Cukup melelahkan ketika semalaman harus dikejar oleh satu desa karena ketahuan mencuri sepeti harta. Peti itu kecil saja, bahkan dua tangan pun terlalu besar untuk memegangnya, tapi harus Long Wei akui kalau isinya tidak main-main.
Berbagai perhiasan seperti kalung, cincin, anting, gelang, dan pernak-pernik lainnya. Long Wei bahkan sampai bingung harus ia apakan harta sebanyak ini.
“Dijual sajalah,” gumamnya tanpa sadar tepat ketika makanan yang ia pesan dihidangkan di atas meja.
Pelayan itu membungkuk singkat sebelum pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan pelanggan lain.
Warung ini berada di persimpangan yang cukup strategis. Walau di sekelilingnya masih berupa hutan lebat, tapi jarak ke desa terdekat tak sampai lima li. Hal ini membuat para pengelana tak perlu mampir ke desa-desa itu jika hanya untuk sekadar mengisi perut.
Long Wei memilih singgah di tempat ini karena tujuan itu. Dia hanya akan mengisi perut sejenak sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
“Sudah sekitar dua minggu ini dia keliling di desa sekitar sini.”
“Meresahkan sekali.”
Perhatian Long Wei teralihkan ketika mendengar percakapan dua orang tersebut. Dia melirik ke belakang untuk menemukan dua sosok pria berpakaian kasar seperti orang-orang pencari kayu di hutan. Long Wei semakin yakin saat melihat seikat kayu di sisi kursi masing-masing.
“Desamu sudah ada korban?”
“Baru tadi malam. Sekotak harta dari salah satu warga yang kaya sudah hilang.”
Long Wei hampir tersedak karenanya. Siapa lagi yang melakukan itu kalau bukan dia sendiri.
Pemuda itu tersenyum pahit dalam diamnya. Memang setelah ia mencuri gelang giok indah dari Yang Feng, Long Wei hidup sebagai pencuri yang menargetkan rumah-rumah besar. Dengan ilmu silat ajaran ayahnya dulu, tak begitu sulit baginya untuk menyelinap masuk dan keluar tanpa ketahuan.
Ditambah lagi wajah yang masih anak-anak, umur lima belas tahun, tak akan ada yang mengira kalau Long Wei adalah seorang pencuri.
Namun, Long Wei tidak merasa keberatan dengan jalan hidupnya karena sejak dulu dia dan kelompok Hantu Samudra sudah biasa untuk merebut harta benda milik orang. Dengan begitu, seperti saat ini, dia bisa membeli pakaian bersih yang mahal serta senjata pedang pendek yang cukup berguna untuk menakut-nakuti korban.
“Kita istirahat dulu di sini.”
Long Wei mengurungkan niatnya untuk beranjak saat melihat tiga kuda besar tiba di depan pintu warung yang terbuka. Melihat pakaian para penunggangnya, mereka merupakan prajurit kekaisaran.
Long Wei tersenyum tanpa sadar karena pikiran jahat masuk secepat kilat. Uang mereka pasti banyak, ucap batinnya saat melihat satu wadah besi besar yang dibawa masuk oleh dua orang.
“Upeti!” bentak salah satu prajurit dengan galak.
Pemilik warung itu langsung mengkeret di balik meja. Tubuhnya menunduk-nunduk dengan wajah ketakutan. “Minggu lalu anda sudah datang, tuan. Saat ini kami belum punya uang sebanyak itu.”
Meja digebrak dengan keras. “Kau mau memberontak, ya?”
“Tidak … tidak ….”
Long Wei tak lagi tertarik mendengarkan perdebatan itu. Pemuda ini melangkah keluar dari warung dan berpapasan dengan satu prajurit lain yang menenangkan ketiga kuda tersebut. Long Wei tersenyum kecil.
Ia berjalan sampai cukup jauh untuk menyelinap ke balik pepohonan, kemudian kembali lagi ke tempat warung itu berada. Diambilnya batu sebesar kepalan tangan untuk ia lempar mengarah pantat salah satu kuda dengan sedikit pengerahan tenaga dalam.
