[Rival Hadiputra]
Saat istirahat siang itu, seperti biasa aku memesan nasi padang pada Ibu Kantin dan duduk di sudut menghadap Damian yang duduk di seberang meja bundar. Josh entah ada di mana, sejak bel baru saja berbunyi ia sudah ngacir seperti orang yang kebelet buang air.
"Gue harus gimana, nih?" kataku, entah untuk yang ke berapa kali.
Damian yang sedang sibuk menggerogoti ayam bakarnya mendelik menatapku. Sepertinya dia risi. Tapi ini karena dianya juga, sih! Aku terjebak masalah karena tindakan bodohnya, dan lebih bodoh lagi, Damian tetap santai-santai seolah tak ada yang terjadi.
"Lo tenang aja, sih, Val. Gue 'kan udah bilang kalo gue punya rencana."
Rencana-rencana, rencana pala lo pitak! "Tapi masalahnya, dari tadi gue belum denger apa rencana lo, Damiaaaan." sahutku, aku menghembuskan napas. Entah harus berapa kali berusaha sabar menghadapinya.
"Ya, nantilah. Gue makan dulu--Arven! Oii! Arveen!" Damian tiba-tiba berteriak dengan mulutnya yang penuh sehingga nasi di mulutnya muncrat mengenai wajahku.
Lagi-lagi aku menghela napas sambil membersihkan wajahku.
Di sela-sela kegiatanku, kuhilat Arven menghampiri kami dengan wajah songongnya yang minta ditampar. Tapi, tumben cowok populer seperti dia sendirian? Mana teman-teman kampretnya? Dan juga ... mana Vie?
"Vie di ruang guru. Lagi ada tugas." kata Arven, tatapan datarnya terarah padaku membuatku mati kutu.
Sial, memangnya aku begitu mudah dibaca?
"G-gue gak nanya, ya? Gue udah tau dia di mana dan lagi ngapain!" sahutku pada akhirnya.
"Gue yang nanya, bodoh. Lagian, sepuluh menit yang lalu gue nanya ke elo, Vi ke mana? Lo bilang gak tau." Damian is a bullshit friend. Lalu, si bullshit Damian beralih pada Arven sambil menggerakkan dagu ke kursi kosong di meja kami. "Duduk, Ven. Gue mau ngomong yang lain."
Arven menurut seperti anak anjing. "Elo yang mau ngomong? Bukan si songong ini?"
Heh! Ngaca, cuy!
"Sebenernya ini ada kaitannya sama Val." kata Damian, ia menenggak jus jeruknya sebelum menatap Arven dengan raut serius. "Tolong ajarin Val nge-skate!"
Sekali lagi.
Damian is a bullshit friend.
Dan di sinilah aku sekarang. Memerhatikan teori Arven dengan ogah-ogahan sambil melihatnya memamerkan keahliannya di lapangan parkir sekolah beraspal. Sekolah sudah selesai, dan parkiran sangat lengang, jadi kami bisa leluasa berlatih tanpa gangguan.
Aku menurut saat Arven menyuruhku untuk mempraktikkan apa yang ia lakukan. Kuletakkan kaki kananku di atas papan skate yang baru kubeli barusan.
"Bener! Gitu, Val!" seru Damian yang sedang duduk di mobilnya yang pintunya dibiarkan terbuka. Aku juga tahu, kali. Memangnya aku bodoh?
"Sekarang naikin kaki yang satu lagi." kata Arven.
Aku mencoba mengangkat kaki kiriku, tapi aku ragu-ragu dengan keseimbangan tubuhku di atas roda-roda.
Arven berjalan mendekatiku dan mengulurkan tangan. "Kalo lo takut jatuh, biar gue pegangin. Ya, tapi mustahil kalo lo gak bakal jatuh pas belajar nge-skate." ujarnya acuh tak acuh.
