[Sevie Andina]
Aku menelan makanan yang ada di mulutku seraya menatap datar Frey yang sudah duduk. "Kapan jadiannya? Lo jampi-jampi, ya?"
"Hush! Enak aja!" sahut Frey tak terima, ia mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. "Ini tuh yang namanya the power of pesona Freya!" lanjutnya angkuh.
"Nyeh, paling dia ngelindur kemarin." Aku menyahut asal, lalu kembali memakan burger dengan lahap. Biasalah, aku perlu mengisi energi sebelum berkutat dengan nama-nama latin di kelas. Lagipula aku sudah bosan dengan Frey yang antusiasnya overdosis setiap membahas cowok.
Ya, sobatku itu, Freya Anastasia, memang cewek biasa pada umumnya. Cewek dengan rambut cokelat panjang dan sedikit keriting seperti artis-artis Korea yang sedang beken, penggemar cowok-cowok keren, dan segala tetek-bengek lainnya. Tapi entah kenapa, di antara sekian banyak cewek yang seperti dirinya, Frey justru memilih berteman denganku yang biasa-biasa saja.
Maksudku, aku cukup cantik kok. Tapi aku terlalu sibuk untuk mengurusi hal-hal tak penting, aku juga tak punya banyak waktu untuk bersenang-senang seperti cewek-cewek hits pada umumnya. Kebanyakan menganggapku membosankan, tapi sekali lagi, entah kenapa, hanya Frey yang mampu bertahan dengan semua sifat jelekku.
Frey tertawa licik seraya menyipitkan mata. "Bilang aja lo iri sama gue, Vie." ucapnya, dan seketika aku mendecih. "Makannya lo cari pacar sana, lo 'kan lumayan cakep, tuh. Pasti gampang dapet pacar."
Aku mendelik. Enak saja, memangnya aku se-gabut itu? Aku bukan cewek haus belaian laki-laki! "Dih, orang gue udah ada pacar kok."
"Huh! Paling pacar yang lo maksud itu Inumaki Toge, Meliodas, Dazai Osamu, sama Levi Akcerman." Dengus Frey setelah menyebutkan beberapa nama karakter dari film anime berbeda yang sering kutonton.
Tentu saja aku menjentikan jari sambil berkata dengan gaya pongah. "Itu lo tau. Mereka itu the real cowok gentle--Aww!"
"Dasar kang halu! Mending cari pacar sana!" Frey menyentil dahiku cukup keras.
Aku cemberut sambil mengusap dahi. Sementara Frey tanpa rasa bersalah malah ketawa-ketiwi sambil bermain ponsel. Huh, dasar! Mentang-mentang baru jadian. Awas saja jika beberapa hari lagi hubungannya dengan si pacar baru kandas, aku akan jadi orang pertama yang tertawa. Paling keras pula. Hahaha!
"Lo mau masuk ekskul teater? HAHAHA!" suara berisik itu sontak menghentikan lamunan gilaku sekaligus membungkam mulutku yang hendak berbicara. Aku refleks menoleh ke pintu masuk kantin, tiga cowok masuk dan duduk di samping meja yang aku dan Frey tempati. Kemudian cepat-cepat menunduk.
"Iya. Soalnya gue mau tau tentang perasaan, kayaknya mendalami tokoh teater cocok buat bahan pemahaman gue." tubuhku seakan membeku saat mendengar suara yang menyahut. Meski aku menunduk dalam dan tak melihat wajah para cowok itu, aku tahu betul milik siapa suara yang datar dan tanpa emosi itu. Oh, God. Suaranya saja sudah membuatku berdebar-debar.
"Cih, aneh lo, Val. Lagian di ekskul teater, semuanya cuma acting. Gak nyata. Jadi, mending lo cari pacar aja."
"Ah, masa?"
Aku cepat-cepat memakai earphone dan menyetel musik untuk mengalihkan perhatian. Sudah dua tahun sejak pertemuanku dengan cowok itu, dan perasaanku masih belum berubah. Tidak. Aku tidak berharap menjadi pacarnya, aku hanya ingin perasaanku hilang.
Bukan, bukan karena cowok itu sulit didapatkan sementara aku hanya cewek cupu. Idih! Tidak seperti itu. Tapi karena suatu alasan, aku tidak ingin maju untuk mendapatkan hatinya. Seperti yang sebelumnya sudah kusinggung, aku ini sibuk.
