Napas menderu tidak ikhlas, Luna meratapi pesawat yang lepas landas. Ia murung, awan hitam berada di atas kepalanya. Kedua orang yang bisa menjamin keselamatannya telah pergi, kini ia terjebak bersama di sadis Colin dan si gila Devin.
Luna tersentak saat tiba-tiba sebuah lengan melingkari tubuhnya. Ia terkejut, tetapi berhasil menguasai diri karena sudah tau siapa yang melakukannya. Tanpa menoleh sekalipun, ia sudah mengenali dekapan siapa ini. Dia tidak malu, melakukan hal itu di depan umum. Sebuah kecupan di pucuk kepala Luna mengawali berbagai mimpi buruk yang akan menanti.
Colin menempatkan bibirnya setengah inchi dekat telinga Luna lalu berbisik, “Ayo kita pulang. Ada janji yang perlu kau tepati dan … kasur yang perlu kau hangatkan.”
Bulu kuduk Luna merinding. Saat napas Colin mengalir menuju lehernya, ia berkeringat. Bahkan setelah pelukan berakhir, kengerian masih tersisa.
"Ayo pulang."
Colin berjalan dengan perasaan bahagia, sementara Luna menunduk saat mengikutinya. Pikirannya kacau, dipenuhi berbagai spekulasi buruk dari kalimat sang kakak. Ratapannya tidak berakhir di sana, tanpa peringatan tangannya ditarik dengan sebuah genggaman keras. Tubuh kecil itu hampir kehilangan keseimbangan. Begitu ia menguasai diri, sebuah koper dan jaket disodorkan ke wajahnya.
“Bawa ini.”
Luna hampir lupa bahwa saat ini ia punya seorang Tuan lagi. Suara dan tatapan Devin mengintimidasi, Luna tak punya pilihan kecuali menuruti keinginannya.
Kedua lelaki itu berjalan lebih dulu meninggalkan seorang Luna bersama barang bawaan. Ia tak bisa menolak apapun saat ini.
Setelah semua barang Devin dimasukkan ke dalam bagasi, Luna menempatkan diri di kursi depan di sebelah pengemudi. Colin tidak akan senang jika dirinya berada di dekat Devin, tanpa dipinta Luna mengerti untuk tidak memancing keributan. Lagipula, ia takut berada di dekat Devin.
Mobil bergerak tanpa ada satupun suara dari penumpangnya. Mereka bertiga malas, tidak punya bahan obrolan basa-basi. Tidak ada topik yang ingin mereka bicarakan. Devin satu-satunya yang berada di kursi belakang, lebih santai dibandingkan mereka yang di depan. Ia meraih tasnya, merogoh cepat bagian kantung depan untuk benda yang ingin ia dapatkan. Colin memang tak suka, tetapi ia penasaran. Sesekali ia mengintip dari spion untuk mengawasi.
Setelah beberapa usaha, akhirnya benda yang dicari Devin berhasil didapatkan, lelaki itu tanpa sadar tersenyum senang melihatnya. Luna mencuri pandang, mendapati sebuah kotak kecil berisi benda-benda lebih kecil lagi yang menimbulkan bunyi yang keras saat bergerak. Ia tidak tahu apa itu sampai Devin mengeluarkan satu-persatu isinya.
Luna tidak bisa menolak bahwa ia terkejut saat semua benda dalam kotak itu berpindah pada telinga Devin. Ada lima, atau mungkin tujuh tindikan di tiap telinganya.
Colin terkekeh, "Jadi kau menyembunyikan benda itu di depan Ayah? Sudah kuduga kau tidak akan sebaik itu,” ucap Colin dengan nada menghina.
Devin balik mencibir, "Seakan-akan aku peduli dengan pendapatmu."
Luna hanya menjadi penonton dalam pertunjukkan itu. Mereka saling menghina tanpa saling pandang. Ketika melihat adegan itu secara langsung, ia sedikit bingung dan tidak tau harus berbuat apa.