Aku hanya melirik tangan Arven yang terulur itu tanpa minat. Ya, kali aku mau dipegangi. Gengsi, dong. Bagaimana jika Vie melihat dan menganggapku cemen? Idih. Kemudian, aku menaikan kaki kiriku ke belakang papan, tapi papan itu sontak meluncur dan menjatuhkanku ke posisi terlentang.
"HAHAHAHA!" Damian tertawa keras.
Aku mengumpat, masih sambil terlentang di aspal dengan kepala berdenyut, aku menatap wajah Arven dari bawah dengan sorot tak terima. "Gue jatuh." kataku retoris, kuharap aku tidak gegar otak.
Arven menepuk dahinya dan berjalan mengambil papan. "Tadi itu gara-gara pusat gravitasi lo adanya di belakang. Seharusnya pas lo naik, pusatkan gravitasi lo di kaki depan. Terus pindahin ke tengah pas kaki yang satunya lagi udah naik." Arven melakukan apa yang dia ucapkan, ia berdiri seimbang di atas skateboard sementara aku malah terperangah.
"Ngerti?" tanya Arven sekali lagi, disusul senyumnya yang menjengkelkan. Sumpah, orang ini songong, asli.
Mataku menyipit, aku menuding Arven dengan jari telunjuk. "Jelasin aja semua teorinya ke gue. Yang jelas!"
"Oke!" Arven menyahut dengan dada membusung. Kemudian Arven duduk di aspal dan mengeluarkan miniatur papan luncur. Aku ikut duduk dan mendekat, begitupun Damian.
Detik berikutnya, Arven menjelaskan semua teknik-teknik dasar bermain skateboard, ia juga menjelaskan beberapa trik seperti trik ollie dan spin. Serta mempraktekannya melalui miniatur skateboard. Kami menghabiskan waktu hingga sore hari.
Sebelum pulang, Arven sempat mengatakan ini. "Butuh waktu tiga bulan buat belajar satu trik skate. Lo nyerah aja soal taruhan itu, Val. Lo gak akan menang kalo cuma belajar teori dalam waktu lima hari."
Dan setelah itu, aku tidak pernah menemuinya lagi.
💌
Empat hari berlalu dengan begitu cepat. Dan selama itu, Vie tak pernah terlihat di sekolah, begitupun Josh. Aku agak heran dengan fakta itu. Josh seolah sedang sibuk-sibuknya sampai-sampai mengabaikan aku dan Damian. Setiap hari, ia datang tepat sedetik sebelum bel berbunyi, kemudian pulang tepat sedetik setelah bel berbunyi. Sibuk sekali.
Frey hanya mengangkat bahu. "Tadinya mau makan sama Vie, tapi belakangan dia gak ada terus."
"Lagian dia pacar gue, Val." sambung Damian, dan aku langsung memutar bola mata. "Emangnya gak boleh kalo gue pengen launching sama pacar? Takut jadi nyamuk, yaaaaaa? Hahay!"
Bacot. "Emang si Vie ke mana?" Aku mengabaikan Damian. "Kebetulan banget, soalnya belakangan, Josh juga gak bareng sama kita."
"Oh, ya?" Frey mengangkat alis. "Kira-kira mereka kenapa?"
"Apa ini yang dinamakan berjodoh?" Damian sumpah, bacot banget.
"Hush! Sembarangan." sahut Frey sambil mengibaskan tangan. "Eh, tapi ... kayaknya gue pernah liat Vie sama Josh berduaan di ruang guru, deh."
"Hah? Mereka ngapain? Mereka ada pelajaran tambahan bareng?" tanyaku, spontan. Aku bahkan tak sadar bahwa tubuhku condong ke arah Frey dengan mataku yang menuntut jawabannya.
"Dasar orang bego!" Damian bullshit menyela pembicaraan sambil menepuk dahi. Entah sudah berapa kali aku diam-diam mengejeknya, habisnya dia memang minta ditonjok, sih. Menyadari tatapan datar aku dan Frey, ia buru-buru menambahkan. "Tapi Bebeb Frey gak bodoh kok. Tenang aja." ucapnya sok manis, kemudian Damian beralih padaku. "Val, di mana-mana, belajar itu di ruang kelas. Kalo di ruang guru, namanya remedial."
