Luna berjalan pelan dengan kepala menunduk. Tidak bisa bebas dari ingatan, ia kembali mengingat apa yang terjadi kemarin. Dirinya menyesal ketidakberdayaan melawan Colin. Tubuhnya dipermainkan tanpa tanggung jawab. Sekarang ia perlu berpura-pura sehat, pelan-pelan melangkah dan mangkir dari pelajaran olahraga. Mana mungkin kewanitaannya tidak perih. Colin sama sekali tidak peduli dengan hasil perbuatannya sendiri, dia merajalela bahkan kurang dari 12 jam kepergian orang tua mereka.
Gadis itu melangkah malas menuju gerbang sekolah. Dirinya tertinggal jauh dari iringan teman sekelas yang juga pulang. Ia tak bersemangat kembali ke rumah. Ia tidak ingin menemui Colin. Sekarang rumah bukan lagi tempatnya berlindung melainkan penjara.
Lamunan menjadi membuatnya tertawan, tak sadar kakinya sampai di gerbang sekolah. Ia enggan mengangkat kepala. Ia tidak siap mendapati sedan Colin di sana. Ia tidak ingin naik kereta kematian. Setelah mempersiapkan hati, ia mengangkat kepala. Tidak ada mobil maupun pemiliknya terlihat di manapun. Ini sebuah keajaiban?
Daripada menemukan Colin, telinga Luna mendengar keributan di halte. Ada beberapa gadis di sekolahnya sedang bergosip. Sebuah dejavu, Luna mengingat saat Colin menjemputnya beberapa waktu lalu.
Satu pandangan ke arah kerumunan cukup untuk membuat Luna tersentak. Bukan Colin yang ia temukan, tetapi seorang Devin. Lelaki itu sedang bersandar di motornya. Motor itu entah datang dari mana, ia tak tahu. Tetapi hal yang terpenting baginya adalah kabur. Ia tidak ingin menemui siapapun.
Luna sangat tidak beruntung saat Devin mendapati sosoknya dari kejauhan. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia segera mengejar Luna yang malah pergi ke arah berlawanan.
"Kudapat juga kau." Devin menyeringai. Ia membalik tubuh gadis yang ia tangkap, dan seratus. Dia memang Luna. Luna yang sedang menyesali dirinya karena kurang cepat kabur. "Kau tahu betapa lamanya aku menunggumu? Cepatlah." Devin menarik terlalu keras, tidak sadar dengan lawannya yang kalah ukuran. Ditambah dengan bekas memar di balik seragamnya, Luna hanya bisa meringis.
Kerumunan yang sebelumnya memperhatikan Devin kini berpindah menatapi Luna. Mungkin mereka iri, bisa juga memberikan penilaian-penilaian sepihak tentang betapa beruntungnya orang yang dijemput oleh Devin. Beberapa dari mereka juga ada saat Colin melakukan hal yang sama. Mereka mungkin iri. Luna hanya menyayangkan perasaan iri mereka yang tak tahu apa-apa.
Luna memandangi motor besar yang dibawa Devin. Dia tidak tahu darimana benda ini berasal. Ia tak ingat sang ayah punya motor ini. Dia juga tidak pernah melihatnya di garasi rumah. Lagi, ia tidak tahu apakah benda itu memang miliknya.
Sekali lagi Luna mengalami dejavu. Kejadian ini mirip dengan seminggu lalu, saat ia menaiki mobil Colin dan berakhir buruk. Ancaman Devin malam tadi sangat jelas terpatri di kepalanya, ia tidak akan berani untuk melakukan hal-hal aneh, apalagi yang membuatnya emosi.
"Cepatlah naik. Teman-temanmu mengira aku penjahat,” ucapnya datar, seraya memasang helm berwarna senada dengan seluruh pakaiannya, hitam. Auranya membuat Luna merinding. "Cepat." Devin mengulang katanya dengan sedikit menghardik. Luna ketakutan sehingga ia segera menurutinya.
Devin tampak terburu-buru, segera ia menyalakan mesin dan pergi dari sana. Ia mungkin punya insting yang kuat, merasa harus meninggalkan sekolah secepat mungkin atau akan ada sesuatu yang menghalangi. Benar saja, hanya beberapa menit berselang seseorang sampai di tempat yang sama.
