Beranda / Romansa / Good Sister / 1. You will Get Hurt

Share

1. You will Get Hurt

Penulis: Ayasa
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-02 10:10:21

Namanya adalah Audrey Luna, namun ia lebih sering dipanggil dengan nama latin dari bulan ketimbang nama depannya. Dia adalah siswa sekolah menengah atas tahun kedua. Seperti sebuah takdir yang sudah direncanakan sejak lama, kehidupannya berubah setelah ibunya menikah lagi.

Luna tidak pernah keberatan dengan keputusan ibunya. Justru ia merasa sangat senang, karena sang ibu yang sudah menjaganya dengan sepenuh hati itu akhirnya bisa merasakan perasaan cinta lagi. Meskipun ia belum genap dewasa, ia sudah tahu seperti apa seharusnya ia bersikap. Ia tidak akan berlaku kekanakan dengan menolak pernikahan. Ia menyambutnya dengan baik. Ia pikir semua orang pasti akan melakukan apa saja untuk membahagiakan orang tua mereka, jadi menurutnya sikap yang ia perlihatkan pada pernikahan itu adalah sudah tepat: ia turut bahagia.

Namun, beberapa hari terakhir, ia merasa tidak menentu. Ini sudah tiga bulan sejak pernikahan ibunya. Sejak saat itu pula ia mulai tinggal di rumah sang Ayah tiri. Tidak ada yang salah dengan pria paruh baya itu. Luna merasa sangat senang karena ia diperlakukan dengan sangat baik olehnya. Namun Luna bingung terhadap sang kakak tiri.

Namanya Colin Dewangga. Tidak seperti Luna yang senang, kakak tirinya itu sangat menolak pernikahan sang ayah. Bahkan sejak pernikahan dilangsungkan, ia tidak pernah menginjakkan kakinya di rumah keluarganya sendiri. Dia memang tidak tinggal di sana, tetapi jangankan untuk berkunjung, memberikan kabar saja tak pernah. Luna merasa sangat terbebani. Dia bahkan tidak menyambut baik sang ibu, apalagi dirinya sebagai sang adik. Sang ayah memang sudah memintanya untuk tidak khawatir, tetapi tetap saja. Luna merasa telah merebut kebahagiaan seseorang.

Sore itu tepat di waktu pulang sekolah, seperti biasa Luna berdiri di halte depan sekolah untuk menunggu bus. Karena dia sudah pindah rumah, dia tidak lagi punya teman pulang satu arah yang bisa ia tumpangi. Meski ada beberapa orang yang menawarkan tumpangan, gadis itu menolak, karena tujuan yang tidak searah. Dia tidak suka merepotkan orang lain.

Ketika dia sedang menunggu, tiba-tiba saja sebuah mobil sedan berwarna biru tua merapat ke halte bus. Luna hanya tetap diam di tempat ia berdiri, karena dia merasa tidak akan ada orang yang menjemputnya. Tetapi, ketika kaca mobil itu turun tepat di hadapannya, dia tertegun. Sang kakak tiri muncul di balik jendela.

Luna memang pangling beberapa saat, tidak menyangka bahwa sang kakak yang tidak ia temui sejak beberapa bulan itu akan muncul di depan sekolahnya. Lebih dari itu ia merasa senang, terutama ketika ia melihat sang kakak begitu tampan dan rapi dengan kemeja berwarna biru langit. Benar-benar seorang pria yang memesona.

“Kak Colin?”

Pria itu menoleh ke arahnya, menunjukkan aura yang lebih memikat dengan sedikit senyuman. “Masuklah,” ujarnya.

“Kak Colin datang untuk menjemputku?” Luna bertanya seakan-akan dia tidak percaya, ia mendadak bingung juga bersemangat di waktu bersamaan.

“Iya, adikku sayang. Masuklah.” Jawab Colin masih dengan senyuman.

Redaksi sang kakak begitu menggetarkan. Bagaimana dirinya dipanggil begitu manis, ia suka. Ia bukan mengharapkan hal-hal romansa, tetapi jika itu berarti ia diterima sebagai seorang anggota keluarga, ia sangat bersyukur. Ia mengira sang kakak tidak akan pernah mau bicara dengannya. Namun perkiraan itu melenceng.

 “Kau tidak mau pulang?”

Terlalu banyak melamun membuat ekspresinya sulit dikendalikan, ia merasa malu. “Ah, iya. Maaf, kak.”

Segeralah gadis itu masuk Luna bukan orang yang suka berprasangka. Tanpa ada pikiran negatif, dia percaya bahwa sang kakak mulai menerimanya sebagai seorang adik. Namun pada akhirnya, dia menyesali tindakan itu.

.

