[Sevie Andina]
Sepertinya hidupku memang tertimpa sial. Bagaimana tidak? Baru kemarin aku jingkrak-jingkrak di kamar karena berhasil jadian dengan Val. Apalagi dia mengucapkan kata-kata yang benar-benar manis yang membuatku terharu.
Tapi hari ini ... astaga!
Hari ini seharusnya aku bisa pulang cepat, karena biasanya pelanggan yang datang ke kafe tempatku bekerja hari senin hanya sedikit. Padahal aku berencana untuk jalan-jalan bersama Val nanti malam, tapi aku malah harus kerja lembur di jam makan siang. Belum lagi tugas sekolahku menumpuk. Jadilah aku batal kencan dengan Val. Huhuhu ...,
Tidak, tidak, tidak. Kesialanku belum habis sampai di situ.
Malam harinya, usai mengerjakan tugas, Val mengajakku video call. Biasalah. Seperti pacaran jarak jauh begitu, lho. Tapi masalahnya, internet di sekitar rumahku sangat minim. Wajah Val yang seharusnya tampan malah terlihas rusak dan jelek karena videonya macet. Suaranya juga tidak jelas.
Lantas, aku buru-buru berlari keluar rumah. "Menurut kamu gimana, Vie?" tanya Val saat aku sedang sibuk memakai sandal.
Aku menoleh pada layar ponsel dengan panik. "Hah? Apaan? Aku baru aja mau ke Haji Amin, Beib."
Asdfghjklqweyrior. Sumpah. Sial banget 'kan?!
Karena aku sudah terlanjur malu banget, aku pun memutus sambungan video call dan berjongkok pasrah di teras rumah. Arrrggghh. Aku benar-benar malu. Sangat malu sampai-sampai aku ingin menangis.
Aku sudah tahu bahwa Val adalah anggota keluarga Hadiputra. Keluarga kaya. Pemilik perumahan Hadiputra Bukit Sentul yang isinya mansion-mansion semua. Belum lagi perusahaan yang sudah bercabang di mana-mana. Meskipun Val bilang keluarganya bukan keluarga inti yang benar-benar kaya, aku yakin bagiku dan keluarga kecilku, dia sangat-sangat kaya. Rasanya tidak pantas cewek sepertiku menjadi pacarnya.
Di tengah lamunanku, sebuah mobil silver yang mengilap datang dan parkir seenak jidat di depan rumah kontrakanku yang jalannya sempit. Kemudian cowok yang tak pernah kuduga akan datang malam ini, keluar dari mobil itu dan tersenyum sambil menghampiriku. Val berjongkok di hadapanku seraya merapikan poni yang menutupi wajahku. "Malem-malem gini kok di luar? Nanti digigit nyamuk."
Aku mendengus. "Gapapa, kamu ngapain di sini?"
"Aku pengen ketemu kamu." kata Val, aku tidak tahu apakah wajahnya beneran polos atau cuma dipolos-polisin. "Oh, iya. Kamu udah makan? Aku bawain kamu martabak, nih."
"Serius?" galauku langsung lenyap seketika. "Mana? Lia pasti suka."
"Kok Lia? Ini 'kan buat kamu."
"Ya, makannya bareng-bareng, dong. Biar rame." dengan cepat, aku mengambil bungkusan martabak dari tangan Val dan bergegas masuk ke dalam rumah. Omong-omong, yang kumaksud Lia adalah adikku. Alia Andina. Gadis kelas empat SD yang tomboy dan hobi nge-band. Terbukti saat aku masuk ke ruang tamu, Lia sudah duduk di tikar sambil sibuk menyetel senar gitar. Ia hanya memakai celana levis pendek yang longgar dan kaus hitam polos lengan pendek.
"Li, martabak, nih." kataku, lalu dijawab "hmmm" oleh adikku.
Val menyusul masuk dan tanpa malu-malu langsung duduk di sampingku. "Vie," bisiknya, "Adik kamu gak suka martabak?"
