Luna berjalan pelan dengan kepala menunduk. Tidak bisa bebas dari ingatan, ia kembali mengingat apa yang terjadi kemarin. Dirinya menyesal ketidakberdayaan melawan Colin. Tubuhnya dipermainkan tanpa tanggung jawab. Sekarang ia perlu berpura-pura sehat, pelan-pelan melangkah dan mangkir dari pelajaran olahraga. Mana mungkin kewanitaannya tidak perih. Colin sama sekali tidak peduli dengan hasil perbuatannya sendiri, dia merajalela bahkan kurang dari 12 jam kepergian orang tua mereka.
Gadis itu melangkah malas menuju gerbang sekolah. Dirinya tertinggal jauh dari iringan teman sekelas yang juga pulang. Ia tak bersemangat kembali ke rumah. Ia tidak ingin menemui Colin. Sekarang rumah bukan lagi tempatnya berlindung melainkan penjara.
Lamunan menjadi membuatnya tertawan, tak sadar kakinya sampai di gerbang sekolah. Ia enggan mengangkat kepala. Ia tidak siap mendapati sedan Colin di sana. Ia tidak ingin naik kereta kematian. Setelah mempersiapkan hati, ia mengangkat kepala. Tidak ada mobil maupun pemiliknya terlihat di manapun. Ini sebuah keajaiban?
Daripada menemukan Colin, telinga Luna mendengar keributan di halte. Ada beberapa gadis di sekolahnya sedang bergosip. Sebuah dejavu, Luna mengingat saat Colin menjemputnya beberapa waktu lalu.
Satu pandangan ke arah kerumunan cukup untuk membuat Luna tersentak. Bukan Colin yang ia temukan, tetapi seorang Devin. Lelaki itu sedang bersandar di motornya. Motor itu entah datang dari mana, ia tak tahu. Tetapi hal yang terpenting baginya adalah kabur. Ia tidak ingin menemui siapapun.
Luna sangat tidak beruntung saat Devin mendapati sosoknya dari kejauhan. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia segera mengejar Luna yang malah pergi ke arah berlawanan.
"Kudapat juga kau." Devin menyeringai. Ia membalik tubuh gadis yang ia tangkap, dan seratus. Dia memang Luna. Luna yang sedang menyesali dirinya karena kurang cepat kabur. "Kau tahu betapa lamanya aku menunggumu? Cepatlah." Devin menarik terlalu keras, tidak sadar dengan lawannya yang kalah ukuran. Ditambah dengan bekas memar di balik seragamnya, Luna hanya bisa meringis.
Kerumunan yang sebelumnya memperhatikan Devin kini berpindah menatapi Luna. Mungkin mereka iri, bisa juga memberikan penilaian-penilaian sepihak tentang betapa beruntungnya orang yang dijemput oleh Devin. Beberapa dari mereka juga ada saat Colin melakukan hal yang sama. Mereka mungkin iri. Luna hanya menyayangkan perasaan iri mereka yang tak tahu apa-apa.
Luna memandangi motor besar yang dibawa Devin. Dia tidak tahu darimana benda ini berasal. Ia tak ingat sang ayah punya motor ini. Dia juga tidak pernah melihatnya di garasi rumah. Lagi, ia tidak tahu apakah benda itu memang miliknya.
Sekali lagi Luna mengalami dejavu. Kejadian ini mirip dengan seminggu lalu, saat ia menaiki mobil Colin dan berakhir buruk. Ancaman Devin malam tadi sangat jelas terpatri di kepalanya, ia tidak akan berani untuk melakukan hal-hal aneh, apalagi yang membuatnya emosi.
"Cepatlah naik. Teman-temanmu mengira aku penjahat,” ucapnya datar, seraya memasang helm berwarna senada dengan seluruh pakaiannya, hitam. Auranya membuat Luna merinding. "Cepat." Devin mengulang katanya dengan sedikit menghardik. Luna ketakutan sehingga ia segera menurutinya.