.

.

.

.

“Kalau kau menurut, aku mungkin akan bersikap baik padamu.”

Belum sempat Luna mencari kebenaran, ia kembali mengalami rasa sakit karena sang kakak dengan mudah menariknya kembali untuk sebuah ciuman. Gadis itu berontak. Tangannya sebisa mungkin mendorong sang kakak yang dengan penuh semangat menciuminya.

“Kakak!”

“Luna, diam!” Pria itu mengunci kedua tangannya di atas kepala, tidak peduli jika gadis itu menangis karena menolak ataupun kesakitan. Bibirnya tidak diam, memberikan kecupan-kecupan penuh nafsu seakan-akan itu adalah candunya. Di sela-sela semua itu dia masih sempat menarik blus seragam Luna ke atas. Meski telah mencoba sebisa mungkin, si pemilik seragam tidak bisa menghentikan penutup tubuhnya itu dikacaukan bentuknya.

Tangan Colin masuk ke dalam seragam Luna, mencoba menyentuh kulitnya dengan tangan kosong. Perhatiannya sedikit teralihkan, Luna melihat sebuah kesempatan untuk mendorong pria itu sekali lagi. Tanpa menunggu ia segera melakukannya. Sekuat tenaga ia menjauhkan tubuh beserta tangan pria itu.

Ia berhasil. Sesuatu yang sangat mengejutkan bagi Colin karena dia tidak menyangka tubuhnya harus terpental oleh dorongan seorang gadis kurus.

“A-aku harus pulang ke rumah sekarang.”

Luna tahu bahwa keberadaannya di sana lebih lama lagi tidak akan berakhir baik, segeralah ia merealisasikan niatnya untuk pergi ke luar apartemen. Posisi mereka memang tidak jauh dari pintu, karena sejak tadi ciuman dan segala yang terjadi itu dilakukan di belakang pintu masuk.

Luna melangkahkan kakinya sekali untuk pergi, tetapi ia tidak berhasil melakukan lebih banyak langkah karena tangannya ditahan dengan begitu erat oleh sang kakak. Pelan, gadis itu berbalik untuk menatap wajahnya, mencoba memberikan ekspresi memelas, namun niat itu lagi-lagi tidak terlaksana karena ia langsung tersentak oleh tatapan dari sang kakak. Tatapan yang entah mengapa membuatnya tidak berkutik, seperti ia tengah menatap seorang yang kerasukan.

“Siapa yang berkata kau boleh pergi dari sini?”

Bahkan nada suara pria itu lebih berat dari sebelumnya, membuat telinga Luna seperti diteror. Tatapan matanya tetap mematikan, ditambah lagi dengan caranya menggenggam tangan Luna. Gadis itu tidak bisa menahan tangis. Entah sakit atau takut, ia tidak tahu mana yang menyebabkannya menangis.

“Kakak….” Luna tahu bahwa dia harus segera kabur, ia berusaha melepaskan genggaman Colin pada lengannya. Namun hasil yang didapatkannya tidaklah lebih baik dari rasa sakit yang bertambah terus-menerus. “S-sakit.”

Colin menarik lengan itu keras hingga Luna hampir terpental. Tubuh Luna berakhir membentur dadanya. Kemudian pelan, ia melingkarkan lengannya yang lain pada gadis itu. “.…bukankah sudah kukatakan? Aku akan bersikap baik padamu kalau kau menurutiku. Sekarang, jadilah adik yang baik, ya?”

“Tapi….”

“Apa?”

“Aku tidak mau, Kak.”

“Kau tidak boleh menolak.” Kalimat Colin begitu jelas, namun Luna tetap akan menolaknya. Apapun yang pria itu inginkan saat ini Luna sangat yakin bahwa itu bukan sesuatu yang menyenangkan untuknya.

“Diamlah dan ikuti perkataanku.”

“Aku tidak mau, Kakak, tolong lepaskan tanganku.”

Luna tidak tahu apa yang terjadi, tetapi pria itu menuruti permintaannya. Tangannya yang sejak tadi dicengkram itu dilepaskan tanpa syarat. Begitu pula pelukan yang melemah membuat ia dengan mudah menjauhkan tubuhnya dari pria itu. Ia tidak mau melepaskan kesempatan untuk segera kabur, jadi dengan segera Luna lari menuju pintu.

Andai saja keberuntungan berpihak padanya, gadis itu mungkin akan berhasil melewati pintu untuk pergi dari sana. Namun itu tidak terjadi. Luna terpental ke belakang setelah kulit kepalanya terasa panas akibat ribuan helai rambutnya ditarik dengan paksa. Matanya yang baru saja mengering kembali basah akibat air mata yang otomatis keluar. Ia merasa begitu perih, belum lagi ketika rambut-rambutnya itu menjadi tumpuan tubuhnya yang diseret masuk. Tidak lagi bisa kabur, kedua tangannya berusaha melepaskan setidaknya sedikit saja helai rambut itu.

