Luna tinggal bersama kedua orang tuanya, terpisah dari Colin yang tinggal sendiri di apartemen. Ia akan aman jika terus berada di bawah pengawasan mereka. Namun, hari terus bergulir hingga waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Waktunya perpisahan. Bulan madu sudah direncanakan, dan hari ini Luna akan ditinggal sendirian di rumah.
Luna menjadi pendiam. Dirinya memang bukan orang yang banyak bicara, tetapi belakangan ia menjadi semakin senyap. Pikirannya kalut hanya dengan berbagai bayangan tentang apa yang mungkin Colin lakukan terhadapnya selama sebulan penuh. Rumah memang tidak benar-benar kosong karena mereka punya asisten rumah tangga. Tetapi ia tidak berharap banyak pada wanita tua yang hanya berada di rumah kurang dari 12 jam. Luna terlalu khawatir sampai dalam beberapa hari terakhir ia tak bisa tidur. Mimpinya tidak pernah bersih dari rentetan rasa sakit yang ditakutinya akan terulang.
Saat ini Luna sedang termenung di halte bus sekolahnya. Ia sama sekali tidak gembira menyambut hari ini. Ia tahu bahwa ia akan dijemput oleh sang kakak. Dia akan tinggal sementara di rumah keluarga. Mereka berdua akan mengantarkan ayah dan ibu ke bandara.
Gadis itu mendengus ketika ia melihat sebuah sedan yang ia kenali dari kejauhan. Sampailah sudah pria itu. Mobil berkilau itu berhenti di hadapannya, beberapa orang yang juga berada di halte otomatis mencuri pandang. Ketika jendela mobil diturunkan, beberapa bisikan terdengar. Telinga Luna terlalu peka untuk tidak mendengar pujian dari kawan-kawan sekolahnya. Lagi, pria itu seakan-akan tahu caranya menebar pesona.
“Halo cantik,” ucap Colin dari dalam mobil. Senyumnya lebar sekali, membuat beberapa gadis di sekitar mereka langsung bereaksi berlebihan. Pria itu tidak menggubris mereka, ia langsung turun dari mobil dan membukakan pintu untuknya, “Untuk Tuan Putriku.”
Ironi. Paradoks di antara perilaku yang diperlihatkan Colin saat ini membuat Luna ingin mengasihani dirinya sendiri. Matanya teralihkan pada sepatu kotor yang dikenakannya. Ironi lagi? Iya. “Bahkan aku merasa diriku lebih kotor dari sepatu ini,” lirihnya tanpa sadar.
“Kau berkata apa?”
Luna tersentak, “Tidak, Kak! Aku tidak berkata apapun.”
“Cepat masuk.” Kalimat pelan namun penuh penekanan itu memaksa Luna melawan egonya sendiri, ia pun bergerak masuk ke dalam mobil dengan seluruh rasa sakit yang mungkin menantinya di dalam.
Mobil dikemudikan dengan perlahan, terlalu perlahan untuk sebuah mobil yang dikemudikan di jalan yang lengang. Sang pengemudi seakan-akan sedang mengulur waktu, agar masa perjalanan menjadi lebih panjang dari seharusnya. Luna, dirinya sedang termenung memandangi refleksi sang kakak dari jendela mobil. Ia bertanya-tanya dalam hati, mengapa sifat pria itu tidak seindah wajahnya? Ingatannya membawa ia kembali pada hari di mana ia bertemu pertama kali dengan Colin. Kakak impiannya telah datang. Sayang sekali semua telah dinodai oleh pria itu sendiri.
“Luna,”
Luna tersentak, terkejut berlebihan setelah tiba-tiba saja Colin menyentuh pahanya. Ia otomatis menjauhkan tangan itu, tetapi tidak mudah melakukannya. Tangan Colin terlalu kuat dan tanpa bisa ditahan ia bebas membelainya.
“Pahamu sangat lembut,” ucapnya pelan. “Aku sangat ingin mengecupnya.”
Luna bergidik, ia otomatis kegelian. Tangan Colin tidak juga berhenti meski seharusnya ia fokus pada jalan. Luna akan terus menolak perlakuan itu, dia khawatir dengan keselamatan mereka. Jalan yang sepi tidak menjamin mereka akan selamat jika Colin terus bersikap gila.
“Kakak, tolong berhati-hati. Kita harus segera ke bandara. Ayah dan Mama menunggu,” jelas Luna sedikit kewalahan.
Colin mengangguk, seakan-akan mengiyakan perkataan Luna. Namun mobilnya malah berpindah jalur dan menepi. Benar-benar seorang yang tidak pernah menurut. Luna panik saat sadar jalan yang mereka lalui kosong. Sejauh mata memandang, tidak ada mobil lain yang melintas. Entah sejak kapan ia mengambil jalan lain yang sepi seperti ini.
"Tidak akan lama, Sayang."
Colin melepas kemudinya kemudian menarik Luna secara paksa. Wajahnya berubah menjadi serius, ia menggenggam tangan Luna seperti mencengkram benda mati. Ia lupa jika Luna adalah manusia yang bisa merasakan sakit.
"Tapi! K-kakak! Tunggu!" Alhasil Luna menangis, mencoba melepaskan tangannya yang langsung memerah begitu pula dengan matanya.