Devin tampak terburu-buru, segera ia menyalakan mesin dan pergi dari sana. Ia mungkin punya insting yang kuat, merasa harus meninggalkan sekolah secepat mungkin atau akan ada sesuatu yang menghalangi. Benar saja, hanya beberapa menit berselang seseorang sampai di tempat yang sama.
Kerumunan para gadis penasaran yang mengerumuni Devin tadi berangsur menghilang, hanya tersisa beberapa orang yang menunggu bus datang. Di sanalah sebuah mobil menepi, kendaraan yang tidak lagi asing di sana.
Colin dengan sedan biru tua kesayangannya.
Pria itu tahu bagaimana caranya menebarkan aura yang memikat. Pada siswi yang sedang menunggu di sana, ia tersenyum ramah. “Apa kalian melihat Luna? Dia gadis yang sering bersamaku. Kurasa dia di tahun kedua.”
"Dia baru saja pergi,” jawab salah satu dari siswi di sana.
Dalam waktu singkat, senyuman di wajah Colin tersapu oleh udara. “Pergi? Dengan siapa? Kalian lihat siapa yang pergi bersamanya?”
"Seorang laki-laki. Dia berpakaian hitam, motor besar, dan banyak tindik di telinganya.”
“Sialan!” Sebuah umpatan diikuti oleh pukulan keras pada kemudi menjadi pelampiasan Colin. Para gadis yang melihatnya otomatis terkejut dan melangkah mundur.
Colin segera pergi dari tempat itu. Dirinya sangat murka, saat ini merasa bisa mematahkan leher seseorang.
.
.
.
.
.
Luna pada keahlian dua saudara itu mencari jalan yang sepi. Devin saat ini membawanya pergi entah ke mana. Ia juga terpaksa memeluk erat punggungnya, karena laju motor yang sangat menakutkan. Kecepatannya membuat Luna merinding. Lagi, ia tahu bahwa ini bukan arah jalan pulang. Bohong jika gadis itu tak gugup dan berpikiran bahwa dia akan dilukai lagi.
Namun kekhawatiran sedikit meregang saat mereka kembali memasuki kawasan perkotaan. Kecepatan motor juga melambat. Suasana menjadi sedikit melankolis, dengan udara yang bertiup sedang juga figur mereka yang terlihat romantis. Sedikit mengubah persepsi saudara menjadi sepasang kekasih.
Luna menikmati degupan jantungnya yang mulai tenang sampai tangan yang memeluk punggung itu diraih dan digenggam oleh pengemudi motor. Devin melirik pelan ke arah spion, mata mereka bertatapan tak langsung. Dia kemudian melirik Luna sesaat. “Hold me tight.”
Untuk beberapa alasan, hati kecil seorang gadis yang tak pernah merasakan cinta itu bergetar. Meski singkat, kalimat Devin membuat perasaannya campur aduk. Suara lembut itu membuat perasaanya terusik. Ia mungkin jatuh cinta.
Perasaan sesaat akan tetap jadi singkat saat kecepatan motor berangsur melambat dan berhenti. Lamunan akibat degupan tak bertanggungjawab itu harus disimpan bahkan dihapuskan karena kenyataan. Mereka berhenti di depan sebuah hotel!
Luna mematung menatap bangunan itu dari bawah hingga ke atas. “Ho-hotel?”
Devin terkekeh, "Si kaku itu pasti akan mencarimu ke rumah. Dia tidak akan bisa menemukan kita di sini,” jelasnya ramah dan santai. Ekspresinya sama sekali tidak sama dengan orang yang memberikan ancaman kemarin. "Aku akan tunjukkan sesuatu padamu."
Devin menarik lengan Luna, dan membawanya masuk ke dalam hotel. Di lobby, beberapa orang terlihat terkejut melihat mereka, tetapi kemudian menyapa. Seperti orang yang berbeda, Devin sangat ramah pada semua orang. Beberapa karyawan hotel yang sudah berumur mengenalinya dan mereka sangat akrab.