Colin tidak memberikan rasa ampun walau satu detik, Luna tertarik sampai ke dalam apartemen. Luna tidak lagi sempat mengagumi pemandangan di dalam karena matanya menjadi kabur akibat air. Tubuh mungilnya dilempar ke sofa. Kepalanya membentur dengan keras meski seharusnya sofa itu empuk. Akhirnya rambutnya dilepaskan.

Luna terlalu sibuk mengurusi sakit pada kepalanya, tidak sadar bahwa orang yang tengah menatapnya itu begitu kesal. Ia mencoba untuk kabur sekali lagi, tetapi bahkan ia tidak bisa bangun. Tangannya menjauhkan segala yang mungkin hendak dilakukan sang kakak terhadapnya, sangat sibuk.

“Kakak, lepaskan!” Luna berteriak keras ketika kedua tangan dan kakinya terkunci. Colin telah menduduki pahanya. Semua pergerakannya terhenti ketika bibirnya kembali menjadi sasaran. Dengan mudah Colin mendorong tubuhnya untuk berbaring di sofa. Pria itu semakin mudah pula melumat bibirnya, memuaskan nafsu juga amarah yang mengukus kepalanya.

Perlawanan Luna mulai melemah, terutama saat ia tidak bisa lagi bergerak. Air matanya terus turun ketika bibirnya menjadi sumber kepuasan sang kakak. Perasaan yang dia rasakan terasa sangat beragam. Ia merasa sakit, hal yang paling mendominasi di antara semua yang ia rasakan sekarang. Mengapa seperti ini? Mengapa begini? Ia tersakiti oleh perlakuan sang kakak yang begitu tidak terduga.

Beberapa kecupan paksa setelah itu, Luna merasa jijik. Ia tidak lagi ingin dicium. Dengan cepat ia mengalihkan wajahnya. Andai saja sang kakak mengerti kemudian melepaskannya, itu akan jadi sesuatu yang lebih menyenangkan. Tetapi kenyataan yang dihadapinya tidak sebaik itu. Bibir itu beralih membasahi tempat lain. Ia tidak bisa memberikan perlawanan ketika ciuman beralih pada dagu, leher juga telinganya. Luna tidak lagi melihat seorang kakak yang baik.

Telinga Luna mesti merasa gelitikan hebat ketika kecupan-kecupan terdengar begitu jelas di telinganya. Apa yang dilakukan sang kakak? Dia melakukan hal semenjijikkan ini pada adiknya sendiri? Semakin ia mencoba berpikir logis, ia kalut.

“Ah!” Gadis itu memekik saat lehernya digigit tiba-tiba.

“Hm? Sudah mulai menikmati?” Sang kakak terkekeh di sela kegiatannya.

Luna sungguh jijik dengan detik-detik ini. Bahkan pertanyaan mesum dari sang kakak, atau apapun niat jahat yang sedang dipikirkannya, ia merasa geli dan ingin muntah. Sesekali, saat di mana kekuatannya kembali naik, Luna mencoba melarikan diri. Meski tiap-tiap kesempatan itu tidak berhasil ia dapatkan.

“Kakak, aku tidak mau! Lepaskan aku!”

Entah keberanian darimana, Luna berteriak keras. Kesempatan kembali datang dan ia berhasil memanfaatkannya. Luna menendang tepat ke bagian paling tepat—selangkangan Colin.  Pria itu dalam hitungan detik segera kesakitan, melemahkan pengawasannya sehingga ia dengan mudah didorong mundur oleh Luna.

Luna jatuh membentur lantai. Ia jelas kesakitan, tetapi karena fokusnya pada melarikan diri, rasa itu ia lupakan sejenak. Susah payah dia bangun dari sana. Setelah berhasil berdiri, ia menyeret kakinya untuk berlari menuju pintu.

“Sial!”

Telinga Luna mendengar umpatan, dengan segera ia berlari walau terpincang.

 “Dasar gadis jalang!”

Sekali lagi, gadis itu diseret dengan ditarik rambutnya. Ia dijatuhkan dengan kasar ke lantai, sehingga bunyi deguman terdengar begitu jelas karenanya. Colin menduduki tubuhnya, mencegah pelarian untuk kedua kali. Kedua tangan Luna juga dicengkramnya dengan sangat kuat. Meski Luna meronta, ia seperti telah ditulikan.

“Jangan!”