Kuda itu meringkik dan mendompak, menendang dua kuda lain, juga prajurit tadi. Kepalanya dikibas-kibaskan agar bisa lepas dari cekalan si prajurit yang masih memegang erat. Long Wei menembakkan satu butir lagi.
“Sial, kudanya lepas!” teriak prajurit itu.
Salah satu prajurit yang tadi memalak ikut keluar untuk melihat. Hanya satu kuda yang berhasil diselamatkan kawannya itu. Dia menjadi marah, dengan berang ditamparnya muka si penjaga kuda. “Tidak becus! Tak ada hujan tak ada angin, kenapa bisa terlepas?”
“Tiba-tiba kudanya marah,” balasnya sambil meringis kesakitan.
Seketika keadaan di dalam warung menjadi ribut dan berisik bukan main akibat Long Wei yang sudah melompat masuk lagi melalui jendela, menyerang prajurit si pemegang wadah berisi uang upeti dari tempat-tempat sebelumnya.
Begitu menerjang, Long Wei langsung mengincar leher orang itu yang tidak tertutup baju baja. Tentu saja ia mengelak, dengan sedikit susah payah karena satu tangan harus memegang wadah tersebut.
“Maling!” serunya.
Namun, Long Wei dengan cekatan telah menendang lutut lawan, membuatnya terjungkal. Secepat kilat ia injak lehernya berbareng dengan menyambar wadah tersebut.
“Terima kasih.” Lantas Long Wei pergi dari sana.
Gegerlah keadaan di situ karena mereka sama sekali tak menyangka akan ada maling yang begitu berani beraksi di siang bolong begini.
Satu prajurit yang tadi menampar temannya tidak repot-repot untuk melihat kondisi kawannya yang lain. Orang ini segera melompat ke punggung kuda dan mengejar siluet Long Wei yang masih kelihatan.
“Kumpulkan para prajurit dari desa sekitar!” perintahnya sebelum membalapkan kuda tersebut.
Long Wei terus berlari ke dalam hutan, memilih tempat-tempat dengan pepohonan rapat. Dari suara yang didengar ia tahu musuhnya mengejar naik kuda sehingga tempat seperti ini akan tambah menyulitkan jika dilewati dengan hewan tunggangan.
Tubuhnya melesat dengan lincah di antara pepohonan, menukik di turunan tajam, lalu melayang, berayun dari pohon satu ke pohon lain.
Kurang lebih sampai dua li mereka terus melakukan kejar-kejaran sebelum Long Wei tiba-tiba terjatuh.
“Sial!” Suara berkeresak terdengar ketika ia menggelinding di tanah penuh rumput tebal berduri. Pakaiannya kotor dan lecet di sana-sini. Beberapa koin yang berhamburan ia ambil kembali, beberapa ia abaikan.
“Berhenti!” Teriakan terdengar disusul kesiur angin tajam.
Spontan Long Wei miringkan kepala ke kanan, sebatang anak panah lewat tak sampai setengah napas kemudian, menancap di batang pohon hampir setengah bagian.
Si pengejar tadi ternyata sudah tiba. Long Wei harus mengakui kehebatannya dalam mengendalikan kuda itu karena mampu melewati jalanan ini jauh lebih cepat dari perkiraan awal.
“Aku tak berniat menyerah! Ayo bertanding satu lawan satu!” Long Wei mencabut pedang pendeknya lantas menerjang.
“Bagus!” Orang itu membuang gendewa dan mencabut sebatang golok.
Traaangg ….
Bunga api berpijar ketika pedang Long Wei hampir menebas leher orang dan mampu ditangkis sempurna oleh prajurit tersebut. Walau demikian, prajurit itu tetap terhuyung dan jatuh dari punggung kuda.
Wadah berisi uang upeti tadi pun juga ikut terlepas dari genggaman tangan Long Wei. Isinya berhamburan ke mana-mana. Namun Long Wei tak punya waktu memikirkan itu karena serangan berikutnya telah tiba.