Butuh beberapa waktu bagi Luna untuk menyadari kalau hotel itu adalah aset keluarganya. Ini hotel yang dibangun oleh kakek tirinya. Mereka benar-benar kaya. Sang ayah tiri adalah pengusaha sukses dan mempunyai anak-anak yang tampan. Adalah keberuntungan bisa menjadi bagian dari mereka. Hanya jika ia benar-benar dianggap sebagai saudara bagi mereka.
"Tuan Devin, lama tidak berjumpa dengan Anda." Sapa seorang pria sekitar awal 30an dengan seragam khas hotel berwarna emas. "Sudah lama sejak terakhir kali Anda kemari."
"Tolong siapkan kamar untukku."
"Baik, Tuan Devin."
Luna seperti seekor peliharaan yang mengikuti Devin ke mana pun. Mereka naik elevator dan pergi hingga ke lantai teratas. Ia ingin bertanya, tetapi ia tak yakin. Tangannya tidak dilepaskan sama sekali. Pikiran negatif kembali menghantui, Luna panik dan tak ingin dirinya disakiti lagi.
Mereka melewati koridor kamar. Tujuan Devin bukan salah satu dari mereka. Mereka memasuki koridor panjang yang tak ada seorangpun ada di sana. Luna yakin ia melihat tulisan 'Employees Only' sesaat sebelum ia memasuki koridor itu. Dan sekarang mereka berada di sana.
Di ujung koridor terdapat tangga kecil dan tangga itu menuju atap hotel. Luna tak punya ide apa yang mungkin mereka lakukan di sana.
Ketika pintu atap di buka olehnya, Devin akhirnya melepaskan genggamannya pada Luna. Atap hotel lima belas lantai itu menyuguhkan pemandangan pusat kota yang menyegarkan. Mata langsung dimanjakan oleh pemandangan yang tak akan bisa didapatkan di manapun.
Devin berlari kecil menuju pinggir atap, ia ceria. Ia meregangkan tangan dan tubuhnya bebas, bahkan berteriak melepaskan penat yang seakan-akan tidak tersalurkan dalam waktu lama. “Sudah lama sekali aku tidak ke sini,” ucapnya.
Luna mungkin senang dengan pemandangannya. Ia juga senang dengan ekspresi segar Devin. Namun tujuan mereka belum terungkap. Ia belum benar-benar aman. Devin masih tetap mengerikan baginya.
“Cobalah kau kemari. Kau bisa melihat seluruh kota dari sini,” ajak Devin.
Luna setuju. Devin benar tentang pemandangan ini. Tempat ini memang sangat baik untuk menenangkan hati. Juga, cukup romantis. Lagi, ada percikan yang tidak biasa dirasakan oleh si polos yang tak punya pengalaman cinta itu.
"Aku sering kemari dulu. Tempat paling tenang di tengah kota sibuk seperti ini,” kata Devin seraya bersandar di pembatas atap. "Kau pasti belum pernah kemari, 'kan? Santai saja. Aku tidak akan melakukan apapun padamu."
Kalimat yang sulit di percaya jika dibandingkan dengan ancaman yang Luna terima kemarin di toilet restoran.
"Kau pasti takut." Devin terkekeh, "aku hanya bercanda kemarin."
"Be-bercanda?"
"Iya."
Devin menarik Luna mendekat. "Aku mungkin terlihat seperti berandalan tetapi aku bukan pria yang seperti itu. Aku ini pria baik-baik."
Luna masih tidak percaya. Mungkin karena dia berpengalaman dengan hasutan pria baik dan berakhir dengan di perkosa.
"Aku juga ingin dekat denganmu seperti kau dengan si kaku. Si kaku pasti memperlakukanmu dengan manis sampai kau tidak mau tinggal bersamaku."
"Kakak …."
"Hm?"