Hanya dengan sekali tarik, kancing seragam Luna beterbangan ke mana-mana. Blus itu segera sobek hingga tidak berbentuk karenanya.

“Kakak!”

“Diam!”

“Lepaskan!”

“Luna, diam!”

Plak!

Sebuah tamparan keras melayang ke pipi Luna. Seketika pipi itu terasa nyeri dan panas.     “Dasar kau jalang rendahan!”

Luna baru saja ditampar. Pipinya segera memerah, dan ia membeku di tempat. Sepanjang hidupnya, ini pertama kali dia merasakan hal itu.

“Aku benar-benar membencimu, gadis sialan.”

Plak!

Satu kali lagi tamparan sampai di sana, suaranya begitu keras.

“Aku benar-benar membencimu, sampai rasanya aku ingin menyakitimu setiap saat.”

Tangan Colin bergerak lebih bebas karena Luna tidak lagi memberikan perlawanan. Pria itu dengan mudah merasukkan tangannya di antara rok sekolah Luna, menarik keluar celana dalam gadis itu dan membuangnya ke sembarang arah.

“Adik baru? Yang benar saja. Kau hanya akan jadi mainanku. Kau dan ibumu sama saja. Wanita jalang.”

Luna menangis. Ia tidak punya kekuatan lagi untuk melakukan perlawanan. Dengan mudah ia dilucuti, disentuh, dan dinikmati. Colin menciumi dadanya juga menyentuh pahanya tanpa gangguan.  Luna mendelik ketika pangkal pahanya disentuh. Ia menggigit bibirnya, tidak ingin mengeluarkan suara penuh ambigu yang hanya membuatnya semakin jijik.

Suara itu tentu saja disambut baik oleh pelakunya, “Kau suka? Ini pertama kalinya bagimu, kan? Hm, kau memang berbakat menjadi seorang jalang.”

“Kakak, jangan.” Luna melirih, mencoba mencari belas kasih. Pandangan matanya kabur akibat air mata. Kepalanya berputar, sebagian besar karena rambutnya yang ditarik juga kepalanya yang terbentur lebih dari satu kali. “A-aku minta maaf.”

Colin tersenyum. Sesuatu yang seharusnya sangat disenangi Luna. Namun kali ini, ia berharap tidak pernah melihat senyum itu.

Colin mendekatkan wajahnya pada telinga Luna, berniat membisikkan sesuatu di telinganya. “Kau begitu polos, Luna sayang. Seharusnya aku yang harus meminta maaf.” Senyum di wajahnya perlahan berubah menjadi seringai. “Karena aku akan menyakitimu.”

To be continued

by Ayasa

Bab terkait

  • Good Sister   2. Sleep Over

    “Ah!” Luna meringis, tidak tahu bagian mana lagi dari tubuhnya yang mesti ia dahulukan untuk menahan rasa sakit. Matanya bengkak, akibat menangis terlalu banyak. Mungkin air matanya sudah kering, hingga kelopak mata itu menggembung hitam bersamaan dengan mascara tipisnya yang berhamburan. Wajahnya terasa sakit karena terus berbenturan dengan lantai. Kepala dan rambutnya puluhan kali didorong atau ditarik. Tubuhnya yang lain? Mati rasa. Tenggorokan Luna terasa gersang. Dia tidak memproduksi air liur sebagai mana mestinya. Teriakan dan penolakan yang ia layangkan terlalu banyak untuk dihitung sehingga pita suaranya mungkin membengkak. Ia tidak bisa mencegah mulutnya untuk tidak terbuka, memberikan entrance pada udara kering tanpa ada penyaringan. Perasaan dalam hatinya bercampur aduk. Entah, ia tidak lagi bisa mengatakan atau merasakan apapun kecuali: ia ingin semua ini segera berakhir. Luna meringis dengan bibir mengatup ketika rambut

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-02
  • Good Sister   3. Left Alone with Him

    “Aku tahu. Jangan khawatir.” Luna terusik. Tidur pulas tanpa mimpinya itu berakhir akibat suara sang kakak yang ia dengar. Perlahan ia membuka mata, lagi-lagi terserang vertigo ketika retinanya dipaksa menangkap cahaya terlalu banyak dalam waktu singkat. Meski lamban, ia segera tahu di mana dirinya sekarang. Tanpa pakaian, dalam pelukan pria itu. “Dia ada di sini, Ayah. Tidak hilang. Apa dia tidak memberitahu kalian?” Luna diam saja, menatapi sang kakak yang tengah berbicara dengan seseorang di telepon. Pelan-pelan ia mengintip ke dalam selimut, mencari kebenaran tentang siapa yang sebenarnya tidak berpakaian, dan dia segera tahu. Apa ini sudah pagi? Luna tidak ingat apa yang terjadi semalam. Walaupun begitu, sudah jelas jika dia telah diperkosa lagi. Terakhir kali ia mengingat bagaimana pria itu mengancamnya dengan rasa sakit. Lebih baik ia menurut saja kali ini. Ia tidak ingin lagi melawan karena ia tak punya kekuatan lagi. Seluruh tubuhnya tak bert