Kerumunan para gadis penasaran yang mengerumuni Devin tadi berangsur menghilang, hanya tersisa beberapa orang yang menunggu bus datang. Di sanalah sebuah mobil menepi, kendaraan yang tidak lagi asing di sana.
Colin dengan sedan biru tua kesayangannya.
Pria itu tahu bagaimana caranya menebarkan aura yang memikat. Pada siswi yang sedang menunggu di sana, ia tersenyum ramah. “Apa kalian melihat Luna? Dia gadis yang sering bersamaku. Kurasa dia di tahun kedua.”
"Dia baru saja pergi,” jawab salah satu dari siswi di sana.
Dalam waktu singkat, senyuman di wajah Colin tersapu oleh udara. “Pergi? Dengan siapa? Kalian lihat siapa yang pergi bersamanya?”
"Seorang laki-laki. Dia berpakaian hitam, motor besar, dan banyak tindik di telinganya.”
“Sialan!” Sebuah umpatan diikuti oleh pukulan keras pada kemudi menjadi pelampiasan Colin. Para gadis yang melihatnya otomatis terkejut dan melangkah mundur.
Colin segera pergi dari tempat itu. Dirinya sangat murka, saat ini merasa bisa mematahkan leher seseorang.
.
.
.
.
.
Luna pada keahlian dua saudara itu mencari jalan yang sepi. Devin saat ini membawanya pergi entah ke mana. Ia juga terpaksa memeluk erat punggungnya, karena laju motor yang sangat menakutkan. Kecepatannya membuat Luna merinding. Lagi, ia tahu bahwa ini bukan arah jalan pulang. Bohong jika gadis itu tak gugup dan berpikiran bahwa dia akan dilukai lagi.
Namun kekhawatiran sedikit meregang saat mereka kembali memasuki kawasan perkotaan. Kecepatan motor juga melambat. Suasana menjadi sedikit melankolis, dengan udara yang bertiup sedang juga figur mereka yang terlihat romantis. Sedikit mengubah persepsi saudara menjadi sepasang kekasih.
Luna menikmati degupan jantungnya yang mulai tenang sampai tangan yang memeluk punggung itu diraih dan digenggam oleh pengemudi motor. Devin melirik pelan ke arah spion, mata mereka bertatapan tak langsung. Dia kemudian melirik Luna sesaat. “Hold me tight.”
Untuk beberapa alasan, hati kecil seorang gadis yang tak pernah merasakan cinta itu bergetar. Meski singkat, kalimat Devin membuat perasaannya campur aduk. Suara lembut itu membuat perasaanya terusik. Ia mungkin jatuh cinta.
Perasaan sesaat akan tetap jadi singkat saat kecepatan motor berangsur melambat dan berhenti. Lamunan akibat degupan tak bertanggungjawab itu harus disimpan bahkan dihapuskan karena kenyataan. Mereka berhenti di depan sebuah hotel!
Luna mematung menatap bangunan itu dari bawah hingga ke atas. “Ho-hotel?”
Devin terkekeh, "Si kaku itu pasti akan mencarimu ke rumah. Dia tidak akan bisa menemukan kita di sini,” jelasnya ramah dan santai. Ekspresinya sama sekali tidak sama dengan orang yang memberikan ancaman kemarin. "Aku akan tunjukkan sesuatu padamu."
Devin menarik lengan Luna, dan membawanya masuk ke dalam hotel. Di lobby, beberapa orang terlihat terkejut melihat mereka, tetapi kemudian menyapa. Seperti orang yang berbeda, Devin sangat ramah pada semua orang. Beberapa karyawan hotel yang sudah berumur mengenalinya dan mereka sangat akrab.
Butuh beberapa waktu bagi Luna untuk menyadari kalau hotel itu adalah aset keluarganya. Ini hotel yang dibangun oleh kakek tirinya. Mereka benar-benar kaya. Sang ayah tiri adalah pengusaha sukses dan mempunyai anak-anak yang tampan. Adalah keberuntungan bisa menjadi bagian dari mereka. Hanya jika ia benar-benar dianggap sebagai saudara bagi mereka.
"Tuan Devin, lama tidak berjumpa dengan Anda." Sapa seorang pria sekitar awal 30an dengan seragam khas hotel berwarna emas. "Sudah lama sejak terakhir kali Anda kemari."
