Mereka berpikir malam ini akan jadi awal dari kejayaan. Mereka berpikir malam ini akan punya segunung harta yang nanti digunakan untuk membangun istana di pesisir timur guna mengokohkan wilayah kekuasaan. Mereka berpikir malam ini akan penuh dengan suka cita, berpesta sampai pagi dan tidur bersama wanita-wanita cantik.
Akan tetapi, itu hanya apa yang mereka pikir.
Kenyataan yang tersaji jauh daripada itu.
Sebuah pengkhianatan licik dari kelompok yang awalnya dikira sebagai rekan, kini membelot kepada para pendekar dan bersikeras menghancurkan mereka.
Long Wei memutus tali kapal yang tertambat di dermaga, bahkan sebelum ayahnya menurunkan perintah.
“Mundur!” teriaknya. “Kembali ke air. Menjauh dari daratan.”
Belasan anak buah ayahnya yang belum sempat naik ke kapal segera melompat. Beberapa yang masih tertinggal harus berenang menerjang arus sungai Bai He sejauh beberapa kaki sebelum naik dengan susah payah.
“Tembakkan anak panah!” Long Wei berteriak lagi melihat perahu-perahu mulai mengejar. “Bentangkan layar. Cepat! Cepat!”
Layar hitam yang bertuliskan “Hantu Samudra” dan ditulis menggunakan tinta putih berkibar tertiup angin menuju ke laut lepas.
Long Wei menghampiri ayahnya yang mengamati dalam diam di buritan kapal.
“Ayah, orang-orang Zhu tidak mau melepaskan kita.”
Ayahnya memukul pagar pembatas kapal. “Bedebah. Pengkhianat!” katanya geram. “Terus berlayar ke timur, ke laut lepas.” Meskipun demikian, Long Jian, ayah Long Wei tahu kalau tak ada pilihan selain melawan karena mereka sudah terkepung. Perahu-perahu kecil bisa mengejar lebih cepat.
Sebelum Long Wei berbalik untuk melaksanakan perintah, tiba-tiba terdengar suara keras disusul robohnya salah satu tiang kapal. Long Wei memekik ngeri ketika melihat siapa yang telah meruntuhkan tiang sebesar itu. Di belakangnya, Long Jian menggeram.
“Tangan Maut, kau pendusta!”
Orang itu berdiri di atas tiang kapal yang patah, dikepung oleh anak buah Long Jian yang telah siap dengan golok dan tombak. Namun, si Tangan Maut mengeluarkan kekehannya yang menyebalkan.
“Aku tak mau mendengar itu dari mulut bajak laut rendahan.”
Long Jian mencabut pedang besar dan melompat, tubuhnya melayang seperti burung raksasa. Di sisi lain si Tangan Maut terkekeh makin keras, ikut melompat pula.
Bentrokan di udara menciptakan gelombang kejut yang menyebar ke segenap penjuru. Beberapa orang yang terlalu dekat sampai jatuh terduduk karena tak kuat menahan tabrakan tenaga dalam mereka.
Tubuh keduanya melayang turun. Tepat setelah menjejak geladak kapal, mereka kembali saling terjang.
“Wei ji (anak Wei) hadapi mereka!”
(Akhiran “-ji” saat memanggil seorang anak biasa dilakukan orang tua untuk menunjukkan kasih sayang dan keakraban mereka.)
Long Wei menoleh, ternyata orang-orang dari bajak laut “Iblis Laut” telah naik ke lambung kapal.
Long Wei mencabut pedang dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Maju!”
Pertempuran hebat pun tak terelakkan. Long Wei dikawal oleh dua orang anggota pilihan dari bajak laut Hantu Samudra, menghadapi terjangan para lawan. Tubuhnya yang hanya setinggi pundak orang dewasa mampu bergerak gesit ke sana kemari menghindari serangan sekaligus membalas dengan tebasan atau tusukan.
Akan tetapi, perhatiannya terpecah saat melihat perkembangan dari pertarungan Long Jian. Ayahnya itu semakin terdesak dengan ilmu silat Tangan Maut yang aneh luar biasa.