"Itu, sih, monyet ngesot juga tau, Bebeb Mian." sahut Frey, "Btw-btw, balapan skateboard besok 'kan? Udah ada persiapan?"
"Ya," jawabku sekenanya. Aku tak bicara lagi karena berikutnya, Damian yang melanjutkan.
Dalam sekejap, topik pembicaraan kami teralih pada pelatihan skateboard-ku yang--well, sebenarnya aku hanya menonton video tutorial di sosmed tanpa praktek--kujalani selama empat hari terakhir. Tapi perhatianku tak semudah itu teralih.
Sementara Damian dan Frey tenggelam dalam obrolan mereka, aku memalingkan wajah dan memandang ke luar jendela. Memikirkan hal yang diutarakan Frey yang berhasil menancap di pikiranku. Tentang Vie dan Josh yang menghilang selama empat hari ini ... secara bersamaan.
[Sevie Andina]Mungkin, 'Sial' adalah nama tengahku. Sevie 'Sial' Andina. Cocok 'kan? Baiklah-baiklah. Akan kujelaskan alasan mengapa aku sudah mengumpat-umpat di sabtu siang yang cerah ini.Semuanya dimulai di hari senin yang paling kubenci. Belum habis masalahku saat Arven tiba-tiba mengajak Val untuk duel skate, aku tiba-tiba dihadang oleh Pak Ahmad saat aku dalam perjalanan menuju kantin.Aku tahu jika guru memanggil pasti ada maunya. Entah itu beliin makanan, mengambil buku, atau ngasih tugas untuk kelas lain. Lah, yang itu aku tidak mau, bisa-bisa aku disuruh menjelaskan tugasnya di depan kelas lain. Malu!"Kamu gak sibuk 'kan?" tanya Pak Ahmad halus."Eum, sebenernya ...." ucapanku lebih dulu terpotong.
[Joshlyn Gunawan]Aku melongo memandangi sosok Vie yang menjauh dengan terbirit-birit. Otakku masih perlu waktu untuk mencerna suasana. Beberapa detik berlalu, aku masih tak paham dengan situasinya. Kemudian aku menoleh, memandang Val tak habis pikir. "Dia kenapa?"Val diam sesaat, kemudian berdeham. "Oh, tadi gue sengaja pasang muka zombie.""Lo bego, goblok, apa tolol, sih?" sahutku, tak bermaksud ketus, tapi entah kenapa sekarang aku jadi sensi pada Val. Padahal sebelumnya, aku sedang enak-enak berduaan dengan Vie sampai akhirnya dia datang dan menghancurkan suasana."Kok lo jadi sewot, sih?" kata Val, jelas terlihat heran."Gue bukannya sewot," Aku menyanggah. "Tapi ... ah, yaudahlah!" karena tak tahu harus berkata apa, aku menyibukkan diri dengan kertas-kertas di meja dan bersiap ngacir dari ruang guru sebelum Val berhasil me
[Sevie Andina]Sepertinya hidupku memang tertimpa sial. Bagaimana tidak? Baru kemarin aku jingkrak-jingkrak di kamar karena berhasil jadian dengan Val. Apalagi dia mengucapkan kata-kata yang benar-benar manis yang membuatku terharu. Yep. Walau sudah berkali-kali kutolak, Val ternyata sangat keras kepala dan tetap ingin pacaran denganku. Meskipun dia mengetahui hidupku yang menyedihkan, dia tetap memacariku. Bahkan saat Val mengantarkanku pulang, ia tanpa sungkan mampir ke rumah kontrakanku yang sangat sempit. Dia juga melihat keadaan ibuku dan meminta izin pada beliau untuk memacariku! Gila! Dia benar-benar gentleman!Tapi hari ini ... astaga!Hari ini seharusnya aku bisa pulang cepat, karena biasanya pelanggan yang datang ke kafe tempatku bekerja ha
