[Sevie Andina]
Semuanya dimulai di hari senin yang paling kubenci. Belum habis masalahku saat Arven tiba-tiba mengajak Val untuk duel skate, aku tiba-tiba dihadang oleh Pak Ahmad saat aku dalam perjalanan menuju kantin.
Aku tahu jika guru memanggil pasti ada maunya. Entah itu beliin makanan, mengambil buku, atau ngasih tugas untuk kelas lain. Lah, yang itu aku tidak mau, bisa-bisa aku disuruh menjelaskan tugasnya di depan kelas lain. Malu!
"Kamu gak sibuk 'kan?" tanya Pak Ahmad halus.
"Eum, sebenernya ...." ucapanku lebih dulu terpotong.
"Oke, Bapak kasih tugas, ya." cetus Pak Ahmad dengan senyum yang menyiratkan kalimat kerjain-atau-Bapak-kasih-remedial.
Memangnya aku sudah bilang tidak sibuk? Sia-sia banget pertanyaan “sibuk, gak?” jika akhirnya dipaksa tidak sibuk, mungkin jika dia masih muda, lalu jadi pacarku, pasti aku akan menjadi budak yang harus menurut apa yang dia mau.
"Yang, ambilin kelapa, dong!"
"Iya, sayang."
"Tapi di Afrika, ya?"
Idih! Amit-amit!
Setelah panjang lebar menjelaskan apa tugas yang akan diberikan padaku. Akhirnya aku paham hanya dengan beberapa kalimat yang diucapnya “kamu nanti koreksi jawaban kelas 10, ya?”, ya, itu. Sebenarnya aku tidak keberatan, soalnya pelajaran itu cukup mudah bagiku. Bukannya aku sombong, tapi benar kok! Aku rajin maju ke depan kelas waktu kelas sepuluh. Rajin 'kan? Iya, dong! Soalnya, aku selalu jago jika mengejakan PR. Mungkin kalian tahu apa yang kumaksud. 😉
"Gampang, Pak." kataku dengan percaya diri. "Cuma tiga puluh anak 'kan?"
"Tiga kelas, Viiie." jawab Pak Ahmad. Mungkin dalam hati ia berkata, "mampus lo anak males, rasakan ngoreksi 120 anak".
Sial banget 'kan?
"Pak, ini gak harus selesai hari ini juga 'kan?" tiba-tiba dari belakangku, seorang cowok menyela.
Aku berjenggit karena kaget dan lantas menoleh padanya. Rupanya cowok itu. Cowok yang waktu itu pernah kukira tukang ojek. Ya, ceritanya panjang. Tapi yang kuketahui, namanya Josh. Di nametag, nama lengkapnya adalah Joshlyn Gunawan. Dan dia adalah salah satu sobat Val.
Josh mengabaikan aku, ia fokus mendengarkan ucapan Pak Ahmad yang malah kuabaikan. Menurutku, Josh cukup tampan dengan wajah babyface. Garis wajahnya halus, dan ia terlihat ramah dan terbuka.
"Oke, makasih, Pak." lamunanku pecah saat Josh mengucapkan kalimat itu dan Pak Ahmad sudah meninggalkan kami. Bodohnya, aku malah berdiri kikuk di samping Josh yang kini tetap diam memandangku. "Ayo," katanya.
Aku menoleh. "Hah?"
"Ngoreksi ulangan." Josh tersenyum disertai lesung pipi. "Aku bantuin."
Kemudian kami langsung pergi ke ruang guru untuk mengambil lembar jawaban murid dan mengoreksinya. Diam-diam, aku bersyukur karena hari itu aku masih memiliki sisa keberuntungan karena Josh mau membantuku mengerjakan tugas berat sekaligus suci ini. Cowok baik itu bahkan kembali lagi esok harinya untuk membantuku.