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-04
  • Good Sister   4. New Sibling

    Luna tinggal bersama kedua orang tuanya, terpisah dari Colin yang tinggal sendiri di apartemen. Ia akan aman jika terus berada di bawah pengawasan mereka. Namun, hari terus bergulir hingga waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Waktunya perpisahan. Bulan madu sudah direncanakan, dan hari ini Luna akan ditinggal sendirian di rumah. Luna menjadi pendiam. Dirinya memang bukan orang yang banyak bicara, tetapi belakangan ia menjadi semakin senyap. Pikirannya kalut hanya dengan berbagai bayangan tentang apa yang mungkin Colin lakukan terhadapnya selama sebulan penuh. Rumah memang tidak benar-benar kosong karena mereka punya asisten rumah tangga. Tetapi ia tidak berharap banyak pada wanita tua yang hanya berada di rumah kurang dari 12 jam. Luna terlalu khawatir sampai dalam beberapa hari terakhir ia tak bisa tidur. Mimpinya tidak pernah bersih dari rentetan rasa sakit yang ditakutinya akan terulang. Saat ini Luna sedang termenung di halte bus sekolahnya. Ia sama sekali tidak gemb

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-06
  • Good Sister   5. Brother's Fight

    Napas menderu tidak ikhlas, Luna meratapi pesawat yang lepas landas. Ia murung, awan hitam berada di atas kepalanya. Kedua orang yang bisa menjamin keselamatannya telah pergi, kini ia terjebak bersama di sadis Colin dan si gila Devin. Luna tersentak saat tiba-tiba sebuah lengan melingkari tubuhnya. Ia terkejut, tetapi berhasil menguasai diri karena sudah tau siapa yang melakukannya. Tanpa menoleh sekalipun, ia sudah mengenali dekapan siapa ini. Dia tidak malu, melakukan hal itu di depan umum. Sebuah kecupan di pucuk kepala Luna mengawali berbagai mimpi buruk yang akan menanti. Colin menempatkan bibirnya setengah inchi dekat telinga Luna lalu berbisik, “Ayo kita pulang. Ada janji yang perlu kau tepati dan … kasur yang perlu kau hangatkan.” Bulu kuduk Luna merinding. Saat napas Colin mengalir menuju lehernya, ia berkeringat. Bahkan setelah pelukan berakhir, kengerian masih tersisa. "Ayo pulang." Colin berjalan dengan perasaan bahagia, sementara

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-06
  • Good Sister   6. Dream Brother

    Luna berjalan pelan dengan kepala menunduk. Tidak bisa bebas dari ingatan, ia kembali mengingat apa yang terjadi kemarin. Dirinya menyesal ketidakberdayaan melawan Colin. Tubuhnya dipermainkan tanpa tanggung jawab. Sekarang ia perlu berpura-pura sehat, pelan-pelan melangkah dan mangkir dari pelajaran olahraga. Mana mungkin kewanitaannya tidak perih. Colin sama sekali tidak peduli dengan hasil perbuatannya sendiri, dia merajalela bahkan kurang dari 12 jam kepergian orang tua mereka. Gadis itu melangkah malas menuju gerbang sekolah. Dirinya tertinggal jauh dari iringan teman sekelas yang juga pulang. Ia tak bersemangat kembali ke rumah. Ia tidak ingin menemui Colin. Sekarang rumah bukan lagi tempatnya berlindung melainkan penjara. Lamunan menjadi membuatnya tertawan, tak sadar kakinya sampai di gerbang sekolah. Ia enggan mengangkat kepala. Ia tidak siap mendapati sedan Colin di sana. Ia tidak ingin naik kereta kematian. Setelah mempersiapkan hati, ia mengangkat kepala.

