Home / Pendekar / Giok Langit / Bab 1 : Hari Beruntung

Share

Giok Langit
Giok Langit
Author: Adidan Ari

Bab 1 : Hari Beruntung

Author: Adidan Ari
last update Last Updated: 2024-12-27 18:29:15

Mereka berpikir malam ini akan jadi awal dari kejayaan. Mereka berpikir malam ini akan punya segunung harta yang nanti digunakan untuk membangun istana di pesisir timur guna mengokohkan wilayah kekuasaan. Mereka berpikir malam ini akan penuh dengan suka cita, berpesta sampai pagi dan tidur bersama wanita-wanita cantik.

Akan tetapi, itu hanya apa yang mereka pikir.

Kenyataan yang tersaji jauh daripada itu.

Sebuah pengkhianatan licik dari kelompok yang awalnya dikira sebagai rekan, kini membelot kepada para pendekar dan bersikeras menghancurkan mereka.

Long Wei memutus tali kapal yang tertambat di dermaga, bahkan sebelum ayahnya menurunkan perintah.

“Mundur!” teriaknya. “Kembali ke air. Menjauh dari daratan.”

Belasan anak buah ayahnya yang belum sempat naik ke kapal segera melompat. Beberapa yang masih tertinggal harus berenang menerjang arus sungai Bai He sejauh beberapa kaki sebelum naik dengan susah payah.

“Tembakkan anak panah!” Long Wei berteriak lagi melihat perahu-perahu mulai mengejar. “Bentangkan layar. Cepat! Cepat!”

Layar hitam yang bertuliskan “Hantu Samudra” dan ditulis menggunakan tinta putih berkibar tertiup angin menuju ke laut lepas.

Long Wei menghampiri ayahnya yang mengamati dalam diam di buritan kapal.

“Ayah, orang-orang Zhu tidak mau melepaskan kita.”

Ayahnya memukul pagar pembatas kapal. “Bedebah. Pengkhianat!” katanya geram. “Terus berlayar ke timur, ke laut lepas.” Meskipun demikian, Long Jian, ayah Long Wei tahu kalau tak ada pilihan selain melawan karena mereka sudah terkepung. Perahu-perahu kecil bisa mengejar lebih cepat.

Sebelum Long Wei berbalik untuk melaksanakan perintah, tiba-tiba terdengar suara keras disusul robohnya salah satu tiang kapal. Long Wei memekik ngeri ketika melihat siapa yang telah meruntuhkan tiang sebesar itu. Di belakangnya, Long Jian menggeram.

“Tangan Maut, kau pendusta!”

Orang itu berdiri di atas tiang kapal yang patah, dikepung oleh anak buah Long Jian yang telah siap dengan golok dan tombak. Namun, si Tangan Maut mengeluarkan kekehannya yang menyebalkan.

“Aku tak mau mendengar itu dari mulut bajak laut rendahan.”

Long Jian mencabut pedang besar dan melompat, tubuhnya melayang seperti burung raksasa. Di sisi lain si Tangan Maut terkekeh makin keras, ikut melompat pula.

Bentrokan di udara menciptakan gelombang kejut yang menyebar ke segenap penjuru. Beberapa orang yang terlalu dekat sampai jatuh terduduk karena tak kuat menahan tabrakan tenaga dalam mereka.

Tubuh keduanya melayang turun. Tepat setelah menjejak geladak kapal, mereka kembali saling terjang.

“Wei ji (anak Wei) hadapi mereka!”

(Akhiran “-ji” saat memanggil seorang anak biasa dilakukan orang tua untuk menunjukkan kasih sayang dan keakraban mereka.)

Long Wei menoleh, ternyata orang-orang dari bajak laut “Iblis Laut” telah naik ke lambung kapal.

Long Wei mencabut pedang dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Maju!”

Pertempuran hebat pun tak terelakkan. Long Wei dikawal oleh dua orang anggota pilihan dari bajak laut Hantu Samudra, menghadapi terjangan para lawan. Tubuhnya yang hanya setinggi pundak orang dewasa mampu bergerak gesit ke sana kemari menghindari serangan sekaligus membalas dengan tebasan atau tusukan.

