Desahan terdengar jelas pada setiap sudut ruangan. Gadis itu kesulitan menutup mulutnya yang terus mengeluarkan suara, apalagi menahan diri untuk tidak melakukannya. Tubuhnya terimpit di antara tembok dan sebuah dada bidang, tangannya terkunci oleh sepuluh jari-jari yang panjang begitu pula kakinya yang dilingkari oleh kaki jenjang lain. Pergerakan sangat sulit untuk dilakukan. Ia juga diserang kemiskinan oksigen, lantaran tempat pertukarannya tengah dibuat jengah oleh orang yang sama. Ia kesulitan memberi penolakan, karena tiap kali ia mencoba bicara, ia digagalkan oleh sepasang bibir yang terus menolak lepasnya ciuman.
Tidak satu atau dua kali gadis itu mencoba mencari kebebasan dengan mendorong orang yang menginvasinya mundur. Namun semua yang ia lakukan berujung kegagalan. Semakin dia memberontak, ia semakin menyesalinya. Respon yang ia terima setelah itu adalah ketidakbebasan yang bahkan berakhir menyakitkan.
Akar-akar rambutnya terasa sakit karena terus tertarik dan terulur. Genggaman berubah menjadi cengkraman, tangannya tidak bisa bergerak bahkan terasa begitu nyeri. Ia lelah mencoba untuk tetap berdiri tegap. Lehernya juga sakit karena terus dipaksa mendongak ke atas. Belum lagi perasaannya yang bercampur aduk, mengingat siapa orang yang tengah menciumnya sebegitu kasar ini.
Namanya Luna. Seorang gadis berusia delapan belas yang sekarang masih berada di tahun kedua sekolah menengah atas. Kepribadiannya biasa saja, bukan tipe sanguinis yang akan mendominasi. Intelektualnya juga standar, bukan siswa berprestasi kebanggan sekolah ataupun seorang pengacau yang langganan ruang Bimbingan Konseling. Dia hanya seorang siswi sekolah biasa, kecuali satu hal. Dia cantik. Kecantikan seseorang memang relatif, tetapi dia cukup pantas menyandang gelar itu. Ia juga baik, terbukti dengan banyaknya teman yang senang berada di dekatnya.
Baru-baru ini ada sedikit perubahan dalam hidupnya. Dia yang sejak kecil dibesarkan oleh seorang ibu tunggal, sekarang telah memiliki keluarga baru. Ibunya menikah dengan seorang duda kaya, sebuah keberuntungan karena seketika keadaan keluarga mereka menjadi lebih baik. Lagi, impiannya memiliki saudara laki-laki terwujudkan, karena sang ayah baru ternyata mempunyai seorang anak yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya. Seorang kakak yang akan melindunginya, impian masa kecil yang dulunya mustahil itu akhirnya terwujud.
Namun, Luna harus dikejutkan dengan apa yang ia alami saat ini. Kakak barunya itu, dia orang yang sedang menciumnya dengan penuh nafsu.
“Kakak!”
Sebuah kata berhasil lolos dari mulutnya, ia melenguh karena sudah tidak sanggup lagi menahan rasa sakit di punggung, tangan, dan bibirnya. Kakinya gemetar, terlalu ketir untuk berdiri lebih lama lagi. Akhirnya ada sedikit kebebasan ia terima, karena sang kakak mau memberikan jeda pada ciumannya.
Luna hampir terjatuh jika tidak ada sang kakak yang memeluknya. Dia kesulitan bernapas, apalagi berdiri. Mungkin bukan pilihannya bersandar pada dada sang kakak, tetapi ia tidak bisa menahan beban tubuhnya hanya untuk sebentar.
“Ada apa?” Suara lelaki itu cukup berat, terdengar sela-sela katanya disisipi oksigen dan karbondioksida yang bertukar cepat. Itu menjelaskan bukan hanya Luna yang kesulitan bernapas karena aktivitas tadi. Namun, berbanding terbalik dengan Luna, ia memasang ekspresi senang dengan senyum kecil di bibirnya. “Kau suka dengan ciumanku?” Nada bicaranya diubah menjadi lebih rendah, menyentuh titik sadar Luna segera.
Gadis itu menyadari posisi dirinya berada dalam pelukan si kakak, dengan cepat ia mendorong dada lelaki itu menjauh darinya. Tidak banyak jarak yang terjadi, karena gerakan mundurnya tertahan oleh tembok dan sang kakak yang terlalu kuat untuk berpindah jauh hanya karena dorongan kecilnya.