Padahal hanya menggunakan tangan kosong dibantu lengan jubahnya yang lebar, Tangan Maut mampu menghadapi pedang besar Long Jian tanpa rasa takut sedikit pun. Telapak kaki orang itu tak pernah menyentuh geladak secara bersamaan, pasti salah satunya melakukan gerakan menendang atau sekadar terangkat untuk menipu lawan. Tak jarang pula tubuh Tangan Maut berputaran lalu tahu-tahu satu pukulan mendarat di pundak Long Jian.
Ketika pertempuran sedang memanas, terlihat bayangan putih melayang di atas kapal. Ketika turun, gelegar suaranya yang mengguntur mampu menulikan mereka untuk beberapa saat.
Dan tiba-tiba … Braaakkk!!, kapal itu terbelah jadi dua.
“Penipu!” Long Wei tak mampu menahan kemarahannya melihat muka pria tua tersebut. “Beginikah sikap pendekar yang katanya gagah berani, pembela kebenaran? Beginikah para pendekar gagah yang tak hanya jago bertempur, tapi juga jago menipu?”
“Diam, bocah ingusan.” Suaranya berwibawa, penuh getaran. “Untuk melenyapkan bajak laut tak berguna yang selalu menakuti orang-orang, semua cara diperbolehkan.”
“Dasar tak tahu diri! Kami lebih punya harga diri dibanding kalian—akh!”
Long Wei terpaksa berguling ke depan, tempat kapal itu miring ke air hingga hampir tenggelam, saat ada sabetan pedang dari belakang.
“Sial!” Long Wei bergelantungan pada kayu kapal yang hampir patah. Kurang satu tindakan kecil saja maka ia akan benar-benar jatuh ke dalam air.
Hatinya digerogoti rasa ngeri saat melihat pemimpin bajak laut Iblis Laut—orang bermarga Zhu—yang datang ke arahnya menggunakan perahu kecil. Long Wei mampu melihat seringai kecil di wajah pria tersebut.
“Pengkhianat,” geram Long Wei.
Dua anggota Hantu Samudra merosot turun, berniat menolongnya. Namun tepat sebelum mereka sampai, orang yang tadi menyerang Long Wei dari belakang telah menusuk mereka.
“Sial … sialan!”
Tanpa diduga, sesosok tubuh penuh darah tercebur ke sungai dan hampir menabrak tubuh Long Wei yang masih bergelantungan. Air membumbung tinggi dan Long Wei terbelalak, mencoba tidak percaya apa yang dilihatnya secara sepintas tadi.
Akan tetapi ketika tubuh itu muncul kembali ke permukaan, tampak wajah seorang pria paruh baya yang tidak asing lagi di mata Long Wei. Seorang pria dengan jenggot tebal dan mata terbelalak.
“Ayaaaahhh!!!” pekik Long Wei histeris.
Pemuda itu kembali berteriak ngeri ketika kayu yang jadi pegangannya patah, lebih tepatnya dipatahkan. Tubuhnya jatuh ke aliran sungai Bai He yang cukup deras.
Dia menelan cukup banyak air sebelum dengan panik mencoba muncul ke permukaan. Kiranya dia sudah terseret lumayan jauh. Pertempuran masih berlanjut di kapal yang telah miring dan terbawa arus sungai itu. Daripada disebut pertempuran, pemandangan di sana lebih tepat disebut sebagai pembantaian.
Air mata Long Wei menetes tanpa sadar, melihat tubuh ayahnya di sisi lain sungai yang alirannya jauh lebih deras.
Dengan penuh kemarahan, Long Wei memandang pria tua berjubah putih di atas kapal yang kini berdiri bersisihan dengan si Tangan Maut yang memakai pakaian serba hitam. Mereka berdua sedang memandangnya.
“Datanglah lagi dan ambil kepala kami beberapa tahun nanti bila kau memang sudah siap.” Suara pria tua berjubah putih itu menggema sampai jauh karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam.