Akan tetapi, perhatiannya terpecah saat melihat perkembangan dari pertarungan Long Jian. Ayahnya itu semakin terdesak dengan ilmu silat Tangan Maut yang aneh luar biasa.

Padahal hanya menggunakan tangan kosong dibantu lengan jubahnya yang lebar, Tangan Maut mampu menghadapi pedang besar Long Jian tanpa rasa takut sedikit pun. Telapak kaki orang itu tak pernah menyentuh geladak secara bersamaan, pasti salah satunya melakukan gerakan menendang atau sekadar terangkat untuk menipu lawan. Tak jarang pula tubuh Tangan Maut berputaran lalu tahu-tahu satu pukulan mendarat di pundak Long Jian.

Ketika pertempuran sedang memanas, terlihat bayangan putih melayang di atas kapal. Ketika turun, gelegar suaranya yang mengguntur mampu menulikan mereka untuk beberapa saat.

Dan tiba-tiba … Braaakkk!!, kapal itu terbelah jadi dua.

“Penipu!” Long Wei tak mampu menahan kemarahannya melihat muka pria tua tersebut. “Beginikah sikap pendekar yang katanya gagah berani, pembela kebenaran? Beginikah para pendekar gagah yang tak hanya jago bertempur, tapi juga jago menipu?”

“Diam, bocah ingusan.” Suaranya berwibawa, penuh getaran. “Untuk melenyapkan bajak laut tak berguna yang selalu menakuti orang-orang, semua cara diperbolehkan.”

“Dasar tak tahu diri! Kami lebih punya harga diri dibanding kalian—akh!”

Long Wei terpaksa berguling ke depan, tempat kapal itu miring ke air hingga hampir tenggelam, saat ada sabetan pedang dari belakang.

“Sial!” Long Wei bergelantungan pada kayu kapal yang hampir patah. Kurang satu tindakan kecil saja maka ia akan benar-benar jatuh ke dalam air.

Hatinya digerogoti rasa ngeri saat melihat pemimpin bajak laut Iblis Laut—orang bermarga Zhu—yang datang ke arahnya menggunakan perahu kecil. Long Wei mampu melihat seringai kecil di wajah pria tersebut.

“Pengkhianat,” geram Long Wei.

Dua anggota Hantu Samudra merosot turun, berniat menolongnya. Namun tepat sebelum mereka sampai, orang yang tadi menyerang Long Wei dari belakang telah menusuk mereka.

“Sial … sialan!”

Tanpa diduga, sesosok tubuh penuh darah tercebur ke sungai dan hampir menabrak tubuh Long Wei yang masih bergelantungan. Air membumbung tinggi dan Long Wei terbelalak, mencoba tidak percaya apa yang dilihatnya secara sepintas tadi.

Akan tetapi ketika tubuh itu muncul kembali ke permukaan, tampak wajah seorang pria paruh baya yang tidak asing lagi di mata Long Wei. Seorang pria dengan jenggot tebal dan mata terbelalak.

“Ayaaaahhh!!!” pekik Long Wei histeris.

Pemuda itu kembali berteriak ngeri ketika kayu yang jadi pegangannya patah, lebih tepatnya dipatahkan. Tubuhnya jatuh ke aliran sungai Bai He yang cukup deras.

Dia menelan cukup banyak air sebelum dengan panik mencoba muncul ke permukaan. Kiranya dia sudah terseret lumayan jauh. Pertempuran masih berlanjut di kapal yang telah miring dan terbawa arus sungai itu. Daripada disebut pertempuran, pemandangan di sana lebih tepat disebut sebagai pembantaian.

Air mata Long Wei menetes tanpa sadar, melihat tubuh ayahnya di sisi lain sungai yang alirannya jauh lebih deras.

Dengan penuh kemarahan, Long Wei memandang pria tua berjubah putih di atas kapal yang kini berdiri bersisihan dengan si Tangan Maut yang memakai pakaian serba hitam. Mereka berdua sedang memandangnya.

“Datanglah lagi dan ambil kepala kami beberapa tahun nanti bila kau memang sudah siap.” Suara pria tua berjubah putih itu menggema sampai jauh karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam.

Pemimpin bajak laut Iblis Laut yang pedangnya sudah berlumur darah itu ikut tertawa bergelak, sengaja dikeras-keraskan.