“Kakak, mengapa menciumku?”
Pria yang dipanggilnya kakak itu tertawa, seperti apa yang didengarnya adalah lelucon terlucu. “Kau bertanya mengapa?” Pertanyaan dibalik pertanyaan, Luna tersentak saat tiba-tiba pria itu kembali mendorongnya ke tembok, menarik dagunya ke atas seraya menempatkan dirinya kembali dalam ketidakbebasan.
Luna berjinjit ketika dagunya diangkat terlalu tinggi. Kekhawatirannya menjadi ketika kakak yang dikenalnya beberapa bulan itu terlihat begitu menakutkan, menyeringai menatapnya dengan penuh konotasi. “Mulai sekarang kau harus menuruti semua yang aku katakan. Kau mengerti?”
“Tapi—“
“Peraturan pertama, tidak boleh ada kata ‘tapi’.”
Luna mencoba untuk mendorong lelaki itu menjauh sekali lagi, namun ia gagal. Dia terlihat semakin menakutkan. Napas Luna mencekat seraya cengkraman di dagunya semakin menyakitkan.
“Peraturan kedua, tidak boleh ada penolakan.” Pria itu melanjutkan narasinya tanpa peduli.
“Kakak, aku harus segera pulang. Mama akan mencariku.”
“Peraturan ketiga, kau akan kuperkosa jika kau melawanku.”
Seketika jantung Luna hampir terjatuh. Matanya membulat setelah mendengar kalimat sang kakak. Mereka terlalu mengerikan sampai ia tak bisa berkutik.
Seringai berubah menjadi senyuman yang dipaksa bersahabat, cengkraman melemah dan berakhir, pipi Luna diusapnya lembut. “Kalau kau menurut, aku mungkin akan bersikap baik padamu.”
To be continued
by Ayasa
Namanya adalah Audrey Luna, namun ia lebih sering dipanggil dengan nama latin dari bulan ketimbang nama depannya. Dia adalah siswa sekolah menengah atas tahun kedua. Seperti sebuah takdir yang sudah direncanakan sejak lama, kehidupannya berubah setelah ibunya menikah lagi. Luna tidak pernah keberatan dengan keputusan ibunya. Justru ia merasa sangat senang, karena sang ibu yang sudah menjaganya dengan sepenuh hati itu akhirnya bisa merasakan perasaan cinta lagi. Meskipun ia belum genap dewasa, ia sudah tahu seperti apa seharusnya ia bersikap. Ia tidak akan berlaku kekanakan dengan menolak pernikahan. Ia menyambutnya dengan baik. Ia pikir semua orang pasti akan melakukan apa saja untuk membahagiakan orang tua mereka, jadi menurutnya sikap yang ia perlihatkan pada pernikahan itu adalah sudah tepat: ia turut bahagia. Namun, beberapa hari terakhir, ia merasa tidak menentu. Ini sudah tiga bulan sejak pernikahan ibunya. Sejak saat itu pula ia mulai tinggal di rumah sang Aya
“Ah!” Luna meringis, tidak tahu bagian mana lagi dari tubuhnya yang mesti ia dahulukan untuk menahan rasa sakit. Matanya bengkak, akibat menangis terlalu banyak. Mungkin air matanya sudah kering, hingga kelopak mata itu menggembung hitam bersamaan dengan mascara tipisnya yang berhamburan. Wajahnya terasa sakit karena terus berbenturan dengan lantai. Kepala dan rambutnya puluhan kali didorong atau ditarik. Tubuhnya yang lain? Mati rasa. Tenggorokan Luna terasa gersang. Dia tidak memproduksi air liur sebagai mana mestinya. Teriakan dan penolakan yang ia layangkan terlalu banyak untuk dihitung sehingga pita suaranya mungkin membengkak. Ia tidak bisa mencegah mulutnya untuk tidak terbuka, memberikan entrance pada udara kering tanpa ada penyaringan. Perasaan dalam hatinya bercampur aduk. Entah, ia tidak lagi bisa mengatakan atau merasakan apapun kecuali: ia ingin semua ini segera berakhir. Luna meringis dengan bibir mengatup ketika rambut