"Hei, cantik. Siapa namamu tadi?"
"Luna." Pelan ia menjawab, pertanyaan seperti itu ia rasa tak perlu izin dari Colin untuk menjawabnya. Keadaan semacam ini bahkan tidak ia bayangkan dalam beberapa jam lalu. Rasanya sangat sulit menerima kenyataan kalau ia punya seorang kakak mengerikan lagi.
"Benar. Luna. Kau akan tinggal bersamaku, 'kan?"
Pertanyaan itu sudah pernah Luna dengar, ia tetap membisu untuk sebuah jawaban.
Tidak terduga oleh Luna, Colin langsung memotong, "Tidak. Dia akan tinggal bersamaku." Gadis itu jelas langsung mencuri pandang padanya, sedikit tidak menduga. Ah, dia mencoba berpikir sesuai logika. Tidak mungkin kakaknya itu ingin melindunginya. Justru ia ingin memonopoli kehadirannya.
Luna tidak punya pendirian. Ia takut pada Colin dan Devin. Ia ingin berlindung pada Devin tetapi dia sangat mengerikan. Colin bisa menjaganya, namun itu juga berarti dia mesti tidur bersamanya lagi. Jika boleh, Luna tidak ingin memilih siapa-siapa.
"Kenapa kau sibuk dengan itu? Biarkan dia yang memutuskan." Devin membalas dengan kesal, melemparkan beban kepada Luna tanpa tau apapun. Dalam hati Luna meringis, memilih antara mereka berdua seperti memilih mati jatuh ke jurang atau mati digigit singa. Sekali lagi, ia tidak tau akan jadi seperti apa nasibnya bila bersama Devin. Apabila mengingat apa yang terjadi saat di toilet tadi, Luna tentu tidak akan bisa menjawab.
"Sudah aku katakan dia akan tinggal bersamaku!" Colin kesal dan berteriak. Ia terdengar sedikit protektif. Luna menganggap itu wajar karena dia pasti tidak mau kehilangan kesempatan.
Colin sedikit terlalu bersemangat untuk menjaga Luna dari Devin, melupakan sejenak apa yang sedang ia lakukan: menyetir. "Kakak, tenanglah. Kakak sedang menyetir," Luna panik karena takut Colin tidak fokus pada jalanan yang ramai. Mobil mereka sempat berbelok karenanya.
Colin menatap Luna lekat, mengirim tatapan ganas mengisyaratkan Luna untuk memilihnya. Apa kabar dengan jantung Luna? Ia harus memilih untuk tidur bersama Colin, atau memilih menerima kejutan besar saat memilih Devin. Simalakama.
"Maaf, Kak. Aku akan tinggal bersama Kak Colin. Aku... aku akan tinggal bersamanya." Pada akhirnya Luna memilih Colin.
.
.
.
.
.
Jika melihat apa yang terjadi beberapa jam terakhir, Luna yakin kalau kedua saudara kandung ini tidak akur. Ia bisa menebak, dengan perangai Devin yang begitu kasar juga Colin yang selalu mengatur dan bertindak sebagai pemimpin pasti tidak akan bersatu. Ia juga tidak habis pikir mengapa kedua orang tuanya merahasiakan tentang Devin. Ia tidak tahu apapun tentang kakak barunya ini. Benar-benar buta akan keadaan.
"Luna Sayang, kau yakin tidak mau tinggal bersamaku?" Lamunan Luna dipecahkan oleh pertanyaan Devin. Pertanyaan yang diulang itu terdengar seperti ancaman bagi Luna. Seperti todongan pisau tepat di depan wajahnya.
"A-aku…"
Colin dengan cepat menarik Luna ke dalam dekapannya. Sedikit terlalu banyak kontak fisik di antara mereka diperlihatkan dan menarik perhatian Devin. "Jangan berharap aku akan membiarkan Luna tinggal bersama berandal sepertimu. Ayo Luna. Kita pulang." Kalimat Colin jelas karena ia menekankan setiap katanya. Ia ingin Devin emosi.
