Cukup melelahkan ketika semalaman harus dikejar oleh satu desa karena ketahuan mencuri sepeti harta. Peti itu kecil saja, bahkan dua tangan pun terlalu besar untuk memegangnya, tapi harus Long Wei akui kalau isinya tidak main-main.
Berbagai perhiasan seperti kalung, cincin, anting, gelang, dan pernak-pernik lainnya. Long Wei bahkan sampai bingung harus ia apakan harta sebanyak ini.
“Dijual sajalah,” gumamnya tanpa sadar tepat ketika makanan yang ia pesan dihidangkan di atas meja.
Pelayan itu membungkuk singkat sebelum pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan pelanggan lain.
Warung ini berada di persimpangan yang cukup strategis. Walau di sekelilingnya masih berupa hutan lebat, tapi jarak ke desa terdekat tak sampai lima li. Hal ini membuat para pengelana tak perlu mampir ke desa-desa itu jika hanya untuk sekadar mengisi perut.
Long Wei memilih singgah di tempat ini karena tujuan itu. Dia hanya akan mengisi perut sejenak sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
“Sudah sekitar dua minggu ini dia keliling di desa sekitar sini.”
“Meresahkan sekali.”
Perhatian Long Wei teralihkan ketika mendengar percakapan dua orang tersebut. Dia melirik ke belakang untuk menemukan dua sosok pria berpakaian kasar seperti orang-orang pencari kayu di hutan. Long Wei semakin yakin saat melihat seikat kayu di sisi kursi masing-masing.
“Desamu sudah ada korban?”
“Baru tadi malam. Sekotak harta dari salah satu warga yang kaya sudah hilang.”
Long Wei hampir tersedak karenanya. Siapa lagi yang melakukan itu kalau bukan dia sendiri.
Pemuda itu tersenyum pahit dalam diamnya. Memang setelah ia mencuri gelang giok indah dari Yang Feng, Long Wei hidup sebagai pencuri yang menargetkan rumah-rumah besar. Dengan ilmu silat ajaran ayahnya dulu, tak begitu sulit baginya untuk menyelinap masuk dan keluar tanpa ketahuan.
Ditambah lagi wajah yang masih anak-anak, umur lima belas tahun, tak akan ada yang mengira kalau Long Wei adalah seorang pencuri.
Namun, Long Wei tidak merasa keberatan dengan jalan hidupnya karena sejak dulu dia dan kelompok Hantu Samudra sudah biasa untuk merebut harta benda milik orang. Dengan begitu, seperti saat ini, dia bisa membeli pakaian bersih yang mahal serta senjata pedang pendek yang cukup berguna untuk menakut-nakuti korban.
“Kita istirahat dulu di sini.”
Long Wei mengurungkan niatnya untuk beranjak saat melihat tiga kuda besar tiba di depan pintu warung yang terbuka. Melihat pakaian para penunggangnya, mereka merupakan prajurit kekaisaran.
Long Wei tersenyum tanpa sadar karena pikiran jahat masuk secepat kilat. Uang mereka pasti banyak, ucap batinnya saat melihat satu wadah besi besar yang dibawa masuk oleh dua orang.
“Upeti!” bentak salah satu prajurit dengan galak.
Pemilik warung itu langsung mengkeret di balik meja. Tubuhnya menunduk-nunduk dengan wajah ketakutan. “Minggu lalu anda sudah datang, tuan. Saat ini kami belum punya uang sebanyak itu.”
Meja digebrak dengan keras. “Kau mau memberontak, ya?”
“Tidak … tidak ….”
Long Wei tak lagi tertarik mendengarkan perdebatan itu. Pemuda ini melangkah keluar dari warung dan berpapasan dengan satu prajurit lain yang menenangkan ketiga kuda tersebut. Long Wei tersenyum kecil.
Ia berjalan sampai cukup jauh untuk menyelinap ke balik pepohonan, kemudian kembali lagi ke tempat warung itu berada. Diambilnya batu sebesar kepalan tangan untuk ia lempar mengarah pantat salah satu kuda dengan sedikit pengerahan tenaga dalam.
Kuda itu meringkik dan mendompak, menendang dua kuda lain, juga prajurit tadi. Kepalanya dikibas-kibaskan agar bisa lepas dari cekalan si prajurit yang masih memegang erat. Long Wei menembakkan satu butir lagi.
“Sial, kudanya lepas!” teriak prajurit itu.