Mereka beradu senjata di tengah lebatnya pepohonan dengan satu niat sama, yaitu menghabisi lawan. Si prajurit kekaisaran sebenarnya hendak menawan Long Wei, tapi melihat kemampuan pemuda itu ia jadi merubah niat awal. Long Wei ternyata terlalu lihai untuk di tangkap.
“Kau kalah!” seru Long Wei saat tubuhnya melesat ke samping sambil menusukkan pedangnya menuju lambung.
Darah terciprat membasahi rerumputan, tapi luka itu masih terlalu dangkal.
Prajurit itu tersenyum. “Kau bocah pencuri yang lihai juga, setidaknya masih patut disandingkan dengan kesombonganmu.”
Pertempuran kembali berlanjut. Suara dentang dua logam yang diadu terus terdengar sampai jauh, sehingga menjadi semacam pemandu jalan untuk tujuh prajurit baru yang sudah dipanggil dari desa terdekat.
“Di sana!” tunjuk prajurit paling depan ketika melihat dua orang sedang bertempur di kejauhan. “Jangan memanah. Itu membahayakan teman kita.” Ia mencegah saat melihat orang di sebelahnya sudah menarik gendewa.
Seorang yang di belakangnya tiba-tiba berdiri di punggung kuda, mencabut golok lantas melompat. Tubuhnya seperti melayang, menandakan dia merupakan ahli silat tangguh.
“Hentikan pertarungan!” sosok itu meraung lalu menangkis senjata Long Wei dan lawannya, membuat mereka terpental.
Ternyata orang itu adalah orang tua yang umurnya sudah banyak, tak mungkin di bawah enam puluh. Rambut kepala, alis dan jenggotnya sudah putih dan panjang semua. Akan tetapi gerakan itu benar-benar membuat mereka merasa kagum.
“Tak ada gunanya membunuh penjahat cilik seperti dia, kenapa kau coba membunuhnya?” Kakek ini menegur kepada lawan Long Wei.
“Yang Ciangkun (Perwira Yang), saya hanya melindungi diri,” kilah prajurit itu sambil menunduk memberi hormat. “Jika tidak begitu, maka saya yang akan mati.”
Keenam prajurit lain tiba di sana yang langsung membantu lawan Long Wei berdiri.
Kakek itu mendengus sebal. “Kau, dan kau, bantu aku mengurus pencuri cilik ini. Sisanya lanjutkan tugas kalian!”
“Baik.”
Setelah menjura hormat, mereka meninggalkan tempat itu menggunakan kuda masing-masing.
Seorang prajurit mengeluarkan tali dari tas yang dibawa di punggung kuda. Akan tetapi perwira Yang langsung menotok pundaknya hingga membuat prajurit itu pingsan.
“Yang Ciangkun, apa yang ….”
Prajurit itu juga langsung jatuh tersungkur setelah menerima totokan perwira Yang.
Long Wei yang melihat semua itu terbelalak. Bukan karena totokan perwira Yang, melainkan terbelalak karena perwira Yang itu sendiri.
“Kau ….”
“Kita bertemu lagi.” Perwira Yang tersenyum tipis. “Gelang itu masih kaubawa, nak?”
“Kakek Yang Feng?”