Devin saat ini dengan Devin kemarin benar-benar seperti Jekyll dan Hyde. Seperti dua kepribadian berbeda yang berada dalam satu tubuh!
"Kenapa, Kakak memakai tindik?"
"Terlihat menakutkan, ya? Haha." Di luar dugaan ia malah tertawa. Dan lagi, ia melepas satu persatu tindik telinganya! Tindik-tindik itu di letakkan di telapak tangan Luna yang heran. Semua tindik terlepas. Sekarang ia menjadi lebih tampan bagi Luna, dan semakin tampan ketika ia tersenyum.
"Lihatlah? Aku terlihat cantik, 'kan?"
Luna menggelengkan kepalanya, "tidak. Bagiku Kakak tampan."
"Thanks, Luna. Tetapi tidak semua orang beranggapan sepertimu. Teman-temanku di Amerika menganggapku terlalu cantik. Itulah alasan mengapa aku menindik telingaku. Setidaknya aku mendapat kesan garang. Kemudian aku menikmatinya, jadi aku memperbanyak tindikku. Apa aku terlihat menakutkan?" Devin kembali tersenyum kemudian melemparkan pandangan matanya pada pemandangan yang terlihat dari atap hotel. "Kau pasti sangat takut denganku karena ancaman kemarin. Percayalah, aku hanya bercanda."
"Mengapa melakukannya?" Luna tanpa berpikir banyak bertanya, seperti terlalu penasaran untuk merasakan takut diperkosa.
"Mengapa? Aku lihat kau sangat menurut pada si kaku. Jangankan berbicara padaku, menatapku saja kau takut. Dia mungkin mengatakan yang tidak baik tentangku padamu. Jadi, aku pikir, mengapa tidak sekalian saja aku mengerjaimu. Perutku sampai sakit karena melihatmu begitu ketakutan. Kau payah sekali."
"Kakak memang sangat menakutkan." Luna akhirnya bisa sedikit tersenyum. Percayalah, senyum itu keluar begitu ikhlas. Bagaimana bisa seorang Devin yang membuatnya gemetar hebat berubah menjadi seorang kakak yang ia impikan dalam waktu singkat?
"Tenang saja. Karena kau sekarang adikku, aku akan menjagamu.”
To be continued
by Ayasa
"Tenang saja. Karena kau sekarang adikku, aku akan menjagamu." Mata Luna berbinar, ia menatap pria di sampingnya dengan sungguh-sungguh. Ia berharap telinganya tidak berbohong, ketika ia mendengar ucapan seperti itu dari seorang Devin. Kalimatnya sangat indah, seperti sebuah mimpi yang sejak lama didambakan akhirnya dapat terwujudkan. “Su—sungguh?” Luna gagap karenanya. Devin menertawakannya, “Mengapa? Kau tidak percaya?” “Aku hanya … terkejut.” “Tidak perlu terkejut.” Devin kemudian menarik Luna mendekat dan merangkulnya, “kalau kau kedinginan kita sebaiknya pergi dari sini.” Luna begitu senang. Hal ini seperti mimpi yang sudah lama ia dambakan untuk terwujud. Semuanya benar-benar menyenangkan hingga ia mengingat sesuatu. "Kak Colin, dia pasti mencariku." Seperti kehilangan nyawa, ia menghela napas pelan. Ah, ia masih punya masalah dengan pria satu itu. Respon yang ia terima benar-benar menenangkan, Devin hanya tertawa, "Biarkan saja.