"Dia suka kok." Aku balas berbisik. "Cuma jaim aja. Soalnya ada kamu."
Aku terkikik saat Val hanya mengangguk-angguk dengan wajahnya yang polos. Ah, manis banget!
"Itu apa?" Val menunjuk tumpukan origami berbentuk burung yang ada di tengah-tengah tikar.
"Itu origami. Aku sama Lia yang buat."
"Buat apa?"
"Oh, buat permohonan." Aku tertawa saat mengingat hal yang biasa kulakukan dari kecil. Setiap malam, aku selalu membuat origami burung dan menggantungnya di jendela kamar untuk memohon pada bintang. Ibuku bilang, saat aku tertidur pulas, origami itu akan berubah menjadi burung sungguhan dan terbang ke sisi Tuhan untuk menyampaikan permohonan kita. Aku tahu itu konyol, itu hanya imajinasi, tapi rasanya sulit untuk menghentikan kebiasaan.
"Menarik." komentar Val setelah mendengar ceritaku. Ia menatapku dengan senyum separuhnya yang sangat kusukai. "Aku juga mau, dong. Ayo kita gantung sama-sama."
"Eh, Lia juga mau!" akhirnya si cerewet itu buka mulut.
Aku mengangguk dan mengambil semua origami di tikar dan pergi ke kamar. Aku dan Lia memang berbagi kamar, kami tidur di atas futon--tempat tidur Jepang--yang digulung jika tidak digunakan. Kamarku sederhana, hanya ada lemari kayu, meja belajar pendek tanpa kursi dan jendela besar di sampingnya. Saat ini jendela itu sedang terbuka lebar hingga cahaya bulan yang samar menelusup masuk ke kamarku yang gelap. Angin malam berhembus pelan.
Setelah menggantungkan origami burung di jendela, kami bertiga duduk bersisian di depan jendela sambil mengatupkan tangan di depan dada. Aku memejamkan mata, menarik napas dan merapalkan do'a dalam hati. Tuhan. Semoga kami bisa bersama selamanya.
Diam-diam aku membuka mata dan melirik Val yang sedang berdo'a di sampingku. Aku penasaran, kira-kira apa, ya, yang dia minta?
Sial! Val memergokiku sedang memandangnya! Aku buru-buru kembali memejamkan mata.
"Tidur, gih. Adik kamu udah tidur, tuh." aku tahu itu. Aku bisa mendengar dengkuran pulas Lia dari sini. Dasar. Bikin malu saja.
"Aku belum bisa tidur."
"Coba dulu, aku yakin kamu bisa tidur."
Aku menatap Val. Sebenarnya aku memang sudah lelah. Tapi aku masih ingin bersamanya. Haiish. Ya, sudahlah. Masih ada besok.
Aku pun menggelar futon dan berbaring di bawah selimut putih. Val duduk di sampingku, bersandar ke tembok sambil jemarinya memetik senar gitar milik Lia. Melodi lembut yang seperti angin itu membuatku memejamkan mata. Lalu, nyanyian itu terdengar.
Te wo tsunagu to taion ga.
てをつなぐとたいおんが(Saat kita bergandengan tangan)Agatte.
あがって(Aku merona)Mujaki na egao ni tsurarete.
むじゃきなえがおにつられて(Aku tak bisa menahan senyum bersamamu)Hen'na kuchiguse mane shite mitari.
へんなくしぐせしてみたり(Aku menirumu tanpa alasan)Negao wo jitto nagamete itara.
ねがおをじっとながめていたら(Terkadang aku menatapmu yang sedang tertidur)Itsunomanika asa ni natte tari.
いつの間にか朝になってたり(Hanya agar matahari bersinar lagi)Tokubetsu wa tamani de ii you.
とくべつわたまにでいいよう(Setiap hari tidak harus istimewa)Nanigenai nichi jou ga watashi ni totte taisetsu de.
なにげないにちじょうがわたしにとってたいせつで(Aku menghargai kehidupan kita sehari-hari)Sobani iru dake wakaru no.