Naik kuda tunggangan yang diambil dari kedua prajurit pingsan, Yang Feng membawa Long Wei menjauhi tempat itu. Melihat dari arah bayangan, mereka saat ini sedang menuju ke utara.Long Wei terus mengikuti sosok kakek berpakaian prajurit kekaisaran itu yang sejak tadi tidak mengatakan apa pun. Sebenarnya dia juga tak terlalu peduli hendak pergi ke mana, Long Wei tidak punya tujuan pasti.Yang Feng menghentikan laju kudanya di anak sungai kecil yang masih tersambung dengan sungai di belakang warung tadi. Ia menengok ke segala penjuru terlebih dahulu untuk memastikan keadaan benar-benar aman. Setelah merasa yakin, kakek itu melompat turun dan duduk di atas rumput tebal.“Jadi, apa itu tadi?” Long Wei masih tidak mengerti dengan semuanya.Yang Feng terkekeh. “Kau terlalu waspada kepadaku, nak.” Ia melihat jarak mereka terpisah kurang lebih dua tombak dengan Long Wei yang telah meraba gagang pedangnya. “Aku hanya ingin bilang terima kasih.”Wajah Long Wei berubah seketika. Mulutnya terbuka l
Karena tempat tinggal Yang Feng sebelumnya sudah tak aman lagi, maka mereka pergi mengembara ke banyak tempat. Perjalanan dilakukan menggunakan kuda yang sama, menuju utara.Ketika Long Wei menanyakan alasan kenapa mereka pergi ke utara, Yang Feng menjawab kalau tak ada alasan pasti. Satu hal pasti adalah sangat berbahaya bila terlalu dekat dengan ibu kota yang ada di wilayah barat, berdiri di kaki pegunungan Yuling.Walau Long Wei ikut Yang Feng bukan karena sungguh-sungguh ingin jadi murid melainkan karena balas dendam dan sedikit balas budi, tapi ia tetap patuh akan segala perintah Yang Feng. Ketika mereka harus tidur beratapkan langit, Long Wei yang akan mencarikan kayu bakar dan makanan untuk mereka berdua. Ketika sampai di desa, mereka biasanya akan membantu siapa saja yang membutuhkan untuk mendapat uang, Long Wei amat rajin untuk itu. Karena inilah Yang Feng makin merasa sayang dan kasihan kepada pemuda tersebut, apalagi setelah ia mendengar masa lalu Long Wei.Namun selama ha
Desa Qinglang jadi gempar karena terkejut dengan kedatangan perwira Kai yang terlalu tiba-tiba. Dua puluh orang berpakaian prajurit lengkap dengan menunggang kuda-kuda gagah, itulah pasukan pimpinan Perwira Kai yang dibawa ke desa Qinglan.Keadaan semakin gempar ketika perwira itu melukai seorang perempuan yang mereka semua tahu sebagai istri dari Lu Taihiap (Pendekar Lu). Beberapa pemuda mencoba untuk membela Mei Mei, tapi mereka hanya mendapat pukulan yang lebih keras dari bawahan perwira Kai.Kini, keadaan kembali gempar karena kedatangan Yang Feng yang mengirimkan suara berisi tenaga dalam, membuat suaranya jadi lebih keras beberapa kali lipat.“Siapa di sini yang dipanggil Perwira Kai?”Ayam-ayam berkokok dan lari ketakutan. Babi, sapi, kambing, serta hewan-hewan ternak lain merunduk dengan ngeri setelah datang bentakan yang seolah turun dari langit. Tak lama kemudian terdengar ringkik kuda dari salah satu sisi desa, Yang Feng segera menoleh ke sumber suara untuk menemukan sekump