Pemimpin bajak laut Iblis Laut yang pedangnya sudah berlumur darah itu ikut tertawa bergelak, sengaja dikeras-keraskan.
Tubuh Long Wei hanyut sampai jauh sekali dan ingatan terakhirnya adalah sumpahnya sendiri untuk memenggal kepala tiga orang tersebut.
***
Pagi hari, tepat ketika cahaya pertama sang fajar muncul di balik gunung tinggi sebelah timur, kakek bercaping yang kelihatan seperti orang bosan hidup itu keluar dari pondok kecilnya.
Kulitnya keriput, rambutnya panjang dan berwarna putih, begitu juga dengan alis, kumis dan jenggot. Ia meregangkan tubuh selama beberapa saat kemudian mengambil alat pancing di samping pondoknya.
“Mungkin hari ini hanya dapat satu atau dua ikan,” gumamnya memandang langit berawan. Keningnya tiba-tiba berkerut. “Itu kalau beruntung.”
Ia berjalan menuju sungai. Punggungnya sedikit bungkuk karena usia, tapi langkahnya masih mantap dan cepat.
Tiba di tepi sungai Bai He, ia disambut suara gemuruh air deras yang menghantam bebatuan hitam. Kakek ini memilih salah satu batu yang paling besar, paling tinggi dan paling halus. Ia memasang umpan di ujung kail lalu melemparnya ke tengah sungai. Sesaat kemudian, duduk menunggu sambil menghela napas berkali-kali.
Waktu yang berjalan tidak cukup lama, bahkan belum sampai satu pembakaran dupa ketika tiba-tiba kakek itu terbelalak dan berseru keras.
“Ini hari keberuntunganku!” Ia mencengkeram pancing bambunya. “Ini hari baik!” Dan sambil tertawa-tawa, ia menariknya kuat-kuat.
Sebuah benda hitam besar meluncur ke udara, membuat si kakek melongo lebar. Awalnya ia berpikir itu ikan raksasa, tapi hanya orang tolol saja yang mengira kalau benda sebesar itu memang ikan. Dan lebih tolol lagi orang yang menganggap kalau itu adalah buaya karena ia punya rambut dan tak berekor.
“Setan!” Kakek itu melompat ke belakang. Gerakannya lincah dan tangkas.
Akan tetapi saat “tangkapannya” melayang makin dekat, ia akhirnya sadar bahwa kail pancingnya tersangkut ke jubah sesosok manusia. Kini wajahnya memucat karena manusia itu jatuh dengan kepala lebih dulu menuju batu hitam tempatnya duduk.
“Hyaat!” ia berseru lantang.
Dalam gerakan-gerakan indah, tubuh kakek itu melayang di udara, berputaran. Di saat berikutnya ia sudah menangkap tubuh orang malang tersebut di bagian kerah.
Kakek ini segera menjatuhkan tubuh “tangkapannya” ke tanah dan meninju perutnya. Seketika air menyembur keluar dari mulut orang tersebut.
Kakek ini menyibak rambutnya, ternyata masih amat muda, mungkin lima belas tahunan.
Ia terkejut dan terlonjak saat mata itu tiba-tiba membuka.
Pemuda itu berseru. “Bajingan pendusta!”
Spontan, kakek itu mengumpat. “Setan kecil tak tahu terima kasih!”
