Mainan yang dulu kita gunakan untuk memohon pada bintang, kini hanya tergeletak di sudut kamar.
Aku yakin, baik kamu maupun aku, kita sudah memohon lebih dari seratus.
Suatu saat, ayo kita ubah permohonan itu menjadi satu permohonan saja.
Aku hanya ingin bersamamu sebentar lagi. Hanya sebentar.
Karena semakin lama aku menyimpan momen ini, semakin sedih yang kurasakan saat perpisahan itu tiba.
***
Ada beberapa hal yang tak bisa Sevie lupakan. Salah satunya adalah hari itu, pagi yang cerah di hari senin.
"Ma, aku berangkat!" seru Vie yang sudah duduk di atas jok sepeda.
"Hati-hati, Vie!" sang Mama menyahut dari dalam rumah.
"Iya!" setelahnya, Sevie langsung mengayuh pedal sepeda dengan kencang seraya melaju cepat di trotoar menuju sekolah.
Mentari pagi bersinar terang di antara awan putih yang tipis dan latar belakang langit biru. Namun di bawah, polusi mulai bermunculan dari kendaraan-kendaraan yang memadati jalan raya. Orang-orang di sekitar trotoar terlihat sibuk bersiap membuka toko masing-masing.
Drrrtt ... drrrttt ...,
Getaran ponsel di saku rok membuat lamunan Vie buyar. Ia segera merogoh saku rok sambil menyeimbangkan sepeda dengan satu tangan. Saat kembali menatap ke depan, mata Vie membelalak karena beberapa meter di depan ada seorang siswa SMA yang berjalan memunggungi sepeda Vie.
Vie mencoba mengerem, tapi ia lupa bahwa remnya blong. Alhasil, ia menjerit panik. "Awaaas!!"
Siswa SMA itu dengan tenang menoleh, kemudian tanpa diduga ia menahan sepeda Vie dengan satu tangan hingga remuk. Sementara Sevie terlempar ke udara karena sepeda yang mendadak berhenti. Lagi-lagi Vie menjerit. "Kyaa!!"
Lalu entah bagaimana, tubuh Vie terasa seperti didekap. Saat Vie membuka mata, ia sudah mendarat di gendongan siswa SMA itu.
Saat itu, waktu seakan berhenti berputar. Angin berhembus sambil menerbangkan helai daun pohon cedar yang mengering. Mata Vie seakan terpaku pada manik mata raven laki-laki itu.
Saat itu hari senin, hari di mana pertama kalinya Vie mengakui ...,
Bahwa hari yang sibuk itu ...,
Juga indah.
[Sevie Andina]"Vie! Sumpah, ya! Gue jadian sama Damian!" Frey menjerit-jerit kegirangan di kantin yang sepi itu. Ia memeluk ponsel dengan kaki bergoyang-goyang. Sementara yang diajak bicara masih sibuk mengisi perutnya. "Pacaran sama Rega ... mimpi apa gue semalem ...? Kyaa!"Aku menelan makanan yang ada di mulutku seraya menatap datar Frey yang sudah duduk. "Kapan jadiannya? Lo jampi-jampi, ya?""Hush! Enak aja!" sahut Frey tak terima, ia mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. "Ini tuh yang namanya the power of pesona Freya!" lanjutnya angkuh."Nyeh, paling dia ngelindur kemarin." Aku menyahut asal, lalu kembali memakan burger dengan lahap. Biasalah, aku perlu mengisi energi sebelum berkutat dengan nama-nama latin di kelas. Lagipula aku sudah bosan dengan Frey y