Devin berdecak kesal. "Sialan kau!"
Colin dengan senyum kemenangan membawa Luna masuk ke dalam mobil. Mereka segera pergi meninggalkan rumah itu, membiarkan Devin sendiri di luar pagar. Persetan dengannya. Dia sudah tidak sabar dengan janji Luna. Sejak awal hanya itu yang ia pikirkan.
Lagi-lagi, tidak ada suara selain suara mesin mobil yang samar dan helaan napas. Luna mengutuk dirinya karena rela menjadi boneka seks bagi Colin. Tetapi hal yang sama atau mungkin lebih mengerikan bisa terjadi apabila dia memilih Devin. Ia tau benar dua bersaudara itu maniak seks!
Sret!
Suara rem mobil terdengar tiba-tiba, membuyarkan lamunan Luna. Segera ia melihat ke arah luar. Mereka bahkan tidak berada di tempat yang dekat dengan apartemen Colin.
"Kenapa kita—?" Pertanyaan Luna tak lolos sempurna karena bibir Colin sudah meraup bibirnya lebih dulu. Luna tersentak kaget saat tiba-tiba saja kursi duduknya diturunkan oleh Colin, tanpa membiarkan ia bicara.
Colin mulai agresif, Luna dipaksa mengikuti gerakan bibirnya. Tangannya juga secara liar menggerayangi tubuh gadis itu. Ia memperlakukan bibir Luna seperti mainan tanpa memberi kesempatan bernafas.
Luna yang tidak sempat mengganti pakaiannya sedang dalam masa krisis ketika tiba-tiba Colin menyentuh dadanya. Teriakannya tertahan akibat ciuman yang berlanjut, Luna tidak bisa lari karena kepalanya ditahan oleh Colin. Jemari-jemari pria itu bebas melakukan apa saja pada dadanya.
Colin sangat menyukai saat-saat ini. Saat di mana Luna kewalahan dan ketakutan padanya, tetapi juga perlahan merasakan getaran kenikmatan sentuhan. Senang sekali pria itu menyentuhnya, merusak kepolosannya untuk kepuasan pribadi. Bibir dan jarinya bergerak aktif menyiksa kebebasan Luna.
"Hentikan... Kakak." Jemari Luna meremas bahu Colin, seakan-akan hanya itu saja yang bisa ia lakukan untuk melampiaskan rasa sakit dan nyeri akibat aktivitas Colin pada dadanya yang terus berlangsung.
Colin menuruti permintaan Luna kali ini. Ia benar-benar melepaskan ciuman bahkan sentuhannya. Tubuh Luna segera terpental kembali ke kursi mobil, ia tersandar lemas dan sibuk mencari napas. Pria itu sendiri melakukan hal serupa, tetapi tensinya masih sangat tinggi hanya untuk berhenti di awal yang begitu dini.
“Luna, naik duduk di atas pahaku, lakukan sekarang!”
Luna menatapnya dengan tatapan bingung, “Aku….”
“Cepat, Luna.”
“Tapi… aku tidak mau, Kak.”
“Kau apa? Kau tidak mau?” Colin mengulang perkataan Luna dengan seringai. Seringai menakutkan itu membuat Luna bergidik hingga ingin sekali ia kabur dari sana, “Kau pikir….” Gadis itu mematung karena suaranya yang bergetar, “kau pikir kau bisa dengan mudah menolakku, hm?”
Suara bergetar Colin memang pelan, tetapi itu malah membuat Luna merinding. Tiba-tiba saja pria itu mencekik leher Luna. Gadis itu tak sempat melarikan diri hingga dirinya otomatis menjerit. Seketika gadis itu kesulitan bernapas dan mengalami malfungsi indera lainnya.
Jemari Colin mengelilingi leher Luna hampir ke seluruh bagiannya. Pria itu tidak main-main, seakan-akan tidak sadar sebanyak apa kekuatan yang seharusnya dia berikan pada seseorang yang jelas kalah ukuran darinya.
