangan sebuah pelukan melainkan sebuah pukulan kecil di kepala. “Dasar! Kenapa kau tidak memberitahu kalau mau menginap di sini? Kenapa kau tidak menelepon?”
Colin menemukan celah, ia tersenyum dalam hati. Seperti pahlawan kesiangan, ia datang menghampiri mereka. "Bukan salahnya. Aku yang mengajaknya menginap."
"Tetap saja dia tidak memberitahuku." Sahut wanita itu ketus.
"Sudahlah." Suara berat lainnya menyela, "yang terpenting Luna tidak apa-apa," ujarnya sambil merangkul Luna. Rangkulan itu bersahabat namun sedikit terlalu kuat, Luna otomatis meringis ketika bagian tubuhnya yang membiru di balik pakaian itu tersentuh.
Sang ayah sedikit terkejut, “ada apa?”
Kecurigaan seketika naik ke permukaan, gelagat mencurigakan Luna memancing sang ibu untuk mengulur lengan panjang dari baju yang dikenakannya. Gadis itu tidak bisa menghindar, potret dirinya yang dipenuhi luka memar tak lagi tersembunyi.
"Kenapa tanganmu banyak memar?"
"Ini…" Luna menunduk dan gugup. Dirinya tidak bisa langsung memberikan jawaban jujur. Tidak mungkin jika ia mengatakan kalau itu karena ia diperkosa kemarin. Beberapa saat ia menatap Colin, ia berakhir ketakutan. Ia bisa mengadu saat ini. Namun tatapan pria itu membuatnya bisu.
"Dia terjatuh dari tangga sekolahnya kemarin,” jawab Colin. Luna sontak berbalik ke arahnya. "Alih-alih menelepon kalian, dia malah menghubungiku,” jelas Colin lagi. Ia merasa idenya cukup cemerlang, hanya jika mulut Luna tetap terkunci di depan kedua orang tua mereka. “Dia takut membuat ayah dan ibu khawatir.”
"I-iya. Aku takut akan membuat kalian khawatir, jadi aku menghubungi Kak Colin. Dia sudah mengobatiku dan memintaku menginap saja. Tetapi, aku malah lupa memberitahu Mama.”
Alasan logis ditambah tidak adanya pikiran negatif membuat kedua orang tua itu tidak curiga sama sekali. Lengan baju Luna diturunkan kembali oleh sang ibu, lalu kepalanya diusap pelan. “Baiklah, kemasi barang-barangmu. Kita obati lagi nanti saat di rumah,” suruh sang ibu lembut. “Ini pakaian milik kakakmu bukan? Apa kau tidak merasa aneh saat menggunakan pakaian kebesaran seperti ini?”
"Iya."
Luna menurut saja, ia mengangguk kemudian pergi ke kamar. Colin luar biasa senang saat ini. Pemandangan barusan sangat mengocok perutnya. Ia merasakan kemenangan dengan kebodohan adik kesayangannya itu. Kedua orang tuanya sangat percaya pada omong kosongnya.
Colin mengikuti Luna ke dalam diam-diam. Meski ia mungkin ketahuan, ia tahu bahwa kedua orang tua itu tidak akan curiga. Bahkan saat ia menutup pintu sekalipun.
Ia tersenyum dan disambut oleh wajah murung Luna. Baginya wajah itu sangat menghibur. Ia kemudian mencium keningnya sebagai hadiah. "Pintar. Kakak sayang padamu."
"Sayang padaku?" Luna mengulang klausa itu tanpa sadar. Hati kecilnya seperti ingin menertawakan itu.
"Hm. Kenapa?"
Pertanyaan Colin mengembalikan kesadarannya dengan cepat, ia tak berani melakukan apa-apa. "Tidak."
Colin tersenyum kemudian mendekap Luna. "Semakin kau menurut, Kakak akan semakin sayang padamu," ujarnya dilanjutkan dengan sebuah kecupan di pucuk kepala Luna.
Luna menundukkan kepalanya. Betapa tragis, kalimat itu terdengar di telinganya sebagai sebuah bencana.
"Kenapa? Ahh… Aku mengerti.” Colin cekikikan. “Akan sangat menarik jika kau hamil anakku. Haha."