Tubuh Long Wei hanyut sampai jauh sekali dan ingatan terakhirnya adalah sumpahnya sendiri untuk memenggal kepala tiga orang tersebut.

                                                                                 ***

Pagi hari, tepat ketika cahaya pertama sang fajar muncul di balik gunung tinggi sebelah timur, kakek bercaping yang kelihatan seperti orang bosan hidup itu keluar dari pondok kecilnya.

Kulitnya keriput, rambutnya panjang dan berwarna putih, begitu juga dengan alis, kumis dan jenggot. Ia meregangkan tubuh selama beberapa saat kemudian mengambil alat pancing di samping pondoknya.

“Mungkin hari ini hanya dapat satu atau dua ikan,” gumamnya memandang langit berawan. Keningnya tiba-tiba berkerut. “Itu kalau beruntung.”

Ia berjalan menuju sungai. Punggungnya sedikit bungkuk karena usia, tapi langkahnya masih mantap dan cepat.

Tiba di tepi sungai Bai He, ia disambut suara gemuruh air deras yang menghantam bebatuan hitam. Kakek ini memilih salah satu batu yang paling besar, paling tinggi dan paling halus. Ia memasang umpan di ujung kail lalu melemparnya ke tengah sungai. Sesaat kemudian, duduk menunggu sambil menghela napas berkali-kali.

Waktu yang berjalan tidak cukup lama, bahkan belum sampai satu pembakaran dupa ketika tiba-tiba kakek itu terbelalak dan berseru keras.

“Ini hari keberuntunganku!” Ia mencengkeram pancing bambunya. “Ini hari baik!” Dan sambil tertawa-tawa, ia menariknya kuat-kuat.

Sebuah benda hitam besar meluncur ke udara, membuat si kakek melongo lebar. Awalnya ia berpikir itu ikan raksasa, tapi hanya orang tolol saja yang mengira kalau benda sebesar itu memang ikan. Dan lebih tolol lagi orang yang menganggap kalau itu adalah buaya karena ia punya rambut dan tak berekor.

“Setan!” Kakek itu melompat ke belakang. Gerakannya lincah dan tangkas.

Akan tetapi saat “tangkapannya” melayang makin dekat, ia akhirnya sadar bahwa kail pancingnya tersangkut ke jubah sesosok manusia. Kini wajahnya memucat karena manusia itu jatuh dengan kepala lebih dulu menuju batu hitam tempatnya duduk.

“Hyaat!” ia berseru lantang.

Dalam gerakan-gerakan indah, tubuh kakek itu melayang di udara, berputaran. Di saat berikutnya ia sudah menangkap tubuh orang malang tersebut di bagian kerah.

Kakek ini segera menjatuhkan tubuh “tangkapannya” ke tanah dan meninju perutnya. Seketika air menyembur keluar dari mulut orang tersebut.

Kakek ini menyibak rambutnya, ternyata masih amat muda, mungkin lima belas tahunan.

Ia terkejut dan terlonjak saat mata itu tiba-tiba membuka.

Pemuda itu berseru. “Bajingan pendusta!”

Spontan, kakek itu mengumpat. “Setan kecil tak tahu terima kasih!”

Related chapters

  • Giok Langit   Bab 2 : Hidup Baru

    “Makanlah.”Long Wei menatap ikan setengah gosong itu dengan ketertarikan yang hampir tidak ada, tapi dia tetap menerimanya semata-mata hanya karena nyanyian perut yang tak mau diam.Yang Feng, kakek bercaping yang telah “menyelamatkan” Long Wei itu memakan ikan bakar jatahnya sendiri. Sambil terus mengunyah, ia melempar satu pertanyaan yang seketika membuat amarah Long Wei datang kembali. “Jadi, apa yang telah kaulakukan sampai hanyut di sungai?”Pikirannya memutar kembali kenangan tadi malam yang baru saja terjadi. Seperti dipertontonkan persis di depan matanya, ketika ayahnya jatuh ke sungai dalam keadaan tak bernyawa, dan tantangan kedua pendekar besar.Mata Long Wei menyusuri sungai Bai He lalu melihat sekeliling. Akhirnya dia tahu mengapa tak ada mayat lain yang lewat atau potongan-potongan kapal. Kiranya dia sudah terseret arus yang menuju ke belokan arah tenggara, dan mungkin sekali sisa-sisa pertempuran itu mengarah barat.“Aku sedang naik kapal, dan diserang para bajak sunga