Gerbang desa sudah tampak di depan sana, tinggal beberapa langkah lagi. Akan tetapi, sepintas pemikiran menghantam kepalanya sampai membuat kening Long Wei mengkerut. Baru teringat olehnya selama pertempuran tadi sama sekali tak tampak batang hidung perwira Kai.“Ke mana dia?” Pemuda itu menghentikan larinya di depan sebuah rumah, membuat penghuninya makin ketakutan dan cepat-cepat bersembunyi.Matanya menyapu segenap penjuru untuk mencari keberadaan perwira Kai kalau-kalau orang itu justru diam-diam mengikutinya. Long Wei mencabut pedang pendek dan bersiap dengan kuda-kuda.Sepintas pemikiran kembali menghantam kepalanya tak lama kemudian. “Jangan-jangan ….” Long Wei langsung berlari menuju rumah Lu Kwan. ***Menggunakan golok besarnya, Lu Kwan menebas kepala Yang Feng sekuat tenaga. Sungguh golok itu tak bisa dianggap main-main karena senjata itulah yang mengangkat Lu Kwan menjadi pendekar tersohor berjuluk Lu Taihiap.Y
Walau sedang dalam keadaan terluka yang cukup parah, tapi Yang Feng tetaplah seorang pendekar besar yang berjuluk Tapak Baja. Kepekaannya terhadap sekitar telah tinggi sekali sehingga tebasan pedang Cang Er mampu ia rasakan dengan jelas.Pedang itu berhenti dan bergetar saat tangan Yang Feng menahannya menggunakan dua jari tangan. Cang Er berseru kaget dan mencoba menarik pedangnya, tapi tak berhasil.Sedangkan Yang Feng hanya tersenyum lembut, sama sekali tidak menunjukkan ekspresi marah. “Maafkan aku, nak … ini salahku yang tak bisa melindungi kalian.”Cang Er mematung selama beberapa saat sebelum jatuh berlutut sambil menutup muka dengan dua tangan. Pundaknya bergetar hebat diiringi isak tangis memilukan. Hati Yang Feng sakit sekali mendengarnya.Long Wei menghela napas lega saat melihat Yang Feng baik-baik saja. Ia menghampiri mereka.“Kau tak apa, kek?” tanyanya.Yang Feng menggeleng. “Luka dalamku bertambah, ini sungguh tidak baik. Setelah ini kita akan mampir ke rumah Setan Sak
Yang Feng tidak langsung mengajari sesuatu kepada Long Wei karena dia ingin mengetahui kesetiaan dan kepatuhan pemuda itu. Walau waktu yang berlalu belum begitu lama, tapi Long Wei telah membuktikan bahwa ia berani mempertaruhkan nyawa dengan menghadapi serbuan para prajurit perwira Kai.Di sisi lain, keributan itu juga memaksa Yang Feng untuk menurunkan ilmu lebih cepat dari yang sudah ia rencanakan. Maka dari itulah perjalanan menuju tempat Setan Sakti sangat lama karena mereka harus sering berhenti di tengah jalan agar Yang Feng dapat mengajarkan sesuatu kepada Long Wei.“Yang kulihat, kau sama sekali tidak mengeluarkan tenaga dalam,” komentarnya di pagi kelabu pada hari kedua perjalanan mereka menuju kediaman Setan Sakti. “Kau tidak mengeluarkan tenaga dalam,” ulangnya.Long Wei yang tadi baru saja disuruh memukul telapak tangan Yang Feng itu mengerutkan kening. “Tapi begitulah yang ayahku ajarkan.”Yang Feng menggeleng. “Itu bukan tenaga dalam tapi hanya tenaga luar saja. Kau mam
Nama asli dari kakek berjuluk Pertapa Putih itu adalah Cao Yin. Hanya beberapa orang yang mengetahui nama asli Pertapa Putih, kebanyakan dari mereka adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan, salah satunya adalah Setan Sakti.Di sisi lain, Cao Yin tidak mengetahui siapa nama asli Setan Sakti karena orang itu memang aneh luar biasa. Dia mengaku telah lupa dengan nama sendiri dan selalu menggunakan julukan Setan Sakti ketika memperkenalkan diri, maka dari itu entah kapan terakhir kali nama aslinya terdengar di dunia.“Jangan berlagak jadi pahlawan kau, Cao Yin,” ketus Setan Sakti sambil terus menumbuk. “Kau bisa menyembuhkan suami wanita itu kalau kalian membunuhku?”Cao Yin buru-buru menangkupkan kedua tangan dan menunduk untuk memberi hormat. Sambil tertawa ia berkata. “Hahaha, sungguh dunia ini sempit sekali. Orang yang kukira perampok nakal ternyata adalah dewa obat paling hebat di dunia. Bagaimana kabarmu, Setan Sakti? Dan kenapa kau ada di sini?”“Kalau aku sedang tidak baik, past