"Ayolah. Bukankah kita sudah pernah melakukannya? Kau sudah mengerti. Akan terasa berbeda jika kali ini kau tidak terlalu banyak menolak.”
"Bukankah kita harus segera ke bandara?” tanya Luna hampir terisak. Ketika Colin mencoba menarik tubuhnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap berada di kursi. “Ayah dan Mama akan kecewa jika kita tidak di sana.”
"Biarkan saja, mereka akan mengerti." Colin kembali menarik kedua tangan Luna. “Mereka ingin berbulan madu, kita pun bisa melakukannya.”
"Jangan! Jangan sekarang! Aku mohon jangan sekarang. Kakak, aku mohon."
"Baiklah. Namun kau harus melayaniku malam ini." Colin menatap Luna layaknya sedang menodongkan pisau. Tanpa perlu melanjutkan redaksi, Luna tahu bahwa ia tengah diancam.
Luna menelan ludahnya kasar, "I-iya. Aku janji. A-aku akan melakukannya.”
“Kau apa?”
“A-aku akan melayani Kakak.”
Setiap kata yang dikeluarkannya, Luna akan menyesali itu. Betapa ia tidak bisa mengalahkan ketakutannya sendiri, ia meratap. Colin tersenyum senang, kemenangan berada di tangannya. Tanpa peduli pria itu kemudian melepaskan genggamannya. Genggaman itu begitu erat meninggalkan bekas di tangan Luna. Gadis itu sampai meringis. Namun bagi Colin, itu bukan pedulinya.
"Kau semakin menggoda jika kesakitan, kau tahu,” ucapnya santai seraya kembali menyalakan mesin mobilnya. “Itu membuatku ingin menyakitimu lebih banyak lagi.” Dengan seringai yang bagi Luna begitu menakutkan, mobil kembali bergerak menuju tempat yang mereka janjikan bersama orang tua mereka.
.
.
.
.
.
Hari ini, kedua orang tua mereka akan pergi ke Hawaii. Pesawar akan lepas landas dalam satu jam. Namun jika menghitung perjalanan yang sudah dilakukan Colin sejak dari universitas hingga sampai ke bandara, maka mungkin mereka tak sempat bertemu. Luna sedikit khawatir jika akan mengecewakan, tetapi Colin sama sekali tidak peduli.
Beruntung, nasib berpihak pada Luna ketika sang ibu memanggilnya dari kejauhan. Seharusnya ia bahagia ketika melihat pasangan baru itu terlihat begitu romantis, tetapi hatinya merasa miris.
"Ah, Ibu! Ayah!"
Colin melambaikan tangannya dengan senyum lebar. Sesuatu yang membuat Luna terkejut. Dia tahu pria itu tidak pernah setuju dengan pernikahan yang terjadi. Luna hanya menunduk dan murung. Dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri yang tidak suka dengan kepergian orang tuanya. Tidak ada lagi jaminan keselamatan yang ia butuhkan.
Colin sangat peka, ia dengan cepat menyadari ekspresi Luna yang akan memancing kecurigaan. Sebelum mereka melangkah, terlebih dulu ia menarik Luna merapat dan membisikkan sesuatu, "Aku akan memperkosamu sampai mati jika kau tidak tersenyum sekarang!"
Ancaman itu seperti mematikan semua saraf Luna. Ia bergidik di tempat. Colin benar-benar mengerikan. Luna ingin sekali lari dari sana. Namun ia terperangkap di antara senyuman yang harus dengan keras ia tunjukkan.
"Kalian dari mana saja? Mengapa lama sekali?" tanya Ibu mereka.
Colin yakin Luna sangat gugup untuk mengatasi pertanyaan saat itu. Ia lebih suka berpura-pura baik ketimbang membiarkan adik bodohnya menjawab dan memberikan kecurigaan. "Kami tadi terjebak macet sebentar. Lagipula aku sudah katakan, kami mungkin terlambat. Jadi kalian bisa langsung pergi saja."
Colin menemukan sesuatu yang aneh ketika kedua orang tua itu saling melempar senyum. Ia terlalu paham dengan ekspresi mencurigakan, ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan. Kerlipan tidak biasa yang dilihatnya membuat ia penasaran. "Ada apa?" tanya Colin kemudian.
"Sebenarnya pesawat kami akan berangkat jam tujuh. Kita masih punya tiga jam lagi," jelas sang Ibu dengan tawa kecil. Sang Ayah pun ikut tersenyum bertindak lebih mencurigakan lagi. Apapun itu, mereka mengisyaratkan sesuatu yang tidak biasa.
"Lalu kenapa kalian menyuruh kami untuk datang secepat ini? Kita tidak mungkin menunggu selama tiga jam di sini, bukan?”
Mereka kembali tertawa. "Sebenarnya, kami punya kejutan untuk kalian berdua,” jawab sang Ibu. "Luna, apa kau senang punya kakak seperti Colin?"
Luna tidak mengantisipasi pertanyaan seperti itu hingga ia sedikit kelabakan. Untung saja dia cepat mengendalikan diri. Jika tidak, ia akan memancing kecurigaan. “Iya, Mama. Tentu aku sangat senang.”
Colin tersenyum untuk usaha Luna yang satu itu. Ia bangga. Seorang budak telah dididik dengan baik.