Mainan yang dulu kita gunakan untuk memohon pada bintang, kini hanya tergeletak di sudut kamar.Aku yakin, baik kamu maupun aku, kita sudah memohon lebih dari seratus.Suatu saat, ayo kita ubah permohonan itu menjadi satu permohonan saja.Aku hanya ingin bersamamu sebentar lagi. Hanya sebentar.Karena semakin lama aku menyimpan momen ini, semakin sedih yang kurasakan saat perpisahan itu tiba.***Ada beberapa hal yang tak bisa Sevie lupakan. Salah satunya adalah hari itu, pagi yang cerah di hari senin."Ma, aku berangkat!" seru Vie yang sudah duduk di atas jok sepeda."Hati-hati, Vie!" sang Mama menyahut dari dalam rumah."Iya!" setelahnya, Sevie langsung mengayuh pedal sepeda dengan kencang seraya melaju cepat di trotoar menuju sekolah.Mentari pagi bersinar terang di antara
[Sevie Andina]"Vie! Sumpah, ya! Gue jadian sama Damian!" Frey menjerit-jerit kegirangan di kantin yang sepi itu. Ia memeluk ponsel dengan kaki bergoyang-goyang. Sementara yang diajak bicara masih sibuk mengisi perutnya. "Pacaran sama Rega ... mimpi apa gue semalem ...? Kyaa!"Aku menelan makanan yang ada di mulutku seraya menatap datar Frey yang sudah duduk. "Kapan jadiannya? Lo jampi-jampi, ya?""Hush! Enak aja!" sahut Frey tak terima, ia mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. "Ini tuh yang namanya the power of pesona Freya!" lanjutnya angkuh."Nyeh, paling dia ngelindur kemarin." Aku menyahut asal, lalu kembali memakan burger dengan lahap. Biasalah, aku perlu mengisi energi sebelum berkutat dengan nama-nama latin di kelas. Lagipula aku sudah bosan dengan Frey y
[Rival Hadiputra]"Aku akan melindungimu, Elizabeth.""Kumohon jangan sakiti siapapun lagi, Meliodas!"Suara televisi memenuhi kamarku. Televisi LED itu menampilkan film anime di mana karakter utamanya sedang sekarat karena melindungi sang pacar. Aku hampir tak berkedip memandangi layar, padahal pikiranku sedang melayang-layang. Tak fokus pada filmnya.Suara dehaman Damian menyadarkan lamunanku, tapi tidak sekeras itu untuk membuatku menoleh. "Val? Lo kenapa, sih? Habis ketemuan sama Vie tiga hari lalu, lo jadi aneh gini." ucapnya. Entah dia khawatir atau hanya penasaran."Bukannya gue emang aneh, ya?" sahutku kalem. Sobatku itu langsung terdiam, dengan begitu aku tak perlu repot-repot menjelaskan padanya tent