Lelucon garing Colin hampir membuat jantung Luna jatuh. Ia tidak akan senang jika hal itu terjadi. Meski hanya lelucon, ia tetap akan menolak kemungkinan gila itu. Tidak bisa sama sekali ia bayangkan apa yang akan terjadi jika kalimat Colin barusan menjadi kenyataan.
"Cepat kemasi barang-barangmu."
.
.
.
.
.
Colin berjalan keluar kamar dengan biasa, bertindak seperti ia tidak masalah dengan perubahan drastis yang terjadi pada dirinya belakangan ini.
"Colin, apa Luna merepotkanmu?" tanya wanita itu, sang ibu. Secara teknis memang wanita itu adalah ibunya. Namun saat ini ia hanya mencoba bersikap baik. Jika bukan karena sang ayah dan Luna yang ingin ia permainkan, tidak sedikitpun, bahkan sedetik saja, ia senang dengan kehadiran wanita itu sebagai ibu barunya.
Colin memang benar-benar tak suka dengan sang ibu baru. Tetapi dalam dirinya melekat sebuah label ‘anak lelaki yang baik’ sehingga tak mau ia mencorengnya. Ia bersikap sebaliknya di hadapan orang lain. "Tidak. Justru dia sangat membantuku. Terutama masakannya,” jawab Colin dengan ekspresi menyegarkan. Berbanding terbalik dengan dirinya yang mual dengan pernyataan itu sendiri.
Sang ayah dengan santai memberikan sebuah kabar. "Ayah dan Ibu berencana untuk pergi berbulan madu di Hawaii selama satu bulan. Jadi, kami mau kau menjaga Luna."
Seperti sebuah kebetulan, ketika kalimat itu selesai diucapkan, Luna baru saja menutup pintu kamar Colin.
Sang ayah tersenyum menatap Luna yang ia yakini juga mendengar apa yang ia katakan. “Ayah akan senang jika kalian bisa menghabiskan waktu bersama. Luna sangat mengagumimu, jadi Ayah yakin kalian akan baik-baik saja bersama.”
Dalam kepala Colin saat ini ada sebuah parade. Ia sangat senang sampai tak bisa menahan senyum. "Aku tidak keberatan," jawab Colin santai. Hanya dalam beberapa detik saja, ia sudah punya berbagai macam rencana. Semuanya akan berjalan sesuai dengan keinginannya jika sang adik setuju. "Tetapi Luna setuju atau tidak?" Ia bermaksud menyindir, memanfaatkan keadaan untuk kepastian tidak ada penolakan. Ia juga percaya diri. Hanya dengan menatap sang adik dengan penuh arti, ia yakin mulutnya akan selalu tertutup rapat.
"Luna tidak akan menolak,"
Lain ditanya lain yang menjawab, Colin sama sekali tidak menentang pernyataan itu karena ia jelas diuntungkan. Sang ibu tiri kemudian berbicara lagi,”sejak dulu dia ingin punya kakak laki-laki. Menghabiskan waktu bersamamu pasti akan menyenangkan untuknya. Benar sayang?”
"I-iya, Mama."
Parade kesenangan telah dimulai, Colin menggebu-gebu untuk sebuah deklarasi kemenangan. "Luna memang adik yang baik,” ujarnya dengan senyum kepuasan.