[Rival Hadiputra]"Aku akan melindungimu, Elizabeth.""Kumohon jangan sakiti siapapun lagi, Meliodas!"Suara televisi memenuhi kamarku. Televisi LED itu menampilkan film anime di mana karakter utamanya sedang sekarat karena melindungi sang pacar. Aku hampir tak berkedip memandangi layar, padahal pikiranku sedang melayang-layang. Tak fokus pada filmnya.Suara dehaman Damian menyadarkan lamunanku, tapi tidak sekeras itu untuk membuatku menoleh. "Val? Lo kenapa, sih? Habis ketemuan sama Vie tiga hari lalu, lo jadi aneh gini." ucapnya. Entah dia khawatir atau hanya penasaran."Bukannya gue emang aneh, ya?" sahutku kalem. Sobatku itu langsung terdiam, dengan begitu aku tak perlu repot-repot menjelaskan padanya tent
[Joshlyn Gunawan]Sebut saja aku munafik.Aku mengerti bagaimana perasaan Val saat melihat Vie dan Arven yang bertingkah mesra tanpa menyadari kehadiran kami. Namun bukannya menghibur Val dengan kata-kata positif seperti yang dilakukan Damian, aku malah memanggil Vie. Tindakan yang mungkin akan menghancurkan hati Val.Bibirku melengkungkan senyuman saat Vie berjalan menghampiri kami. Angin berhembus dan menerbangkan helaian rambutnya. Mentari menyinarinya seperti lampu sorot. Tapi sorot mata Vie melewatiku dan terpaku pada Val. Cih.Ya, aku punya rahasia yang kusimpan sendiri. Bahkan kedua sobatku tidak mengetahuinya. Awalnya, itu terjadi dua tahun lalu. Saat siswa kelas 10 harus datang lebih awal karena ada acara MOS. Saat itu aku sedang nongkrong di
[Rival Hadiputra]"Pertama, pastiin kaki lo tetep nyentuh tanah. Kaki satunya lagi di atas papan, lebih tepatnya di atas truck, bagian depan papan." di taman kompleks, Arven menjelaskan tata cara bermain skateboard padaku. Aku hanya mengamatinya dengan setengah hati. Aku masih sebal dengan kejadian beberapa jam yang lalu.Saat istirahat siang itu, seperti biasa aku memesan nasi padang pada Ibu Kantin dan duduk di sudut menghadap Damian yang duduk di seberang meja bundar. Josh entah ada di mana, sejak bel baru saja berbunyi ia sudah ngacir seperti orang yang kebelet buang air."Gue harus gimana, nih?" kataku, entah untuk yang ke berapa kali.Damian yang sedang sibuk menggerogoti ayam bakarnya mendelik menatapku. Sepertinya dia risi. Tapi ini karena dianya juga, sih! Ak
[Sevie Andina]Mungkin, 'Sial' adalah nama tengahku. Sevie 'Sial' Andina. Cocok 'kan? Baiklah-baiklah. Akan kujelaskan alasan mengapa aku sudah mengumpat-umpat di sabtu siang yang cerah ini.Semuanya dimulai di hari senin yang paling kubenci. Belum habis masalahku saat Arven tiba-tiba mengajak Val untuk duel skate, aku tiba-tiba dihadang oleh Pak Ahmad saat aku dalam perjalanan menuju kantin.Aku tahu jika guru memanggil pasti ada maunya. Entah itu beliin makanan, mengambil buku, atau ngasih tugas untuk kelas lain. Lah, yang itu aku tidak mau, bisa-bisa aku disuruh menjelaskan tugasnya di depan kelas lain. Malu!"Kamu gak sibuk 'kan?" tanya Pak Ahmad halus."Eum, sebenernya ...." ucapanku lebih dulu terpotong.