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-08
  • Good Sister   7. Runny Nose

    "Tenang saja. Karena kau sekarang adikku, aku akan menjagamu." Mata Luna berbinar, ia menatap pria di sampingnya dengan sungguh-sungguh. Ia berharap telinganya tidak berbohong, ketika ia mendengar ucapan seperti itu dari seorang Devin. Kalimatnya sangat indah, seperti sebuah mimpi yang sejak lama didambakan akhirnya dapat terwujudkan. “Su—sungguh?” Luna gagap karenanya. Devin menertawakannya, “Mengapa? Kau tidak percaya?” “Aku hanya … terkejut.” “Tidak perlu terkejut.” Devin kemudian menarik Luna mendekat dan merangkulnya, “kalau kau kedinginan kita sebaiknya pergi dari sini.” Luna begitu senang. Hal ini seperti mimpi yang sudah lama ia dambakan untuk terwujud. Semuanya benar-benar menyenangkan hingga ia mengingat sesuatu. "Kak Colin, dia pasti mencariku." Seperti kehilangan nyawa, ia menghela napas pelan. Ah, ia masih punya masalah dengan pria satu itu. Respon yang ia terima benar-benar menenangkan, Devin hanya tertawa, "Biarkan saja.

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-09
  • Good Sister   8. Movie Night

    "Luna." Jantung Luna berdebar kencang setelah merasakan pelukan mendadak di punggungnya. Tangannya yang sedang bekerja segera terhenti. Ia mencoba menghilangkan gemetar yang terlihat jelas, tetapi jujur ia benar-benar takut. Hanya pikiran negatif yang saat ini bisa terlintas di otaknya. "I—iya?" "Ambilkan aku paper towel," Suara Devin menggelitik telinga Luna. Jelas, ia dapat merasakan udara yang mengalir keluar dari hidung lelaki itu. Telinganya seperti tengah dipermainkan oleh napas menderu yang begitu menggoyahkan. "Baik," Devin menempatkan dagunya di bahu Luna. Gadis itu segera memberikan paper towel untuknya. Ia dengan cepat melakukan itu karena ia mengalami senam jantung. "Thanks—sh. Ah, sialan." Akhirnya Devin melepaskan pelukannya. Astaga. Jantung Luna hampir jatuh. "Kurasa aku akan pergi ke kamar saja. Kau juga, langsung istirahat saja. Jangan melakukan apapun lagi. Sialan hidung ini." "Tapi, pulang—"

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-10
  • Good Sister   9. Posession

    Matahari sudah naik saat pria itu bangun dan memilih untuk keluar kamar. Di depan pintu, ia menyambut pagi yang terlambat dengan sedikit meregangkan tubuhnya. Ah, tidur yang menyenangkan. Sudah lama sejak terakhir ia merasakan kenikmatan tidur seperti tadi malam. Ia bahkan belum membasuh wajah, apalagi menyikat gigi. Meski telihat begitu kusam, ia tidak peduli. Walau matanya masih sedikit malas untuk membuka, ia berhasil sampai ke dapur untuk mencari seteguk air. Devin, walau dia baru beberapa hari kembali dari Amerika, ia sama sekali tidak asing. Tidak ada yang berbeda dari rumahnya yang dulu dan sekarang. Setiap hari orang yang memberinya makan adalah Bibi Susi yang juga tak berubah, hanya sedikit menua. Ia tidak perlu adaptasi dengan keadaan rumah. Meski sudah bertahun-tahun tak tinggal di sana, ia menganggap semuanya tak berbeda. Suasana masih sama, tetapi ada hal yang berbeda juga. Jumlah anggota keluarga sudah bertambah. Ia punya ibu baru yang kelihatannya cuku

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-10

Bab terbaru

  • Good Sister   Epilog

    "Ya, mereka memanggilku Ares karena aku dianggap saingan paling berat dalam perang." Tatapan pria itu sangat yakin, mencoba menaikkan harga dirinya di depan seorang wanita cantik yang sedang ia incar. "Aku suka olahraga, hobiku sepakbola tapi aku lebih sering bermain basket bersama teman-temanku. Yah, hanya bermain saja." "Bagaimana dengan keluargamu?" "Keluargaku? Hmm ... Ayahku seorang pengusaha dan aku punya kakak laki-laki yang sudah menikah." "Kau juga ingin menikah?" "Denganmu? Tentu saja." Entah sejak kapan ia memiliki keahlian menggoda wanita seperti itu, tetapi ia berkata jujur jika ia ingin segera menikah. "Daddy!" Keduanya serentak menoleh ke arah sumber suara, si kecil manis yang tiba-tiba mendekat dan memanggilnya dengan sebutan 'Daddy'. "Daddy!" Seorang gadis kecil, dengan rambut di kuncir dua, memeluk kaki si pria dengan erat. "Daddy~" "Wait? Daddy? Kau