“Kau berkata kau tidak mau? Kau pikir kau siapa berani menolakku, huh?” seringai pria itu terlihat semakin mengerikan di antara mata kabur Luna yang terpaksa menatapnya, “sepertinya kau perlu diberi hukuman.”
Tangan Colin tidak bergerak dari tempatnya, masih memaksa Luna terus membuka mulut untuk mencari napas dengan tergesa karena tenggorokannya yang tersiksa. Tetapi, bagi Colin itu belum cukup. Entah bagaimana caranya, di antara spasi mobil yang begitu kecil itu, dia berhasil menempatkan dirinya untuk posisi lebih baik. Ketika Luna sibuk mencoba melepaskan cengkramannya, pria itu menggunakan tangannya yang lain untuk menghukum Luna.
Luna lagi-lagi tidak mengantisipasi apapun ketika ia sadar bahwa jemari Colin sudah menyibak rok seragamnya. Pria itu bahkan menyentuh titik sensitifnya. Ia ingin berteriak namun juga sulit karena lehernya masih dicekik.
Colin tidak bisa menahan tawa saat melihat reaksi Luna. “Kau tidak mau? Coba kau pikir ulang perkataanmu. Kau selalu saja berbohong, Luna.”
Sudut mata Luna berlinangan air mata. Entah mereka keluar karena rasa apa, ia tidak tahu. Perutnya terasa tergelitik tiap kali jari Colin menyentuh dirinya. Sangat tidak bisa dijelaskan. Pria itu memastikan sarafnya hanya dengan sentuhan di sana.
“Cobalah jujur, Luna Sayang. Kau menyukainya, ‘kan?”
Luna menggeleng cepat.
“Katakan kau menyukainya, cepatlah.”
Luna terus menolak, namun dirinya juga tetap tidak bisa berbohong. Jari-jari Colin menyengatnya dengan apik hingga ia bingung dengan rasa apa yang dia rasakan.
“Katakan! Cepat!” Colin berteriak karena mulai tak sabar, tanpa prihatin ia meremas leher Luna. “tubuhmu lebih jujur dari mulutmu, Luna.”
“Kakak .…” Luna kesulitan membuka mulutnya, “k-kau sudah gila.”
Sudut bibir Colin terangkat, “Gila? Bukankah kau yang membuatku gila?” Seiringan dengan kalimatnya, pria itu kembali agresif.
Tubuh Luna bergerak tak terkendali setelah Colin mempermainkannya. Dia bahkan tidak lagi mencekik Luna, tetapi gadis itu semakin kesulitan bernapas. Luna mencoba menjauhkan tangan pria itu dari dirinya, tetapi ia tidak berhasil. Lagi, ia mulai mengalami masalah jati diri di mana dirinya tidak bisa menahan diri untuk melepaskan desahan.
Tidak. Ia tidak menyukai hal itu. Ia ingin lari dari sana. Tetapi tubuhnya tidak bisa berbohong ketika Colin menyentuhnya. Itu menyengat dan—secara aneh menyenangkan.
“Kau suka, ya?” Luna tertimpa sial karena Colin menyadari itu. “Coba katakan kau suka,”
Luna menggeleng cepat. Tangannya meremas apapun yang ia bisa karena Colin tidak kian berhenti memainkan jemarinya.
“Cepat katakan Luna, ‘Kak, aku suka jemarimu’. Coba katakan, aku ingin dengar.”
Luna mengatupkan bibirnya erat-erat. Ia tidak mau mengatakan hal itu. Ia tidak mungkin menyukai hal menjijikkan seperti ini. Pikirannya berusaha menolak semua perasaan asing yang menggelitiki. Colin, ia menganggap pria itu sedang mempermainkannya dan tidak seharusnya ia menyukai itu.
“Ah ….”
Sial. Luna tidak kuasa menahan desahannya.
“Wah, lihat siapa yang begitu menikmati permainan? Luna, kau ternyata gadis yang jalang, ya?”