"Luna." Jantung Luna berdebar kencang setelah merasakan pelukan mendadak di punggungnya. Tangannya yang sedang bekerja segera terhenti. Ia mencoba menghilangkan gemetar yang terlihat jelas, tetapi jujur ia benar-benar takut. Hanya pikiran negatif yang saat ini bisa terlintas di otaknya. "I—iya?" "Ambilkan aku paper towel," Suara Devin menggelitik telinga Luna. Jelas, ia dapat merasakan udara yang mengalir keluar dari hidung lelaki itu. Telinganya seperti tengah dipermainkan oleh napas menderu yang begitu menggoyahkan. "Baik," Devin menempatkan dagunya di bahu Luna. Gadis itu segera memberikan paper towel untuknya. Ia dengan cepat melakukan itu karena ia mengalami senam jantung. "Thanks—sh. Ah, sialan." Akhirnya Devin melepaskan pelukannya. Astaga. Jantung Luna hampir jatuh. "Kurasa aku akan pergi ke kamar saja. Kau juga, langsung istirahat saja. Jangan melakukan apapun lagi. Sialan hidung ini." "Tapi, pulang—"
Matahari sudah naik saat pria itu bangun dan memilih untuk keluar kamar. Di depan pintu, ia menyambut pagi yang terlambat dengan sedikit meregangkan tubuhnya. Ah, tidur yang menyenangkan. Sudah lama sejak terakhir ia merasakan kenikmatan tidur seperti tadi malam. Ia bahkan belum membasuh wajah, apalagi menyikat gigi. Meski telihat begitu kusam, ia tidak peduli. Walau matanya masih sedikit malas untuk membuka, ia berhasil sampai ke dapur untuk mencari seteguk air. Devin, walau dia baru beberapa hari kembali dari Amerika, ia sama sekali tidak asing. Tidak ada yang berbeda dari rumahnya yang dulu dan sekarang. Setiap hari orang yang memberinya makan adalah Bibi Susi yang juga tak berubah, hanya sedikit menua. Ia tidak perlu adaptasi dengan keadaan rumah. Meski sudah bertahun-tahun tak tinggal di sana, ia menganggap semuanya tak berbeda. Suasana masih sama, tetapi ada hal yang berbeda juga. Jumlah anggota keluarga sudah bertambah. Ia punya ibu baru yang kelihatannya cuku
"Aku tidak akan biarkan dia menyentuhmu. Kau itu milikku." Kalimat itu berputar-putar di kepala Luna sepanjang hari. Apakah kakaknya itu serius? Apakah Devin benar-benar menaruh hati padanya? Bagaimana mungkin kedua bersaudara itu punya obsesi yang sama? Colin mungkin memperbudaknya hanya untuk kesenangan saja, namun bagaimana dengan Devin? Mereka belum terlalu lama saling mengenal. Lalu mengapa dengan mudahnya dia mengatakan hal seperti itu? Saat ini semua pertanyaan itu berkecamuk meminta jawaban di kepalanya. Tidak hanya itu, Luna juga tengah pusing dengan kebohongan yang ia katakan pada Devin. Colin jelas melakukan sesuatu, namun ia memilih untuk tidak melaporkannya. Tidak melakukan apapun? Bagaimana dengan rasa sakit, tangis, dan segala perlakukan buruknya selama ini? Hal itu tidak dihitung sebagai sesuatu? Apa yang ada di dalam pikirannya, ia tak mengerti. Luna memastikan Colin sedang tidak ada di sekitarnya sebelum menghampiri Devin. Sang kaka
Apabila sebuah pintu bisa merasakan sakit, keluhan saja tidak akan cukup untuk meluapkan sakit yang ia terima. Seperti orang gila, pria itu memukulinya, seakan-akan tangan dan kakinya tidak merasakan sakit sama sekali. Tidak habis hanya pukulan, umpatan juga ia layangkan pada benda mati itu. Devin, bisa dikatakan dia begitu marah saat ini. Dia merasa dibohongi, dibodohi, diperdaya dan dipermainkan. Baru saja dia mengakui perasaannya, tetapi apa yang dia dapatkan? Kebohongan bahkan hal menjijikkan. Jelas saja ia marah. Selama ini perasaan aneh yang ia rasakan di antara dua orang itu memang benar adanya. Ia bahkan berpikir jika sebenarnya mereka berdua sedang menertawakan kebodohannya. Luapan amarahnya memuncak dengan tendangan pada pintu untuk terakhir kali. Rambutnya diacak kasar, mode amarahnya meluap-luap. Ia tak bisa tenang dengan hanya menghancurkan apapun yang ada di hadapannya, itu tidak cukup. Dirogohnya saku celana untuk sesuatu yang ia sembunyikan sejak mala