    Last Updated : 2024-12-28
  • Giok Langit   Bab 3 : Perwira Yang

    Cukup melelahkan ketika semalaman harus dikejar oleh satu desa karena ketahuan mencuri sepeti harta. Peti itu kecil saja, bahkan dua tangan pun terlalu besar untuk memegangnya, tapi harus Long Wei akui kalau isinya tidak main-main.Berbagai perhiasan seperti kalung, cincin, anting, gelang, dan pernak-pernik lainnya. Long Wei bahkan sampai bingung harus ia apakan harta sebanyak ini.“Dijual sajalah,” gumamnya tanpa sadar tepat ketika makanan yang ia pesan dihidangkan di atas meja.Pelayan itu membungkuk singkat sebelum pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan pelanggan lain.Warung ini berada di persimpangan yang cukup strategis. Walau di sekelilingnya masih berupa hutan lebat, tapi jarak ke desa terdekat tak sampai lima li. Hal ini membuat para pengelana tak perlu mampir ke desa-desa itu jika hanya untuk sekadar mengisi perut.Long Wei memilih singgah di tempat ini karena tujuan itu. Dia hanya akan mengisi perut sejenak sebelum kembali melanjutkan perjalanan.“Sudah sekitar dua minggu

    Last Updated : 2024-12-28
  • Giok Langit   Bab 4 : Berterima Kasih

    Naik kuda tunggangan yang diambil dari kedua prajurit pingsan, Yang Feng membawa Long Wei menjauhi tempat itu. Melihat dari arah bayangan, mereka saat ini sedang menuju ke utara.Long Wei terus mengikuti sosok kakek berpakaian prajurit kekaisaran itu yang sejak tadi tidak mengatakan apa pun. Sebenarnya dia juga tak terlalu peduli hendak pergi ke mana, Long Wei tidak punya tujuan pasti.Yang Feng menghentikan laju kudanya di anak sungai kecil yang masih tersambung dengan sungai di belakang warung tadi. Ia menengok ke segala penjuru terlebih dahulu untuk memastikan keadaan benar-benar aman. Setelah merasa yakin, kakek itu melompat turun dan duduk di atas rumput tebal.“Jadi, apa itu tadi?” Long Wei masih tidak mengerti dengan semuanya.Yang Feng terkekeh. “Kau terlalu waspada kepadaku, nak.” Ia melihat jarak mereka terpisah kurang lebih dua tombak dengan Long Wei yang telah meraba gagang pedangnya. “Aku hanya ingin bilang terima kasih.”Wajah Long Wei berubah seketika. Mulutnya terbuka l

    Last Updated : 2024-12-28
  • Giok Langit   Bab 5 : Desa Qinglan

    Karena tempat tinggal Yang Feng sebelumnya sudah tak aman lagi, maka mereka pergi mengembara ke banyak tempat. Perjalanan dilakukan menggunakan kuda yang sama, menuju utara.Ketika Long Wei menanyakan alasan kenapa mereka pergi ke utara, Yang Feng menjawab kalau tak ada alasan pasti. Satu hal pasti adalah sangat berbahaya bila terlalu dekat dengan ibu kota yang ada di wilayah barat, berdiri di kaki pegunungan Yuling.Walau Long Wei ikut Yang Feng bukan karena sungguh-sungguh ingin jadi murid melainkan karena balas dendam dan sedikit balas budi, tapi ia tetap patuh akan segala perintah Yang Feng. Ketika mereka harus tidur beratapkan langit, Long Wei yang akan mencarikan kayu bakar dan makanan untuk mereka berdua. Ketika sampai di desa, mereka biasanya akan membantu siapa saja yang membutuhkan untuk mendapat uang, Long Wei amat rajin untuk itu. Karena inilah Yang Feng makin merasa sayang dan kasihan kepada pemuda tersebut, apalagi setelah ia mendengar masa lalu Long Wei.Namun selama ha