“T-tidak! A-aku ….”
“Tidak apa, hm?”
Luna segera saja lemas, Colin akhirnya menjauhkan tangannya. Gadis itu terbaring lelah di kursi mobil. Ia seperti telah dicabut nyawanya, tengah mencoba menangkap lebih banyak oksigen namun tidak berhasil. Lehernya sakit, begitu pula dadanya. Paha Luna terbuka lebar tanpa bisa lagi ia pedulikan. Ia tidak tau lagi bagaimana kacaunya dirinya.
Luna menangis. Ia menangisi dirinya sendiri.
“Sekali jalang tetaplah jalang, ya? Luna, malangnya dirimu.” Meski ia berkata ia mengasihani, sebenarnya ia tidak merasa begitu.
Colin tidak membiarkan gadis itu tenang begitu saja. Ia belum selesai. Di antara napas berat gadis itu, ia mulai melepaskan kancing blus seragamnya satu persatu.
“Kau tau, hm? Aku tidak pernah ingin punya adik. Satu saja sudah membuatku muak. Dan sekarang kau malah datang menjadi adik baruku. Ayolah, kau hanya akan jadi mainan untuk ‘adik’ku.”
Luna terlalu lemah untuk menyingkirkan tangan pria itu. Dia menjadi sangat pasif, bahkan ketika dadanya diremas seperti sebuah mainan, ia tidak bisa menolaknya.
“Apa kau terlalu lelah setelah sekali orgasme? Ayolah itu bukan apa-apa.”
Colin mulai memainkan dada Luna sesuka hati, dan gadis itu terpaksa pasrah dengan perlakuan itu. Jangankan untuk menolak, mengangkat tangannya saja ia seperti tidak mampu.
“Kurasa kita akan menikmati banyak waktu yang menyenangkan, ya?”
Luna menutup mata dan perasaannya. Jika bisa, ia hendak sekali meninggalkan tubuh itu sejenak. Ia tidak ingin tau dan merasakan apa yang dilakukan oleh kakaknya. Ia ingin sekali meninggalkan tubuh kotor itu.
“Lebarkan kakimu, sayang. Kita akan segera berpesta.”
Persetan dengan semuanya, Luna tidak ingin tau apapun lagi.
“Ready? This is gonna be fun.”
To be continued
by Ayasa
Luna berjalan pelan dengan kepala menunduk. Tidak bisa bebas dari ingatan, ia kembali mengingat apa yang terjadi kemarin. Dirinya menyesal ketidakberdayaan melawan Colin. Tubuhnya dipermainkan tanpa tanggung jawab. Sekarang ia perlu berpura-pura sehat, pelan-pelan melangkah dan mangkir dari pelajaran olahraga. Mana mungkin kewanitaannya tidak perih. Colin sama sekali tidak peduli dengan hasil perbuatannya sendiri, dia merajalela bahkan kurang dari 12 jam kepergian orang tua mereka. Gadis itu melangkah malas menuju gerbang sekolah. Dirinya tertinggal jauh dari iringan teman sekelas yang juga pulang. Ia tak bersemangat kembali ke rumah. Ia tidak ingin menemui Colin. Sekarang rumah bukan lagi tempatnya berlindung melainkan penjara. Lamunan menjadi membuatnya tertawan, tak sadar kakinya sampai di gerbang sekolah. Ia enggan mengangkat kepala. Ia tidak siap mendapati sedan Colin di sana. Ia tidak ingin naik kereta kematian. Setelah mempersiapkan hati, ia mengangkat kepala.