“Aku tahu. Jangan khawatir.” Luna terusik. Tidur pulas tanpa mimpinya itu berakhir akibat suara sang kakak yang ia dengar. Perlahan ia membuka mata, lagi-lagi terserang vertigo ketika retinanya dipaksa menangkap cahaya terlalu banyak dalam waktu singkat. Meski lamban, ia segera tahu di mana dirinya sekarang. Tanpa pakaian, dalam pelukan pria itu. “Dia ada di sini, Ayah. Tidak hilang. Apa dia tidak memberitahu kalian?” Luna diam saja, menatapi sang kakak yang tengah berbicara dengan seseorang di telepon. Pelan-pelan ia mengintip ke dalam selimut, mencari kebenaran tentang siapa yang sebenarnya tidak berpakaian, dan dia segera tahu. Apa ini sudah pagi? Luna tidak ingat apa yang terjadi semalam. Walaupun begitu, sudah jelas jika dia telah diperkosa lagi. Terakhir kali ia mengingat bagaimana pria itu mengancamnya dengan rasa sakit. Lebih baik ia menurut saja kali ini. Ia tidak ingin lagi melawan karena ia tak punya kekuatan lagi. Seluruh tubuhnya tak bert
Luna tinggal bersama kedua orang tuanya, terpisah dari Colin yang tinggal sendiri di apartemen. Ia akan aman jika terus berada di bawah pengawasan mereka. Namun, hari terus bergulir hingga waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Waktunya perpisahan. Bulan madu sudah direncanakan, dan hari ini Luna akan ditinggal sendirian di rumah. Luna menjadi pendiam. Dirinya memang bukan orang yang banyak bicara, tetapi belakangan ia menjadi semakin senyap. Pikirannya kalut hanya dengan berbagai bayangan tentang apa yang mungkin Colin lakukan terhadapnya selama sebulan penuh. Rumah memang tidak benar-benar kosong karena mereka punya asisten rumah tangga. Tetapi ia tidak berharap banyak pada wanita tua yang hanya berada di rumah kurang dari 12 jam. Luna terlalu khawatir sampai dalam beberapa hari terakhir ia tak bisa tidur. Mimpinya tidak pernah bersih dari rentetan rasa sakit yang ditakutinya akan terulang. Saat ini Luna sedang termenung di halte bus sekolahnya. Ia sama sekali tidak gemb
Napas menderu tidak ikhlas, Luna meratapi pesawat yang lepas landas. Ia murung, awan hitam berada di atas kepalanya. Kedua orang yang bisa menjamin keselamatannya telah pergi, kini ia terjebak bersama di sadis Colin dan si gila Devin. Luna tersentak saat tiba-tiba sebuah lengan melingkari tubuhnya. Ia terkejut, tetapi berhasil menguasai diri karena sudah tau siapa yang melakukannya. Tanpa menoleh sekalipun, ia sudah mengenali dekapan siapa ini. Dia tidak malu, melakukan hal itu di depan umum. Sebuah kecupan di pucuk kepala Luna mengawali berbagai mimpi buruk yang akan menanti. Colin menempatkan bibirnya setengah inchi dekat telinga Luna lalu berbisik, “Ayo kita pulang. Ada janji yang perlu kau tepati dan … kasur yang perlu kau hangatkan.” Bulu kuduk Luna merinding. Saat napas Colin mengalir menuju lehernya, ia berkeringat. Bahkan setelah pelukan berakhir, kengerian masih tersisa. "Ayo pulang." Colin berjalan dengan perasaan bahagia, sementara
Luna berjalan pelan dengan kepala menunduk. Tidak bisa bebas dari ingatan, ia kembali mengingat apa yang terjadi kemarin. Dirinya menyesal ketidakberdayaan melawan Colin. Tubuhnya dipermainkan tanpa tanggung jawab. Sekarang ia perlu berpura-pura sehat, pelan-pelan melangkah dan mangkir dari pelajaran olahraga. Mana mungkin kewanitaannya tidak perih. Colin sama sekali tidak peduli dengan hasil perbuatannya sendiri, dia merajalela bahkan kurang dari 12 jam kepergian orang tua mereka. Gadis itu melangkah malas menuju gerbang sekolah. Dirinya tertinggal jauh dari iringan teman sekelas yang juga pulang. Ia tak bersemangat kembali ke rumah. Ia tidak ingin menemui Colin. Sekarang rumah bukan lagi tempatnya berlindung melainkan penjara. Lamunan menjadi membuatnya tertawan, tak sadar kakinya sampai di gerbang sekolah. Ia enggan mengangkat kepala. Ia tidak siap mendapati sedan Colin di sana. Ia tidak ingin naik kereta kematian. Setelah mempersiapkan hati, ia mengangkat kepala.