"Cie, yang belum move on." Frey meledek pelan sambil menoel-noel pipiku yang chubby. Alhasil aku makin cemberut. Sementara ia meletakan kepala di meja sambil diam-diam memandangi satu-satunya sumber kebisingan kantin. "Lagian kenapa coba di antara mereka bertiga, lo malah suka Val? Damian sama Josh jelas lebih ganteng. Tapi Damian udah punya gue, yaa." ujarnya dengan lirikan peringatan.
Aku menghembuskan napas kasar. Entah sudah berapa kali aku mendengar pertanyaan itu. Asal Frey tahu saja, aku juga tidak tahu kenapa aku suka padanya! "'Kan udah gue bilang, Val itu baik--"
"Orang baik mana yang bikin sepeda cewek ringsek sampe di-bully satu sekolah?" potong Frey. Oke, dia hampir membuatku mati kutu. Garisbawahi, hampir.
"Dia 'kan cuma refleks, lagian dia juga udah tanggung jawab." balasku tak mau kalah. "Lagian gue belum selesai ngomong, dia juga kayaknya lembut dan menghormati cewek."
"'Kan itu baru kayaknya, blo'on." Frey berdecak seraya memijit pelipis. Kenapa, sih, dia selalu berlagak depresi setiap mendengar curhatanku tentang cowok? Padahal kelakuannya saat membahas cowok-cowok lebih membuatku depresi betulan. "Bisa-bisanya lo jatuh cinta cuma gara-gara dia ngerusakin sepeda lo. Jangan lupa, Vie. Dia itu aneh--"
"Alah, berisik lo badut!" Aku berseru kesal, tak peduli meskipun kata-katanya belum selesai. Mau bagaimana lagi? Aku tak tahan, lalu aku pun pergi keluar kantin dengan langkah berderap.
Di belakangku, Frey berseru jahil dengan suara yang cukup keras. "Makannya move on! Kalo gak mau, ya, tembak!"
Ih! Membuatku makin kesal saja! Aku yakin tiga cowok yang tadi mengobrol sedang memerhatikan keributan yang kami buat, karena aku tak mendengar suara obrolan mereka lagi. "Bacot, deh!" balasku tak kalah keras.
Tanpa peduli Frey yang tertawa keras seperti orang gila, aku pun lanjut melangkah sambil menghentak-entakan kaki. Tapi samar-samar, aku bisa mendengar obrolannya dengan salah satu cowok tadi. Pasti pacarnya, Damian, didengar dari bagaimana suara halus Frey saat meresponsnya.
"Kenapa, Frey?"
"Eh, gak ada apa-apa, Beb. Itu, Vie kesel karena aku ledekin crush-nya."
"Cursh yang mana? Inumaki Toge atau Meliodas?"
"Biasalah, Levi Ackerman."
Bodo amat! Biarpun cuma halu, pacar-pacarku itu jelas jauh lebih keren dari semua cowok di dunia ini. Kecuali Val. Jangan tanya kenapa. Akan kutonjok siapapun yang berani bertanya.
💌
Aku menghempaskan tubuhku di kursi pojok kelas, lalu membenamkan wajah ke jaket yang ada di atas meja. Jam di pergelangan tanganku masih menunjukan pukul 6.20 pagi. Kata-kata Frey yang terngiang di kepalaku membuatku memejamkan mata karena pusing.
Bagaimana tidak? Frey 100% benar. Damian, Josh dan Val adalah tiga cowok dari kelas 12 IPS 5, kelas yang ada di sebelah kelasku--12 IPS 4. Jika kalian pikir mereka adalah bad boy atau cowok famous, kalian salah. Mereka bertiga hanyalah tiga cowok taat peraturan yang menjadi kesayangan guru, ditambah mereka yang malas berkerumun membuat mereka terlihat membosankan.
Sekali lagi, Frey 100% benar. Di antara Damian, Josh, dan Val, Val ada di urutan terakhir. Val yang paling tidak mencolok di antara mereka. Selain itu, cowok itu juga aneh. Wajahnya seolah tidak memiliki ekspresi, nada bicaranya seolah tak beremosi. Itu membuat Val sering dianggap cowok lemah. Padahal menurutku kekuatan Val sangat luar biasa. Mengingat bagaimana caranya menghancurkan sepedaku yang malang.