Salah satu prajurit yang tadi memalak ikut keluar untuk melihat. Hanya satu kuda yang berhasil diselamatkan kawannya itu. Dia menjadi marah, dengan berang ditamparnya muka si penjaga kuda. “Tidak becus! Tak ada hujan tak ada angin, kenapa bisa terlepas?”
“Tiba-tiba kudanya marah,” balasnya sambil meringis kesakitan.
Seketika keadaan di dalam warung menjadi ribut dan berisik bukan main akibat Long Wei yang sudah melompat masuk lagi melalui jendela, menyerang prajurit si pemegang wadah berisi uang upeti dari tempat-tempat sebelumnya.
Begitu menerjang, Long Wei langsung mengincar leher orang itu yang tidak tertutup baju baja. Tentu saja ia mengelak, dengan sedikit susah payah karena satu tangan harus memegang wadah tersebut.
“Maling!” serunya.
Namun, Long Wei dengan cekatan telah menendang lutut lawan, membuatnya terjungkal. Secepat kilat ia injak lehernya berbareng dengan menyambar wadah tersebut.
“Terima kasih.” Lantas Long Wei pergi dari sana.
Gegerlah keadaan di situ karena mereka sama sekali tak menyangka akan ada maling yang begitu berani beraksi di siang bolong begini.
Satu prajurit yang tadi menampar temannya tidak repot-repot untuk melihat kondisi kawannya yang lain. Orang ini segera melompat ke punggung kuda dan mengejar siluet Long Wei yang masih kelihatan.
“Kumpulkan para prajurit dari desa sekitar!” perintahnya sebelum membalapkan kuda tersebut.
Long Wei terus berlari ke dalam hutan, memilih tempat-tempat dengan pepohonan rapat. Dari suara yang didengar ia tahu musuhnya mengejar naik kuda sehingga tempat seperti ini akan tambah menyulitkan jika dilewati dengan hewan tunggangan.
Tubuhnya melesat dengan lincah di antara pepohonan, menukik di turunan tajam, lalu melayang, berayun dari pohon satu ke pohon lain.
Kurang lebih sampai dua li mereka terus melakukan kejar-kejaran sebelum Long Wei tiba-tiba terjatuh.
“Sial!” Suara berkeresak terdengar ketika ia menggelinding di tanah penuh rumput tebal berduri. Pakaiannya kotor dan lecet di sana-sini. Beberapa koin yang berhamburan ia ambil kembali, beberapa ia abaikan.
“Berhenti!” Teriakan terdengar disusul kesiur angin tajam.
Spontan Long Wei miringkan kepala ke kanan, sebatang anak panah lewat tak sampai setengah napas kemudian, menancap di batang pohon hampir setengah bagian.
Si pengejar tadi ternyata sudah tiba. Long Wei harus mengakui kehebatannya dalam mengendalikan kuda itu karena mampu melewati jalanan ini jauh lebih cepat dari perkiraan awal.
“Aku tak berniat menyerah! Ayo bertanding satu lawan satu!” Long Wei mencabut pedang pendeknya lantas menerjang.
“Bagus!” Orang itu membuang gendewa dan mencabut sebatang golok.
Traaangg ….
Bunga api berpijar ketika pedang Long Wei hampir menebas leher orang dan mampu ditangkis sempurna oleh prajurit tersebut. Walau demikian, prajurit itu tetap terhuyung dan jatuh dari punggung kuda.
Wadah berisi uang upeti tadi pun juga ikut terlepas dari genggaman tangan Long Wei. Isinya berhamburan ke mana-mana. Namun Long Wei tak punya waktu memikirkan itu karena serangan berikutnya telah tiba.
Mereka beradu senjata di tengah lebatnya pepohonan dengan satu niat sama, yaitu menghabisi lawan. Si prajurit kekaisaran sebenarnya hendak menawan Long Wei, tapi melihat kemampuan pemuda itu ia jadi merubah niat awal. Long Wei ternyata terlalu lihai untuk di tangkap.
“Kau kalah!” seru Long Wei saat tubuhnya melesat ke samping sambil menusukkan pedangnya menuju lambung.
Darah terciprat membasahi rerumputan, tapi luka itu masih terlalu dangkal.
Prajurit itu tersenyum. “Kau bocah pencuri yang lihai juga, setidaknya masih patut disandingkan dengan kesombonganmu.”
Pertempuran kembali berlanjut. Suara dentang dua logam yang diadu terus terdengar sampai jauh, sehingga menjadi semacam pemandu jalan untuk tujuh prajurit baru yang sudah dipanggil dari desa terdekat.