To be continued
by Ayasa
Luna tinggal bersama kedua orang tuanya, terpisah dari Colin yang tinggal sendiri di apartemen. Ia akan aman jika terus berada di bawah pengawasan mereka. Namun, hari terus bergulir hingga waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Waktunya perpisahan. Bulan madu sudah direncanakan, dan hari ini Luna akan ditinggal sendirian di rumah. Luna menjadi pendiam. Dirinya memang bukan orang yang banyak bicara, tetapi belakangan ia menjadi semakin senyap. Pikirannya kalut hanya dengan berbagai bayangan tentang apa yang mungkin Colin lakukan terhadapnya selama sebulan penuh. Rumah memang tidak benar-benar kosong karena mereka punya asisten rumah tangga. Tetapi ia tidak berharap banyak pada wanita tua yang hanya berada di rumah kurang dari 12 jam. Luna terlalu khawatir sampai dalam beberapa hari terakhir ia tak bisa tidur. Mimpinya tidak pernah bersih dari rentetan rasa sakit yang ditakutinya akan terulang. Saat ini Luna sedang termenung di halte bus sekolahnya. Ia sama sekali tidak gemb
Napas menderu tidak ikhlas, Luna meratapi pesawat yang lepas landas. Ia murung, awan hitam berada di atas kepalanya. Kedua orang yang bisa menjamin keselamatannya telah pergi, kini ia terjebak bersama di sadis Colin dan si gila Devin. Luna tersentak saat tiba-tiba sebuah lengan melingkari tubuhnya. Ia terkejut, tetapi berhasil menguasai diri karena sudah tau siapa yang melakukannya. Tanpa menoleh sekalipun, ia sudah mengenali dekapan siapa ini. Dia tidak malu, melakukan hal itu di depan umum. Sebuah kecupan di pucuk kepala Luna mengawali berbagai mimpi buruk yang akan menanti. Colin menempatkan bibirnya setengah inchi dekat telinga Luna lalu berbisik, “Ayo kita pulang. Ada janji yang perlu kau tepati dan … kasur yang perlu kau hangatkan.” Bulu kuduk Luna merinding. Saat napas Colin mengalir menuju lehernya, ia berkeringat. Bahkan setelah pelukan berakhir, kengerian masih tersisa. "Ayo pulang." Colin berjalan dengan perasaan bahagia, sementara
Luna berjalan pelan dengan kepala menunduk. Tidak bisa bebas dari ingatan, ia kembali mengingat apa yang terjadi kemarin. Dirinya menyesal ketidakberdayaan melawan Colin. Tubuhnya dipermainkan tanpa tanggung jawab. Sekarang ia perlu berpura-pura sehat, pelan-pelan melangkah dan mangkir dari pelajaran olahraga. Mana mungkin kewanitaannya tidak perih. Colin sama sekali tidak peduli dengan hasil perbuatannya sendiri, dia merajalela bahkan kurang dari 12 jam kepergian orang tua mereka. Gadis itu melangkah malas menuju gerbang sekolah. Dirinya tertinggal jauh dari iringan teman sekelas yang juga pulang. Ia tak bersemangat kembali ke rumah. Ia tidak ingin menemui Colin. Sekarang rumah bukan lagi tempatnya berlindung melainkan penjara. Lamunan menjadi membuatnya tertawan, tak sadar kakinya sampai di gerbang sekolah. Ia enggan mengangkat kepala. Ia tidak siap mendapati sedan Colin di sana. Ia tidak ingin naik kereta kematian. Setelah mempersiapkan hati, ia mengangkat kepala.
"Tenang saja. Karena kau sekarang adikku, aku akan menjagamu." Mata Luna berbinar, ia menatap pria di sampingnya dengan sungguh-sungguh. Ia berharap telinganya tidak berbohong, ketika ia mendengar ucapan seperti itu dari seorang Devin. Kalimatnya sangat indah, seperti sebuah mimpi yang sejak lama didambakan akhirnya dapat terwujudkan. “Su—sungguh?” Luna gagap karenanya. Devin menertawakannya, “Mengapa? Kau tidak percaya?” “Aku hanya … terkejut.” “Tidak perlu terkejut.” Devin kemudian menarik Luna mendekat dan merangkulnya, “kalau kau kedinginan kita sebaiknya pergi dari sini.” Luna begitu senang. Hal ini seperti mimpi yang sudah lama ia dambakan untuk terwujud. Semuanya benar-benar menyenangkan hingga ia mengingat sesuatu. "Kak Colin, dia pasti mencariku." Seperti kehilangan nyawa, ia menghela napas pelan. Ah, ia masih punya masalah dengan pria satu itu. Respon yang ia terima benar-benar menenangkan, Devin hanya tertawa, "Biarkan saja.