そばにいるだけわかるの(Hanya bersamamu aku bisa merasakan)Kokoro kara anata ga suki nanda.
こころからあなたはすきなんだ(Perasaanku yang mendalam untukmu)Sunao ni narenai wagamama na watashi.
すなおになれないわがままなわたし(Aku memang tidak pandai menyatakan perasaanku)Dakedo.
だけど(Tapi)Dakara nee.
だからね(Karena itulah)Anata no ookina karada de gyutto.
あなたのおおきなからだでぎゅっと(Peluklah aku dalam dekapanmu dengan erat)Dakiyoshite hanasanaide.
だきよしてはなさいで(Tetaplah mendekat dan jangan lepaskan)Yawarakaku te yasashi koe de.
やわらかくてやさしこえで(Panggillah namaku)Atashi no namae wo yonde.
あたしのなまえをよんで(Dengan suara lembutmu)Aku bisa merasakannya, saat Val membelai lembut rambutku. Aku juga bisa merasakannya mengecup keningku dan berbisik di telinga. "Bulan, permohonan, kita."
Dan barulah kusadari, bahwa bulan bersinar benderang di angkasa. Tanpa bisa ditahan, aku merasa pelupuk mataku menghangat. Ingin rasanya aku membungkus bisikan Val tadi, menyimpannya di hati. Tiga kata yang tak sepenuhnya aku pahami, tapi nyata kami alami saat ini. Bulan. Permohonan. Kami berdua.
Mainan yang dulu kita gunakan untuk memohon pada bintang, kini hanya tergeletak di sudut kamar.Aku yakin, baik kamu maupun aku, kita sudah memohon lebih dari seratus.Suatu saat, ayo kita ubah permohonan itu menjadi satu permohonan saja.Aku hanya ingin bersamamu sebentar lagi. Hanya sebentar.Karena semakin lama aku menyimpan momen ini, semakin sedih yang kurasakan saat perpisahan itu tiba.***Ada beberapa hal yang tak bisa Sevie lupakan. Salah satunya adalah hari itu, pagi yang cerah di hari senin."Ma, aku berangkat!" seru Vie yang sudah duduk di atas jok sepeda."Hati-hati, Vie!" sang Mama menyahut dari dalam rumah."Iya!" setelahnya, Sevie langsung mengayuh pedal sepeda dengan kencang seraya melaju cepat di trotoar menuju sekolah.Mentari pagi bersinar terang di antara
[Sevie Andina]"Vie! Sumpah, ya! Gue jadian sama Damian!" Frey menjerit-jerit kegirangan di kantin yang sepi itu. Ia memeluk ponsel dengan kaki bergoyang-goyang. Sementara yang diajak bicara masih sibuk mengisi perutnya. "Pacaran sama Rega ... mimpi apa gue semalem ...? Kyaa!"Aku menelan makanan yang ada di mulutku seraya menatap datar Frey yang sudah duduk. "Kapan jadiannya? Lo jampi-jampi, ya?""Hush! Enak aja!" sahut Frey tak terima, ia mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. "Ini tuh yang namanya the power of pesona Freya!" lanjutnya angkuh."Nyeh, paling dia ngelindur kemarin." Aku menyahut asal, lalu kembali memakan burger dengan lahap. Biasalah, aku perlu mengisi energi sebelum berkutat dengan nama-nama latin di kelas. Lagipula aku sudah bosan dengan Frey y