    Last Updated : 2024-12-29
  • Giok Langit   Bab 6 : Pertempuran di Desa Qinglan

    Desa Qinglang jadi gempar karena terkejut dengan kedatangan perwira Kai yang terlalu tiba-tiba. Dua puluh orang berpakaian prajurit lengkap dengan menunggang kuda-kuda gagah, itulah pasukan pimpinan Perwira Kai yang dibawa ke desa Qinglan.Keadaan semakin gempar ketika perwira itu melukai seorang perempuan yang mereka semua tahu sebagai istri dari Lu Taihiap (Pendekar Lu). Beberapa pemuda mencoba untuk membela Mei Mei, tapi mereka hanya mendapat pukulan yang lebih keras dari bawahan perwira Kai.Kini, keadaan kembali gempar karena kedatangan Yang Feng yang mengirimkan suara berisi tenaga dalam, membuat suaranya jadi lebih keras beberapa kali lipat.“Siapa di sini yang dipanggil Perwira Kai?”Ayam-ayam berkokok dan lari ketakutan. Babi, sapi, kambing, serta hewan-hewan ternak lain merunduk dengan ngeri setelah datang bentakan yang seolah turun dari langit. Tak lama kemudian terdengar ringkik kuda dari salah satu sisi desa, Yang Feng segera menoleh ke sumber suara untuk menemukan sekump

    Last Updated : 2024-12-30
  • Giok Langit   Bab 7 : Akhir Menyedihkan

    Gerbang desa sudah tampak di depan sana, tinggal beberapa langkah lagi. Akan tetapi, sepintas pemikiran menghantam kepalanya sampai membuat kening Long Wei mengkerut. Baru teringat olehnya selama pertempuran tadi sama sekali tak tampak batang hidung perwira Kai.“Ke mana dia?” Pemuda itu menghentikan larinya di depan sebuah rumah, membuat penghuninya makin ketakutan dan cepat-cepat bersembunyi.Matanya menyapu segenap penjuru untuk mencari keberadaan perwira Kai kalau-kalau orang itu justru diam-diam mengikutinya. Long Wei mencabut pedang pendek dan bersiap dengan kuda-kuda.Sepintas pemikiran kembali menghantam kepalanya tak lama kemudian. “Jangan-jangan ….” Long Wei langsung berlari menuju rumah Lu Kwan. ***Menggunakan golok besarnya, Lu Kwan menebas kepala Yang Feng sekuat tenaga. Sungguh golok itu tak bisa dianggap main-main karena senjata itulah yang mengangkat Lu Kwan menjadi pendekar tersohor berjuluk Lu Taihiap.Y

    Last Updated : 2025-01-01
  • Giok Langit   Bab 8 : Keputusan Cang Er

    Walau sedang dalam keadaan terluka yang cukup parah, tapi Yang Feng tetaplah seorang pendekar besar yang berjuluk Tapak Baja. Kepekaannya terhadap sekitar telah tinggi sekali sehingga tebasan pedang Cang Er mampu ia rasakan dengan jelas.Pedang itu berhenti dan bergetar saat tangan Yang Feng menahannya menggunakan dua jari tangan. Cang Er berseru kaget dan mencoba menarik pedangnya, tapi tak berhasil.Sedangkan Yang Feng hanya tersenyum lembut, sama sekali tidak menunjukkan ekspresi marah. “Maafkan aku, nak … ini salahku yang tak bisa melindungi kalian.”Cang Er mematung selama beberapa saat sebelum jatuh berlutut sambil menutup muka dengan dua tangan. Pundaknya bergetar hebat diiringi isak tangis memilukan. Hati Yang Feng sakit sekali mendengarnya.Long Wei menghela napas lega saat melihat Yang Feng baik-baik saja. Ia menghampiri mereka.“Kau tak apa, kek?” tanyanya.Yang Feng menggeleng. “Luka dalamku bertambah, ini sungguh tidak baik. Setelah ini kita akan mampir ke rumah Setan Sak