"Lalu, apa kau senang jika akan punya kakak lagi?"
Luna memasang wajah terkejut sekaligus bingung. Ia tidak mengerti dengan pertanyaan itu.
Lain daripada Luna yang sepenuhnya polos, Colin tahu sesuatu. Seketika ekspresi baik yang ditunjukkannya hilang. Ia otomatis kesal. Ia sangat tidak suka dengan ide itu. “Apa-apaan? Ayah? Mengapa tidak bertanya padaku lebih dulu?”
Luna hanya bisa diam saat melihat Colin sangat marah. Ia bisa melihat bahwa pria itu benar-benar kesal. Ekspresinya membuat takut.
Luna ikut bertanya karena ia bingung, "Apa maksudnya?"
"Ini sesuatu yang belum Ayah ceritakan padamu, Luna,” jawab sang Ayah. Diselingi sebuah senyuman, ada perasaan senang yang coba ia sampaikan. “Sebenarnya, Colin punya adik, dan dia dua tahun lebih tua darimu."
"Sungguh?" Luna langsung menatap Colin yang benar-benar murka dalam diamnya. Ada sesuatu yang tidak beres.
"Seharusnya dia sudah di sini sekarang."
"Kenapa tidak memberitahuku lebih dulu? Kenapa tidak bertanya pendapatku?" Seperti kebakaran janggut Colin bertanya. Ia terlihat jelas tidak suka dengan keadaan yang hanya Luna sendiri tidak mengertinya.
"Sebaiknya kalian akur selama kami pergi. Dia adikmu. Kalian berdua sudah dewasa. Sudah saatnya kalian bersama-sama lagi."
Hal ini benar-benar baru bagi Luna. Dia tidak pernah menduga kalau Colin punya saudara. Ia bertanya-tanya akankah sifatnya sama dengannya. Semoga saja tidak. Colin sudah cukup membuatnya menderita. Menambah satu kakak dengan sifat sama hanya akan menyiksa Luna lebih banyak.
"Ah, itu dia."
Pandangan Luna langsung mengedar pada arah yang ditunjuk oleh sang ayah. Sekilas ia melirik pada Colin, pria itu benar-benar masam. Hanya dia yang tidak bersemangat dengan kabar itu. Sedikit banyak Luna menduga kalau kedua saudara hubungannya tidak baik.
"Devin!"
Seseorang dengan aura kuat sedang menggeret koper ke arah mereka. Ia tinggi, berperawakan kuat dengan pakaian serba hitam. Ia memakai topi, kacamata hitam, juga sebuah jaket kulit. Selain koper ia menggendong tas besar lain di punggungnya. Tas itu hanya berisikan satu benda yang Luna sangat tau apa. Sekilas, dirinya dan Colin tidak mirip. Mereka tampak sangat berbeda.
"Daddy!" Pemuda itu memeluk sang ayah. Pelukan itu hangat, terlihat cukup menyenangkan bagi Luna. "Apa ini ibu baruku?” Ia kemudian memeluk sang ibu. “Wah, dia bahkan masih terlihat sangat muda."
Sang Ibu mengusap rambutnya, “Kau setampan ayahmu."
Lelaki yang dipanggil Devin itu tersenyum lebar untuk merespon pujian tampan yang ia dengar. Berbeda sekali dengan Colin saat pertama kali bertemu sang ibu—saat itu ia langsung mengamuk dan melayangkan berbagai macam protes—Devin menunjukkan persetujuan yang wajar. Ia juga sangat ramah meski aura yang ia berikan terlalu kelam bagi Luna.
"Dan siapa si Manis ini? Adik baruku, ya?" Ia memandang Luna dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia menurunkan kacamatanya. "Hai cantik. Ah, sayang sekali. Padahal dia sangat manis untuk aku kencani. Kenalkan aku pada temanmu yang cantik nanti.”
Luna cukup terkejut juga tersipu saat mendengar pujiannya. Dalam satu menit keberadaannya, ia memberikan berbagai ekspresi. Namun semua itu mengarah pada hal yang positif. Berbanding terbalik dengan Colin.
Colin tampak jijik dengan momen itu. Ketika Luna meliriknya, dia memberikan ekspresi yang sangat buruk. Ditambah dengan yang dilakukan sang adik tadi, dia terlihat benar-benar emosi.
Luna gemetar. Devin mungkin bersahabat, tetapi Colin terlalu menakutkan. Pengaruhnya lebih besar, ia ketakutan jika pria itu mengamuk dan menjadikannya sebagai pelampiasan. Benar saja, setelah itu Colin langsung menariknya ke dalam rangkulan, seakan-akan Devin adalah seseorang yang tidak boleh didekati.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Colin dengan nada menusuk.
Ekpresi Devin yang menyenangkan tiba-tiba berganti, kini wajahnya ia tak kalah menakutkan dari Colin. Ia memang tersenyum, tetapi senyum itu tidak bersahabat sama sekali. "Aku ingin melihat keluarga baruku. Ada masalah, Kak?" Devin seperti memprovokasi, ia menjawab dengan sedikit penekanan pada panggilan ‘kakak’. Luna merasa bahwa lelaki itu tengah membakar atmosfer di sekitar mereka. Pertikaian bisa saja terjadi dalam waktu dekat.