“Makanlah.”Long Wei menatap ikan setengah gosong itu dengan ketertarikan yang hampir tidak ada, tapi dia tetap menerimanya semata-mata hanya karena nyanyian perut yang tak mau diam.Yang Feng, kakek bercaping yang telah “menyelamatkan” Long Wei itu memakan ikan bakar jatahnya sendiri. Sambil terus mengunyah, ia melempar satu pertanyaan yang seketika membuat amarah Long Wei datang kembali. “Jadi, apa yang telah kaulakukan sampai hanyut di sungai?”Pikirannya memutar kembali kenangan tadi malam yang baru saja terjadi. Seperti dipertontonkan persis di depan matanya, ketika ayahnya jatuh ke sungai dalam keadaan tak bernyawa, dan tantangan kedua pendekar besar.Mata Long Wei menyusuri sungai Bai He lalu melihat sekeliling. Akhirnya dia tahu mengapa tak ada mayat lain yang lewat atau potongan-potongan kapal. Kiranya dia sudah terseret arus yang menuju ke belokan arah tenggara, dan mungkin sekali sisa-sisa pertempuran itu mengarah barat.“Aku sedang naik kapal, dan diserang para bajak sunga
Cukup melelahkan ketika semalaman harus dikejar oleh satu desa karena ketahuan mencuri sepeti harta. Peti itu kecil saja, bahkan dua tangan pun terlalu besar untuk memegangnya, tapi harus Long Wei akui kalau isinya tidak main-main.Berbagai perhiasan seperti kalung, cincin, anting, gelang, dan pernak-pernik lainnya. Long Wei bahkan sampai bingung harus ia apakan harta sebanyak ini.“Dijual sajalah,” gumamnya tanpa sadar tepat ketika makanan yang ia pesan dihidangkan di atas meja.Pelayan itu membungkuk singkat sebelum pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan pelanggan lain.Warung ini berada di persimpangan yang cukup strategis. Walau di sekelilingnya masih berupa hutan lebat, tapi jarak ke desa terdekat tak sampai lima li. Hal ini membuat para pengelana tak perlu mampir ke desa-desa itu jika hanya untuk sekadar mengisi perut.Long Wei memilih singgah di tempat ini karena tujuan itu. Dia hanya akan mengisi perut sejenak sebelum kembali melanjutkan perjalanan.“Sudah sekitar dua minggu
Naik kuda tunggangan yang diambil dari kedua prajurit pingsan, Yang Feng membawa Long Wei menjauhi tempat itu. Melihat dari arah bayangan, mereka saat ini sedang menuju ke utara.Long Wei terus mengikuti sosok kakek berpakaian prajurit kekaisaran itu yang sejak tadi tidak mengatakan apa pun. Sebenarnya dia juga tak terlalu peduli hendak pergi ke mana, Long Wei tidak punya tujuan pasti.Yang Feng menghentikan laju kudanya di anak sungai kecil yang masih tersambung dengan sungai di belakang warung tadi. Ia menengok ke segala penjuru terlebih dahulu untuk memastikan keadaan benar-benar aman. Setelah merasa yakin, kakek itu melompat turun dan duduk di atas rumput tebal.“Jadi, apa itu tadi?” Long Wei masih tidak mengerti dengan semuanya.Yang Feng terkekeh. “Kau terlalu waspada kepadaku, nak.” Ia melihat jarak mereka terpisah kurang lebih dua tombak dengan Long Wei yang telah meraba gagang pedangnya. “Aku hanya ingin bilang terima kasih.”Wajah Long Wei berubah seketika. Mulutnya terbuka l