"Tenang saja. Karena kau sekarang adikku, aku akan menjagamu." Mata Luna berbinar, ia menatap pria di sampingnya dengan sungguh-sungguh. Ia berharap telinganya tidak berbohong, ketika ia mendengar ucapan seperti itu dari seorang Devin. Kalimatnya sangat indah, seperti sebuah mimpi yang sejak lama didambakan akhirnya dapat terwujudkan. “Su—sungguh?” Luna gagap karenanya. Devin menertawakannya, “Mengapa? Kau tidak percaya?” “Aku hanya … terkejut.” “Tidak perlu terkejut.” Devin kemudian menarik Luna mendekat dan merangkulnya, “kalau kau kedinginan kita sebaiknya pergi dari sini.” Luna begitu senang. Hal ini seperti mimpi yang sudah lama ia dambakan untuk terwujud. Semuanya benar-benar menyenangkan hingga ia mengingat sesuatu. "Kak Colin, dia pasti mencariku." Seperti kehilangan nyawa, ia menghela napas pelan. Ah, ia masih punya masalah dengan pria satu itu. Respon yang ia terima benar-benar menenangkan, Devin hanya tertawa, "Biarkan saja.
"Luna." Jantung Luna berdebar kencang setelah merasakan pelukan mendadak di punggungnya. Tangannya yang sedang bekerja segera terhenti. Ia mencoba menghilangkan gemetar yang terlihat jelas, tetapi jujur ia benar-benar takut. Hanya pikiran negatif yang saat ini bisa terlintas di otaknya. "I—iya?" "Ambilkan aku paper towel," Suara Devin menggelitik telinga Luna. Jelas, ia dapat merasakan udara yang mengalir keluar dari hidung lelaki itu. Telinganya seperti tengah dipermainkan oleh napas menderu yang begitu menggoyahkan. "Baik," Devin menempatkan dagunya di bahu Luna. Gadis itu segera memberikan paper towel untuknya. Ia dengan cepat melakukan itu karena ia mengalami senam jantung. "Thanks—sh. Ah, sialan." Akhirnya Devin melepaskan pelukannya. Astaga. Jantung Luna hampir jatuh. "Kurasa aku akan pergi ke kamar saja. Kau juga, langsung istirahat saja. Jangan melakukan apapun lagi. Sialan hidung ini." "Tapi, pulang—"
Matahari sudah naik saat pria itu bangun dan memilih untuk keluar kamar. Di depan pintu, ia menyambut pagi yang terlambat dengan sedikit meregangkan tubuhnya. Ah, tidur yang menyenangkan. Sudah lama sejak terakhir ia merasakan kenikmatan tidur seperti tadi malam. Ia bahkan belum membasuh wajah, apalagi menyikat gigi. Meski telihat begitu kusam, ia tidak peduli. Walau matanya masih sedikit malas untuk membuka, ia berhasil sampai ke dapur untuk mencari seteguk air. Devin, walau dia baru beberapa hari kembali dari Amerika, ia sama sekali tidak asing. Tidak ada yang berbeda dari rumahnya yang dulu dan sekarang. Setiap hari orang yang memberinya makan adalah Bibi Susi yang juga tak berubah, hanya sedikit menua. Ia tidak perlu adaptasi dengan keadaan rumah. Meski sudah bertahun-tahun tak tinggal di sana, ia menganggap semuanya tak berbeda. Suasana masih sama, tetapi ada hal yang berbeda juga. Jumlah anggota keluarga sudah bertambah. Ia punya ibu baru yang kelihatannya cuku
"Aku tidak akan biarkan dia menyentuhmu. Kau itu milikku." Kalimat itu berputar-putar di kepala Luna sepanjang hari. Apakah kakaknya itu serius? Apakah Devin benar-benar menaruh hati padanya? Bagaimana mungkin kedua bersaudara itu punya obsesi yang sama? Colin mungkin memperbudaknya hanya untuk kesenangan saja, namun bagaimana dengan Devin? Mereka belum terlalu lama saling mengenal. Lalu mengapa dengan mudahnya dia mengatakan hal seperti itu? Saat ini semua pertanyaan itu berkecamuk meminta jawaban di kepalanya. Tidak hanya itu, Luna juga tengah pusing dengan kebohongan yang ia katakan pada Devin. Colin jelas melakukan sesuatu, namun ia memilih untuk tidak melaporkannya. Tidak melakukan apapun? Bagaimana dengan rasa sakit, tangis, dan segala perlakukan buruknya selama ini? Hal itu tidak dihitung sebagai sesuatu? Apa yang ada di dalam pikirannya, ia tak mengerti. Luna memastikan Colin sedang tidak ada di sekitarnya sebelum menghampiri Devin. Sang kaka