"Luna." Jantung Luna berdebar kencang setelah merasakan pelukan mendadak di punggungnya. Tangannya yang sedang bekerja segera terhenti. Ia mencoba menghilangkan gemetar yang terlihat jelas, tetapi jujur ia benar-benar takut. Hanya pikiran negatif yang saat ini bisa terlintas di otaknya. "I—iya?" "Ambilkan aku paper towel," Suara Devin menggelitik telinga Luna. Jelas, ia dapat merasakan udara yang mengalir keluar dari hidung lelaki itu. Telinganya seperti tengah dipermainkan oleh napas menderu yang begitu menggoyahkan. "Baik," Devin menempatkan dagunya di bahu Luna. Gadis itu segera memberikan paper towel untuknya. Ia dengan cepat melakukan itu karena ia mengalami senam jantung. "Thanks—sh. Ah, sialan." Akhirnya Devin melepaskan pelukannya. Astaga. Jantung Luna hampir jatuh. "Kurasa aku akan pergi ke kamar saja. Kau juga, langsung istirahat saja. Jangan melakukan apapun lagi. Sialan hidung ini." "Tapi, pulang—"
Matahari sudah naik saat pria itu bangun dan memilih untuk keluar kamar. Di depan pintu, ia menyambut pagi yang terlambat dengan sedikit meregangkan tubuhnya. Ah, tidur yang menyenangkan. Sudah lama sejak terakhir ia merasakan kenikmatan tidur seperti tadi malam. Ia bahkan belum membasuh wajah, apalagi menyikat gigi. Meski telihat begitu kusam, ia tidak peduli. Walau matanya masih sedikit malas untuk membuka, ia berhasil sampai ke dapur untuk mencari seteguk air. Devin, walau dia baru beberapa hari kembali dari Amerika, ia sama sekali tidak asing. Tidak ada yang berbeda dari rumahnya yang dulu dan sekarang. Setiap hari orang yang memberinya makan adalah Bibi Susi yang juga tak berubah, hanya sedikit menua. Ia tidak perlu adaptasi dengan keadaan rumah. Meski sudah bertahun-tahun tak tinggal di sana, ia menganggap semuanya tak berbeda. Suasana masih sama, tetapi ada hal yang berbeda juga. Jumlah anggota keluarga sudah bertambah. Ia punya ibu baru yang kelihatannya cuku
"Aku tidak akan biarkan dia menyentuhmu. Kau itu milikku." Kalimat itu berputar-putar di kepala Luna sepanjang hari. Apakah kakaknya itu serius? Apakah Devin benar-benar menaruh hati padanya? Bagaimana mungkin kedua bersaudara itu punya obsesi yang sama? Colin mungkin memperbudaknya hanya untuk kesenangan saja, namun bagaimana dengan Devin? Mereka belum terlalu lama saling mengenal. Lalu mengapa dengan mudahnya dia mengatakan hal seperti itu? Saat ini semua pertanyaan itu berkecamuk meminta jawaban di kepalanya. Tidak hanya itu, Luna juga tengah pusing dengan kebohongan yang ia katakan pada Devin. Colin jelas melakukan sesuatu, namun ia memilih untuk tidak melaporkannya. Tidak melakukan apapun? Bagaimana dengan rasa sakit, tangis, dan segala perlakukan buruknya selama ini? Hal itu tidak dihitung sebagai sesuatu? Apa yang ada di dalam pikirannya, ia tak mengerti. Luna memastikan Colin sedang tidak ada di sekitarnya sebelum menghampiri Devin. Sang kaka
Apabila sebuah pintu bisa merasakan sakit, keluhan saja tidak akan cukup untuk meluapkan sakit yang ia terima. Seperti orang gila, pria itu memukulinya, seakan-akan tangan dan kakinya tidak merasakan sakit sama sekali. Tidak habis hanya pukulan, umpatan juga ia layangkan pada benda mati itu. Devin, bisa dikatakan dia begitu marah saat ini. Dia merasa dibohongi, dibodohi, diperdaya dan dipermainkan. Baru saja dia mengakui perasaannya, tetapi apa yang dia dapatkan? Kebohongan bahkan hal menjijikkan. Jelas saja ia marah. Selama ini perasaan aneh yang ia rasakan di antara dua orang itu memang benar adanya. Ia bahkan berpikir jika sebenarnya mereka berdua sedang menertawakan kebodohannya. Luapan amarahnya memuncak dengan tendangan pada pintu untuk terakhir kali. Rambutnya diacak kasar, mode amarahnya meluap-luap. Ia tak bisa tenang dengan hanya menghancurkan apapun yang ada di hadapannya, itu tidak cukup. Dirogohnya saku celana untuk sesuatu yang ia sembunyikan sejak mala