Aku berdecak ketika sadar bahwa aku sudah melamun terlalu lama. "Gimana, nih? Gue gak bisa lupain dia ...." Rengekku sambil mengacak-acak rambut.
Kemudian, mataku melirik ponsel yang tergeletak di atas meja. Dengan malas aku meraih ponsel itu dan menyetel film pendek. Beberapa menit berikutnya, aku pun menjerit. "Anjriiit, Om Levi keren banget!" terserah jika ada yang menganggapku orang gila. Aku tidak peduli.
Ya, karena aku adalah Sevie Andina. Cewek tukang halu yang teman cowoknya hampir mencapai 0%. Selamat datang di duniaku.
"Sevie ... Andina, ya?"
Tubuhku menegang. God, belum ada satu menit aku mengalihkan pikiranku darinya, bisa-bisanya dia malah tiba-tiba muncul seperti setan dan membuatku hampir jantungan! Dengan kaku aku menoleh ke samping, saking kakunya aku merasa sendi-sendiku berderit.
Val berdiri di samping kursiku sambi meneliti name tag di dadaku. Mungkin karena sadar bahwa aku memerhatikannya, Val berdiri tegak. Ia mengangkat sebelah tangan. "Hai." sapanya dengan wajah polos.
"Eh?" kudengar ia berdeham heran. Apa boleh buat? Aku harus menyelamatkan wajahku agar tidak terlihat lebih memalukan. Kurasakan cowok itu semakin mendekat padaku, sementara aku yakin saat ini wajahnya berada tepat di depan wajahku. "Gue Rival Hadiputra," katanya.
Aku mengintip melalui sela-sela jari, dan ...,
ASTAGA, DRAGON!
Wajah Val sangat dekat dengan wajahku. Tubuhnya yang condong ia tahan dengan berpegangan pada kursi dan mejaku sementara mata polosnya tak berpindah sedetikpun dari mataku. "T-terus?" tanyaku sambil memasang wajah cuek, aku berdeham dan bergaya menjauhkan diri. Aarrghh. Padahal dalam hati aku ingin menjerit.
Lagi, seolah tak memedulikanku yang mati-matian memasang gestur tak nyaman, Val berjalan memutari meja dan duduk di sampingku. Cowok itu bersenandung pelan sambil memainkan kabel earphone-ku yang ada di meja.
Selama beberapa detik, ia tak mengatakan apapun. Dan selama itu pula aku terus memerhatikannya. Berusaha mencari celah dan menebak-nebak apa yang cowok itu inginkan dariku. Sesekali Val terlihat sedang memikirkan sesuatu. Apa dia membutuhkan bantuanku? Atau dia menyukaiku dan berusaha berpikir dua kali mau menembakku atau tidak? Ah, tidak, tidak. Yang terakhir itu jelas tidak mungkin. Kurasa halu-ku mulai overdosis.
Untuk menghentikan lamunan gilaku, aku memberanikan diri menurunkan tanganku dan membuka mulut. "Lo--"
"Lo suka sama gue, ya?" Val memotong, menoleh untuk kembali memandangku yang seketika mematung.
Dan saat itu, jantungku seolah ingin meledak.