"Hei. Kalian baru bertemu sekian lama. Apa harus seperti ini?" Sang ayah melerai mereka. Ketegangan hanya mengendur, bukan berakhir.
Luna bisa menarik kesimpulan dari kejadian itu: hubungan keduanya tidak baik.
"Ayo kita makan bersama. Devin pasti lapar,” ajak sang ibu.
"Benar sekali, mother. Aku sungguh lapar.” Lagi, senyuman Devin berbeda. “Kita makan bersama dulu sebelum kalian pergi bulan madu,” lanjutnya.
"Aku setuju."
Untuk saat ini, Luna masih tidak bisa menebak akan seperti apa Devin. Dia memberikan kesan yang membingungkan. Sifat, perangai, dan gayanya membuat Luna tak yakin. Pertikaian bersaudara itu pun tidak cukup jelas menjawab rasa penasaran Luna. Ia tidak berharap bisa meminta pertolongan darinya. Tetapi setidaknya, semoga Devin tidak melukainya seperti yang Colin lakukan.
Memilih untuk makan di restoran dekat bandara, keluarga—yang terlihat—bahagia itu makan bersama. Mereka menampilkan sebuah potret kemesraan keluarga di tempat umum. Kedua orang tua tampak adil pada semua anak, begitu pula anak-anak yang terlihat sangat menghormati mereka. Keluarga ini punya pamor yang terpandang, hanya jika masing-masing perasaan mereka tidak diungkapkan.
Colin tidak pernah melepaskan Luna walau sebentar. Ia bahkan terlalu dekat, berkali-kali meminta sang adik untuk tidak kontak dengan si anggota keluarga yang baru datang. Pada kesempatan di mana tidak ada yang melihat, ia rajin memberi peringatan. Seperti tidak boleh satu inchi pun Luna tersentuh oleh orang lain.
"Jadi, Ayah dan Eomma akan bulan madu berapa lama?"
Mata Colin memincing, Luna ikut menatap ke arah Devin yang melayangkan pertanyaan dengan nada gembira.
"Sebulan mungkin?"
"Lama sekali.” Devin cemberut, “aku baru sampai dan kalian malah pergi."
"Jangan khawatir. Kami usahakan untuk pulang lebih awal,” jawab sang ayah. “Kau bisa tinggal bersama Colin dan Luna nanti."
Gerakan mulut Colin yang sedang mengunyah otomatis berhenti, ia langsung menatap sang ayah si pemberi redaksi dengan lekat. Tatapan itu mengerikan, Luna enggan melihatnya terlalu lama. “Aku tidak setuju.”
“Dia akan tinggal di rumah ayah,” sahut ayah.
“Kalau begitu Luna ikut bersamaku.”
Devin sesungguhnya tidak masalah, tetapi karena Colin terlihat emosi, ia menemukan sebuah hiburan. “Tapi aku tidak mau tinggal sendiri. Adik cantik, apa mau tinggal bersamaku?”
“Luna bersamaku. Kau tidak bisa dengar?”
“Aku tidak bertanya padamu, Kak. Luna Sayang, apa mau tinggal bersama Kak Devin?”
Luna tentu saja dilemma. Ia tidak bisa memutuskan. Memilih bersama Colin hanya akan membiarkan dirinya terus-terusan menjadi pelampiasannya. Tetapi bersama Devin juga bukan pilihan karena sifat lelaki itu belum diketahuinya sama sekali.
"A-aku ingin bersama Kak Colin saja."
Pada akhirnya mulut Luna berucap manis di hadapan Colin, semata-mata karena tanpa diketahui di bawah meja pria itu sedang memberikan ancaman. Ia sama sekali tak punya keberanian untuk menolak, bahkan di tempat di mana ia bisa saja meminta pertolongan. Pengaruh Colin terlalu kuat dan ia tak tahu apakah membuatnya marah akan menjadi pilihan yang benar.
“Baiklah,” tukas Devin tanpa protes.
Colin membuat paha Luna terasa perih, ia perlu undur diri sejenak jika tidak ingin ada orang yang curiga dengan gelagatnya. "Eh…." Luna bangun dari duduknya. "Aku izin pergi ke toilet."
Hanya butuh beberapa detik bagi Devin untuk mengikuti Luna. “Aku juga ingin ke toilet sebentar.”
Colin menjadi sangat waspada. Terlalu mencurigakan jika ia ikut pergi. Ia hanya mengawasi dari kejauhan. Daripada dicurigai terlibat sesuatu dengan Luna, ia lebih suka menampilkan hubungan tidak akurnya dengan Devin.
Luna tidak tahu apa yang terjadi di luar, ia menyibukkan diri dengan membasuh wajahnya dengan air. Lihatlah dirinya yang sekarang, sepenuhnya menjadi budak nafsu sang kakak. Bahkan ia tak bisa berkutik di hadapan semua orang. Ia telah kalah oleh ketakutannya sendiri.
“Hei,”
Luna terkejut ketika mendengar suara, ia langsung melihat cermin di hadapannya. Betapa terkejutnya ia menemukan Devin sedang bersandar di ambang pintu. “Kak Devin? Sedang apa di sini?” tanya Luna panik. “Ini toilet wanita.”