"Tenang saja. Karena kau sekarang adikku, aku akan menjagamu." Mata Luna berbinar, ia menatap pria di sampingnya dengan sungguh-sungguh. Ia berharap telinganya tidak berbohong, ketika ia mendengar ucapan seperti itu dari seorang Devin. Kalimatnya sangat indah, seperti sebuah mimpi yang sejak lama didambakan akhirnya dapat terwujudkan. “Su—sungguh?” Luna gagap karenanya. Devin menertawakannya, “Mengapa? Kau tidak percaya?” “Aku hanya … terkejut.” “Tidak perlu terkejut.” Devin kemudian menarik Luna mendekat dan merangkulnya, “kalau kau kedinginan kita sebaiknya pergi dari sini.” Luna begitu senang. Hal ini seperti mimpi yang sudah lama ia dambakan untuk terwujud. Semuanya benar-benar menyenangkan hingga ia mengingat sesuatu. "Kak Colin, dia pasti mencariku." Seperti kehilangan nyawa, ia menghela napas pelan. Ah, ia masih punya masalah dengan pria satu itu. Respon yang ia terima benar-benar menenangkan, Devin hanya tertawa, "Biarkan saja.
"Luna." Jantung Luna berdebar kencang setelah merasakan pelukan mendadak di punggungnya. Tangannya yang sedang bekerja segera terhenti. Ia mencoba menghilangkan gemetar yang terlihat jelas, tetapi jujur ia benar-benar takut. Hanya pikiran negatif yang saat ini bisa terlintas di otaknya. "I—iya?" "Ambilkan aku paper towel," Suara Devin menggelitik telinga Luna. Jelas, ia dapat merasakan udara yang mengalir keluar dari hidung lelaki itu. Telinganya seperti tengah dipermainkan oleh napas menderu yang begitu menggoyahkan. "Baik," Devin menempatkan dagunya di bahu Luna. Gadis itu segera memberikan paper towel untuknya. Ia dengan cepat melakukan itu karena ia mengalami senam jantung. "Thanks—sh. Ah, sialan." Akhirnya Devin melepaskan pelukannya. Astaga. Jantung Luna hampir jatuh. "Kurasa aku akan pergi ke kamar saja. Kau juga, langsung istirahat saja. Jangan melakukan apapun lagi. Sialan hidung ini." "Tapi, pulang—"
"Ya, mereka memanggilku Ares karena aku dianggap saingan paling berat dalam perang." Tatapan pria itu sangat yakin, mencoba menaikkan harga dirinya di depan seorang wanita cantik yang sedang ia incar. "Aku suka olahraga, hobiku sepakbola tapi aku lebih sering bermain basket bersama teman-temanku. Yah, hanya bermain saja." "Bagaimana dengan keluargamu?" "Keluargaku? Hmm ... Ayahku seorang pengusaha dan aku punya kakak laki-laki yang sudah menikah." "Kau juga ingin menikah?" "Denganmu? Tentu saja." Entah sejak kapan ia memiliki keahlian menggoda wanita seperti itu, tetapi ia berkata jujur jika ia ingin segera menikah. "Daddy!" Keduanya serentak menoleh ke arah sumber suara, si kecil manis yang tiba-tiba mendekat dan memanggilnya dengan sebutan 'Daddy'. "Daddy!" Seorang gadis kecil, dengan rambut di kuncir dua, memeluk kaki si pria dengan erat. "Daddy~" "Wait? Daddy? Kau
Ballroom penuh dengan para undangan, gadis-gadis kecil dengan gaun merah muda mereka, dan juga kedua pengantin yang saling menatap di depan altar. Semua perhatian tertuju pada mereka yang saling mengucap janji. Janji suci pernikahan. "You may kiss the bride." Senyum tidak pernah hilang dari keduanya. Luna pelan-pelan mendekat, menunggu Colin untuk bertindak, apapun itu. Wajah mereka sangat dekat, semua orang menunggu ciuman pengantin mereka. Namun sudah lima detik dan keduanya belum berciuman. "Kakak akan menciumku atau tidak?" Colin tersenyum licik. "Kenapa kau bertanya? Tentu saja." Semua orang berseru seakan-akan apa yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Ciuman sederhana dari Colin, membuat semua orang senang. Colin sendiri tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Balutan jas formal berwarna putih senada dengan gaun Luna, melengkapi kisah cinta mereka yang akhirnya berakhir indah. Mereka sudah resmi m