    Last Updated : 2025-01-01
  • Giok Langit   Bab 9 : Murid

    Yang Feng tidak langsung mengajari sesuatu kepada Long Wei karena dia ingin mengetahui kesetiaan dan kepatuhan pemuda itu. Walau waktu yang berlalu belum begitu lama, tapi Long Wei telah membuktikan bahwa ia berani mempertaruhkan nyawa dengan menghadapi serbuan para prajurit perwira Kai.Di sisi lain, keributan itu juga memaksa Yang Feng untuk menurunkan ilmu lebih cepat dari yang sudah ia rencanakan. Maka dari itulah perjalanan menuju tempat Setan Sakti sangat lama karena mereka harus sering berhenti di tengah jalan agar Yang Feng dapat mengajarkan sesuatu kepada Long Wei.“Yang kulihat, kau sama sekali tidak mengeluarkan tenaga dalam,” komentarnya di pagi kelabu pada hari kedua perjalanan mereka menuju kediaman Setan Sakti. “Kau tidak mengeluarkan tenaga dalam,” ulangnya.Long Wei yang tadi baru saja disuruh memukul telapak tangan Yang Feng itu mengerutkan kening. “Tapi begitulah yang ayahku ajarkan.”Yang Feng menggeleng. “Itu bukan tenaga dalam tapi hanya tenaga luar saja. Kau mam

    Last Updated : 2025-01-05

Latest chapter

  • Giok Langit   Bab 49 : Perburuan

    Orang yang kurus tadi tertawa terbahak-bahak. “Lihat, kan? Sebentar lagi kita bisa pergi dari sini dan jadi kaya raya.”Kekehan si tinggi besar bersenjata golok terdengar memuakkan telinga. “Kita harus bisa menangkap Dewi Teratai Merah.”Pria kurus itu mengangguk-angguk membenarkan. Ia kembali memandang ke arah Cang Er dan Liang Kun. “Jadi, siapa anak muda ini?”Liang Kun melintangkan pedang di depan dada dan spontan maju selangkah di hadapan Cang Er. “Aku Liang Kun, kakak seperguruannya.”“Pasti lebih kuat,” komentar si tinggi besar.“Kalian siapa dan mau apa? Lalu apa maksudnya Dewi Teratai Merah?” Liang Kun memandang tajam penuh kecurigaan.“Hahaha, bahkan kakak seperguruannya sendiri tidak tahu kalau adiknya sudah terkenal di kalangan kita!” si kurus berkata kepada si besar.“Benar-benar menggelikan.” Si tinggi besar tertawa sampai perutnya bergerak naik turun.Cang Er merapatkan tubuh ke belakang Liang Kun. “Kakak, aku sama sekali tidak mengenal mereka dan tidak tahu apa maksud d

  • Giok Langit   Bab 48 : Perasaan

    Setelah pergi cukup jauh dari Danau Yueya, mereka berdua memperlambat laju kuda masing-masing. Jalanan memang lebar, tapi mereka memilih untuk tidak terlalu buru-buru untuk menikmati keadaan alam sekitar sekaligus beristirahat dari lelahnya tugas yang baru saja dijalankan.“Cang Er, apakah kau yakin baik-baik saja,” tanya Liang Kun yang sudah menjajari kuda Cang Er.Gadis itu tersentak dari lamunannya. Memang tadi dia sedang melamun tentang segala kejadian di Desa Cin Wu baru-baru ini. “Kenapa?”“Wajahmu selalu tampak murung.”Kembali Cang Er menunduk dan merenungkan semuanya. “Sebenarnya, ada satu hal yang sedang kupikirkan dan kusesali.”“Apakah yang kauceritakan kepada Gak Tai Ciangkun tadi itu bohong?” tanya Liang Kun penuh selidik.Gadis itu cepat-cepat menggeleng. “Tidak sama sekali. Semua itu benar. Hanya saja ada beberapa bagian yang aku rahasiakan.”Liang Kun mengembuskan napas panjang. “Sudah kuduga,” ucapnya yakin. “Aku memang merasa ada yang janggal dengan dirimu sejak tad

  • Giok Langit   Bab 47 : Jenderal Gak

    Perjalanan ke barat kali ini sedikit jauh. Menaiki kuda tunggangannya, ia menyusuri jalan-jalan setapak sempit sepanjang hutan untuk sampai ke tempat tujuan. Tentu saja, dalam hutan-hutan yang lebat ini terdapat banyak para bandit beserta segala macam orang jahat. Di tengah jalan ini Cang Er banyak bertarung untuk menumpas mereka. Kadang ada yang dibunuh, kadang ada yang dibiarkan lolos dengan membuat mereka setengah cacat atau sumpah paksaan.Setelah beberapa hari ke arah barat, Cang Er sedikit membelok. Kini ia menuju barat daya. Tujuannya adalah Danau Yueya yang terkenal dengan keindahan sekaligus keunikan tempat tersebut. Pasalnya, danau itu memiliki ciri khas tersendiri dalam bentuknya yang melengkung seperti bulan sabit raksasa. Jika dipandang dari bukit terdekat ketika sore hari, maka airnya akan berwarna merah terang. Ketika dipandang saat malam hari, maka Danau Yueya memantulkan gambar bintang dan bulan dari langit.Tiga hari berikutnya, Cang Er tiba di danau tersebut saat so