“Aku memang hendak ke sini.” Devin melihat ke sekitar, lalu ke dalam toilet juga. Tidak ada orang di sana. Hal yang sangat aneh padahal ini adalah restoran yang ramai. “Bagus, aku perlu bicara denganmu.”
“Tapi—“ Luna belum sempat melayangkan lebih banyak protes saat Devin melangkah cepat mendekatinya lalu menariknya ke dalam bilik toilet. “Kakak!”
"Dengar!" Seketika gadis itu terpaku. "Kau mungkin berpikir aku akan sama seperti Colin di pria lembut di luar sana. Kau salah. Aku tidak akan segan-segan melukaimu jika kau melawanku.” Lelaki itu tersenyum lalu mengusap rambut Luna pelan. Ia kemudian membisikkan sesuatu ke telinganya. “Ingatlah, selama ayah dan ibu pelacurmu itu pergi, kau akan melayaniku."
Luna terpaku hingga tak sadar meneteskan air mata. Sekali lagi, ia mendengarkan ancaman seperti itu. Berakhir sudah harapannya menemukan seseorang yang akan membantu, ia hanya terjatuh lebih dalam lagi pada penderitaan.
“Good girl.”
To be continued
by Ayasa
Napas menderu tidak ikhlas, Luna meratapi pesawat yang lepas landas. Ia murung, awan hitam berada di atas kepalanya. Kedua orang yang bisa menjamin keselamatannya telah pergi, kini ia terjebak bersama di sadis Colin dan si gila Devin. Luna tersentak saat tiba-tiba sebuah lengan melingkari tubuhnya. Ia terkejut, tetapi berhasil menguasai diri karena sudah tau siapa yang melakukannya. Tanpa menoleh sekalipun, ia sudah mengenali dekapan siapa ini. Dia tidak malu, melakukan hal itu di depan umum. Sebuah kecupan di pucuk kepala Luna mengawali berbagai mimpi buruk yang akan menanti. Colin menempatkan bibirnya setengah inchi dekat telinga Luna lalu berbisik, “Ayo kita pulang. Ada janji yang perlu kau tepati dan … kasur yang perlu kau hangatkan.” Bulu kuduk Luna merinding. Saat napas Colin mengalir menuju lehernya, ia berkeringat. Bahkan setelah pelukan berakhir, kengerian masih tersisa. "Ayo pulang." Colin berjalan dengan perasaan bahagia, sementara
Luna berjalan pelan dengan kepala menunduk. Tidak bisa bebas dari ingatan, ia kembali mengingat apa yang terjadi kemarin. Dirinya menyesal ketidakberdayaan melawan Colin. Tubuhnya dipermainkan tanpa tanggung jawab. Sekarang ia perlu berpura-pura sehat, pelan-pelan melangkah dan mangkir dari pelajaran olahraga. Mana mungkin kewanitaannya tidak perih. Colin sama sekali tidak peduli dengan hasil perbuatannya sendiri, dia merajalela bahkan kurang dari 12 jam kepergian orang tua mereka. Gadis itu melangkah malas menuju gerbang sekolah. Dirinya tertinggal jauh dari iringan teman sekelas yang juga pulang. Ia tak bersemangat kembali ke rumah. Ia tidak ingin menemui Colin. Sekarang rumah bukan lagi tempatnya berlindung melainkan penjara. Lamunan menjadi membuatnya tertawan, tak sadar kakinya sampai di gerbang sekolah. Ia enggan mengangkat kepala. Ia tidak siap mendapati sedan Colin di sana. Ia tidak ingin naik kereta kematian. Setelah mempersiapkan hati, ia mengangkat kepala.
"Tenang saja. Karena kau sekarang adikku, aku akan menjagamu." Mata Luna berbinar, ia menatap pria di sampingnya dengan sungguh-sungguh. Ia berharap telinganya tidak berbohong, ketika ia mendengar ucapan seperti itu dari seorang Devin. Kalimatnya sangat indah, seperti sebuah mimpi yang sejak lama didambakan akhirnya dapat terwujudkan. “Su—sungguh?” Luna gagap karenanya. Devin menertawakannya, “Mengapa? Kau tidak percaya?” “Aku hanya … terkejut.” “Tidak perlu terkejut.” Devin kemudian menarik Luna mendekat dan merangkulnya, “kalau kau kedinginan kita sebaiknya pergi dari sini.” Luna begitu senang. Hal ini seperti mimpi yang sudah lama ia dambakan untuk terwujud. Semuanya benar-benar menyenangkan hingga ia mengingat sesuatu. "Kak Colin, dia pasti mencariku." Seperti kehilangan nyawa, ia menghela napas pelan. Ah, ia masih punya masalah dengan pria satu itu. Respon yang ia terima benar-benar menenangkan, Devin hanya tertawa, "Biarkan saja.