[Rival Hadiputra]"Aku akan melindungimu, Elizabeth.""Kumohon jangan sakiti siapapun lagi, Meliodas!"Suara televisi memenuhi kamarku. Televisi LED itu menampilkan film anime di mana karakter utamanya sedang sekarat karena melindungi sang pacar. Aku hampir tak berkedip memandangi layar, padahal pikiranku sedang melayang-layang. Tak fokus pada filmnya.Suara dehaman Damian menyadarkan lamunanku, tapi tidak sekeras itu untuk membuatku menoleh. "Val? Lo kenapa, sih? Habis ketemuan sama Vie tiga hari lalu, lo jadi aneh gini." ucapnya. Entah dia khawatir atau hanya penasaran."Bukannya gue emang aneh, ya?" sahutku kalem. Sobatku itu langsung terdiam, dengan begitu aku tak perlu repot-repot menjelaskan padanya tent
[Joshlyn Gunawan]Sebut saja aku munafik.Aku mengerti bagaimana perasaan Val saat melihat Vie dan Arven yang bertingkah mesra tanpa menyadari kehadiran kami. Namun bukannya menghibur Val dengan kata-kata positif seperti yang dilakukan Damian, aku malah memanggil Vie. Tindakan yang mungkin akan menghancurkan hati Val.Bibirku melengkungkan senyuman saat Vie berjalan menghampiri kami. Angin berhembus dan menerbangkan helaian rambutnya. Mentari menyinarinya seperti lampu sorot. Tapi sorot mata Vie melewatiku dan terpaku pada Val. Cih.Ya, aku punya rahasia yang kusimpan sendiri. Bahkan kedua sobatku tidak mengetahuinya. Awalnya, itu terjadi dua tahun lalu. Saat siswa kelas 10 harus datang lebih awal karena ada acara MOS. Saat itu aku sedang nongkrong di
[Rival Hadiputra]"Pertama, pastiin kaki lo tetep nyentuh tanah. Kaki satunya lagi di atas papan, lebih tepatnya di atas truck, bagian depan papan." di taman kompleks, Arven menjelaskan tata cara bermain skateboard padaku. Aku hanya mengamatinya dengan setengah hati. Aku masih sebal dengan kejadian beberapa jam yang lalu.Saat istirahat siang itu, seperti biasa aku memesan nasi padang pada Ibu Kantin dan duduk di sudut menghadap Damian yang duduk di seberang meja bundar. Josh entah ada di mana, sejak bel baru saja berbunyi ia sudah ngacir seperti orang yang kebelet buang air."Gue harus gimana, nih?" kataku, entah untuk yang ke berapa kali.Damian yang sedang sibuk menggerogoti ayam bakarnya mendelik menatapku. Sepertinya dia risi. Tapi ini karena dianya juga, sih! Ak
[Sevie Andina]Mungkin, 'Sial' adalah nama tengahku. Sevie 'Sial' Andina. Cocok 'kan? Baiklah-baiklah. Akan kujelaskan alasan mengapa aku sudah mengumpat-umpat di sabtu siang yang cerah ini.Semuanya dimulai di hari senin yang paling kubenci. Belum habis masalahku saat Arven tiba-tiba mengajak Val untuk duel skate, aku tiba-tiba dihadang oleh Pak Ahmad saat aku dalam perjalanan menuju kantin.Aku tahu jika guru memanggil pasti ada maunya. Entah itu beliin makanan, mengambil buku, atau ngasih tugas untuk kelas lain. Lah, yang itu aku tidak mau, bisa-bisa aku disuruh menjelaskan tugasnya di depan kelas lain. Malu!"Kamu gak sibuk 'kan?" tanya Pak Ahmad halus."Eum, sebenernya ...." ucapanku lebih dulu terpotong.
[Joshlyn Gunawan]Aku melongo memandangi sosok Vie yang menjauh dengan terbirit-birit. Otakku masih perlu waktu untuk mencerna suasana. Beberapa detik berlalu, aku masih tak paham dengan situasinya. Kemudian aku menoleh, memandang Val tak habis pikir. "Dia kenapa?"Val diam sesaat, kemudian berdeham. "Oh, tadi gue sengaja pasang muka zombie.""Lo bego, goblok, apa tolol, sih?" sahutku, tak bermaksud ketus, tapi entah kenapa sekarang aku jadi sensi pada Val. Padahal sebelumnya, aku sedang enak-enak berduaan dengan Vie sampai akhirnya dia datang dan menghancurkan suasana."Kok lo jadi sewot, sih?" kata Val, jelas terlihat heran."Gue bukannya sewot," Aku menyanggah. "Tapi ... ah, yaudahlah!" karena tak tahu harus berkata apa, aku menyibukkan diri dengan kertas-kertas di meja dan bersiap ngacir dari ruang guru sebelum Val berhasil me