  • Giok Langit   Bab 46 : Api

    Gerakan Long Wei lebih cepat. Dia menangkis tusukan itu dengan cara menekan pedang ke bawah. Sebelum Zhen Yu mampu berekasi, Xu Qinghe melancarkan serangan berupa bacokan yang langsung ditangkis oleh pemuda itu dengan tangan kiri. Suara beradu dua logam terdengar, ternyata tangan kiri Zhen Yu juga dilapisi sarung tangan besi.Long Wei tak bisa membantu lebih jauh lagi karena ia merasakan bahaya dari belakang. Begitu berbalik, ternyata sudah ada lima orang yang menyerang. Begitu pula dengan Ceng Tok, ia sudah sibuk menghadapi mengeroyokan para Singa Emas.Xu Qinghe berteriak keras, menyerang dengan dua kali tebasan ke leher dan dada. Zhen Yu mampu menangkis sekaligus menghindar. Pemuda itu melakukan serangan balik berupa tusukan tangan kiri yang seolah bisa mengambil jantung Xu Qinghe jika tangan itu berhasil menembus dada.Trang ....“Kau kurang kuat!” seru Zhen Yu.Trang ... Trang ....“Kau masih takut!”Trang ... Sraat ....Darah keluar dari luka gores di pipi Zhen Yu.“Kau lengah!”

  • Giok Langit   Bab 45 : Hujan

    Tiba-tiba hujan turun deras. Tanah yang tadi kering kini benar-benar basah dalam waktu amat singkat. Genangan air tercipta di sudut-sudut yang biasanya tak terlalu diperhatikan, atau bahkan di kumpulan rumput taman atau halaman depan.Long Wei memandangi beberapa genangan kecil yang ada di sekelilingnya dan dia bertanya-tanya dalam hati. Setelah lewat malam ini, apakah genangan air itu masih keruh karena tercampur tanah? Atakaukah akan berubah warna? Merah, mungkin?Suitan nyaring terdengar. Long Wei tahu itu suara Ceng Tok yang bersuit dari atas gerbang depan. Suitan tanda bahaya yang seolah menarik siapa saja dari pelukan mimpi indah. Berturut-turut pintu kamar terbuka lebar, semuanya berlari keluar.Terjangan air hujan besar-besar tak mereka pedulikan. Mereka semua tahu ini pasti ada hubungannya dengan pertempuran di kaki bukit beberapa hari lalu. Mereka semua siap mempertaruhkan nyawa.“Singa Emas datang menyerang!” teriak Ceng Tok dan tahu-tahu di tembok tinggi yang mengelilingi

  • Giok Langit   Bab 44 : Orang Kepercayaan

    Dia merasa bingung sendiri, kenapa tadi ia begitu teropsesi dengan Giok Langit sampai mengabaikan Xu Liangchen. Dia terlalu fokus kepada Lin Dong untuk mengejar Han Rui yang telah membawa cincin itu. Dia terlalu fokus pada Giok Langit.Long Wei memandang Xu Qinghe yang memangku kepala ayahnya sambil mengucurkan air mata. Dua Raja Singa yang tersisa memanfaatkan kesempatan ini untuk melarikan diri. Long Wei sama sekali tak menghiraukan mereka.Dia lebih memikirkan dirinya sendiri.Apa yang terjadi padaku? batinnya. Perasaan apa itu tadi?Jerit Xu Qinghe yang semakin keras mengalihkan perhatian pemuda itu. Ia cepat mendekat untuk melihat luka-luka yang diderita Xu Liangchen. Beberapa saat kemudian, Long Wei menggelengkan kepalanya lemah. Racun itu sudah menyebar terlalu jauh. Mungkin hanya Setan Sakti yang mampu menangani ini.Agaknya Xu Liangchen tadi terlalu gegabah sehingga terlalu banyak menangkis serangan para musuh sehingga racun itu berhasil masuk.“Aku tahu aku tak akan selamat,