[Joshlyn Gunawan]Aku melongo memandangi sosok Vie yang menjauh dengan terbirit-birit. Otakku masih perlu waktu untuk mencerna suasana. Beberapa detik berlalu, aku masih tak paham dengan situasinya. Kemudian aku menoleh, memandang Val tak habis pikir. "Dia kenapa?"Val diam sesaat, kemudian berdeham. "Oh, tadi gue sengaja pasang muka zombie.""Lo bego, goblok, apa tolol, sih?" sahutku, tak bermaksud ketus, tapi entah kenapa sekarang aku jadi sensi pada Val. Padahal sebelumnya, aku sedang enak-enak berduaan dengan Vie sampai akhirnya dia datang dan menghancurkan suasana."Kok lo jadi sewot, sih?" kata Val, jelas terlihat heran."Gue bukannya sewot," Aku menyanggah. "Tapi ... ah, yaudahlah!" karena tak tahu harus berkata apa, aku menyibukkan diri dengan kertas-kertas di meja dan bersiap ngacir dari ruang guru sebelum Val berhasil me
[Sevie Andina]Sepertinya hidupku memang tertimpa sial. Bagaimana tidak? Baru kemarin aku jingkrak-jingkrak di kamar karena berhasil jadian dengan Val. Apalagi dia mengucapkan kata-kata yang benar-benar manis yang membuatku terharu. Yep. Walau sudah berkali-kali kutolak, Val ternyata sangat keras kepala dan tetap ingin pacaran denganku. Meskipun dia mengetahui hidupku yang menyedihkan, dia tetap memacariku. Bahkan saat Val mengantarkanku pulang, ia tanpa sungkan mampir ke rumah kontrakanku yang sangat sempit. Dia juga melihat keadaan ibuku dan meminta izin pada beliau untuk memacariku! Gila! Dia benar-benar gentleman!Tapi hari ini ... astaga!Hari ini seharusnya aku bisa pulang cepat, karena biasanya pelanggan yang datang ke kafe tempatku bekerja ha
[Sevie Andina]Sepertinya hidupku memang tertimpa sial. Bagaimana tidak? Baru kemarin aku jingkrak-jingkrak di kamar karena berhasil jadian dengan Val. Apalagi dia mengucapkan kata-kata yang benar-benar manis yang membuatku terharu. Yep. Walau sudah berkali-kali kutolak, Val ternyata sangat keras kepala dan tetap ingin pacaran denganku. Meskipun dia mengetahui hidupku yang menyedihkan, dia tetap memacariku. Bahkan saat Val mengantarkanku pulang, ia tanpa sungkan mampir ke rumah kontrakanku yang sangat sempit. Dia juga melihat keadaan ibuku dan meminta izin pada beliau untuk memacariku! Gila! Dia benar-benar gentleman!Tapi hari ini ... astaga!Hari ini seharusnya aku bisa pulang cepat, karena biasanya pelanggan yang datang ke kafe tempatku bekerja ha
[Joshlyn Gunawan]Aku melongo memandangi sosok Vie yang menjauh dengan terbirit-birit. Otakku masih perlu waktu untuk mencerna suasana. Beberapa detik berlalu, aku masih tak paham dengan situasinya. Kemudian aku menoleh, memandang Val tak habis pikir. "Dia kenapa?"Val diam sesaat, kemudian berdeham. "Oh, tadi gue sengaja pasang muka zombie.""Lo bego, goblok, apa tolol, sih?" sahutku, tak bermaksud ketus, tapi entah kenapa sekarang aku jadi sensi pada Val. Padahal sebelumnya, aku sedang enak-enak berduaan dengan Vie sampai akhirnya dia datang dan menghancurkan suasana."Kok lo jadi sewot, sih?" kata Val, jelas terlihat heran."Gue bukannya sewot," Aku menyanggah. "Tapi ... ah, yaudahlah!" karena tak tahu harus berkata apa, aku menyibukkan diri dengan kertas-kertas di meja dan bersiap ngacir dari ruang guru sebelum Val berhasil me
[Sevie Andina]Mungkin, 'Sial' adalah nama tengahku. Sevie 'Sial' Andina. Cocok 'kan? Baiklah-baiklah. Akan kujelaskan alasan mengapa aku sudah mengumpat-umpat di sabtu siang yang cerah ini.Semuanya dimulai di hari senin yang paling kubenci. Belum habis masalahku saat Arven tiba-tiba mengajak Val untuk duel skate, aku tiba-tiba dihadang oleh Pak Ahmad saat aku dalam perjalanan menuju kantin.Aku tahu jika guru memanggil pasti ada maunya. Entah itu beliin makanan, mengambil buku, atau ngasih tugas untuk kelas lain. Lah, yang itu aku tidak mau, bisa-bisa aku disuruh menjelaskan tugasnya di depan kelas lain. Malu!"Kamu gak sibuk 'kan?" tanya Pak Ahmad halus."Eum, sebenernya ...." ucapanku lebih dulu terpotong.