"Luna." Jantung Luna berdebar kencang setelah merasakan pelukan mendadak di punggungnya. Tangannya yang sedang bekerja segera terhenti. Ia mencoba menghilangkan gemetar yang terlihat jelas, tetapi jujur ia benar-benar takut. Hanya pikiran negatif yang saat ini bisa terlintas di otaknya. "I—iya?" "Ambilkan aku paper towel," Suara Devin menggelitik telinga Luna. Jelas, ia dapat merasakan udara yang mengalir keluar dari hidung lelaki itu. Telinganya seperti tengah dipermainkan oleh napas menderu yang begitu menggoyahkan. "Baik," Devin menempatkan dagunya di bahu Luna. Gadis itu segera memberikan paper towel untuknya. Ia dengan cepat melakukan itu karena ia mengalami senam jantung. "Thanks—sh. Ah, sialan." Akhirnya Devin melepaskan pelukannya. Astaga. Jantung Luna hampir jatuh. "Kurasa aku akan pergi ke kamar saja. Kau juga, langsung istirahat saja. Jangan melakukan apapun lagi. Sialan hidung ini." "Tapi, pulang—"
Matahari sudah naik saat pria itu bangun dan memilih untuk keluar kamar. Di depan pintu, ia menyambut pagi yang terlambat dengan sedikit meregangkan tubuhnya. Ah, tidur yang menyenangkan. Sudah lama sejak terakhir ia merasakan kenikmatan tidur seperti tadi malam. Ia bahkan belum membasuh wajah, apalagi menyikat gigi. Meski telihat begitu kusam, ia tidak peduli. Walau matanya masih sedikit malas untuk membuka, ia berhasil sampai ke dapur untuk mencari seteguk air. Devin, walau dia baru beberapa hari kembali dari Amerika, ia sama sekali tidak asing. Tidak ada yang berbeda dari rumahnya yang dulu dan sekarang. Setiap hari orang yang memberinya makan adalah Bibi Susi yang juga tak berubah, hanya sedikit menua. Ia tidak perlu adaptasi dengan keadaan rumah. Meski sudah bertahun-tahun tak tinggal di sana, ia menganggap semuanya tak berbeda. Suasana masih sama, tetapi ada hal yang berbeda juga. Jumlah anggota keluarga sudah bertambah. Ia punya ibu baru yang kelihatannya cuku
"Aku tidak akan biarkan dia menyentuhmu. Kau itu milikku." Kalimat itu berputar-putar di kepala Luna sepanjang hari. Apakah kakaknya itu serius? Apakah Devin benar-benar menaruh hati padanya? Bagaimana mungkin kedua bersaudara itu punya obsesi yang sama? Colin mungkin memperbudaknya hanya untuk kesenangan saja, namun bagaimana dengan Devin? Mereka belum terlalu lama saling mengenal. Lalu mengapa dengan mudahnya dia mengatakan hal seperti itu? Saat ini semua pertanyaan itu berkecamuk meminta jawaban di kepalanya. Tidak hanya itu, Luna juga tengah pusing dengan kebohongan yang ia katakan pada Devin. Colin jelas melakukan sesuatu, namun ia memilih untuk tidak melaporkannya. Tidak melakukan apapun? Bagaimana dengan rasa sakit, tangis, dan segala perlakukan buruknya selama ini? Hal itu tidak dihitung sebagai sesuatu? Apa yang ada di dalam pikirannya, ia tak mengerti. Luna memastikan Colin sedang tidak ada di sekitarnya sebelum menghampiri Devin. Sang kaka
Apabila sebuah pintu bisa merasakan sakit, keluhan saja tidak akan cukup untuk meluapkan sakit yang ia terima. Seperti orang gila, pria itu memukulinya, seakan-akan tangan dan kakinya tidak merasakan sakit sama sekali. Tidak habis hanya pukulan, umpatan juga ia layangkan pada benda mati itu. Devin, bisa dikatakan dia begitu marah saat ini. Dia merasa dibohongi, dibodohi, diperdaya dan dipermainkan. Baru saja dia mengakui perasaannya, tetapi apa yang dia dapatkan? Kebohongan bahkan hal menjijikkan. Jelas saja ia marah. Selama ini perasaan aneh yang ia rasakan di antara dua orang itu memang benar adanya. Ia bahkan berpikir jika sebenarnya mereka berdua sedang menertawakan kebodohannya. Luapan amarahnya memuncak dengan tendangan pada pintu untuk terakhir kali. Rambutnya diacak kasar, mode amarahnya meluap-luap. Ia tak bisa tenang dengan hanya menghancurkan apapun yang ada di hadapannya, itu tidak cukup. Dirogohnya saku celana untuk sesuatu yang ia sembunyikan sejak mala
Aktivitas pagi di rumah keluarga itu berjalan seperti biasa. Asisten rumah tangga mereka yang tidak tau apapun datang pagi sekali untuk membuatkan sarapan bagi penghuni rumah. Si anak tertua yang tidak biasanya memilih menginap juga bangun lebih pagi karena dia punya kelas di pagi. Kepalanya sedikit berputar saat pertama kali membuka mata, tetapi karena dia sudah mengetahui apa yang mesti ia lakukan, rasa itu bisa ia hilangkan dengan segera. Sama halnya dengan anak gadis di rumah itu. Ia terbiasa untuk bangun pagi, tidak perlu seseorang untuk membangunkannya. Ini hari Senin. Dia harus kembali ke sekolah, dunia yang seharusnya ia nikmati dengan kesenangan. Luna sekali lagi merasakan sakit pada tubuhnya karena perlakuan yang ia terima akhir-akhir ini. Jika saja bisa, ia ingin memperpanjang hari libur untuk beristirahat. Tetapi jika berada di sekolah berarti aman dari kedua kakak laki-lakinya, maka ia memilih untuk pergi. Satu-satunya orang yang memulai hari dengan cara