Karena tempat tinggal Yang Feng sebelumnya sudah tak aman lagi, maka mereka pergi mengembara ke banyak tempat. Perjalanan dilakukan menggunakan kuda yang sama, menuju utara.Ketika Long Wei menanyakan alasan kenapa mereka pergi ke utara, Yang Feng menjawab kalau tak ada alasan pasti. Satu hal pasti adalah sangat berbahaya bila terlalu dekat dengan ibu kota yang ada di wilayah barat, berdiri di kaki pegunungan Yuling.Walau Long Wei ikut Yang Feng bukan karena sungguh-sungguh ingin jadi murid melainkan karena balas dendam dan sedikit balas budi, tapi ia tetap patuh akan segala perintah Yang Feng. Ketika mereka harus tidur beratapkan langit, Long Wei yang akan mencarikan kayu bakar dan makanan untuk mereka berdua. Ketika sampai di desa, mereka biasanya akan membantu siapa saja yang membutuhkan untuk mendapat uang, Long Wei amat rajin untuk itu. Karena inilah Yang Feng makin merasa sayang dan kasihan kepada pemuda tersebut, apalagi setelah ia mendengar masa lalu Long Wei.Namun selama ha
Desa Qinglang jadi gempar karena terkejut dengan kedatangan perwira Kai yang terlalu tiba-tiba. Dua puluh orang berpakaian prajurit lengkap dengan menunggang kuda-kuda gagah, itulah pasukan pimpinan Perwira Kai yang dibawa ke desa Qinglan.Keadaan semakin gempar ketika perwira itu melukai seorang perempuan yang mereka semua tahu sebagai istri dari Lu Taihiap (Pendekar Lu). Beberapa pemuda mencoba untuk membela Mei Mei, tapi mereka hanya mendapat pukulan yang lebih keras dari bawahan perwira Kai.Kini, keadaan kembali gempar karena kedatangan Yang Feng yang mengirimkan suara berisi tenaga dalam, membuat suaranya jadi lebih keras beberapa kali lipat.“Siapa di sini yang dipanggil Perwira Kai?”Ayam-ayam berkokok dan lari ketakutan. Babi, sapi, kambing, serta hewan-hewan ternak lain merunduk dengan ngeri setelah datang bentakan yang seolah turun dari langit. Tak lama kemudian terdengar ringkik kuda dari salah satu sisi desa, Yang Feng segera menoleh ke sumber suara untuk menemukan sekump
Gerbang desa sudah tampak di depan sana, tinggal beberapa langkah lagi. Akan tetapi, sepintas pemikiran menghantam kepalanya sampai membuat kening Long Wei mengkerut. Baru teringat olehnya selama pertempuran tadi sama sekali tak tampak batang hidung perwira Kai.“Ke mana dia?” Pemuda itu menghentikan larinya di depan sebuah rumah, membuat penghuninya makin ketakutan dan cepat-cepat bersembunyi.Matanya menyapu segenap penjuru untuk mencari keberadaan perwira Kai kalau-kalau orang itu justru diam-diam mengikutinya. Long Wei mencabut pedang pendek dan bersiap dengan kuda-kuda.Sepintas pemikiran kembali menghantam kepalanya tak lama kemudian. “Jangan-jangan ….” Long Wei langsung berlari menuju rumah Lu Kwan. ***Menggunakan golok besarnya, Lu Kwan menebas kepala Yang Feng sekuat tenaga. Sungguh golok itu tak bisa dianggap main-main karena senjata itulah yang mengangkat Lu Kwan menjadi pendekar tersohor berjuluk Lu Taihiap.Y
Walau sedang dalam keadaan terluka yang cukup parah, tapi Yang Feng tetaplah seorang pendekar besar yang berjuluk Tapak Baja. Kepekaannya terhadap sekitar telah tinggi sekali sehingga tebasan pedang Cang Er mampu ia rasakan dengan jelas.Pedang itu berhenti dan bergetar saat tangan Yang Feng menahannya menggunakan dua jari tangan. Cang Er berseru kaget dan mencoba menarik pedangnya, tapi tak berhasil.Sedangkan Yang Feng hanya tersenyum lembut, sama sekali tidak menunjukkan ekspresi marah. “Maafkan aku, nak … ini salahku yang tak bisa melindungi kalian.”Cang Er mematung selama beberapa saat sebelum jatuh berlutut sambil menutup muka dengan dua tangan. Pundaknya bergetar hebat diiringi isak tangis memilukan. Hati Yang Feng sakit sekali mendengarnya.Long Wei menghela napas lega saat melihat Yang Feng baik-baik saja. Ia menghampiri mereka.“Kau tak apa, kek?” tanyanya.Yang Feng menggeleng. “Luka dalamku bertambah, ini sungguh tidak baik. Setelah ini kita akan mampir ke rumah Setan Sak