"Tolong siapkan kamar untukku."
"Baik, Tuan Devin."
Luna seperti seekor peliharaan yang mengikuti Devin ke mana pun. Mereka naik elevator dan pergi hingga ke lantai teratas. Ia ingin bertanya, tetapi ia tak yakin. Tangannya tidak dilepaskan sama sekali. Pikiran negatif kembali menghantui, Luna panik dan tak ingin dirinya disakiti lagi.
Mereka melewati koridor kamar. Tujuan Devin bukan salah satu dari mereka. Mereka memasuki koridor panjang yang tak ada seorangpun ada di sana. Luna yakin ia melihat tulisan 'Employees Only' sesaat sebelum ia memasuki koridor itu. Dan sekarang mereka berada di sana.
Di ujung koridor terdapat tangga kecil dan tangga itu menuju atap hotel. Luna tak punya ide apa yang mungkin mereka lakukan di sana.
Ketika pintu atap di buka olehnya, Devin akhirnya melepaskan genggamannya pada Luna. Atap hotel lima belas lantai itu menyuguhkan pemandangan pusat kota yang menyegarkan. Mata langsung dimanjakan oleh pemandangan yang tak akan bisa didapatkan di manapun.
Devin berlari kecil menuju pinggir atap, ia ceria. Ia meregangkan tangan dan tubuhnya bebas, bahkan berteriak melepaskan penat yang seakan-akan tidak tersalurkan dalam waktu lama. “Sudah lama sekali aku tidak ke sini,” ucapnya.
Luna mungkin senang dengan pemandangannya. Ia juga senang dengan ekspresi segar Devin. Namun tujuan mereka belum terungkap. Ia belum benar-benar aman. Devin masih tetap mengerikan baginya.
“Cobalah kau kemari. Kau bisa melihat seluruh kota dari sini,” ajak Devin.
Luna setuju. Devin benar tentang pemandangan ini. Tempat ini memang sangat baik untuk menenangkan hati. Juga, cukup romantis. Lagi, ada percikan yang tidak biasa dirasakan oleh si polos yang tak punya pengalaman cinta itu.
"Aku sering kemari dulu. Tempat paling tenang di tengah kota sibuk seperti ini,” kata Devin seraya bersandar di pembatas atap. "Kau pasti belum pernah kemari, 'kan? Santai saja. Aku tidak akan melakukan apapun padamu."
Kalimat yang sulit di percaya jika dibandingkan dengan ancaman yang Luna terima kemarin di toilet restoran.
"Kau pasti takut." Devin terkekeh, "aku hanya bercanda kemarin."
"Be-bercanda?"
"Iya."
Devin menarik Luna mendekat. "Aku mungkin terlihat seperti berandalan tetapi aku bukan pria yang seperti itu. Aku ini pria baik-baik."
Luna masih tidak percaya. Mungkin karena dia berpengalaman dengan hasutan pria baik dan berakhir dengan di perkosa.
"Aku juga ingin dekat denganmu seperti kau dengan si kaku. Si kaku pasti memperlakukanmu dengan manis sampai kau tidak mau tinggal bersamaku."
"Kakak …."
"Hm?"
Devin saat ini dengan Devin kemarin benar-benar seperti Jekyll dan Hyde. Seperti dua kepribadian berbeda yang berada dalam satu tubuh!
"Kenapa, Kakak memakai tindik?"
"Terlihat menakutkan, ya? Haha." Di luar dugaan ia malah tertawa. Dan lagi, ia melepas satu persatu tindik telinganya! Tindik-tindik itu di letakkan di telapak tangan Luna yang heran. Semua tindik terlepas. Sekarang ia menjadi lebih tampan bagi Luna, dan semakin tampan ketika ia tersenyum.
"Lihatlah? Aku terlihat cantik, 'kan?"
Luna menggelengkan kepalanya, "tidak. Bagiku Kakak tampan."