[Sevie Andina]Sepertinya hidupku memang tertimpa sial. Bagaimana tidak? Baru kemarin aku jingkrak-jingkrak di kamar karena berhasil jadian dengan Val. Apalagi dia mengucapkan kata-kata yang benar-benar manis yang membuatku terharu. Yep. Walau sudah berkali-kali kutolak, Val ternyata sangat keras kepala dan tetap ingin pacaran denganku. Meskipun dia mengetahui hidupku yang menyedihkan, dia tetap memacariku. Bahkan saat Val mengantarkanku pulang, ia tanpa sungkan mampir ke rumah kontrakanku yang sangat sempit. Dia juga melihat keadaan ibuku dan meminta izin pada beliau untuk memacariku! Gila! Dia benar-benar gentleman!Tapi hari ini ... astaga!Hari ini seharusnya aku bisa pulang cepat, karena biasanya pelanggan yang datang ke kafe tempatku bekerja ha
Mainan yang dulu kita gunakan untuk memohon pada bintang, kini hanya tergeletak di sudut kamar.Aku yakin, baik kamu maupun aku, kita sudah memohon lebih dari seratus.Suatu saat, ayo kita ubah permohonan itu menjadi satu permohonan saja.Aku hanya ingin bersamamu sebentar lagi. Hanya sebentar.Karena semakin lama aku menyimpan momen ini, semakin sedih yang kurasakan saat perpisahan itu tiba.***Ada beberapa hal yang tak bisa Sevie lupakan. Salah satunya adalah hari itu, pagi yang cerah di hari senin."Ma, aku berangkat!" seru Vie yang sudah duduk di atas jok sepeda."Hati-hati, Vie!" sang Mama menyahut dari dalam rumah."Iya!" setelahnya, Sevie langsung mengayuh pedal sepeda dengan kencang seraya melaju cepat di trotoar menuju sekolah.Mentari pagi bersinar terang di antara
[Sevie Andina]Sepertinya hidupku memang tertimpa sial. Bagaimana tidak? Baru kemarin aku jingkrak-jingkrak di kamar karena berhasil jadian dengan Val. Apalagi dia mengucapkan kata-kata yang benar-benar manis yang membuatku terharu. Yep. Walau sudah berkali-kali kutolak, Val ternyata sangat keras kepala dan tetap ingin pacaran denganku. Meskipun dia mengetahui hidupku yang menyedihkan, dia tetap memacariku. Bahkan saat Val mengantarkanku pulang, ia tanpa sungkan mampir ke rumah kontrakanku yang sangat sempit. Dia juga melihat keadaan ibuku dan meminta izin pada beliau untuk memacariku! Gila! Dia benar-benar gentleman!Tapi hari ini ... astaga!Hari ini seharusnya aku bisa pulang cepat, karena biasanya pelanggan yang datang ke kafe tempatku bekerja ha
[Joshlyn Gunawan]Aku melongo memandangi sosok Vie yang menjauh dengan terbirit-birit. Otakku masih perlu waktu untuk mencerna suasana. Beberapa detik berlalu, aku masih tak paham dengan situasinya. Kemudian aku menoleh, memandang Val tak habis pikir. "Dia kenapa?"Val diam sesaat, kemudian berdeham. "Oh, tadi gue sengaja pasang muka zombie.""Lo bego, goblok, apa tolol, sih?" sahutku, tak bermaksud ketus, tapi entah kenapa sekarang aku jadi sensi pada Val. Padahal sebelumnya, aku sedang enak-enak berduaan dengan Vie sampai akhirnya dia datang dan menghancurkan suasana."Kok lo jadi sewot, sih?" kata Val, jelas terlihat heran."Gue bukannya sewot," Aku menyanggah. "Tapi ... ah, yaudahlah!" karena tak tahu harus berkata apa, aku menyibukkan diri dengan kertas-kertas di meja dan bersiap ngacir dari ruang guru sebelum Val berhasil me
[Sevie Andina]Mungkin, 'Sial' adalah nama tengahku. Sevie 'Sial' Andina. Cocok 'kan? Baiklah-baiklah. Akan kujelaskan alasan mengapa aku sudah mengumpat-umpat di sabtu siang yang cerah ini.Semuanya dimulai di hari senin yang paling kubenci. Belum habis masalahku saat Arven tiba-tiba mengajak Val untuk duel skate, aku tiba-tiba dihadang oleh Pak Ahmad saat aku dalam perjalanan menuju kantin.Aku tahu jika guru memanggil pasti ada maunya. Entah itu beliin makanan, mengambil buku, atau ngasih tugas untuk kelas lain. Lah, yang itu aku tidak mau, bisa-bisa aku disuruh menjelaskan tugasnya di depan kelas lain. Malu!"Kamu gak sibuk 'kan?" tanya Pak Ahmad halus."Eum, sebenernya ...." ucapanku lebih dulu terpotong.