Aktivitas pagi di rumah keluarga itu berjalan seperti biasa. Asisten rumah tangga mereka yang tidak tau apapun datang pagi sekali untuk membuatkan sarapan bagi penghuni rumah. Si anak tertua yang tidak biasanya memilih menginap juga bangun lebih pagi karena dia punya kelas di pagi. Kepalanya sedikit berputar saat pertama kali membuka mata, tetapi karena dia sudah mengetahui apa yang mesti ia lakukan, rasa itu bisa ia hilangkan dengan segera. Sama halnya dengan anak gadis di rumah itu. Ia terbiasa untuk bangun pagi, tidak perlu seseorang untuk membangunkannya. Ini hari Senin. Dia harus kembali ke sekolah, dunia yang seharusnya ia nikmati dengan kesenangan. Luna sekali lagi merasakan sakit pada tubuhnya karena perlakuan yang ia terima akhir-akhir ini. Jika saja bisa, ia ingin memperpanjang hari libur untuk beristirahat. Tetapi jika berada di sekolah berarti aman dari kedua kakak laki-lakinya, maka ia memilih untuk pergi. Satu-satunya orang yang memulai hari dengan cara
"Ahh," Desahan terdengar keras ke seluruh penjuru ruangan. Suara napas menderu, pukulan kecil juga lenguhan bersela di setiap oksigen yang beterbangan. Beberapa saat kemudian terdengar lagi suara lain. Sebuah mangkuk jatuh ke lantai dan pecah, suara dentingannya berkecamuk dengan desahan. Pelakunya adalah Luna, gadis yang sedang di cumbu oleh kakak tirinya sendiri, Colin. Colin bahkan tak membiarkan sang adik bersiap atau berpindah, mereka bercumbu di atas meja makan tanpa merapikan sama sekali peralatan bekas makan. “Kakak … tunggu, a-aku—tunggu.” Tangan Luna tak tentu, ia meremas bahu dan lengan Colin bergantian. Ia merasakan geli yang luar biasa di seluruh tubuhnya. Kupu-kupu seperti beterbangan di perutnya. Perilaku sang kakak terhadap lehernya membuat bulu kuduknya berdiri. Lelaki itu bahkan tak segan menggigitnya, meninggalkan bekas kebiruan tak bertanggung jawab. Ada kepuasan ketika sang gadis melenguh hebat akibat karya seninya itu, ia kemudia
Luna bersyukur ia baru saja menelan bubur yang ia kunyah saat cerita dari Bibi Susi begitu mengejutkannya hingga ia hampir tersedak. "Hah?" Bibi Susi tersenyum kecil karena reaksinya yang sangat berlebihan, namun Luna tak bisa menyangkal bahwa ia benar-benar terkejut. Apakah hubungan mereka seburuk itu? "Apa yang terjadi Bi? Mengapa bisa seperti itu?” Bibi Susi tersenyum lagi. "Mereka sudah seperti ini sejak kecil. Sangat kecil sampai mereka sendiri lupa kapan itu dimulai." "Alasannya?" "Tuan Colin membenci Tuan Devin." Luna seperti tidak terkejut dengan hal itu. Colin memang terlihat lebih membenci Devin ketimbang sebaliknya. Orang yang selalu terlihat punya masalah adalah Colin. "Kenapa dia membenci Kak Devin?" "Karena Ibu mereka." Topik ini tidak pernah dibicarakan sebelumnya. Luna tak tahu apapun tentang ibu kandung mereka kecuali beliau sudah lama meninggal dunia. Hal itu tentu ia ketahui dari sang Mama, bu