"Thanks, Luna. Tetapi tidak semua orang beranggapan sepertimu. Teman-temanku di Amerika menganggapku terlalu cantik. Itulah alasan mengapa aku menindik telingaku. Setidaknya aku mendapat kesan garang. Kemudian aku menikmatinya, jadi aku memperbanyak tindikku. Apa aku terlihat menakutkan?" Devin kembali tersenyum kemudian melemparkan pandangan matanya pada pemandangan yang terlihat dari atap hotel. "Kau pasti sangat takut denganku karena ancaman kemarin. Percayalah, aku hanya bercanda."
"Mengapa melakukannya?" Luna tanpa berpikir banyak bertanya, seperti terlalu penasaran untuk merasakan takut diperkosa.
"Mengapa? Aku lihat kau sangat menurut pada si kaku. Jangankan berbicara padaku, menatapku saja kau takut. Dia mungkin mengatakan yang tidak baik tentangku padamu. Jadi, aku pikir, mengapa tidak sekalian saja aku mengerjaimu. Perutku sampai sakit karena melihatmu begitu ketakutan. Kau payah sekali."
"Kakak memang sangat menakutkan." Luna akhirnya bisa sedikit tersenyum. Percayalah, senyum itu keluar begitu ikhlas. Bagaimana bisa seorang Devin yang membuatnya gemetar hebat berubah menjadi seorang kakak yang ia impikan dalam waktu singkat?
"Tenang saja. Karena kau sekarang adikku, aku akan menjagamu.”
To be continued
by Ayasa
"Tenang saja. Karena kau sekarang adikku, aku akan menjagamu." Mata Luna berbinar, ia menatap pria di sampingnya dengan sungguh-sungguh. Ia berharap telinganya tidak berbohong, ketika ia mendengar ucapan seperti itu dari seorang Devin. Kalimatnya sangat indah, seperti sebuah mimpi yang sejak lama didambakan akhirnya dapat terwujudkan. “Su—sungguh?” Luna gagap karenanya. Devin menertawakannya, “Mengapa? Kau tidak percaya?” “Aku hanya … terkejut.” “Tidak perlu terkejut.” Devin kemudian menarik Luna mendekat dan merangkulnya, “kalau kau kedinginan kita sebaiknya pergi dari sini.” Luna begitu senang. Hal ini seperti mimpi yang sudah lama ia dambakan untuk terwujud. Semuanya benar-benar menyenangkan hingga ia mengingat sesuatu. "Kak Colin, dia pasti mencariku." Seperti kehilangan nyawa, ia menghela napas pelan. Ah, ia masih punya masalah dengan pria satu itu. Respon yang ia terima benar-benar menenangkan, Devin hanya tertawa, "Biarkan saja.
"Luna." Jantung Luna berdebar kencang setelah merasakan pelukan mendadak di punggungnya. Tangannya yang sedang bekerja segera terhenti. Ia mencoba menghilangkan gemetar yang terlihat jelas, tetapi jujur ia benar-benar takut. Hanya pikiran negatif yang saat ini bisa terlintas di otaknya. "I—iya?" "Ambilkan aku paper towel," Suara Devin menggelitik telinga Luna. Jelas, ia dapat merasakan udara yang mengalir keluar dari hidung lelaki itu. Telinganya seperti tengah dipermainkan oleh napas menderu yang begitu menggoyahkan. "Baik," Devin menempatkan dagunya di bahu Luna. Gadis itu segera memberikan paper towel untuknya. Ia dengan cepat melakukan itu karena ia mengalami senam jantung. "Thanks—sh. Ah, sialan." Akhirnya Devin melepaskan pelukannya. Astaga. Jantung Luna hampir jatuh. "Kurasa aku akan pergi ke kamar saja. Kau juga, langsung istirahat saja. Jangan melakukan apapun lagi. Sialan hidung ini." "Tapi, pulang—"