Yang Feng tidak langsung mengajari sesuatu kepada Long Wei karena dia ingin mengetahui kesetiaan dan kepatuhan pemuda itu. Walau waktu yang berlalu belum begitu lama, tapi Long Wei telah membuktikan bahwa ia berani mempertaruhkan nyawa dengan menghadapi serbuan para prajurit perwira Kai.Di sisi lain, keributan itu juga memaksa Yang Feng untuk menurunkan ilmu lebih cepat dari yang sudah ia rencanakan. Maka dari itulah perjalanan menuju tempat Setan Sakti sangat lama karena mereka harus sering berhenti di tengah jalan agar Yang Feng dapat mengajarkan sesuatu kepada Long Wei.“Yang kulihat, kau sama sekali tidak mengeluarkan tenaga dalam,” komentarnya di pagi kelabu pada hari kedua perjalanan mereka menuju kediaman Setan Sakti. “Kau tidak mengeluarkan tenaga dalam,” ulangnya.Long Wei yang tadi baru saja disuruh memukul telapak tangan Yang Feng itu mengerutkan kening. “Tapi begitulah yang ayahku ajarkan.”Yang Feng menggeleng. “Itu bukan tenaga dalam tapi hanya tenaga luar saja. Kau mam
Andai saja tidak berwajah terlalu pucat dan mengeluarkan banyak darah, orang itu sejatinya memiliki bentuk wajah yang tampan. Cang Er bisa mengenalnya karena dulu waktu pembasmian kelompok Zhu Ren orang itu juga ikut serta bahkan menjadi salah satu tokoh penting. Dia bukan lain adalah Siauw Ki, seorang murid Perguruan Taring Naga yang lihai.Pemuda itu terbaring lemas dengan napas pendek-pendek. Sesekali ia meringis kesakitan saat kakek tabib mengoleskan sesuatu ke lukanya. Keadaan Siauw Ki amat memprihatinkan, jika saja dia bukan seorang yang lihai, kiranya tidak terlalu berlebihan jika dikatakan saat ini dia pasti sudah mati dengan luka seperti itu.“Biar kubantu.” Jit Kauw maju ke tepi pembaringan. Tanpa permisi dan minta persetujuan, ia langsung menggerakkan telunjuk jari tangan yang bergerak cepat menotok sana-sini. Seketika darah yang tadi mengucur berhenti mengalir. Ini memudahkan tabib tersebut.“Air panas,” kata tabib itu sambil tergopoh-gopoh menghampiri panci di atas meja.
Mereka diberi kuda-kuda terbaik yang dimiliki Gagak Putih serta bekal selama perjalanan. Mereka tidak tahu seberapa lama perjalanan ini akan berlangsung karena tempat itu demikian jauh, Cao Yin memperkirakan tak mungkin kurang dari dua bulan. Maka dari itu mereka juga mengantongi banyak uang.Tindakan itu sebenarnya sedikit mengkhawatirkan mengingat keadaan saat ini yang serba kacau. Namun, itu perintah guru mereka, apa boleh buat.Pagi hari itu Cang Er dan Liang Kun sudah meninggalkan wilayah Gagak Putih untuk menuju utara. Kepergian dua murid pribadi ketua perguruan tentu diiringi lambaian tangan dan sorak-sorai membahana. Semua orang mendoakan agar mereka lekas pulang dalam keadaan selamat tentunya.Dalam perjalanan ini, berbagai desa dan kota dilewati. Sungai-sungai kecil dan besar diseberangi. Beberapa kali ada bandit menghadang, tapi hanya berakhir tumbang entah tanpa nyawa atau sengaja dilepaskan. Dua tokoh Perguruan Gagak Putih ini selama perjalanan juga terus melatih ilmu sil