Menurut keterangan dari tuan Xi Yan—lelaki yang ditolongnya—, orang yang saat sini sedang mengepung mereka adalah murid-murid dari perkumpulan Ular Iblis. Tampak simbol ular berwarna putih dan bertanduk di punggung masing-masing orang, awalnya Cang Er tak tahu tanda apa itu sebelum diberi tahu.Putri mereka yang masih berumur lima tahun menangis keras melihat kekacauan ini, tapi Xi Yan segera menarik istri dan anaknya untuk bersembunyi. Kini hanya tinggal Cang Er yang berdiri gagah menghadapi tujuh orang berwajah kasar dari perkumpulan Ular Iblis.“Kau cari mati, Nona,” kata sosok tinggi besar dan gundul. Dia membawa senjata berupa rantai panjang yang ujungnya dipasangi bola berduri, kelihatan berat sekali. “Kami datang hanya mengincar orang marga Xi itu. Kenapa kau ikut campur?”“Kalian berharap aku akan membiarkan kejahatan lewat di depan hidungku begitu saja? Jangan mimpi!” bentak Cang Er. “Sekarang akulah lawan kalian.”Mata lelaki botak tadi berkedut. “Kalau kau memaksa.” Lalu ta
Ruangan luas dengan segala perabotan mewah itu membuat siapa saja yang melangkah masuk merasa dirinya kecil bagai debu terbawa angin. Jauh di depan sana, puluhan langkah dari pintu masuk yang besar dan berat, terdapat kursi megah nan agung. Sebuah kursi yang jika siapa pun melihat dalam sekali pandang akan langsung tahu kalau yang pantas menghuni kursi itu pastilah orang penting.Kursi besar itu letaknya sedikit naik dari batu pualam di ruang tersebut, ada beberapa undak tangga yang harus dilewati sebelum mencapai tubuh kursi. Di sebelah kanan dan kiri tangga terdapat pilar besar warna merah dengan hiasan patung naga yang melingkarinya, seolah naga-naga itu menjadi penjaga bagi kursi besar tersebut. Lalu di depan pilar, ada meja kecil tinggi yang di atasnya terdapat hilo berukir indah yang menguarkan bau harum semerbak.Di depan tangga itu banyak meja-meja kecil yang saling berhadapan. Satu deretan meja yang lurus dengan pilar sebelah kiri, satu lagi deretan yang lurus dengan pilar se
Entah dibawa lari ke mana, yang jelas Xu Qinghe merasa tubuhnya bagai terbang menunggang angin. Bahkan untuk berteriak pun dia kesusahan, sehingga hanya mampu diam dan pasrah saat Setan Sakti membawanya dalam kecepatan gila.Di sebuah hutan yang ia rasa letaknya cukup jauh dari tempat Long Wei tadi, tiba-tiba Setan Sakti berhenti berlari. “Sudah aman,” katanya yang tak dimengerti Xu Qinghe.Perlahan Setan Sakti menurunkan tubuh itu. “Nah, kau sudah aman,” katanya lagi. “Kau bisa tenang.”Walau itu Xu Qinghe yang memiliki kepandaian tinggi, tapi dibawa dengan cara dan kecepatan seperti itu membuatnya agak pening juga. Akan tetapi hanya sebentar sebelum kepalanya ringan kembali dan keningnya berkerut.“Aman? Apa maksud Anda? Aman dari siapa?”Setan Sakti menatapnya sedikit tidak percaya, kemudian perlahan-lahan matanya menyipit. “Kau tidak tahu tentang Long Wei? Atau dia yang tak pernah menceritakannya?”Rasa heran Xu Qinghe semakin hebat. “Memangnya ada apa dengan dia? Yang kutahu dia