[Rival Hadiputra]"Pertama, pastiin kaki lo tetep nyentuh tanah. Kaki satunya lagi di atas papan, lebih tepatnya di atas truck, bagian depan papan." di taman kompleks, Arven menjelaskan tata cara bermain skateboard padaku. Aku hanya mengamatinya dengan setengah hati. Aku masih sebal dengan kejadian beberapa jam yang lalu.Saat istirahat siang itu, seperti biasa aku memesan nasi padang pada Ibu Kantin dan duduk di sudut menghadap Damian yang duduk di seberang meja bundar. Josh entah ada di mana, sejak bel baru saja berbunyi ia sudah ngacir seperti orang yang kebelet buang air."Gue harus gimana, nih?" kataku, entah untuk yang ke berapa kali.Damian yang sedang sibuk menggerogoti ayam bakarnya mendelik menatapku. Sepertinya dia risi. Tapi ini karena dianya juga, sih! Ak
[Joshlyn Gunawan]Sebut saja aku munafik.Aku mengerti bagaimana perasaan Val saat melihat Vie dan Arven yang bertingkah mesra tanpa menyadari kehadiran kami. Namun bukannya menghibur Val dengan kata-kata positif seperti yang dilakukan Damian, aku malah memanggil Vie. Tindakan yang mungkin akan menghancurkan hati Val.Bibirku melengkungkan senyuman saat Vie berjalan menghampiri kami. Angin berhembus dan menerbangkan helaian rambutnya. Mentari menyinarinya seperti lampu sorot. Tapi sorot mata Vie melewatiku dan terpaku pada Val. Cih.Ya, aku punya rahasia yang kusimpan sendiri. Bahkan kedua sobatku tidak mengetahuinya. Awalnya, itu terjadi dua tahun lalu. Saat siswa kelas 10 harus datang lebih awal karena ada acara MOS. Saat itu aku sedang nongkrong di
[Rival Hadiputra]"Aku akan melindungimu, Elizabeth.""Kumohon jangan sakiti siapapun lagi, Meliodas!"Suara televisi memenuhi kamarku. Televisi LED itu menampilkan film anime di mana karakter utamanya sedang sekarat karena melindungi sang pacar. Aku hampir tak berkedip memandangi layar, padahal pikiranku sedang melayang-layang. Tak fokus pada filmnya.Suara dehaman Damian menyadarkan lamunanku, tapi tidak sekeras itu untuk membuatku menoleh. "Val? Lo kenapa, sih? Habis ketemuan sama Vie tiga hari lalu, lo jadi aneh gini." ucapnya. Entah dia khawatir atau hanya penasaran."Bukannya gue emang aneh, ya?" sahutku kalem. Sobatku itu langsung terdiam, dengan begitu aku tak perlu repot-repot menjelaskan padanya tent
[Sevie Andina]"Vie! Sumpah, ya! Gue jadian sama Damian!" Frey menjerit-jerit kegirangan di kantin yang sepi itu. Ia memeluk ponsel dengan kaki bergoyang-goyang. Sementara yang diajak bicara masih sibuk mengisi perutnya. "Pacaran sama Rega ... mimpi apa gue semalem ...? Kyaa!"Aku menelan makanan yang ada di mulutku seraya menatap datar Frey yang sudah duduk. "Kapan jadiannya? Lo jampi-jampi, ya?""Hush! Enak aja!" sahut Frey tak terima, ia mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. "Ini tuh yang namanya the power of pesona Freya!" lanjutnya angkuh."Nyeh, paling dia ngelindur kemarin." Aku menyahut asal, lalu kembali memakan burger dengan lahap. Biasalah, aku perlu mengisi energi sebelum berkutat dengan nama-nama latin di kelas. Lagipula aku sudah bosan dengan Frey y
Mainan yang dulu kita gunakan untuk memohon pada bintang, kini hanya tergeletak di sudut kamar.Aku yakin, baik kamu maupun aku, kita sudah memohon lebih dari seratus.Suatu saat, ayo kita ubah permohonan itu menjadi satu permohonan saja.Aku hanya ingin bersamamu sebentar lagi. Hanya sebentar.Karena semakin lama aku menyimpan momen ini, semakin sedih yang kurasakan saat perpisahan itu tiba.***Ada beberapa hal yang tak bisa Sevie lupakan. Salah satunya adalah hari itu, pagi yang cerah di hari senin."Ma, aku berangkat!" seru Vie yang sudah duduk di atas jok sepeda."Hati-hati, Vie!" sang Mama menyahut dari dalam rumah."Iya!" setelahnya, Sevie langsung mengayuh pedal sepeda dengan kencang seraya melaju cepat di trotoar menuju sekolah.Mentari pagi bersinar terang di antara