  • Giok Langit   Bab 43 : Perebutan Giok

    Xu Qinghe menangkis dan terpental, jatuh bergulingan. Pedang beronce merahnya terlempar jauh setelah menerima hantaman pedang milik Han Rui. Wanita dengan jubah serba merah itu lantas menerjang lagi, menusuk dada.“Setan betina!” pekik Xu Liangchen.Han Rui sedikit terkejut lalu menarik kembali serangan. Dia mampu melihat sinar berkelebat yang hampir menggorok lehernya. Ternyata itu adalah pedang berkilau yang entah sejak kapan sudah berada di tangan Xu Liangchen.Tak lama kemudian, datang pula seorang lelaki berjubah serba hitam. Ia memiliki wajah tegas, alis tebal dan kepala botak. Di tangannya membawa rantai panjang yang di ujungnya terdapat bola besi berduri.“Oh ... pertemuan yang kurang menyenangkan, menurutku.” Han Rui terkekeh menatap Xu Liangchen. “Apa kabarmu, orang tua?”Satu Raja Singa terpental tepat di depan muka Han Rui saat Long Wei dengan murka menyepaknya keras. Wanita itu buru-buru memandang untuk menemukan muka Long Wei yang membayangkan kemurkaan luar biasa.“Bagu

  • Giok Langit   Bab 42 : Jebakan

    Xu Qinghe memerintahkan selusin orang yang ia rasa memiliki kepandaian tinggi. Saat itu juga, bersama Long Wei, mereka pergi menyusul Xu Liangchen yang pasti sudah cukup jauh dari Kota Shengyin. Dengan naik kuda-kuda berkualitas baik, mereka membelah jalanan kota dan berhasil mengejutkan para warga.Di tengah perjalanan, Long Wei hanya menjelaskan kalau mungkin Xu Liangchen dalam bahaya. Entah mendapat serangan atau apa pun.“Kalau Ular Darah sengaja melakukan ini untuk merebut perhiasan itu.” Long Wei sengaja menyebut perhiasan karena saat ini mereka tidak sendiri. “Apakah kau tidak berpikir kalau mungkin sekali kekacauan antara Pedang Api dan Singa Emas adalah siasat mereka pula untuk merebut perhiasan?”Napas Xu Qinghe berhenti sejenak. “Itu ... itu masuk akal juga.”“Aku khawatir ayahmu di perjalanan mendapat serangan,” ucap Long Wei. “Entah dari Singa Emas atau dari Ular Darah atau dari keduanya.”“Kita harus cepat!”Keadaan memang gawat sekali. Ini adalah masalah pelik yang mung

  • Giok Langit   Bab 41 : Perhiasan

    Long Wei mencoba menyamai langkah kaki Xu Qinghe yang melintasi lorong entah menuju ke mana. Gadis itu sama sekali tidak menjawab ketika terus didesak Long Wei. Hingga ketika Xu Qinghe berbelok, ternyata mereka sampai di taman belakang yang lumayan luas.Xu Qinghe berhenti tiba-tiba dan membalikkan tubuh dengan sebal. “Kau kenapa mengikutiku terus? Apa tak ada yang perlu kaulakukan?”“Tidak, kalau kau bertanya,” jawab Long Wei cepat. “Yang pasti, kau harus menjelaskan kenapa kalian menerima permintaan itu? Apa kalian tidak tahu siapa itu Ular Darah?”Xu Qinghe menggembungkan pipi sebelum berbalik dan pergi. Beberapa saat kemudian, dia berhenti lagi lalu mengempaskan diri ke kursi taman yang berada di bawah naungan pohon besar.Long Wei menyusul. “Jawab aku!”Xu Qinghe masih memasang muka jengkel.Long Wei ingin mendesak lagi, tapi gadis itu sudah mendahuluinya dengan bentakan. “Kau di sini diminta untuk menjagaku, bukan menanyaiku macam-macam apalagi urusan Pedang Api!”Tangan pemuda

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status