Tapi siang ini, hari sabtu yang seharusnya menjadi hari keberuntunganku, Josh tidak datang. Memang, sih, sisa lembar yang harus kukoreksi hanya tujuh lembar. Mungkin Josh pikir, aku bisa mengatasinya sendiri. Lagipula, siapa, sih, yang tahan dengan cewek sepertiku?
"Siapakah penemu atom?" Kubaca salah satu soalnya untuk mengalihkan perhatian. Kok lo tanya gue, sih? Penting emang? pikirku tak karuan.
Karena soal esai ada beberapa yang
berbeda pendapat antara aku dan Pak Ahmad, maka dengan kepercayaan diri aku ...,Ini salah, goblok!!! teriakku dalam hati saat koreksi jawaban dengan nama “Sukur Hadirin”. Nama aja salah lo, tulisan salah, jawaban juga salah, lo hidup mungkin juga salah, bro!!
Ada seseorang yang menahan tanganku saat sedang mencorat-coret lembar jawaban. Aku mendongak dan mendapati wajah polos Josh yang mengernyit heran. Ya, ampun. Kenapa cowok ini manis sekali?
"Kamu ngapain?" ia bertanya lembut. "Kalo kasar begitu, bisa-bisa kertasnya sobek."
Aku tidak tahu mau jawab apa. Dan sepertinya aku tidak perlu menjawab karena Josh sudah lebih dulu mendesah. "Ah, pasti kamu laper." katanya, sambil duduk di kursi di sampingku sambil menyodorkan sekantung plastik putih. "Ini, aku beli kebab. Makannya tadi agak telat. Kamu makan dulu aja, biar aku kerjain sisanya."
God. Ya, ampun. Cowok ini baik banget! "Makasih, ya." kataku.
Josh mendongak dari lembar jawaban dan tersenyum. "Santai."
Kami tak bicara lagi dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mungkin ini terlihat kaku, tapi ini karena kami sama-sama introvert. Lagipula keheningan ini tidak memuakkan, malah aku suka. Aku suka mengamati wajah serius Josh saat mengoreksi lembar jawaban tanpa gangguan. Aku juga suka saat dia memergokiku lalu kembali melanjutkan kegiatan dengan salah tingkah. Aku suka. Rasanya menyenangkan. God. Jangan-jangan aku suka dia.
Sambil makan, aku mengalihkan pandangan ke luar jendela ruang guru yang mengarah ke koridor. Mataku melotot begitu melihat Val berjalan sendirian. Ia berhenti di ambang pintu ruang guru dan bersandar ke kusen pintu sambil menyilangkan tangan di dada. "Hoi, Josh!" sapanya, jelas sekali ia hendak mengabaikanku. "Lo ngapain?"
"Jangan ganggu," kata Josh tanpa mengakihkan pandangan dari lembar-lembar. "Gue dapet tugas suci dadakan dari Pak Ahmad. Dikit lagi selesai."
"Oh," hanya itu jawaban Val. "Damian lagi pacaran sama Frey. Ck! Dari tadi gue kebagian peran jadi nyamuk terus."
"Gue gak nanya, tuh."
Diam-diam aku meliriknya. Penasaran seperti apa ekspresinya saat ini.
Sial, Val juga sedang melihat ke sini! Apa yang harus kulakukan? Kedip-kedip? Hoek. Lebih baik aku berlagak bete saja pada Val.
Aku segera membuat muka jelek, menarik kedua ujung mataku ke bawah sekaligus menekan hidungku supaya dua lubangnya tampak lebih besar. Tidak lupa kujulurkan lidah sepanjang-panjangnya.
Idih, Val malah membuang muka! Kurang ajar! Mungkin sebaiknya aku hampiri dan berkata. ”Hoi, tolong, bro, tunjukkan sedikit respek!”
Ah, sudahlah. Salahku juga. Seharusnya aku bertingkah feminin, tersenyum malu-malu atau tersenyum anggun, atau melambaikan tangan dengan cool. Kenapa aku malah membuat muka jelek? Aku memang suka mencari masalah. Haishhh.