[Rival Hadiputra]"Aku akan melindungimu, Elizabeth.""Kumohon jangan sakiti siapapun lagi, Meliodas!"Suara televisi memenuhi kamarku. Televisi LED itu menampilkan film anime di mana karakter utamanya sedang sekarat karena melindungi sang pacar. Aku hampir tak berkedip memandangi layar, padahal pikiranku sedang melayang-layang. Tak fokus pada filmnya.Suara dehaman Damian menyadarkan lamunanku, tapi tidak sekeras itu untuk membuatku menoleh. "Val? Lo kenapa, sih? Habis ketemuan sama Vie tiga hari lalu, lo jadi aneh gini." ucapnya. Entah dia khawatir atau hanya penasaran."Bukannya gue emang aneh, ya?" sahutku kalem. Sobatku itu langsung terdiam, dengan begitu aku tak perlu repot-repot menjelaskan padanya tent
[Joshlyn Gunawan]Sebut saja aku munafik.Aku mengerti bagaimana perasaan Val saat melihat Vie dan Arven yang bertingkah mesra tanpa menyadari kehadiran kami. Namun bukannya menghibur Val dengan kata-kata positif seperti yang dilakukan Damian, aku malah memanggil Vie. Tindakan yang mungkin akan menghancurkan hati Val.Bibirku melengkungkan senyuman saat Vie berjalan menghampiri kami. Angin berhembus dan menerbangkan helaian rambutnya. Mentari menyinarinya seperti lampu sorot. Tapi sorot mata Vie melewatiku dan terpaku pada Val. Cih.Ya, aku punya rahasia yang kusimpan sendiri. Bahkan kedua sobatku tidak mengetahuinya. Awalnya, itu terjadi dua tahun lalu. Saat siswa kelas 10 harus datang lebih awal karena ada acara MOS. Saat itu aku sedang nongkrong di
[Rival Hadiputra]"Pertama, pastiin kaki lo tetep nyentuh tanah. Kaki satunya lagi di atas papan, lebih tepatnya di atas truck, bagian depan papan." di taman kompleks, Arven menjelaskan tata cara bermain skateboard padaku. Aku hanya mengamatinya dengan setengah hati. Aku masih sebal dengan kejadian beberapa jam yang lalu.Saat istirahat siang itu, seperti biasa aku memesan nasi padang pada Ibu Kantin dan duduk di sudut menghadap Damian yang duduk di seberang meja bundar. Josh entah ada di mana, sejak bel baru saja berbunyi ia sudah ngacir seperti orang yang kebelet buang air."Gue harus gimana, nih?" kataku, entah untuk yang ke berapa kali.Damian yang sedang sibuk menggerogoti ayam bakarnya mendelik menatapku. Sepertinya dia risi. Tapi ini karena dianya juga, sih! Ak
[Sevie Andina]Mungkin, 'Sial' adalah nama tengahku. Sevie 'Sial' Andina. Cocok 'kan? Baiklah-baiklah. Akan kujelaskan alasan mengapa aku sudah mengumpat-umpat di sabtu siang yang cerah ini.Semuanya dimulai di hari senin yang paling kubenci. Belum habis masalahku saat Arven tiba-tiba mengajak Val untuk duel skate, aku tiba-tiba dihadang oleh Pak Ahmad saat aku dalam perjalanan menuju kantin.Aku tahu jika guru memanggil pasti ada maunya. Entah itu beliin makanan, mengambil buku, atau ngasih tugas untuk kelas lain. Lah, yang itu aku tidak mau, bisa-bisa aku disuruh menjelaskan tugasnya di depan kelas lain. Malu!"Kamu gak sibuk 'kan?" tanya Pak Ahmad halus."Eum, sebenernya ...." ucapanku lebih dulu terpotong.