Ia mainkan ilmu silat Berkah Dewi khas milik Gagak Putih. Seharusnya tampak cahaya bersinar terang di masing-masing tangan ketika siapa pun mainkan ilmu silat ini. Akan tetapi, Cang Er mendapati satu keanehan pagi hari itu. Ketika ia berlatih di hutan belakang Perguguran Gagak Putih, saat ia mengerahkan tenaga dari Berkah Dewi tangan kanannya diliputi cahaya putih sedangkan tangan kirinya terselubung cahaya hitam.Cang Er bahkan sampai ngeri melihat perubahan dalam dirinya sendiri. Ketika ia mencoba memukul roboh sebatang pohon yang tak begitu tinggi, hasilnya pun luar biasa lain. Saat terkena tangan kanan, pohon itu langsung pecah berhamburan dan tumbang. Namun, ketika ia memukul menggunakan tangan kiri yang bercahaya hitam, pohon itu tumbang perlahan-lahan. Walau begitu efek yang ditimbulkan tangan kiri ini lebih mengerikan karena saat batang pohon itu tumbang, bagian dalamnya sudah menghitam seperti terbakar dan berubah jadi semacam bubuk halus.“Gila, dari mana kekuatan terkutuk i
Liang Kun sudah berulang kali memberitahunya untuk tetap berdiam di kamar selama beberapa waktu, tapi rasa penasaran yang mengeram di hati seolah sudah tidak sabar untuk dikemukakan.Cang Er selalu merasa gelisah dalam kamarnya ketika mengingat kata-kata Zhu Ren. Bajak laut itu dengan lancang berani bilang kalau gurunya juga seorang pengecut karena meminta bantuan golongan hitam untuk menggempur bajak laut Hantu Samudera. Tentu saja Cang Er tidak percaya begitu saja, maka dari itu malam ini dia dengan langkah buru-buru mendatangi tempat Cao Yin.Pintu diketuk tiga kali dan membuka perlahan. Di sana tampak Cao Yin yang mengenakan jubah serba putih sedang duduk bersila di atas bantalan empuk. Tanpa ragu, Cang Er masuk lantas menjura hormat.“Guru.”Cao Yin mengelus jenggot panjangnyanya. Dengan muka tenang, ia berkata. “Kau masih belum sembuh, kenapa malam-malam justru memaksakan diri untuk datang ke sini?”“Sebenarnya saya sudah ingin mengatakan ini kepada guru sejak pertama kali kami
Orang itu menoleh sedikit, sayang Long Wei tak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena tak ada penerangan sama sekali kecuali sebatang lilin kecil yang menyala redup di meja sebelah kiri orang itu.“Maaf lancang masuk tanpa izin,” kata Long Wei seraya menundukkan badan dengan hormat.Orang itu seolah tak mempermasalahkan sama sekali. Dia kembali ke posisi semula dan mencelupkan kuas ke tempat tinta sebelum menulis lagi di atas kertas panjang.Long Wei merasakan keanehan sikap orang, tapi dia tidak terlalu mempermasalahkan. Pemuda itu berbalik lalu mengintip di celah jendela, tampak banyak orang berlari kacau balau di tengah kekacauan kebakaran gedung-gedung besar.“Kau tidak ikut lari?” Setelah waktu yang cukup lama hanya saling diam, Long Wei akhirnya buka suara.Terdengar suara kekehan orang itu. Ia menjawab. “Pertanyaan yang sama bisa kuajukan padamu pula.”Menurut Long Wei setelah mendengar suaranya, orang itu umurnya tentu tidak lebih dari empat puluh tahun. Melihat kulit tanga
Karena maklum dengan kepandaian Long Wei, Shi tidak mau terlalu gegabah. Satu pasak lagi dikeluarkan maka kini ia memegang sepasang pasak yang ampuh sekali.Jika Shi menjadi lebih waspada, berbeda dengan dua orang lainnya. Mereka belum mengenal sejauh apa kepandaian Long Wei, sehingga saat bertongkat ataupun tidak di mata mereka sama saja.Ming Zhao Yu yang melakukan serangan lebih dulu. Lelaki bertopeng itu merangsek maju dengan tombak siap menusuk mengarah titik-titik vital. Hampir secara bersamaan, Lonceng Surga menyerang menggunakan tapak tangan kiri yang mengeluarkan asap hitam, ilmu khas Ular Darah.Long Wei hanya melirik sesaat serangan-serangan mereka lalu mulai bergerak.Walau yang menyerang lebih dulu adalah Ming Zhao Yu, tapi yang lebih dekat adalah Lonceng Surga sehingga serangannya yang mendarat lebih dulu. Long Wei menghadapinya dengan tenang. Ia miringkan tubuh ke belakang untuk menghindar dan bersiap melakukan serangan balik.Akan tetapi, memang pantas jika orang ini m