"Ya, mereka memanggilku Ares karena aku dianggap saingan paling berat dalam perang." Tatapan pria itu sangat yakin, mencoba menaikkan harga dirinya di depan seorang wanita cantik yang sedang ia incar. "Aku suka olahraga, hobiku sepakbola tapi aku lebih sering bermain basket bersama teman-temanku. Yah, hanya bermain saja." "Bagaimana dengan keluargamu?" "Keluargaku? Hmm ... Ayahku seorang pengusaha dan aku punya kakak laki-laki yang sudah menikah." "Kau juga ingin menikah?" "Denganmu? Tentu saja." Entah sejak kapan ia memiliki keahlian menggoda wanita seperti itu, tetapi ia berkata jujur jika ia ingin segera menikah. "Daddy!" Keduanya serentak menoleh ke arah sumber suara, si kecil manis yang tiba-tiba mendekat dan memanggilnya dengan sebutan 'Daddy'. "Daddy!" Seorang gadis kecil, dengan rambut di kuncir dua, memeluk kaki si pria dengan erat. "Daddy~" "Wait? Daddy? Kau
Ballroom penuh dengan para undangan, gadis-gadis kecil dengan gaun merah muda mereka, dan juga kedua pengantin yang saling menatap di depan altar. Semua perhatian tertuju pada mereka yang saling mengucap janji. Janji suci pernikahan. "You may kiss the bride." Senyum tidak pernah hilang dari keduanya. Luna pelan-pelan mendekat, menunggu Colin untuk bertindak, apapun itu. Wajah mereka sangat dekat, semua orang menunggu ciuman pengantin mereka. Namun sudah lima detik dan keduanya belum berciuman. "Kakak akan menciumku atau tidak?" Colin tersenyum licik. "Kenapa kau bertanya? Tentu saja." Semua orang berseru seakan-akan apa yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Ciuman sederhana dari Colin, membuat semua orang senang. Colin sendiri tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Balutan jas formal berwarna putih senada dengan gaun Luna, melengkapi kisah cinta mereka yang akhirnya berakhir indah. Mereka sudah resmi m
Luna tidak bisa duduk dengan tenang. Ia terus saja menoleh ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kiri Devin. Berkali-kali ia menarik tangan sang Kakak. Jangan salahkan, dia memang sedang menunggu seseorang. Aksinya bahkan terlalu mengejutkan bagi Devin yang juga menemaninya di sana. Tangannya terus ditarik bahkan sampai ia mengaduh. "Kakak sudah menghitung waktunya dengan benar, 'kan? Apa mungkin kita datang terlalu cepat?" Gadis itu menggerutu, wajahnya masam, dan ia tak betah duduk diam. Devin benar-benar kebingungan dengan hal ini. Ia merasa Luna menjadi sering mengomel dan menggerutu belakangan ini. "Iya. Aku sudah menghitungnya dengan benar." Devin menjawabnya sedikit kesal. "Lagipula kenapa kau tidak tanya Colin saja? Kau tahu jawabannya lebih menjanjikan daripada jawabanku." "Kakak sungguh-sungguh tidak salah, kan?" Luna menepuk lengan Devin dengan keras. "Dia bukan datang besok, 'kan?" Devin seketika meringis, ia otomatis menyapu lengann
Ketiga pria itu berwajah gusar di depan ruang bersalin. Mereka berada pada mode panik, karena dilarang masuk melihat kondisi Luna. Dimas sibuk dengan ponselnya, menghubungi semua orang yang ia bisa hubungi. Devin duduk menggigit jarinya, berusaha tenang, padahal ia sangat takut. Colin? Dia berdiri di depan pintu ruang bersalin, mencuri lihat dari kaca buram yang sama sekali tidak membantu apapun. Segera setelah ketuban Luna pecah, ia menggendong Luna dan membawanya menuju ruang bersalin, mengejutkan semua orang yang sedang bersantai. Ketiga pria itu sama-sama menggila, ingin sekali masuk dan mendampingi Luna di tengah-tengah perjuangannya. "Ah! Kakak!" Mereka otomatis terkejut, sama-sama khawatir dan merasa terpanggil dengan sebutan Kakak’ yang diucapkan Luna. Tubuh Colin bergetar, ketakutannya kembali datang. Matanya mengerjap disandingi airmatanya yang tidak bisa dihentikan. "Devin," Ia bergetar memanggil nama Devin, seakan-akan ingin adiknya itu tahu apa y