  • Good Sister   48. Happily Ever After

    Ballroom penuh dengan para undangan, gadis-gadis kecil dengan gaun merah muda mereka, dan juga kedua pengantin yang saling menatap di depan altar. Semua perhatian tertuju pada mereka yang saling mengucap janji. Janji suci pernikahan. "You may kiss the bride." Senyum tidak pernah hilang dari keduanya. Luna pelan-pelan mendekat, menunggu Colin untuk bertindak, apapun itu. Wajah mereka sangat dekat, semua orang menunggu ciuman pengantin mereka. Namun sudah lima detik dan keduanya belum berciuman. "Kakak akan menciumku atau tidak?" Colin tersenyum licik. "Kenapa kau bertanya? Tentu saja." Semua orang berseru seakan-akan apa yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Ciuman sederhana dari Colin, membuat semua orang senang. Colin sendiri tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Balutan jas formal berwarna putih senada dengan gaun Luna, melengkapi kisah cinta mereka yang akhirnya berakhir indah. Mereka sudah resmi m

  • Good Sister   47. The Night Before a New Start

    Luna tidak bisa duduk dengan tenang. Ia terus saja menoleh ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kiri Devin. Berkali-kali ia menarik tangan sang Kakak. Jangan salahkan, dia memang sedang menunggu seseorang. Aksinya bahkan terlalu mengejutkan bagi Devin yang juga menemaninya di sana. Tangannya terus ditarik bahkan sampai ia mengaduh. "Kakak sudah menghitung waktunya dengan benar, 'kan? Apa mungkin kita datang terlalu cepat?" Gadis itu menggerutu, wajahnya masam, dan ia tak betah duduk diam. Devin benar-benar kebingungan dengan hal ini. Ia merasa Luna menjadi sering mengomel dan menggerutu belakangan ini. "Iya. Aku sudah menghitungnya dengan benar." Devin menjawabnya sedikit kesal. "Lagipula kenapa kau tidak tanya Colin saja? Kau tahu jawabannya lebih menjanjikan daripada jawabanku." "Kakak sungguh-sungguh tidak salah, kan?" Luna menepuk lengan Devin dengan keras. "Dia bukan datang besok, 'kan?" Devin seketika meringis, ia otomatis menyapu lengann

  • Good Sister   46. Welcome to the World

    Ketiga pria itu berwajah gusar di depan ruang bersalin. Mereka berada pada mode panik, karena dilarang masuk melihat kondisi Luna. Dimas sibuk dengan ponselnya, menghubungi semua orang yang ia bisa hubungi. Devin duduk menggigit jarinya, berusaha tenang, padahal ia sangat takut. Colin? Dia berdiri di depan pintu ruang bersalin, mencuri lihat dari kaca buram yang sama sekali tidak membantu apapun. Segera setelah ketuban Luna pecah, ia menggendong Luna dan membawanya menuju ruang bersalin, mengejutkan semua orang yang sedang bersantai. Ketiga pria itu sama-sama menggila, ingin sekali masuk dan mendampingi Luna di tengah-tengah perjuangannya. "Ah! Kakak!" Mereka otomatis terkejut, sama-sama khawatir dan merasa terpanggil dengan sebutan Kakak’ yang diucapkan Luna. Tubuh Colin bergetar, ketakutannya kembali datang. Matanya mengerjap disandingi airmatanya yang tidak bisa dihentikan. "Devin," Ia bergetar memanggil nama Devin, seakan-akan ingin adiknya itu tahu apa y

  • Good Sister   45. Lily, Rose, and Daisy

    Matahari belum terlihat, dua pria itu menghambur koridor panjang rumah sakit yang masih tidak begitu ramai. Seorang darinya masih dengan mata yang bengkak, rambutnya tak beraturan dan juga baju kaosnya yang mungkin terbalik. Satu lagi memilih untuk menggunakan kacamata karena jujur, matanya sangat sakit karena dia paksa terbuka. Dua pria itu berlari secepat yang mereka bisa menuju IGD di mana mereka di beri kabar bahwa Luna akan melahirkan.Dimas berdiri di tengah koridor membuat mereka tak perlu seperti orang gila mencari-cari kepastian."Di mana Luna?" Pertanyaan langsung keluar dari mulut Colin bahkan sebelum ia benar-benar berhenti berlari. Napasnya sedikit sesak, mengingat dia bersama adiknya itu melakukan sprint dari tempat parkir. "Apa dia ... baik-baik saja? Apa dia sudah ... melahirkan?"Devin juga tidak sabar, tak mau duduk karena butuh kepastian. Dia juga akan bertanya hal yang sama jika berada di posisi Colin."Maaf.""Maaf?""Ka