Luna tidak bisa duduk dengan tenang. Ia terus saja menoleh ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kiri Devin. Berkali-kali ia menarik tangan sang Kakak. Jangan salahkan, dia memang sedang menunggu seseorang. Aksinya bahkan terlalu mengejutkan bagi Devin yang juga menemaninya di sana. Tangannya terus ditarik bahkan sampai ia mengaduh. "Kakak sudah menghitung waktunya dengan benar, 'kan? Apa mungkin kita datang terlalu cepat?" Gadis itu menggerutu, wajahnya masam, dan ia tak betah duduk diam. Devin benar-benar kebingungan dengan hal ini. Ia merasa Luna menjadi sering mengomel dan menggerutu belakangan ini. "Iya. Aku sudah menghitungnya dengan benar." Devin menjawabnya sedikit kesal. "Lagipula kenapa kau tidak tanya Colin saja? Kau tahu jawabannya lebih menjanjikan daripada jawabanku." "Kakak sungguh-sungguh tidak salah, kan?" Luna menepuk lengan Devin dengan keras. "Dia bukan datang besok, 'kan?" Devin seketika meringis, ia otomatis menyapu lengann
Ketiga pria itu berwajah gusar di depan ruang bersalin. Mereka berada pada mode panik, karena dilarang masuk melihat kondisi Luna. Dimas sibuk dengan ponselnya, menghubungi semua orang yang ia bisa hubungi. Devin duduk menggigit jarinya, berusaha tenang, padahal ia sangat takut. Colin? Dia berdiri di depan pintu ruang bersalin, mencuri lihat dari kaca buram yang sama sekali tidak membantu apapun. Segera setelah ketuban Luna pecah, ia menggendong Luna dan membawanya menuju ruang bersalin, mengejutkan semua orang yang sedang bersantai. Ketiga pria itu sama-sama menggila, ingin sekali masuk dan mendampingi Luna di tengah-tengah perjuangannya. "Ah! Kakak!" Mereka otomatis terkejut, sama-sama khawatir dan merasa terpanggil dengan sebutan Kakak’ yang diucapkan Luna. Tubuh Colin bergetar, ketakutannya kembali datang. Matanya mengerjap disandingi airmatanya yang tidak bisa dihentikan. "Devin," Ia bergetar memanggil nama Devin, seakan-akan ingin adiknya itu tahu apa y
Matahari belum terlihat, dua pria itu menghambur koridor panjang rumah sakit yang masih tidak begitu ramai. Seorang darinya masih dengan mata yang bengkak, rambutnya tak beraturan dan juga baju kaosnya yang mungkin terbalik. Satu lagi memilih untuk menggunakan kacamata karena jujur, matanya sangat sakit karena dia paksa terbuka. Dua pria itu berlari secepat yang mereka bisa menuju IGD di mana mereka di beri kabar bahwa Luna akan melahirkan.Dimas berdiri di tengah koridor membuat mereka tak perlu seperti orang gila mencari-cari kepastian."Di mana Luna?" Pertanyaan langsung keluar dari mulut Colin bahkan sebelum ia benar-benar berhenti berlari. Napasnya sedikit sesak, mengingat dia bersama adiknya itu melakukan sprint dari tempat parkir. "Apa dia ... baik-baik saja? Apa dia sudah ... melahirkan?"Devin juga tidak sabar, tak mau duduk karena butuh kepastian. Dia juga akan bertanya hal yang sama jika berada di posisi Colin."Maaf.""Maaf?""Ka