Matahari belum terlihat, dua pria itu menghambur koridor panjang rumah sakit yang masih tidak begitu ramai. Seorang darinya masih dengan mata yang bengkak, rambutnya tak beraturan dan juga baju kaosnya yang mungkin terbalik. Satu lagi memilih untuk menggunakan kacamata karena jujur, matanya sangat sakit karena dia paksa terbuka. Dua pria itu berlari secepat yang mereka bisa menuju IGD di mana mereka di beri kabar bahwa Luna akan melahirkan.Dimas berdiri di tengah koridor membuat mereka tak perlu seperti orang gila mencari-cari kepastian."Di mana Luna?" Pertanyaan langsung keluar dari mulut Colin bahkan sebelum ia benar-benar berhenti berlari. Napasnya sedikit sesak, mengingat dia bersama adiknya itu melakukan sprint dari tempat parkir. "Apa dia ... baik-baik saja? Apa dia sudah ... melahirkan?"Devin juga tidak sabar, tak mau duduk karena butuh kepastian. Dia juga akan bertanya hal yang sama jika berada di posisi Colin."Maaf.""Maaf?""Ka
"Kau di mana?"Pria itu berjalan dengan senyuman. Hatinya senang sekali, berbunga-bunga hingga ia tak bisa menghilangkan senyuman itu walau sekejap. Sambil berjalan dengan santai, ia berbicara di telepon."Aku sudah di hotel. Kau di mana? Belikan aku pizza.""Aku sudah di depan pintu.""Ah, sial. Aku ingin makan."Ia tertawa kecil, kemudian meraih gagang pintu. "Kita pesan saja." Ia kemudian memutuskan panggilan dan masuk ke dalam hotel."Kak!" Devin segera menghambur diri menghampirinya. "Bagaimana tadi? Apa semuanya lancar? Apa yang mereka katakan? Ayah juga ada di sini bukan? Apa dia melakukan sesuatu padamu?”Bagai angin lalu, semua pertanyaan Devin tak ia dengarkan sama sekali. Colin tak punya niat untuk memikirkan apapun saat ini. Ia membanting tubuhnya di kasur. Tubuh lelahnya butuh istirahat. Ia segera menutup mata, merasa siap untuk mimpi indah yang ia yakini akan menyambanginya lagi setelah sekian lam
"Kalau begitu beri aku tambahan uang." Pria itu bergumul di kasurnya dengan mata mengantuk. "Jika kau bawa mobilnya maka aku akan gunakan apa? Taksi?" "Kau sudah jawab pertanyaanmu sendiri." Lawan bicaranya sibuk merapikan penampilannya di depan cermin. "Ah!" Pria di bawah selimut itu merasa kesal, hanya bisa berguling-guling di kasurnya dengan kekanakan. "Kenapa aku tidak boleh ikut?" "Bagaimana mungkin aku membiarkan kau ikut? Ini kencanku! Kau ingin menggangguku?" "Baiklah, aku tidak ikut. Tapi berikan aku kartu ATM milikmu." "Aku membutuhkannya." "Ah, kau sama sekali tidak pengertian." Colin hanya terkekeh, ia lebih memfokuskan matanya untuk menata penampilannya. Ia akan menemui Luna! Sedikit gugup dengan apa yang terjadi kemarin, namun ia tidak akan mundur. Bukan Paman Ed, bukan sang Ibu Tiri, dan bukan Dimas. Dia ingin menemui Luna. Tidak peduli apapun yang dikatakan orang-orang itu, hari ini ia akan bertemu Luna.
"Dia tidak ingin menemuimu. Kau tidak perlu menemaninya. Dia bisa melakukannya sendiri." Keraguan terlihat di wajah Dimas, ia tak yakin dengan ucapan Luna, namun tetap menyampaikan seperti yang ia katakan. "Aku sudah mencoba membujuknya, tapi dia tetap menolak untuk keluar. Dia berkata kalau dia pusing dan tidak ingin diganggu. Kau diminta untuk pulang." Colin, yang sudah terlanjur tak senang dengan Dimas, tak bisa tenang dan percaya. "Kau bercanda? Luna tidak mungkin mengatakan hal itu!" Dia yakin pria itu mengada-ada, mengucapkan sesuatu yang tidak seharusnya dan membuat Luna tak ingin menemuinya. "Aku sudah berkata sebagaimana dia memberitahuku." Nada suara Dimas sedikit lebih tinggi. Namun masih kalah tinggi dari Colin yang bagai kebakaran jenggot. "Kau menipuku. Dia tidak mungkin mengusirku! Aku ayah dari bayinya!" "Tapi dia memang menolakmu! Seharusnya kau sadari itu sebelum kau hendak membunuhnya dulu!" "Aku membunuhnya? Beraninya kau!"
Colin diam, berusaha untuk tidak mempercayai apa yang tengah disaksikannya saat ini. Ia berusaha menghentikan pikirannya untuk menarik kesimpulan, bahwa apa yang dilihat oleh matanya kali ini tidaklah nyata. Pria asing yang ia biarkan membawa beruang tadi, adalah pria yang sama yang sedang menggandeng tangan Luna sekarang. Bukan, ia sangat sulit menerima kenyataan bahwa gadis itu adalah Luna. Ia berharap orang itu bukanlah Luna. "Itu benar-benar Luna." Sayangnya Devin tidak berkehendak sama dengannya. Daripada terkejut dan sakit, Devin lebih bersemangat. "Benar. Itu Kak Dimas. Sudah pasti itu Luna. Wah kebetulan sekali! Ayo kita—" Colin segera menghentikannya. Tangannya memegang lengan Devin erat-erat. Devin memasang ekspresi penuh tanda tanya. "Ada apa?" "Pria yang bersama dia itu, siapa?" "Dia Kak Dimas. Anak Paman Ed." "Anak Paman Ed? Dia?" Devin mengangguk. Lebih dari itu ia merasa sedikit sakit pada lengannya. Genggaman Co