  • Good Sister   44. Brotherhood

    "Kau di mana?"Pria itu berjalan dengan senyuman. Hatinya senang sekali, berbunga-bunga hingga ia tak bisa menghilangkan senyuman itu walau sekejap. Sambil berjalan dengan santai, ia berbicara di telepon."Aku sudah di hotel. Kau di mana? Belikan aku pizza.""Aku sudah di depan pintu.""Ah, sial. Aku ingin makan."Ia tertawa kecil, kemudian meraih gagang pintu. "Kita pesan saja." Ia kemudian memutuskan panggilan dan masuk ke dalam hotel."Kak!" Devin segera menghambur diri menghampirinya. "Bagaimana tadi? Apa semuanya lancar? Apa yang mereka katakan? Ayah juga ada di sini bukan? Apa dia melakukan sesuatu padamu?”Bagai angin lalu, semua pertanyaan Devin tak ia dengarkan sama sekali. Colin tak punya niat untuk memikirkan apapun saat ini. Ia membanting tubuhnya di kasur. Tubuh lelahnya butuh istirahat. Ia segera menutup mata, merasa siap untuk mimpi indah yang ia yakini akan menyambanginya lagi setelah sekian lam

  • Good Sister   43. Punishment

    "Kalau begitu beri aku tambahan uang." Pria itu bergumul di kasurnya dengan mata mengantuk. "Jika kau bawa mobilnya maka aku akan gunakan apa? Taksi?" "Kau sudah jawab pertanyaanmu sendiri." Lawan bicaranya sibuk merapikan penampilannya di depan cermin. "Ah!" Pria di bawah selimut itu merasa kesal, hanya bisa berguling-guling di kasurnya dengan kekanakan. "Kenapa aku tidak boleh ikut?" "Bagaimana mungkin aku membiarkan kau ikut? Ini kencanku! Kau ingin menggangguku?" "Baiklah, aku tidak ikut. Tapi berikan aku kartu ATM milikmu." "Aku membutuhkannya." "Ah, kau sama sekali tidak pengertian." Colin hanya terkekeh, ia lebih memfokuskan matanya untuk menata penampilannya. Ia akan menemui Luna! Sedikit gugup dengan apa yang terjadi kemarin, namun ia tidak akan mundur. Bukan Paman Ed, bukan sang Ibu Tiri, dan bukan Dimas. Dia ingin menemui Luna. Tidak peduli apapun yang dikatakan orang-orang itu, hari ini ia akan bertemu Luna.

  • Good Sister   42. Let's Meet

    "Dia tidak ingin menemuimu. Kau tidak perlu menemaninya. Dia bisa melakukannya sendiri." Keraguan terlihat di wajah Dimas, ia tak yakin dengan ucapan Luna, namun tetap menyampaikan seperti yang ia katakan. "Aku sudah mencoba membujuknya, tapi dia tetap menolak untuk keluar. Dia berkata kalau dia pusing dan tidak ingin diganggu. Kau diminta untuk pulang." Colin, yang sudah terlanjur tak senang dengan Dimas, tak bisa tenang dan percaya. "Kau bercanda? Luna tidak mungkin mengatakan hal itu!" Dia yakin pria itu mengada-ada, mengucapkan sesuatu yang tidak seharusnya dan membuat Luna tak ingin menemuinya. "Aku sudah berkata sebagaimana dia memberitahuku." Nada suara Dimas sedikit lebih tinggi. Namun masih kalah tinggi dari Colin yang bagai kebakaran jenggot. "Kau menipuku. Dia tidak mungkin mengusirku! Aku ayah dari bayinya!" "Tapi dia memang menolakmu! Seharusnya kau sadari itu sebelum kau hendak membunuhnya dulu!" "Aku membunuhnya? Beraninya kau!"

  • Good Sister   41. The Hartono Family

    Colin diam, berusaha untuk tidak mempercayai apa yang tengah disaksikannya saat ini. Ia berusaha menghentikan pikirannya untuk menarik kesimpulan, bahwa apa yang dilihat oleh matanya kali ini tidaklah nyata. Pria asing yang ia biarkan membawa beruang tadi, adalah pria yang sama yang sedang menggandeng tangan Luna sekarang. Bukan, ia sangat sulit menerima kenyataan bahwa gadis itu adalah Luna. Ia berharap orang itu bukanlah Luna. "Itu benar-benar Luna." Sayangnya Devin tidak berkehendak sama dengannya. Daripada terkejut dan sakit, Devin lebih bersemangat. "Benar. Itu Kak Dimas. Sudah pasti itu Luna. Wah kebetulan sekali! Ayo kita—" Colin segera menghentikannya. Tangannya memegang lengan Devin erat-erat. Devin memasang ekspresi penuh tanda tanya. "Ada apa?" "Pria yang bersama dia itu, siapa?" "Dia Kak Dimas. Anak Paman Ed." "Anak Paman Ed? Dia?" Devin mengangguk. Lebih dari itu ia merasa sedikit sakit pada lengannya. Genggaman Co

DMCA.com Protection Status