[Joshlyn Gunawan]Aku melongo memandangi sosok Vie yang menjauh dengan terbirit-birit. Otakku masih perlu waktu untuk mencerna suasana. Beberapa detik berlalu, aku masih tak paham dengan situasinya. Kemudian aku menoleh, memandang Val tak habis pikir. "Dia kenapa?"Val diam sesaat, kemudian berdeham. "Oh, tadi gue sengaja pasang muka zombie.""Lo bego, goblok, apa tolol, sih?" sahutku, tak bermaksud ketus, tapi entah kenapa sekarang aku jadi sensi pada Val. Padahal sebelumnya, aku sedang enak-enak berduaan dengan Vie sampai akhirnya dia datang dan menghancurkan suasana."Kok lo jadi sewot, sih?" kata Val, jelas terlihat heran."Gue bukannya sewot," Aku menyanggah. "Tapi ... ah, yaudahlah!" karena tak tahu harus berkata apa, aku menyibukkan diri dengan kertas-kertas di meja dan bersiap ngacir dari ruang guru sebelum Val berhasil me
[Sevie Andina]Sepertinya hidupku memang tertimpa sial. Bagaimana tidak? Baru kemarin aku jingkrak-jingkrak di kamar karena berhasil jadian dengan Val. Apalagi dia mengucapkan kata-kata yang benar-benar manis yang membuatku terharu. Yep. Walau sudah berkali-kali kutolak, Val ternyata sangat keras kepala dan tetap ingin pacaran denganku. Meskipun dia mengetahui hidupku yang menyedihkan, dia tetap memacariku. Bahkan saat Val mengantarkanku pulang, ia tanpa sungkan mampir ke rumah kontrakanku yang sangat sempit. Dia juga melihat keadaan ibuku dan meminta izin pada beliau untuk memacariku! Gila! Dia benar-benar gentleman!Tapi hari ini ... astaga!Hari ini seharusnya aku bisa pulang cepat, karena biasanya pelanggan yang datang ke kafe tempatku bekerja ha
[Joshlyn Gunawan]Aku melongo memandangi sosok Vie yang menjauh dengan terbirit-birit. Otakku masih perlu waktu untuk mencerna suasana. Beberapa detik berlalu, aku masih tak paham dengan situasinya. Kemudian aku menoleh, memandang Val tak habis pikir. "Dia kenapa?"Val diam sesaat, kemudian berdeham. "Oh, tadi gue sengaja pasang muka zombie.""Lo bego, goblok, apa tolol, sih?" sahutku, tak bermaksud ketus, tapi entah kenapa sekarang aku jadi sensi pada Val. Padahal sebelumnya, aku sedang enak-enak berduaan dengan Vie sampai akhirnya dia datang dan menghancurkan suasana."Kok lo jadi sewot, sih?" kata Val, jelas terlihat heran."Gue bukannya sewot," Aku menyanggah. "Tapi ... ah, yaudahlah!" karena tak tahu harus berkata apa, aku menyibukkan diri dengan kertas-kertas di meja dan bersiap ngacir dari ruang guru sebelum Val berhasil me
[Sevie Andina]Mungkin, 'Sial' adalah nama tengahku. Sevie 'Sial' Andina. Cocok 'kan? Baiklah-baiklah. Akan kujelaskan alasan mengapa aku sudah mengumpat-umpat di sabtu siang yang cerah ini.Semuanya dimulai di hari senin yang paling kubenci. Belum habis masalahku saat Arven tiba-tiba mengajak Val untuk duel skate, aku tiba-tiba dihadang oleh Pak Ahmad saat aku dalam perjalanan menuju kantin.Aku tahu jika guru memanggil pasti ada maunya. Entah itu beliin makanan, mengambil buku, atau ngasih tugas untuk kelas lain. Lah, yang itu aku tidak mau, bisa-bisa aku disuruh menjelaskan tugasnya di depan kelas lain. Malu!"Kamu gak sibuk 'kan?" tanya Pak Ahmad halus."Eum, sebenernya ...." ucapanku lebih dulu terpotong.