Matahari sudah naik saat pria itu bangun dan memilih untuk keluar kamar. Di depan pintu, ia menyambut pagi yang terlambat dengan sedikit meregangkan tubuhnya. Ah, tidur yang menyenangkan. Sudah lama sejak terakhir ia merasakan kenikmatan tidur seperti tadi malam. Ia bahkan belum membasuh wajah, apalagi menyikat gigi. Meski telihat begitu kusam, ia tidak peduli. Walau matanya masih sedikit malas untuk membuka, ia berhasil sampai ke dapur untuk mencari seteguk air. Devin, walau dia baru beberapa hari kembali dari Amerika, ia sama sekali tidak asing. Tidak ada yang berbeda dari rumahnya yang dulu dan sekarang. Setiap hari orang yang memberinya makan adalah Bibi Susi yang juga tak berubah, hanya sedikit menua. Ia tidak perlu adaptasi dengan keadaan rumah. Meski sudah bertahun-tahun tak tinggal di sana, ia menganggap semuanya tak berbeda. Suasana masih sama, tetapi ada hal yang berbeda juga. Jumlah anggota keluarga sudah bertambah. Ia punya ibu baru yang kelihatannya cuku
"Aku tidak akan biarkan dia menyentuhmu. Kau itu milikku." Kalimat itu berputar-putar di kepala Luna sepanjang hari. Apakah kakaknya itu serius? Apakah Devin benar-benar menaruh hati padanya? Bagaimana mungkin kedua bersaudara itu punya obsesi yang sama? Colin mungkin memperbudaknya hanya untuk kesenangan saja, namun bagaimana dengan Devin? Mereka belum terlalu lama saling mengenal. Lalu mengapa dengan mudahnya dia mengatakan hal seperti itu? Saat ini semua pertanyaan itu berkecamuk meminta jawaban di kepalanya. Tidak hanya itu, Luna juga tengah pusing dengan kebohongan yang ia katakan pada Devin. Colin jelas melakukan sesuatu, namun ia memilih untuk tidak melaporkannya. Tidak melakukan apapun? Bagaimana dengan rasa sakit, tangis, dan segala perlakukan buruknya selama ini? Hal itu tidak dihitung sebagai sesuatu? Apa yang ada di dalam pikirannya, ia tak mengerti. Luna memastikan Colin sedang tidak ada di sekitarnya sebelum menghampiri Devin. Sang kaka
Apabila sebuah pintu bisa merasakan sakit, keluhan saja tidak akan cukup untuk meluapkan sakit yang ia terima. Seperti orang gila, pria itu memukulinya, seakan-akan tangan dan kakinya tidak merasakan sakit sama sekali. Tidak habis hanya pukulan, umpatan juga ia layangkan pada benda mati itu. Devin, bisa dikatakan dia begitu marah saat ini. Dia merasa dibohongi, dibodohi, diperdaya dan dipermainkan. Baru saja dia mengakui perasaannya, tetapi apa yang dia dapatkan? Kebohongan bahkan hal menjijikkan. Jelas saja ia marah. Selama ini perasaan aneh yang ia rasakan di antara dua orang itu memang benar adanya. Ia bahkan berpikir jika sebenarnya mereka berdua sedang menertawakan kebodohannya. Luapan amarahnya memuncak dengan tendangan pada pintu untuk terakhir kali. Rambutnya diacak kasar, mode amarahnya meluap-luap. Ia tak bisa tenang dengan hanya menghancurkan apapun yang ada di hadapannya, itu tidak cukup. Dirogohnya saku celana untuk sesuatu yang ia sembunyikan sejak mala
Aktivitas pagi di rumah keluarga itu berjalan seperti biasa. Asisten rumah tangga mereka yang tidak tau apapun datang pagi sekali untuk membuatkan sarapan bagi penghuni rumah. Si anak tertua yang tidak biasanya memilih menginap juga bangun lebih pagi karena dia punya kelas di pagi. Kepalanya sedikit berputar saat pertama kali membuka mata, tetapi karena dia sudah mengetahui apa yang mesti ia lakukan, rasa itu bisa ia hilangkan dengan segera. Sama halnya dengan anak gadis di rumah itu. Ia terbiasa untuk bangun pagi, tidak perlu seseorang untuk membangunkannya. Ini hari Senin. Dia harus kembali ke sekolah, dunia yang seharusnya ia nikmati dengan kesenangan. Luna sekali lagi merasakan sakit pada tubuhnya karena perlakuan yang ia terima akhir-akhir ini. Jika saja bisa, ia ingin memperpanjang hari libur untuk beristirahat. Tetapi jika berada di sekolah berarti aman dari kedua kakak laki-lakinya, maka ia memilih untuk pergi. Satu-satunya orang yang memulai hari dengan cara