[Joshlyn Gunawan]Sebut saja aku munafik.Aku mengerti bagaimana perasaan Val saat melihat Vie dan Arven yang bertingkah mesra tanpa menyadari kehadiran kami. Namun bukannya menghibur Val dengan kata-kata positif seperti yang dilakukan Damian, aku malah memanggil Vie. Tindakan yang mungkin akan menghancurkan hati Val.Bibirku melengkungkan senyuman saat Vie berjalan menghampiri kami. Angin berhembus dan menerbangkan helaian rambutnya. Mentari menyinarinya seperti lampu sorot. Tapi sorot mata Vie melewatiku dan terpaku pada Val. Cih.Ya, aku punya rahasia yang kusimpan sendiri. Bahkan kedua sobatku tidak mengetahuinya. Awalnya, itu terjadi dua tahun lalu. Saat siswa kelas 10 harus datang lebih awal karena ada acara MOS. Saat itu aku sedang nongkrong di
[Sevie Andina]Sepertinya hidupku memang tertimpa sial. Bagaimana tidak? Baru kemarin aku jingkrak-jingkrak di kamar karena berhasil jadian dengan Val. Apalagi dia mengucapkan kata-kata yang benar-benar manis yang membuatku terharu. Yep. Walau sudah berkali-kali kutolak, Val ternyata sangat keras kepala dan tetap ingin pacaran denganku. Meskipun dia mengetahui hidupku yang menyedihkan, dia tetap memacariku. Bahkan saat Val mengantarkanku pulang, ia tanpa sungkan mampir ke rumah kontrakanku yang sangat sempit. Dia juga melihat keadaan ibuku dan meminta izin pada beliau untuk memacariku! Gila! Dia benar-benar gentleman!Tapi hari ini ... astaga!Hari ini seharusnya aku bisa pulang cepat, karena biasanya pelanggan yang datang ke kafe tempatku bekerja ha
[Joshlyn Gunawan]Aku melongo memandangi sosok Vie yang menjauh dengan terbirit-birit. Otakku masih perlu waktu untuk mencerna suasana. Beberapa detik berlalu, aku masih tak paham dengan situasinya. Kemudian aku menoleh, memandang Val tak habis pikir. "Dia kenapa?"Val diam sesaat, kemudian berdeham. "Oh, tadi gue sengaja pasang muka zombie.""Lo bego, goblok, apa tolol, sih?" sahutku, tak bermaksud ketus, tapi entah kenapa sekarang aku jadi sensi pada Val. Padahal sebelumnya, aku sedang enak-enak berduaan dengan Vie sampai akhirnya dia datang dan menghancurkan suasana."Kok lo jadi sewot, sih?" kata Val, jelas terlihat heran."Gue bukannya sewot," Aku menyanggah. "Tapi ... ah, yaudahlah!" karena tak tahu harus berkata apa, aku menyibukkan diri dengan kertas-kertas di meja dan bersiap ngacir dari ruang guru sebelum Val berhasil me
[Sevie Andina]Mungkin, 'Sial' adalah nama tengahku. Sevie 'Sial' Andina. Cocok 'kan? Baiklah-baiklah. Akan kujelaskan alasan mengapa aku sudah mengumpat-umpat di sabtu siang yang cerah ini.Semuanya dimulai di hari senin yang paling kubenci. Belum habis masalahku saat Arven tiba-tiba mengajak Val untuk duel skate, aku tiba-tiba dihadang oleh Pak Ahmad saat aku dalam perjalanan menuju kantin.Aku tahu jika guru memanggil pasti ada maunya. Entah itu beliin makanan, mengambil buku, atau ngasih tugas untuk kelas lain. Lah, yang itu aku tidak mau, bisa-bisa aku disuruh menjelaskan tugasnya di depan kelas lain. Malu!"Kamu gak sibuk 'kan?" tanya Pak Ahmad halus."Eum, sebenernya ...." ucapanku lebih dulu terpotong.