Oke, kuputuskan akan memperbaikinya. Aku akan melambai pada Val lalu tersenyum selebar-lebarnya sampai semua gigiku kering. Mungkin tampangku agak mengerikan, tapi setidaknya aku sudah berusaha bersikap ramah ...,
Lho, ke mana cowok itu?
Baru semenit aku mengalihkan pandangan, Val sudah lenyap dari tempatnya. "Ssstt, Josh." bisikku seraya menyikut lengan Josh. "Mana si Zombie?"
"Di sini." God. Suara Val tepat di telingaku. Suaranya terdengar rendah dan dalam.
Dengan kaku, aku menoleh. Dan saat wajah tanpa ekspresi Val yang terlihat pucat di bawah cahaya lampu, aku menjerit. Aku menjerit takut dengan sorot matanya yang tak berperasaan. Kemudian tanpa berpikir, aku berlari meninggalkan Josh dan cowok seram itu dengan terbirit-birit.
Aku yakin di sepanjang koridor, orang-orang menatapku aneh. Bukan aneh lagi, melainkan gila!
Jantungku berdegup kencang sekali seolah ingin meledak. Aku tak sanggup jika harus berhadapan dengan Val lebih lama lagi. Bisa-bia aku mati! Dunia! Sebutlah aku gila! Josh! Maafkan aku dan kerjakan tugas kita! Ralat, sebenarnya tugasku.
[Joshlyn Gunawan]Aku melongo memandangi sosok Vie yang menjauh dengan terbirit-birit. Otakku masih perlu waktu untuk mencerna suasana. Beberapa detik berlalu, aku masih tak paham dengan situasinya. Kemudian aku menoleh, memandang Val tak habis pikir. "Dia kenapa?"Val diam sesaat, kemudian berdeham. "Oh, tadi gue sengaja pasang muka zombie.""Lo bego, goblok, apa tolol, sih?" sahutku, tak bermaksud ketus, tapi entah kenapa sekarang aku jadi sensi pada Val. Padahal sebelumnya, aku sedang enak-enak berduaan dengan Vie sampai akhirnya dia datang dan menghancurkan suasana."Kok lo jadi sewot, sih?" kata Val, jelas terlihat heran."Gue bukannya sewot," Aku menyanggah. "Tapi ... ah, yaudahlah!" karena tak tahu harus berkata apa, aku menyibukkan diri dengan kertas-kertas di meja dan bersiap ngacir dari ruang guru sebelum Val berhasil me
[Sevie Andina]Sepertinya hidupku memang tertimpa sial. Bagaimana tidak? Baru kemarin aku jingkrak-jingkrak di kamar karena berhasil jadian dengan Val. Apalagi dia mengucapkan kata-kata yang benar-benar manis yang membuatku terharu. Yep. Walau sudah berkali-kali kutolak, Val ternyata sangat keras kepala dan tetap ingin pacaran denganku. Meskipun dia mengetahui hidupku yang menyedihkan, dia tetap memacariku. Bahkan saat Val mengantarkanku pulang, ia tanpa sungkan mampir ke rumah kontrakanku yang sangat sempit. Dia juga melihat keadaan ibuku dan meminta izin pada beliau untuk memacariku! Gila! Dia benar-benar gentleman!Tapi hari ini ... astaga!Hari ini seharusnya aku bisa pulang cepat, karena biasanya pelanggan yang datang ke kafe tempatku bekerja ha