Apabila sebuah pintu bisa merasakan sakit, keluhan saja tidak akan cukup untuk meluapkan sakit yang ia terima. Seperti orang gila, pria itu memukulinya, seakan-akan tangan dan kakinya tidak merasakan sakit sama sekali. Tidak habis hanya pukulan, umpatan juga ia layangkan pada benda mati itu. Devin, bisa dikatakan dia begitu marah saat ini. Dia merasa dibohongi, dibodohi, diperdaya dan dipermainkan. Baru saja dia mengakui perasaannya, tetapi apa yang dia dapatkan? Kebohongan bahkan hal menjijikkan. Jelas saja ia marah. Selama ini perasaan aneh yang ia rasakan di antara dua orang itu memang benar adanya. Ia bahkan berpikir jika sebenarnya mereka berdua sedang menertawakan kebodohannya. Luapan amarahnya memuncak dengan tendangan pada pintu untuk terakhir kali. Rambutnya diacak kasar, mode amarahnya meluap-luap. Ia tak bisa tenang dengan hanya menghancurkan apapun yang ada di hadapannya, itu tidak cukup. Dirogohnya saku celana untuk sesuatu yang ia sembunyikan sejak mala
Aktivitas pagi di rumah keluarga itu berjalan seperti biasa. Asisten rumah tangga mereka yang tidak tau apapun datang pagi sekali untuk membuatkan sarapan bagi penghuni rumah. Si anak tertua yang tidak biasanya memilih menginap juga bangun lebih pagi karena dia punya kelas di pagi. Kepalanya sedikit berputar saat pertama kali membuka mata, tetapi karena dia sudah mengetahui apa yang mesti ia lakukan, rasa itu bisa ia hilangkan dengan segera. Sama halnya dengan anak gadis di rumah itu. Ia terbiasa untuk bangun pagi, tidak perlu seseorang untuk membangunkannya. Ini hari Senin. Dia harus kembali ke sekolah, dunia yang seharusnya ia nikmati dengan kesenangan. Luna sekali lagi merasakan sakit pada tubuhnya karena perlakuan yang ia terima akhir-akhir ini. Jika saja bisa, ia ingin memperpanjang hari libur untuk beristirahat. Tetapi jika berada di sekolah berarti aman dari kedua kakak laki-lakinya, maka ia memilih untuk pergi. Satu-satunya orang yang memulai hari dengan cara
"Ahh," Desahan terdengar keras ke seluruh penjuru ruangan. Suara napas menderu, pukulan kecil juga lenguhan bersela di setiap oksigen yang beterbangan. Beberapa saat kemudian terdengar lagi suara lain. Sebuah mangkuk jatuh ke lantai dan pecah, suara dentingannya berkecamuk dengan desahan. Pelakunya adalah Luna, gadis yang sedang di cumbu oleh kakak tirinya sendiri, Colin. Colin bahkan tak membiarkan sang adik bersiap atau berpindah, mereka bercumbu di atas meja makan tanpa merapikan sama sekali peralatan bekas makan. “Kakak … tunggu, a-aku—tunggu.” Tangan Luna tak tentu, ia meremas bahu dan lengan Colin bergantian. Ia merasakan geli yang luar biasa di seluruh tubuhnya. Kupu-kupu seperti beterbangan di perutnya. Perilaku sang kakak terhadap lehernya membuat bulu kuduknya berdiri. Lelaki itu bahkan tak segan menggigitnya, meninggalkan bekas kebiruan tak bertanggung jawab. Ada kepuasan ketika sang gadis melenguh hebat akibat karya seninya itu, ia kemudia