"Ahh," Desahan terdengar keras ke seluruh penjuru ruangan. Suara napas menderu, pukulan kecil juga lenguhan bersela di setiap oksigen yang beterbangan. Beberapa saat kemudian terdengar lagi suara lain. Sebuah mangkuk jatuh ke lantai dan pecah, suara dentingannya berkecamuk dengan desahan. Pelakunya adalah Luna, gadis yang sedang di cumbu oleh kakak tirinya sendiri, Colin. Colin bahkan tak membiarkan sang adik bersiap atau berpindah, mereka bercumbu di atas meja makan tanpa merapikan sama sekali peralatan bekas makan. “Kakak … tunggu, a-aku—tunggu.” Tangan Luna tak tentu, ia meremas bahu dan lengan Colin bergantian. Ia merasakan geli yang luar biasa di seluruh tubuhnya. Kupu-kupu seperti beterbangan di perutnya. Perilaku sang kakak terhadap lehernya membuat bulu kuduknya berdiri. Lelaki itu bahkan tak segan menggigitnya, meninggalkan bekas kebiruan tak bertanggung jawab. Ada kepuasan ketika sang gadis melenguh hebat akibat karya seninya itu, ia kemudia
Luna bersyukur ia baru saja menelan bubur yang ia kunyah saat cerita dari Bibi Susi begitu mengejutkannya hingga ia hampir tersedak. "Hah?" Bibi Susi tersenyum kecil karena reaksinya yang sangat berlebihan, namun Luna tak bisa menyangkal bahwa ia benar-benar terkejut. Apakah hubungan mereka seburuk itu? "Apa yang terjadi Bi? Mengapa bisa seperti itu?” Bibi Susi tersenyum lagi. "Mereka sudah seperti ini sejak kecil. Sangat kecil sampai mereka sendiri lupa kapan itu dimulai." "Alasannya?" "Tuan Colin membenci Tuan Devin." Luna seperti tidak terkejut dengan hal itu. Colin memang terlihat lebih membenci Devin ketimbang sebaliknya. Orang yang selalu terlihat punya masalah adalah Colin. "Kenapa dia membenci Kak Devin?" "Karena Ibu mereka." Topik ini tidak pernah dibicarakan sebelumnya. Luna tak tahu apapun tentang ibu kandung mereka kecuali beliau sudah lama meninggal dunia. Hal itu tentu ia ketahui dari sang Mama, bu
"Ya, mereka memanggilku Ares karena aku dianggap saingan paling berat dalam perang." Tatapan pria itu sangat yakin, mencoba menaikkan harga dirinya di depan seorang wanita cantik yang sedang ia incar. "Aku suka olahraga, hobiku sepakbola tapi aku lebih sering bermain basket bersama teman-temanku. Yah, hanya bermain saja." "Bagaimana dengan keluargamu?" "Keluargaku? Hmm ... Ayahku seorang pengusaha dan aku punya kakak laki-laki yang sudah menikah." "Kau juga ingin menikah?" "Denganmu? Tentu saja." Entah sejak kapan ia memiliki keahlian menggoda wanita seperti itu, tetapi ia berkata jujur jika ia ingin segera menikah. "Daddy!" Keduanya serentak menoleh ke arah sumber suara, si kecil manis yang tiba-tiba mendekat dan memanggilnya dengan sebutan 'Daddy'. "Daddy!" Seorang gadis kecil, dengan rambut di kuncir dua, memeluk kaki si pria dengan erat. "Daddy~" "Wait? Daddy? Kau
Ballroom penuh dengan para undangan, gadis-gadis kecil dengan gaun merah muda mereka, dan juga kedua pengantin yang saling menatap di depan altar. Semua perhatian tertuju pada mereka yang saling mengucap janji. Janji suci pernikahan. "You may kiss the bride." Senyum tidak pernah hilang dari keduanya. Luna pelan-pelan mendekat, menunggu Colin untuk bertindak, apapun itu. Wajah mereka sangat dekat, semua orang menunggu ciuman pengantin mereka. Namun sudah lima detik dan keduanya belum berciuman. "Kakak akan menciumku atau tidak?" Colin tersenyum licik. "Kenapa kau bertanya? Tentu saja." Semua orang berseru seakan-akan apa yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Ciuman sederhana dari Colin, membuat semua orang senang. Colin sendiri tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Balutan jas formal berwarna putih senada dengan gaun Luna, melengkapi kisah cinta mereka yang akhirnya berakhir indah. Mereka sudah resmi m