Mainan yang dulu kita gunakan untuk memohon pada bintang, kini hanya tergeletak di sudut kamar.Aku yakin, baik kamu maupun aku, kita sudah memohon lebih dari seratus.Suatu saat, ayo kita ubah permohonan itu menjadi satu permohonan saja.Aku hanya ingin bersamamu sebentar lagi. Hanya sebentar.Karena semakin lama aku menyimpan momen ini, semakin sedih yang kurasakan saat perpisahan itu tiba.***Ada beberapa hal yang tak bisa Sevie lupakan. Salah satunya adalah hari itu, pagi yang cerah di hari senin."Ma, aku berangkat!" seru Vie yang sudah duduk di atas jok sepeda."Hati-hati, Vie!" sang Mama menyahut dari dalam rumah."Iya!" setelahnya, Sevie langsung mengayuh pedal sepeda dengan kencang seraya melaju cepat di trotoar menuju sekolah.Mentari pagi bersinar terang di antara
[Sevie Andina]"Vie! Sumpah, ya! Gue jadian sama Damian!" Frey menjerit-jerit kegirangan di kantin yang sepi itu. Ia memeluk ponsel dengan kaki bergoyang-goyang. Sementara yang diajak bicara masih sibuk mengisi perutnya. "Pacaran sama Rega ... mimpi apa gue semalem ...? Kyaa!"Aku menelan makanan yang ada di mulutku seraya menatap datar Frey yang sudah duduk. "Kapan jadiannya? Lo jampi-jampi, ya?""Hush! Enak aja!" sahut Frey tak terima, ia mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. "Ini tuh yang namanya the power of pesona Freya!" lanjutnya angkuh."Nyeh, paling dia ngelindur kemarin." Aku menyahut asal, lalu kembali memakan burger dengan lahap. Biasalah, aku perlu mengisi energi sebelum berkutat dengan nama-nama latin di kelas. Lagipula aku sudah bosan dengan Frey y
[Rival Hadiputra]"Aku akan melindungimu, Elizabeth.""Kumohon jangan sakiti siapapun lagi, Meliodas!"Suara televisi memenuhi kamarku. Televisi LED itu menampilkan film anime di mana karakter utamanya sedang sekarat karena melindungi sang pacar. Aku hampir tak berkedip memandangi layar, padahal pikiranku sedang melayang-layang. Tak fokus pada filmnya.Suara dehaman Damian menyadarkan lamunanku, tapi tidak sekeras itu untuk membuatku menoleh. "Val? Lo kenapa, sih? Habis ketemuan sama Vie tiga hari lalu, lo jadi aneh gini." ucapnya. Entah dia khawatir atau hanya penasaran."Bukannya gue emang aneh, ya?" sahutku kalem. Sobatku itu langsung terdiam, dengan begitu aku tak perlu repot-repot menjelaskan padanya tent
[Joshlyn Gunawan]Sebut saja aku munafik.Aku mengerti bagaimana perasaan Val saat melihat Vie dan Arven yang bertingkah mesra tanpa menyadari kehadiran kami. Namun bukannya menghibur Val dengan kata-kata positif seperti yang dilakukan Damian, aku malah memanggil Vie. Tindakan yang mungkin akan menghancurkan hati Val.Bibirku melengkungkan senyuman saat Vie berjalan menghampiri kami. Angin berhembus dan menerbangkan helaian rambutnya. Mentari menyinarinya seperti lampu sorot. Tapi sorot mata Vie melewatiku dan terpaku pada Val. Cih.Ya, aku punya rahasia yang kusimpan sendiri. Bahkan kedua sobatku tidak mengetahuinya. Awalnya, itu terjadi dua tahun lalu. Saat siswa kelas 10 harus datang lebih awal karena ada acara MOS. Saat itu aku sedang nongkrong di