“Di sana!” tunjuk prajurit paling depan ketika melihat dua orang sedang bertempur di kejauhan. “Jangan memanah. Itu membahayakan teman kita.” Ia mencegah saat melihat orang di sebelahnya sudah menarik gendewa.
Seorang yang di belakangnya tiba-tiba berdiri di punggung kuda, mencabut golok lantas melompat. Tubuhnya seperti melayang, menandakan dia merupakan ahli silat tangguh.
“Hentikan pertarungan!” sosok itu meraung lalu menangkis senjata Long Wei dan lawannya, membuat mereka terpental.
Ternyata orang itu adalah orang tua yang umurnya sudah banyak, tak mungkin di bawah enam puluh. Rambut kepala, alis dan jenggotnya sudah putih dan panjang semua. Akan tetapi gerakan itu benar-benar membuat mereka merasa kagum.
“Tak ada gunanya membunuh penjahat cilik seperti dia, kenapa kau coba membunuhnya?” Kakek ini menegur kepada lawan Long Wei.
“Yang Ciangkun (Perwira Yang), saya hanya melindungi diri,” kilah prajurit itu sambil menunduk memberi hormat. “Jika tidak begitu, maka saya yang akan mati.”
Keenam prajurit lain tiba di sana yang langsung membantu lawan Long Wei berdiri.
Kakek itu mendengus sebal. “Kau, dan kau, bantu aku mengurus pencuri cilik ini. Sisanya lanjutkan tugas kalian!”
“Baik.”
Setelah menjura hormat, mereka meninggalkan tempat itu menggunakan kuda masing-masing.
Seorang prajurit mengeluarkan tali dari tas yang dibawa di punggung kuda. Akan tetapi perwira Yang langsung menotok pundaknya hingga membuat prajurit itu pingsan.
“Yang Ciangkun, apa yang ….”
Prajurit itu juga langsung jatuh tersungkur setelah menerima totokan perwira Yang.
Long Wei yang melihat semua itu terbelalak. Bukan karena totokan perwira Yang, melainkan terbelalak karena perwira Yang itu sendiri.
“Kau ….”
“Kita bertemu lagi.” Perwira Yang tersenyum tipis. “Gelang itu masih kaubawa, nak?”
“Kakek Yang Feng?”
Naik kuda tunggangan yang diambil dari kedua prajurit pingsan, Yang Feng membawa Long Wei menjauhi tempat itu. Melihat dari arah bayangan, mereka saat ini sedang menuju ke utara.Long Wei terus mengikuti sosok kakek berpakaian prajurit kekaisaran itu yang sejak tadi tidak mengatakan apa pun. Sebenarnya dia juga tak terlalu peduli hendak pergi ke mana, Long Wei tidak punya tujuan pasti.Yang Feng menghentikan laju kudanya di anak sungai kecil yang masih tersambung dengan sungai di belakang warung tadi. Ia menengok ke segala penjuru terlebih dahulu untuk memastikan keadaan benar-benar aman. Setelah merasa yakin, kakek itu melompat turun dan duduk di atas rumput tebal.“Jadi, apa itu tadi?” Long Wei masih tidak mengerti dengan semuanya.Yang Feng terkekeh. “Kau terlalu waspada kepadaku, nak.” Ia melihat jarak mereka terpisah kurang lebih dua tombak dengan Long Wei yang telah meraba gagang pedangnya. “Aku hanya ingin bilang terima kasih.”Wajah Long Wei berubah seketika. Mulutnya terbuka l
Karena tempat tinggal Yang Feng sebelumnya sudah tak aman lagi, maka mereka pergi mengembara ke banyak tempat. Perjalanan dilakukan menggunakan kuda yang sama, menuju utara.Ketika Long Wei menanyakan alasan kenapa mereka pergi ke utara, Yang Feng menjawab kalau tak ada alasan pasti. Satu hal pasti adalah sangat berbahaya bila terlalu dekat dengan ibu kota yang ada di wilayah barat, berdiri di kaki pegunungan Yuling.Walau Long Wei ikut Yang Feng bukan karena sungguh-sungguh ingin jadi murid melainkan karena balas dendam dan sedikit balas budi, tapi ia tetap patuh akan segala perintah Yang Feng. Ketika mereka harus tidur beratapkan langit, Long Wei yang akan mencarikan kayu bakar dan makanan untuk mereka berdua. Ketika sampai di desa, mereka biasanya akan membantu siapa saja yang membutuhkan untuk mendapat uang, Long Wei amat rajin untuk itu. Karena inilah Yang Feng makin merasa sayang dan kasihan kepada pemuda tersebut, apalagi setelah ia mendengar masa lalu Long Wei.Namun selama ha