Luna tidak bisa duduk dengan tenang. Ia terus saja menoleh ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kiri Devin. Berkali-kali ia menarik tangan sang Kakak. Jangan salahkan, dia memang sedang menunggu seseorang. Aksinya bahkan terlalu mengejutkan bagi Devin yang juga menemaninya di sana. Tangannya terus ditarik bahkan sampai ia mengaduh. "Kakak sudah menghitung waktunya dengan benar, 'kan? Apa mungkin kita datang terlalu cepat?" Gadis itu menggerutu, wajahnya masam, dan ia tak betah duduk diam. Devin benar-benar kebingungan dengan hal ini. Ia merasa Luna menjadi sering mengomel dan menggerutu belakangan ini. "Iya. Aku sudah menghitungnya dengan benar." Devin menjawabnya sedikit kesal. "Lagipula kenapa kau tidak tanya Colin saja? Kau tahu jawabannya lebih menjanjikan daripada jawabanku." "Kakak sungguh-sungguh tidak salah, kan?" Luna menepuk lengan Devin dengan keras. "Dia bukan datang besok, 'kan?" Devin seketika meringis, ia otomatis menyapu lengann
Ketiga pria itu berwajah gusar di depan ruang bersalin. Mereka berada pada mode panik, karena dilarang masuk melihat kondisi Luna. Dimas sibuk dengan ponselnya, menghubungi semua orang yang ia bisa hubungi. Devin duduk menggigit jarinya, berusaha tenang, padahal ia sangat takut. Colin? Dia berdiri di depan pintu ruang bersalin, mencuri lihat dari kaca buram yang sama sekali tidak membantu apapun. Segera setelah ketuban Luna pecah, ia menggendong Luna dan membawanya menuju ruang bersalin, mengejutkan semua orang yang sedang bersantai. Ketiga pria itu sama-sama menggila, ingin sekali masuk dan mendampingi Luna di tengah-tengah perjuangannya. "Ah! Kakak!" Mereka otomatis terkejut, sama-sama khawatir dan merasa terpanggil dengan sebutan Kakak’ yang diucapkan Luna. Tubuh Colin bergetar, ketakutannya kembali datang. Matanya mengerjap disandingi airmatanya yang tidak bisa dihentikan. "Devin," Ia bergetar memanggil nama Devin, seakan-akan ingin adiknya itu tahu apa y
Matahari belum terlihat, dua pria itu menghambur koridor panjang rumah sakit yang masih tidak begitu ramai. Seorang darinya masih dengan mata yang bengkak, rambutnya tak beraturan dan juga baju kaosnya yang mungkin terbalik. Satu lagi memilih untuk menggunakan kacamata karena jujur, matanya sangat sakit karena dia paksa terbuka. Dua pria itu berlari secepat yang mereka bisa menuju IGD di mana mereka di beri kabar bahwa Luna akan melahirkan.Dimas berdiri di tengah koridor membuat mereka tak perlu seperti orang gila mencari-cari kepastian."Di mana Luna?" Pertanyaan langsung keluar dari mulut Colin bahkan sebelum ia benar-benar berhenti berlari. Napasnya sedikit sesak, mengingat dia bersama adiknya itu melakukan sprint dari tempat parkir. "Apa dia ... baik-baik saja? Apa dia sudah ... melahirkan?"Devin juga tidak sabar, tak mau duduk karena butuh kepastian. Dia juga akan bertanya hal yang sama jika berada di posisi Colin."Maaf.""Maaf?""Ka