Tanpa sungkan lagi Long Wei mainkan ilmu Guntur Peruntuh Mega. Tangannya yang berisi tenaga dalam sepenuhnya bergerak cepat untuk memukul ke kanan dan kiri. Dalam sekali gebrakan ini, dua pengeroyok tumbang seketika.Di sisi lain, tanpa sarung tangan besinya, Zhen Yu juga mengamuk tak kalah hebat. Dia bersilat dengan ilmu silat yang kelihatan agak aneh, gerakannya lebih sering menunduk dan menubruk atau melakukan cakaran ke arah mata. Namun, sejatinya di situlah letak keampuhan ilmu tersebut. Gerakan yang mirip singa itu selalu berhasil menipu mata lawan, seolah hendak bergerak ke kanan padahal ke kiri atau sebaliknya. Tak jauh berbeda dari Long Wei, dalam sekali bergebrak beberapa prajurit sudah jatuh tumbang.Ah Cui walau tidak terlalu menonjol, tapi ternyata dia memiliki ilmu silat yang lumayan juga. Gerakannya hampir mirip dengan Zhen Yu walau tidak sekuat pemuda itu. Akan tetapi, dia tetap merupakan sosok merepotkan bagi para prajurit.“Hyaaaahhh!”Menyusul bentakan ini, tiga ora
“Satu.”“Apa tidak terlalu sedikit?”“Terlalu banyak justru berbahaya. Ini istana, tak bisa kita samakan dengan yang lain-lain.” Zhen Yu memberi penjelasan dengan ekspresi yakin. “Kelemahannya juga satu, kalau ketahuan selesai sudah.”Kakek Raja Perahu yang sejak tadi diam kini ikut bersuara. “Kalian memang seperti singa, berani sekali. Menyusupkan orang ke istana hanya satu orang?”“Harus kukatakan lagi?”Menurut penjelasan Zhen Yu, Singa Emas sudah sejak lama menanam orang di istana dan jumlahnya hanya satu. Pemuda itu menjamin kalau kepandaian orang itu sangat lihai dalam hal penyamaran dan penyusupan. Kali ini jika ada orang yang menyelamatkan mereka, pastilah si penyusup itu.“Atau dengan tambahan orang dari luar,” tambah Zhen Yu setelah berpikir sebentar. “Untuk menyelamatkanku, kalau hanya satu orang kupikir terlalu sedikit.”Di tengah pembicaraan mereka yang dilakukan setengah berbisik, samar-samar mereka mendengar suara gaduh dari atas. Tak ada yang merasa heran dengan itu ka
Ketika Long Wei terbangun, dia mendapati dirinya sedang berada di sebuah ruangan remang-remang tanpa cahaya. Matanya mampu melihat wujud ruangan batu di sekelilingnya hanya karena cahaya obor dari luar yang terbawa masuk sekalian. Di depannya terdapat jeruji besi yang tampak tebal dan kuat, sekali pandang saja ia sudah mengerti bahwa ini ada di penjara.Ia menekan lantai batu dingin di bawah menggunakan dua tangan dalam usahanya bangkit mendudukkan diri. Terasa sakit di seluruh badan, tapi semua luka yang diakibatkan dari pertempuran melawan Shi dan lain-lain sudah mengering.Long Wei menyandarkan diri di dinding batu belakangnya lantas menghela napas panjang. Dia tidak mau berpikir pendek dan langsung menyerah putus asa. Dia akan mencari jalan keluar bagaimanapun caranya, tugas besar yang ia emban belum selesai. Tangan Maut dan Pertapa Putih masih berkeliaran, urusan antara Pedang Api dan Singa Emas belum selesai sedangkan dia sudah berjanji kepada Xu Qinghe untuk memperbaikinya, Gio