[Rival Hadiputra]"Pertama, pastiin kaki lo tetep nyentuh tanah. Kaki satunya lagi di atas papan, lebih tepatnya di atas truck, bagian depan papan." di taman kompleks, Arven menjelaskan tata cara bermain skateboard padaku. Aku hanya mengamatinya dengan setengah hati. Aku masih sebal dengan kejadian beberapa jam yang lalu.Saat istirahat siang itu, seperti biasa aku memesan nasi padang pada Ibu Kantin dan duduk di sudut menghadap Damian yang duduk di seberang meja bundar. Josh entah ada di mana, sejak bel baru saja berbunyi ia sudah ngacir seperti orang yang kebelet buang air."Gue harus gimana, nih?" kataku, entah untuk yang ke berapa kali.Damian yang sedang sibuk menggerogoti ayam bakarnya mendelik menatapku. Sepertinya dia risi. Tapi ini karena dianya juga, sih! Ak
[Joshlyn Gunawan]Sebut saja aku munafik.Aku mengerti bagaimana perasaan Val saat melihat Vie dan Arven yang bertingkah mesra tanpa menyadari kehadiran kami. Namun bukannya menghibur Val dengan kata-kata positif seperti yang dilakukan Damian, aku malah memanggil Vie. Tindakan yang mungkin akan menghancurkan hati Val.Bibirku melengkungkan senyuman saat Vie berjalan menghampiri kami. Angin berhembus dan menerbangkan helaian rambutnya. Mentari menyinarinya seperti lampu sorot. Tapi sorot mata Vie melewatiku dan terpaku pada Val. Cih.Ya, aku punya rahasia yang kusimpan sendiri. Bahkan kedua sobatku tidak mengetahuinya. Awalnya, itu terjadi dua tahun lalu. Saat siswa kelas 10 harus datang lebih awal karena ada acara MOS. Saat itu aku sedang nongkrong di
[Rival Hadiputra]"Aku akan melindungimu, Elizabeth.""Kumohon jangan sakiti siapapun lagi, Meliodas!"Suara televisi memenuhi kamarku. Televisi LED itu menampilkan film anime di mana karakter utamanya sedang sekarat karena melindungi sang pacar. Aku hampir tak berkedip memandangi layar, padahal pikiranku sedang melayang-layang. Tak fokus pada filmnya.Suara dehaman Damian menyadarkan lamunanku, tapi tidak sekeras itu untuk membuatku menoleh. "Val? Lo kenapa, sih? Habis ketemuan sama Vie tiga hari lalu, lo jadi aneh gini." ucapnya. Entah dia khawatir atau hanya penasaran."Bukannya gue emang aneh, ya?" sahutku kalem. Sobatku itu langsung terdiam, dengan begitu aku tak perlu repot-repot menjelaskan padanya tent
[Sevie Andina]"Vie! Sumpah, ya! Gue jadian sama Damian!" Frey menjerit-jerit kegirangan di kantin yang sepi itu. Ia memeluk ponsel dengan kaki bergoyang-goyang. Sementara yang diajak bicara masih sibuk mengisi perutnya. "Pacaran sama Rega ... mimpi apa gue semalem ...? Kyaa!"Aku menelan makanan yang ada di mulutku seraya menatap datar Frey yang sudah duduk. "Kapan jadiannya? Lo jampi-jampi, ya?""Hush! Enak aja!" sahut Frey tak terima, ia mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. "Ini tuh yang namanya the power of pesona Freya!" lanjutnya angkuh."Nyeh, paling dia ngelindur kemarin." Aku menyahut asal, lalu kembali memakan burger dengan lahap. Biasalah, aku perlu mengisi energi sebelum berkutat dengan nama-nama latin di kelas. Lagipula aku sudah bosan dengan Frey y
Mainan yang dulu kita gunakan untuk memohon pada bintang, kini hanya tergeletak di sudut kamar.Aku yakin, baik kamu maupun aku, kita sudah memohon lebih dari seratus.Suatu saat, ayo kita ubah permohonan itu menjadi satu permohonan saja.Aku hanya ingin bersamamu sebentar lagi. Hanya sebentar.Karena semakin lama aku menyimpan momen ini, semakin sedih yang kurasakan saat perpisahan itu tiba.***Ada beberapa hal yang tak bisa Sevie lupakan. Salah satunya adalah hari itu, pagi yang cerah di hari senin."Ma, aku berangkat!" seru Vie yang sudah duduk di atas jok sepeda."Hati-hati, Vie!" sang Mama menyahut dari dalam rumah."Iya!" setelahnya, Sevie langsung mengayuh pedal sepeda dengan kencang seraya melaju cepat di trotoar menuju sekolah.Mentari pagi bersinar terang di antara