"Kau di mana?"Pria itu berjalan dengan senyuman. Hatinya senang sekali, berbunga-bunga hingga ia tak bisa menghilangkan senyuman itu walau sekejap. Sambil berjalan dengan santai, ia berbicara di telepon."Aku sudah di hotel. Kau di mana? Belikan aku pizza.""Aku sudah di depan pintu.""Ah, sial. Aku ingin makan."Ia tertawa kecil, kemudian meraih gagang pintu. "Kita pesan saja." Ia kemudian memutuskan panggilan dan masuk ke dalam hotel."Kak!" Devin segera menghambur diri menghampirinya. "Bagaimana tadi? Apa semuanya lancar? Apa yang mereka katakan? Ayah juga ada di sini bukan? Apa dia melakukan sesuatu padamu?”Bagai angin lalu, semua pertanyaan Devin tak ia dengarkan sama sekali. Colin tak punya niat untuk memikirkan apapun saat ini. Ia membanting tubuhnya di kasur. Tubuh lelahnya butuh istirahat. Ia segera menutup mata, merasa siap untuk mimpi indah yang ia yakini akan menyambanginya lagi setelah sekian lam
"Kalau begitu beri aku tambahan uang." Pria itu bergumul di kasurnya dengan mata mengantuk. "Jika kau bawa mobilnya maka aku akan gunakan apa? Taksi?" "Kau sudah jawab pertanyaanmu sendiri." Lawan bicaranya sibuk merapikan penampilannya di depan cermin. "Ah!" Pria di bawah selimut itu merasa kesal, hanya bisa berguling-guling di kasurnya dengan kekanakan. "Kenapa aku tidak boleh ikut?" "Bagaimana mungkin aku membiarkan kau ikut? Ini kencanku! Kau ingin menggangguku?" "Baiklah, aku tidak ikut. Tapi berikan aku kartu ATM milikmu." "Aku membutuhkannya." "Ah, kau sama sekali tidak pengertian." Colin hanya terkekeh, ia lebih memfokuskan matanya untuk menata penampilannya. Ia akan menemui Luna! Sedikit gugup dengan apa yang terjadi kemarin, namun ia tidak akan mundur. Bukan Paman Ed, bukan sang Ibu Tiri, dan bukan Dimas. Dia ingin menemui Luna. Tidak peduli apapun yang dikatakan orang-orang itu, hari ini ia akan bertemu Luna.
"Dia tidak ingin menemuimu. Kau tidak perlu menemaninya. Dia bisa melakukannya sendiri." Keraguan terlihat di wajah Dimas, ia tak yakin dengan ucapan Luna, namun tetap menyampaikan seperti yang ia katakan. "Aku sudah mencoba membujuknya, tapi dia tetap menolak untuk keluar. Dia berkata kalau dia pusing dan tidak ingin diganggu. Kau diminta untuk pulang." Colin, yang sudah terlanjur tak senang dengan Dimas, tak bisa tenang dan percaya. "Kau bercanda? Luna tidak mungkin mengatakan hal itu!" Dia yakin pria itu mengada-ada, mengucapkan sesuatu yang tidak seharusnya dan membuat Luna tak ingin menemuinya. "Aku sudah berkata sebagaimana dia memberitahuku." Nada suara Dimas sedikit lebih tinggi. Namun masih kalah tinggi dari Colin yang bagai kebakaran jenggot. "Kau menipuku. Dia tidak mungkin mengusirku! Aku ayah dari bayinya!" "Tapi dia memang menolakmu! Seharusnya kau sadari itu sebelum kau hendak membunuhnya dulu!" "Aku membunuhnya? Beraninya kau!"
Colin diam, berusaha untuk tidak mempercayai apa yang tengah disaksikannya saat ini. Ia berusaha menghentikan pikirannya untuk menarik kesimpulan, bahwa apa yang dilihat oleh matanya kali ini tidaklah nyata. Pria asing yang ia biarkan membawa beruang tadi, adalah pria yang sama yang sedang menggandeng tangan Luna sekarang. Bukan, ia sangat sulit menerima kenyataan bahwa gadis itu adalah Luna. Ia berharap orang itu bukanlah Luna. "Itu benar-benar Luna." Sayangnya Devin tidak berkehendak sama dengannya. Daripada terkejut dan sakit, Devin lebih bersemangat. "Benar. Itu Kak Dimas. Sudah pasti itu Luna. Wah kebetulan sekali! Ayo kita—" Colin segera menghentikannya. Tangannya memegang lengan Devin erat-erat. Devin memasang ekspresi penuh tanda tanya. "Ada apa?" "Pria yang bersama dia itu, siapa?" "Dia Kak Dimas. Anak Paman Ed." "Anak Paman Ed? Dia?" Devin mengangguk. Lebih dari itu ia merasa sedikit sakit pada lengannya. Genggaman Co