[Rival Hadiputra]"Pertama, pastiin kaki lo tetep nyentuh tanah. Kaki satunya lagi di atas papan, lebih tepatnya di atas truck, bagian depan papan." di taman kompleks, Arven menjelaskan tata cara bermain skateboard padaku. Aku hanya mengamatinya dengan setengah hati. Aku masih sebal dengan kejadian beberapa jam yang lalu.Saat istirahat siang itu, seperti biasa aku memesan nasi padang pada Ibu Kantin dan duduk di sudut menghadap Damian yang duduk di seberang meja bundar. Josh entah ada di mana, sejak bel baru saja berbunyi ia sudah ngacir seperti orang yang kebelet buang air."Gue harus gimana, nih?" kataku, entah untuk yang ke berapa kali.Damian yang sedang sibuk menggerogoti ayam bakarnya mendelik menatapku. Sepertinya dia risi. Tapi ini karena dianya juga, sih! Ak
[Sevie Andina]Sepertinya hidupku memang tertimpa sial. Bagaimana tidak? Baru kemarin aku jingkrak-jingkrak di kamar karena berhasil jadian dengan Val. Apalagi dia mengucapkan kata-kata yang benar-benar manis yang membuatku terharu. Yep. Walau sudah berkali-kali kutolak, Val ternyata sangat keras kepala dan tetap ingin pacaran denganku. Meskipun dia mengetahui hidupku yang menyedihkan, dia tetap memacariku. Bahkan saat Val mengantarkanku pulang, ia tanpa sungkan mampir ke rumah kontrakanku yang sangat sempit. Dia juga melihat keadaan ibuku dan meminta izin pada beliau untuk memacariku! Gila! Dia benar-benar gentleman!Tapi hari ini ... astaga!Hari ini seharusnya aku bisa pulang cepat, karena biasanya pelanggan yang datang ke kafe tempatku bekerja ha
[Joshlyn Gunawan]Aku melongo memandangi sosok Vie yang menjauh dengan terbirit-birit. Otakku masih perlu waktu untuk mencerna suasana. Beberapa detik berlalu, aku masih tak paham dengan situasinya. Kemudian aku menoleh, memandang Val tak habis pikir. "Dia kenapa?"Val diam sesaat, kemudian berdeham. "Oh, tadi gue sengaja pasang muka zombie.""Lo bego, goblok, apa tolol, sih?" sahutku, tak bermaksud ketus, tapi entah kenapa sekarang aku jadi sensi pada Val. Padahal sebelumnya, aku sedang enak-enak berduaan dengan Vie sampai akhirnya dia datang dan menghancurkan suasana."Kok lo jadi sewot, sih?" kata Val, jelas terlihat heran."Gue bukannya sewot," Aku menyanggah. "Tapi ... ah, yaudahlah!" karena tak tahu harus berkata apa, aku menyibukkan diri dengan kertas-kertas di meja dan bersiap ngacir dari ruang guru sebelum Val berhasil me
[Sevie Andina]Mungkin, 'Sial' adalah nama tengahku. Sevie 'Sial' Andina. Cocok 'kan? Baiklah-baiklah. Akan kujelaskan alasan mengapa aku sudah mengumpat-umpat di sabtu siang yang cerah ini.Semuanya dimulai di hari senin yang paling kubenci. Belum habis masalahku saat Arven tiba-tiba mengajak Val untuk duel skate, aku tiba-tiba dihadang oleh Pak Ahmad saat aku dalam perjalanan menuju kantin.Aku tahu jika guru memanggil pasti ada maunya. Entah itu beliin makanan, mengambil buku, atau ngasih tugas untuk kelas lain. Lah, yang itu aku tidak mau, bisa-bisa aku disuruh menjelaskan tugasnya di depan kelas lain. Malu!"Kamu gak sibuk 'kan?" tanya Pak Ahmad halus."Eum, sebenernya ...." ucapanku lebih dulu terpotong.