"Kau di mana?"Pria itu berjalan dengan senyuman. Hatinya senang sekali, berbunga-bunga hingga ia tak bisa menghilangkan senyuman itu walau sekejap. Sambil berjalan dengan santai, ia berbicara di telepon."Aku sudah di hotel. Kau di mana? Belikan aku pizza.""Aku sudah di depan pintu.""Ah, sial. Aku ingin makan."Ia tertawa kecil, kemudian meraih gagang pintu. "Kita pesan saja." Ia kemudian memutuskan panggilan dan masuk ke dalam hotel."Kak!" Devin segera menghambur diri menghampirinya. "Bagaimana tadi? Apa semuanya lancar? Apa yang mereka katakan? Ayah juga ada di sini bukan? Apa dia melakukan sesuatu padamu?”Bagai angin lalu, semua pertanyaan Devin tak ia dengarkan sama sekali. Colin tak punya niat untuk memikirkan apapun saat ini. Ia membanting tubuhnya di kasur. Tubuh lelahnya butuh istirahat. Ia segera menutup mata, merasa siap untuk mimpi indah yang ia yakini akan menyambanginya lagi setelah sekian lam
"Kalau begitu beri aku tambahan uang." Pria itu bergumul di kasurnya dengan mata mengantuk. "Jika kau bawa mobilnya maka aku akan gunakan apa? Taksi?" "Kau sudah jawab pertanyaanmu sendiri." Lawan bicaranya sibuk merapikan penampilannya di depan cermin. "Ah!" Pria di bawah selimut itu merasa kesal, hanya bisa berguling-guling di kasurnya dengan kekanakan. "Kenapa aku tidak boleh ikut?" "Bagaimana mungkin aku membiarkan kau ikut? Ini kencanku! Kau ingin menggangguku?" "Baiklah, aku tidak ikut. Tapi berikan aku kartu ATM milikmu." "Aku membutuhkannya." "Ah, kau sama sekali tidak pengertian." Colin hanya terkekeh, ia lebih memfokuskan matanya untuk menata penampilannya. Ia akan menemui Luna! Sedikit gugup dengan apa yang terjadi kemarin, namun ia tidak akan mundur. Bukan Paman Ed, bukan sang Ibu Tiri, dan bukan Dimas. Dia ingin menemui Luna. Tidak peduli apapun yang dikatakan orang-orang itu, hari ini ia akan bertemu Luna.
"Dia tidak ingin menemuimu. Kau tidak perlu menemaninya. Dia bisa melakukannya sendiri." Keraguan terlihat di wajah Dimas, ia tak yakin dengan ucapan Luna, namun tetap menyampaikan seperti yang ia katakan. "Aku sudah mencoba membujuknya, tapi dia tetap menolak untuk keluar. Dia berkata kalau dia pusing dan tidak ingin diganggu. Kau diminta untuk pulang." Colin, yang sudah terlanjur tak senang dengan Dimas, tak bisa tenang dan percaya. "Kau bercanda? Luna tidak mungkin mengatakan hal itu!" Dia yakin pria itu mengada-ada, mengucapkan sesuatu yang tidak seharusnya dan membuat Luna tak ingin menemuinya. "Aku sudah berkata sebagaimana dia memberitahuku." Nada suara Dimas sedikit lebih tinggi. Namun masih kalah tinggi dari Colin yang bagai kebakaran jenggot. "Kau menipuku. Dia tidak mungkin mengusirku! Aku ayah dari bayinya!" "Tapi dia memang menolakmu! Seharusnya kau sadari itu sebelum kau hendak membunuhnya dulu!" "Aku membunuhnya? Beraninya kau!"
Colin diam, berusaha untuk tidak mempercayai apa yang tengah disaksikannya saat ini. Ia berusaha menghentikan pikirannya untuk menarik kesimpulan, bahwa apa yang dilihat oleh matanya kali ini tidaklah nyata. Pria asing yang ia biarkan membawa beruang tadi, adalah pria yang sama yang sedang menggandeng tangan Luna sekarang. Bukan, ia sangat sulit menerima kenyataan bahwa gadis itu adalah Luna. Ia berharap orang itu bukanlah Luna. "Itu benar-benar Luna." Sayangnya Devin tidak berkehendak sama dengannya. Daripada terkejut dan sakit, Devin lebih bersemangat. "Benar. Itu Kak Dimas. Sudah pasti itu Luna. Wah kebetulan sekali! Ayo kita—" Colin segera menghentikannya. Tangannya memegang lengan Devin erat-erat. Devin memasang ekspresi penuh tanda tanya. "Ada apa?" "Pria yang bersama dia itu, siapa?" "Dia Kak Dimas. Anak Paman Ed." "Anak Paman Ed? Dia?" Devin mengangguk. Lebih dari itu ia merasa sedikit sakit pada lengannya. Genggaman Co