Xu Qinghe masih menundukkan muka dengan takut-takut. Sesekali ia melirik Long Wei yang ada di sebelahnya, tapi ketika dia melirik Setan Sakti tentu langsung dialihkannya lagi.Kakek itu sendiri tak mau melepas pandangan dari diri Xu Qinghe, entah apa maksudnya.Long Wei berdeham tiga kali untuk mencairkan suasana dan berkata. “Jadi, kau sudah sembuh total.”Kepala Xu Qinghe benar-benar terangkat sekarang, memandang Long Wei. “Benarkah? Aku memang sudah tak merasa sakit lagi di kaki.”“Tapi bekasnya masih ada,” potong Setan Sakti.Spontan Xu Qinghe melirik kakinya, tampak di sana sebuah area hitam di kaki sebelah kanannya. Warna kehitaman yang ada di sekeliling luka gigitan ular. Xu Qinghe tersenyum pahit, sebagai seorang wanita sedikit banyak dia juga mementingkan penampilan dan kondisi kakinya saat ini memang sangat mengganggu.“Warna hitam itu bukan berarti masih ada racun yang tertinggal, tapi karena dagingmu sudah membusuk.” Kakek itu melanjutkan.Xu Qinghe tersentak. “Busuk?”Set
Dengan panik, Long Wei terus mengguncang tubuh itu. Xu Qinghe terus bungkam dengan apa pun yang Long Wei lakukan. Pemuda itu sudah menggoyang-goyangkan pundak, menampar pipi, menggoncang lagi, tapi ia sama sekali tak mau membuka mata.Kemudian Long Wei mengamati luka Xu Qinghe di kaki sebelah kanan. Celananya sudah robek sedikit terkena gigitan ular. Dia melihat kaki gadis itu berlumuran darah merah gelap yang terus mengucur. Makin banyak mengucur, warnanya berubah semakin hitam. Luka itu berupa dua lubang hitam.“Sial!” Memeras segala ingatannya, Long Wei mencoba memaksa darah itu keluar menggunakan tenaga dalam. Cara ini pernah diajarkan Yang Feng beberapa tahun lalu, tapi tidak sering dan karena itu ada bagian-bagian yang Long Wei agak terlupa.Ia menotok jalan-jalan darah di sekitar luka sampai darah yang mengucur itu melambat, kemudian menggunakan tangan kanan ia mengurut kaki di sekitar luka sambil mengerahkan tenaga dalam perlahan. Lambat laun, darah hitam pun keluar. Long Wei
Bagi seorang ahli silat tingkat tinggi, yang menyerang lebih dulu justru akan membuka satu lowongan dan itu berbahaya sekali karena dapat dimanfaatkan oleh musuh. Begitu pula yang ada dalam pikiran mereka berdua.Sudah kurang lebih sepeminuman teh mereka hanya berdiri saling diam dan saling pandang dengan kuda-kuda siap tempur. Tak ada yang berniat memberi serangan lebih dulu karena di kepala masing-masing sudah memikirkan berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi jika salah langkah. Dari semua kemungkinan, tak ada yang tidak berbahaya.Tangan Maut yang jauh lebih kosen pun agaknya waspada mengingat guru Long Wei. Demikian pula Long Wei yang tak mau sembrono menghadapi tokoh tua berpengalaman ini.Setelah dua peminuman teh berlalu, Tangan Maut tertawa mengejek dan berkata. “Apakah si tua Yang Feng hanya mengajarimu cara berdiri?”“Ya,” balas Long Wei tanpa ragu. “Guru mengajariku cara berdiri yang benar dengan dua kaki.”Merah muka kakek itu mendapat balasan yang tak terduga ini. Mema
“Lompat!” Tiba-tiba Xu Qinghe berseru.Tubuh gadis itu melayang ke salah satu pohon sembari menyambit dua senjata rahasia berupa pisau tipis terbakar. Dua kepala ular yang ada di pohon itu langsung berlubang dan mereka tumbang seketika dalam keadaan tak bernyawa.Long Wei tahu gadis itu memilih melompat karena di atas pohon jumlah ular yang ada lebih sedikit. Apalagi dengan kepandaian mereka, mereka bisa pergi dengan cara berlompatan dari pohon ke pohon. Namun sebelum ia sendiri melompat mengikuti apa yang Xu Qinghe lakukan, selusin ular sudah mematuknya.Tongkat Long Wei bergerak cepat menyabet ke kanan dan kiri, menciptakan gulungan sinar kuning gelap yang langsung menewaskan banyak ekor ular.Dari atas Xu Qinghe melihat kesusahan pemuda itu dan tanpa ragu lagi ia menyambit enam senjata rahasia pisau terbakar.Ketika pisau-pisau itu menancap tanah, api segera menyebar membakar rerumputan dan daun-daun kering.“Gila kau!” Long Wei melambung tinggi lantas bergelantungan di salah satu d