[Rival Hadiputra]"Pertama, pastiin kaki lo tetep nyentuh tanah. Kaki satunya lagi di atas papan, lebih tepatnya di atas truck, bagian depan papan." di taman kompleks, Arven menjelaskan tata cara bermain skateboard padaku. Aku hanya mengamatinya dengan setengah hati. Aku masih sebal dengan kejadian beberapa jam yang lalu.Saat istirahat siang itu, seperti biasa aku memesan nasi padang pada Ibu Kantin dan duduk di sudut menghadap Damian yang duduk di seberang meja bundar. Josh entah ada di mana, sejak bel baru saja berbunyi ia sudah ngacir seperti orang yang kebelet buang air."Gue harus gimana, nih?" kataku, entah untuk yang ke berapa kali.Damian yang sedang sibuk menggerogoti ayam bakarnya mendelik menatapku. Sepertinya dia risi. Tapi ini karena dianya juga, sih! Ak
[Joshlyn Gunawan]Sebut saja aku munafik.Aku mengerti bagaimana perasaan Val saat melihat Vie dan Arven yang bertingkah mesra tanpa menyadari kehadiran kami. Namun bukannya menghibur Val dengan kata-kata positif seperti yang dilakukan Damian, aku malah memanggil Vie. Tindakan yang mungkin akan menghancurkan hati Val.Bibirku melengkungkan senyuman saat Vie berjalan menghampiri kami. Angin berhembus dan menerbangkan helaian rambutnya. Mentari menyinarinya seperti lampu sorot. Tapi sorot mata Vie melewatiku dan terpaku pada Val. Cih.Ya, aku punya rahasia yang kusimpan sendiri. Bahkan kedua sobatku tidak mengetahuinya. Awalnya, itu terjadi dua tahun lalu. Saat siswa kelas 10 harus datang lebih awal karena ada acara MOS. Saat itu aku sedang nongkrong di
[Rival Hadiputra]"Aku akan melindungimu, Elizabeth.""Kumohon jangan sakiti siapapun lagi, Meliodas!"Suara televisi memenuhi kamarku. Televisi LED itu menampilkan film anime di mana karakter utamanya sedang sekarat karena melindungi sang pacar. Aku hampir tak berkedip memandangi layar, padahal pikiranku sedang melayang-layang. Tak fokus pada filmnya.Suara dehaman Damian menyadarkan lamunanku, tapi tidak sekeras itu untuk membuatku menoleh. "Val? Lo kenapa, sih? Habis ketemuan sama Vie tiga hari lalu, lo jadi aneh gini." ucapnya. Entah dia khawatir atau hanya penasaran."Bukannya gue emang aneh, ya?" sahutku kalem. Sobatku itu langsung terdiam, dengan begitu aku tak perlu repot-repot menjelaskan padanya tent
[Sevie Andina]"Vie! Sumpah, ya! Gue jadian sama Damian!" Frey menjerit-jerit kegirangan di kantin yang sepi itu. Ia memeluk ponsel dengan kaki bergoyang-goyang. Sementara yang diajak bicara masih sibuk mengisi perutnya. "Pacaran sama Rega ... mimpi apa gue semalem ...? Kyaa!"Aku menelan makanan yang ada di mulutku seraya menatap datar Frey yang sudah duduk. "Kapan jadiannya? Lo jampi-jampi, ya?""Hush! Enak aja!" sahut Frey tak terima, ia mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. "Ini tuh yang namanya the power of pesona Freya!" lanjutnya angkuh."Nyeh, paling dia ngelindur kemarin." Aku menyahut asal, lalu kembali memakan burger dengan lahap. Biasalah, aku perlu mengisi energi sebelum berkutat dengan nama-nama latin di kelas. Lagipula aku sudah bosan dengan Frey y
Mainan yang dulu kita gunakan untuk memohon pada bintang, kini hanya tergeletak di sudut kamar.Aku yakin, baik kamu maupun aku, kita sudah memohon lebih dari seratus.Suatu saat, ayo kita ubah permohonan itu menjadi satu permohonan saja.Aku hanya ingin bersamamu sebentar lagi. Hanya sebentar.Karena semakin lama aku menyimpan momen ini, semakin sedih yang kurasakan saat perpisahan itu tiba.***Ada beberapa hal yang tak bisa Sevie lupakan. Salah satunya adalah hari itu, pagi yang cerah di hari senin."Ma, aku berangkat!" seru Vie yang sudah duduk di atas jok sepeda."Hati-hati, Vie!" sang Mama menyahut dari dalam rumah."Iya!" setelahnya, Sevie langsung mengayuh pedal sepeda dengan kencang seraya melaju cepat di trotoar menuju sekolah.Mentari pagi bersinar terang di antara