[Rival Hadiputra]"Pertama, pastiin kaki lo tetep nyentuh tanah. Kaki satunya lagi di atas papan, lebih tepatnya di atas truck, bagian depan papan." di taman kompleks, Arven menjelaskan tata cara bermain skateboard padaku. Aku hanya mengamatinya dengan setengah hati. Aku masih sebal dengan kejadian beberapa jam yang lalu.Saat istirahat siang itu, seperti biasa aku memesan nasi padang pada Ibu Kantin dan duduk di sudut menghadap Damian yang duduk di seberang meja bundar. Josh entah ada di mana, sejak bel baru saja berbunyi ia sudah ngacir seperti orang yang kebelet buang air."Gue harus gimana, nih?" kataku, entah untuk yang ke berapa kali.Damian yang sedang sibuk menggerogoti ayam bakarnya mendelik menatapku. Sepertinya dia risi. Tapi ini karena dianya juga, sih! Ak
[Joshlyn Gunawan]Sebut saja aku munafik.Aku mengerti bagaimana perasaan Val saat melihat Vie dan Arven yang bertingkah mesra tanpa menyadari kehadiran kami. Namun bukannya menghibur Val dengan kata-kata positif seperti yang dilakukan Damian, aku malah memanggil Vie. Tindakan yang mungkin akan menghancurkan hati Val.Bibirku melengkungkan senyuman saat Vie berjalan menghampiri kami. Angin berhembus dan menerbangkan helaian rambutnya. Mentari menyinarinya seperti lampu sorot. Tapi sorot mata Vie melewatiku dan terpaku pada Val. Cih.Ya, aku punya rahasia yang kusimpan sendiri. Bahkan kedua sobatku tidak mengetahuinya. Awalnya, itu terjadi dua tahun lalu. Saat siswa kelas 10 harus datang lebih awal karena ada acara MOS. Saat itu aku sedang nongkrong di
[Rival Hadiputra]"Aku akan melindungimu, Elizabeth.""Kumohon jangan sakiti siapapun lagi, Meliodas!"Suara televisi memenuhi kamarku. Televisi LED itu menampilkan film anime di mana karakter utamanya sedang sekarat karena melindungi sang pacar. Aku hampir tak berkedip memandangi layar, padahal pikiranku sedang melayang-layang. Tak fokus pada filmnya.Suara dehaman Damian menyadarkan lamunanku, tapi tidak sekeras itu untuk membuatku menoleh. "Val? Lo kenapa, sih? Habis ketemuan sama Vie tiga hari lalu, lo jadi aneh gini." ucapnya. Entah dia khawatir atau hanya penasaran."Bukannya gue emang aneh, ya?" sahutku kalem. Sobatku itu langsung terdiam, dengan begitu aku tak perlu repot-repot menjelaskan padanya tent
[Sevie Andina]"Vie! Sumpah, ya! Gue jadian sama Damian!" Frey menjerit-jerit kegirangan di kantin yang sepi itu. Ia memeluk ponsel dengan kaki bergoyang-goyang. Sementara yang diajak bicara masih sibuk mengisi perutnya. "Pacaran sama Rega ... mimpi apa gue semalem ...? Kyaa!"Aku menelan makanan yang ada di mulutku seraya menatap datar Frey yang sudah duduk. "Kapan jadiannya? Lo jampi-jampi, ya?""Hush! Enak aja!" sahut Frey tak terima, ia mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. "Ini tuh yang namanya the power of pesona Freya!" lanjutnya angkuh."Nyeh, paling dia ngelindur kemarin." Aku menyahut asal, lalu kembali memakan burger dengan lahap. Biasalah, aku perlu mengisi energi sebelum berkutat dengan nama-nama latin di kelas. Lagipula aku sudah bosan dengan Frey y
Mainan yang dulu kita gunakan untuk memohon pada bintang, kini hanya tergeletak di sudut kamar.Aku yakin, baik kamu maupun aku, kita sudah memohon lebih dari seratus.Suatu saat, ayo kita ubah permohonan itu menjadi satu permohonan saja.Aku hanya ingin bersamamu sebentar lagi. Hanya sebentar.Karena semakin lama aku menyimpan momen ini, semakin sedih yang kurasakan saat perpisahan itu tiba.***Ada beberapa hal yang tak bisa Sevie lupakan. Salah satunya adalah hari itu, pagi yang cerah di hari senin."Ma, aku berangkat!" seru Vie yang sudah duduk di atas jok sepeda."Hati-hati, Vie!" sang Mama menyahut dari dalam rumah."Iya!" setelahnya, Sevie langsung mengayuh pedal sepeda dengan kencang seraya melaju cepat di trotoar menuju sekolah.Mentari pagi bersinar terang di antara