“Maaf selalu merepotkanmu.”“Bagus kalau kau sadar.”Xu Qinghe berhenti mendadak dan menatap Long Wei dengan tatapan tajam. “Kau bahkan tak coba menyangkal?”“Bohong itu kurang baik,” kata pemuda itu, “maksudku, jujur lebih baik.”Ia memalingkan wajah dengan muka gemas, membanting kaki kanannya sekali lalu berjalan pergi dengan langkah dihentak-hentakkan.Long Wei menatap punggung gadis itu. Perasaan geli timbul dan membuatnya menahan tawa. Memang Xu Qinghe adalah gadis yang angkuh luar biasa, walau memang diimbangi dengan kepandaian tinggi. Namun setelah kejadian malam itu, Long Wei merasakan perubahan besar dalam sikapnya. Keangkuhannya berkurang jauh dan keberaniannya meningkat pesat. Tak hanya sekali ia menggelengkan kepala karena kagum.Beberapa hari lalu, mereka mendengar kabar kalau di jalur ini siapa pun yang lewat akan terkena penyakit lalu meninggal. Awalnya mereka tak percaya dan memutuskan untuk lewat sini dalam upaya membuktikan hal tersebut.Betapa kaget hati mereka keti
Tak ada pilihan lain bagi Liang Kun untuk membawa pulang tubuh Cang Er selain menggendongnya. Ini bukan pekerjaan sulit, tapi selama perjalanan itu dia tak pernah berhenti merasa cemas.Sampai di markas Gagak Putih, ia disambut dengan seruan-seruan kaget sekaligus heran. Liang Kun menjawab seadanya kalau saat ini Cang Er sedang terluka. Dia buru-buru membawa gadis itu ke kamarnya.Setelah membaringkan tubuh Cang Er ke kasur, datang seorang pelayan wanita yang biasanya mengurus keperluan Cang Er. Wajahnya tampak cemas.“Apa yang terjadi?”“Dia terluka, kena racun,” jawab Liang Kun sambil memperlihatkan luka di pundak Cang Er sebelum menutupnya lagi. “Tapi sekarang seharusnya sudah aman. Di mana guru besar?”“Saat ini sedang kedatangan tamu.”Liang Kun mengangguk-angguk. Tangannya lantas bergerak merogoh saku untuk mengeluarkan tiga bungkusan pemberian Ming Zhao Yu. “Tolong taburkan sedikit masing-masing ketiga obat ini ke lukanya di pagi hari sebelum matahari muncul. Dengan begitu dia
Kurang lebih sepuluh li kemudian, Liang Kun dan Cang Er akhirnya melihat cahaya matahari yang mulai mengintip dari ujung timur. Saat itu giliran Cang Er yang naik kuda, mereka berdua menatap pemandangan itu dengan penuh takjub.Semalaman penuh keduanya terus melaju dengan mengandalkan cahaya bulan yang cukup terang. Karena jalan lebar sehingga tak terlalu sulit bagi mereka. Semalaman juga mereka hampir tak pernah bicara satu sama lain kecuali saat bergantian untuk naik kuda yang tinggal satu. Milik Cang Er yang kakinya patah tak bisa lagi diselamatkan. Mereka menemukannya di bawah turunan dalam keadaan sekarat hampir kehabisan darah.Sampai pagi ini, kecanggungan masih menyelimuti mereka. Tentu saja, perihal malam itu tak bisa dilupakan dengan mudah. Hampir saja Cang Er dijadikan permainan banyak lelaki sekaligus, yang lebih memalukan adalah dia sendiri tidak melakukan perlawanan.“Aku janji berita ini tidak akan terdengar sampai ke telinga guru,” kata Liang Kun tiba-tiba.Tanpa menol