Desa Qinglang jadi gempar karena terkejut dengan kedatangan perwira Kai yang terlalu tiba-tiba. Dua puluh orang berpakaian prajurit lengkap dengan menunggang kuda-kuda gagah, itulah pasukan pimpinan Perwira Kai yang dibawa ke desa Qinglan.Keadaan semakin gempar ketika perwira itu melukai seorang perempuan yang mereka semua tahu sebagai istri dari Lu Taihiap (Pendekar Lu). Beberapa pemuda mencoba untuk membela Mei Mei, tapi mereka hanya mendapat pukulan yang lebih keras dari bawahan perwira Kai.Kini, keadaan kembali gempar karena kedatangan Yang Feng yang mengirimkan suara berisi tenaga dalam, membuat suaranya jadi lebih keras beberapa kali lipat.“Siapa di sini yang dipanggil Perwira Kai?”Ayam-ayam berkokok dan lari ketakutan. Babi, sapi, kambing, serta hewan-hewan ternak lain merunduk dengan ngeri setelah datang bentakan yang seolah turun dari langit. Tak lama kemudian terdengar ringkik kuda dari salah satu sisi desa, Yang Feng segera menoleh ke sumber suara untuk menemukan sekump
Gerbang desa sudah tampak di depan sana, tinggal beberapa langkah lagi. Akan tetapi, sepintas pemikiran menghantam kepalanya sampai membuat kening Long Wei mengkerut. Baru teringat olehnya selama pertempuran tadi sama sekali tak tampak batang hidung perwira Kai.“Ke mana dia?” Pemuda itu menghentikan larinya di depan sebuah rumah, membuat penghuninya makin ketakutan dan cepat-cepat bersembunyi.Matanya menyapu segenap penjuru untuk mencari keberadaan perwira Kai kalau-kalau orang itu justru diam-diam mengikutinya. Long Wei mencabut pedang pendek dan bersiap dengan kuda-kuda.Sepintas pemikiran kembali menghantam kepalanya tak lama kemudian. “Jangan-jangan ….” Long Wei langsung berlari menuju rumah Lu Kwan. ***Menggunakan golok besarnya, Lu Kwan menebas kepala Yang Feng sekuat tenaga. Sungguh golok itu tak bisa dianggap main-main karena senjata itulah yang mengangkat Lu Kwan menjadi pendekar tersohor berjuluk Lu Taihiap.Y
Walau sedang dalam keadaan terluka yang cukup parah, tapi Yang Feng tetaplah seorang pendekar besar yang berjuluk Tapak Baja. Kepekaannya terhadap sekitar telah tinggi sekali sehingga tebasan pedang Cang Er mampu ia rasakan dengan jelas.Pedang itu berhenti dan bergetar saat tangan Yang Feng menahannya menggunakan dua jari tangan. Cang Er berseru kaget dan mencoba menarik pedangnya, tapi tak berhasil.Sedangkan Yang Feng hanya tersenyum lembut, sama sekali tidak menunjukkan ekspresi marah. “Maafkan aku, nak … ini salahku yang tak bisa melindungi kalian.”Cang Er mematung selama beberapa saat sebelum jatuh berlutut sambil menutup muka dengan dua tangan. Pundaknya bergetar hebat diiringi isak tangis memilukan. Hati Yang Feng sakit sekali mendengarnya.Long Wei menghela napas lega saat melihat Yang Feng baik-baik saja. Ia menghampiri mereka.“Kau tak apa, kek?” tanyanya.Yang Feng menggeleng. “Luka dalamku bertambah, ini sungguh tidak baik. Setelah ini kita akan mampir ke rumah Setan Sak