[Rival Hadiputra]"Pertama, pastiin kaki lo tetep nyentuh tanah. Kaki satunya lagi di atas papan, lebih tepatnya di atas truck, bagian depan papan." di taman kompleks, Arven menjelaskan tata cara bermain skateboard padaku. Aku hanya mengamatinya dengan setengah hati. Aku masih sebal dengan kejadian beberapa jam yang lalu.Saat istirahat siang itu, seperti biasa aku memesan nasi padang pada Ibu Kantin dan duduk di sudut menghadap Damian yang duduk di seberang meja bundar. Josh entah ada di mana, sejak bel baru saja berbunyi ia sudah ngacir seperti orang yang kebelet buang air."Gue harus gimana, nih?" kataku, entah untuk yang ke berapa kali.Damian yang sedang sibuk menggerogoti ayam bakarnya mendelik menatapku. Sepertinya dia risi. Tapi ini karena dianya juga, sih! Ak
[Joshlyn Gunawan]Sebut saja aku munafik.Aku mengerti bagaimana perasaan Val saat melihat Vie dan Arven yang bertingkah mesra tanpa menyadari kehadiran kami. Namun bukannya menghibur Val dengan kata-kata positif seperti yang dilakukan Damian, aku malah memanggil Vie. Tindakan yang mungkin akan menghancurkan hati Val.Bibirku melengkungkan senyuman saat Vie berjalan menghampiri kami. Angin berhembus dan menerbangkan helaian rambutnya. Mentari menyinarinya seperti lampu sorot. Tapi sorot mata Vie melewatiku dan terpaku pada Val. Cih.Ya, aku punya rahasia yang kusimpan sendiri. Bahkan kedua sobatku tidak mengetahuinya. Awalnya, itu terjadi dua tahun lalu. Saat siswa kelas 10 harus datang lebih awal karena ada acara MOS. Saat itu aku sedang nongkrong di
[Rival Hadiputra]"Aku akan melindungimu, Elizabeth.""Kumohon jangan sakiti siapapun lagi, Meliodas!"Suara televisi memenuhi kamarku. Televisi LED itu menampilkan film anime di mana karakter utamanya sedang sekarat karena melindungi sang pacar. Aku hampir tak berkedip memandangi layar, padahal pikiranku sedang melayang-layang. Tak fokus pada filmnya.Suara dehaman Damian menyadarkan lamunanku, tapi tidak sekeras itu untuk membuatku menoleh. "Val? Lo kenapa, sih? Habis ketemuan sama Vie tiga hari lalu, lo jadi aneh gini." ucapnya. Entah dia khawatir atau hanya penasaran."Bukannya gue emang aneh, ya?" sahutku kalem. Sobatku itu langsung terdiam, dengan begitu aku tak perlu repot-repot menjelaskan padanya tent
[Sevie Andina]"Vie! Sumpah, ya! Gue jadian sama Damian!" Frey menjerit-jerit kegirangan di kantin yang sepi itu. Ia memeluk ponsel dengan kaki bergoyang-goyang. Sementara yang diajak bicara masih sibuk mengisi perutnya. "Pacaran sama Rega ... mimpi apa gue semalem ...? Kyaa!"Aku menelan makanan yang ada di mulutku seraya menatap datar Frey yang sudah duduk. "Kapan jadiannya? Lo jampi-jampi, ya?""Hush! Enak aja!" sahut Frey tak terima, ia mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. "Ini tuh yang namanya the power of pesona Freya!" lanjutnya angkuh."Nyeh, paling dia ngelindur kemarin." Aku menyahut asal, lalu kembali memakan burger dengan lahap. Biasalah, aku perlu mengisi energi sebelum berkutat dengan nama-nama latin di kelas. Lagipula aku sudah bosan dengan Frey y
Mainan yang dulu kita gunakan untuk memohon pada bintang, kini hanya tergeletak di sudut kamar.Aku yakin, baik kamu maupun aku, kita sudah memohon lebih dari seratus.Suatu saat, ayo kita ubah permohonan itu menjadi satu permohonan saja.Aku hanya ingin bersamamu sebentar lagi. Hanya sebentar.Karena semakin lama aku menyimpan momen ini, semakin sedih yang kurasakan saat perpisahan itu tiba.***Ada beberapa hal yang tak bisa Sevie lupakan. Salah satunya adalah hari itu, pagi yang cerah di hari senin."Ma, aku berangkat!" seru Vie yang sudah duduk di atas jok sepeda."Hati-hati, Vie!" sang Mama menyahut dari dalam rumah."Iya!" setelahnya, Sevie langsung mengayuh pedal sepeda dengan kencang seraya melaju cepat di trotoar menuju sekolah.Mentari pagi bersinar terang di antara