Yang Feng tidak langsung mengajari sesuatu kepada Long Wei karena dia ingin mengetahui kesetiaan dan kepatuhan pemuda itu. Walau waktu yang berlalu belum begitu lama, tapi Long Wei telah membuktikan bahwa ia berani mempertaruhkan nyawa dengan menghadapi serbuan para prajurit perwira Kai.Di sisi lain, keributan itu juga memaksa Yang Feng untuk menurunkan ilmu lebih cepat dari yang sudah ia rencanakan. Maka dari itulah perjalanan menuju tempat Setan Sakti sangat lama karena mereka harus sering berhenti di tengah jalan agar Yang Feng dapat mengajarkan sesuatu kepada Long Wei.“Yang kulihat, kau sama sekali tidak mengeluarkan tenaga dalam,” komentarnya di pagi kelabu pada hari kedua perjalanan mereka menuju kediaman Setan Sakti. “Kau tidak mengeluarkan tenaga dalam,” ulangnya.Long Wei yang tadi baru saja disuruh memukul telapak tangan Yang Feng itu mengerutkan kening. “Tapi begitulah yang ayahku ajarkan.”Yang Feng menggeleng. “Itu bukan tenaga dalam tapi hanya tenaga luar saja. Kau mam
Nama asli dari kakek berjuluk Pertapa Putih itu adalah Cao Yin. Hanya beberapa orang yang mengetahui nama asli Pertapa Putih, kebanyakan dari mereka adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan, salah satunya adalah Setan Sakti.Di sisi lain, Cao Yin tidak mengetahui siapa nama asli Setan Sakti karena orang itu memang aneh luar biasa. Dia mengaku telah lupa dengan nama sendiri dan selalu menggunakan julukan Setan Sakti ketika memperkenalkan diri, maka dari itu entah kapan terakhir kali nama aslinya terdengar di dunia.“Jangan berlagak jadi pahlawan kau, Cao Yin,” ketus Setan Sakti sambil terus menumbuk. “Kau bisa menyembuhkan suami wanita itu kalau kalian membunuhku?”Cao Yin buru-buru menangkupkan kedua tangan dan menunduk untuk memberi hormat. Sambil tertawa ia berkata. “Hahaha, sungguh dunia ini sempit sekali. Orang yang kukira perampok nakal ternyata adalah dewa obat paling hebat di dunia. Bagaimana kabarmu, Setan Sakti? Dan kenapa kau ada di sini?”“Kalau aku sedang tidak baik, past
Menurut keterangan dari tuan Xi Yan—lelaki yang ditolongnya—, orang yang saat sini sedang mengepung mereka adalah murid-murid dari perkumpulan Ular Iblis. Tampak simbol ular berwarna putih dan bertanduk di punggung masing-masing orang, awalnya Cang Er tak tahu tanda apa itu sebelum diberi tahu.Putri mereka yang masih berumur lima tahun menangis keras melihat kekacauan ini, tapi Xi Yan segera menarik istri dan anaknya untuk bersembunyi. Kini hanya tinggal Cang Er yang berdiri gagah menghadapi tujuh orang berwajah kasar dari perkumpulan Ular Iblis.“Kau cari mati, Nona,” kata sosok tinggi besar dan gundul. Dia membawa senjata berupa rantai panjang yang ujungnya dipasangi bola berduri, kelihatan berat sekali. “Kami datang hanya mengincar orang marga Xi itu. Kenapa kau ikut campur?”“Kalian berharap aku akan membiarkan kejahatan lewat di depan hidungku begitu saja? Jangan mimpi!” bentak Cang Er. “Sekarang akulah lawan kalian.”Mata lelaki botak tadi berkedut. “Kalau kau memaksa.” Lalu ta
Andai saja tidak berwajah terlalu pucat dan mengeluarkan banyak darah, orang itu sejatinya memiliki bentuk wajah yang tampan. Cang Er bisa mengenalnya karena dulu waktu pembasmian kelompok Zhu Ren orang itu juga ikut serta bahkan menjadi salah satu tokoh penting. Dia bukan lain adalah Siauw Ki, seorang murid Perguruan Taring Naga yang lihai.Pemuda itu terbaring lemas dengan napas pendek-pendek. Sesekali ia meringis kesakitan saat kakek tabib mengoleskan sesuatu ke lukanya. Keadaan Siauw Ki amat memprihatinkan, jika saja dia bukan seorang yang lihai, kiranya tidak terlalu berlebihan jika dikatakan saat ini dia pasti sudah mati dengan luka seperti itu.“Biar kubantu.” Jit Kauw maju ke tepi pembaringan. Tanpa permisi dan minta persetujuan, ia langsung menggerakkan telunjuk jari tangan yang bergerak cepat menotok sana-sini. Seketika darah yang tadi mengucur berhenti mengalir. Ini memudahkan tabib tersebut.“Air panas,” kata tabib itu sambil tergopoh-gopoh menghampiri panci di atas meja.
Mereka diberi kuda-kuda terbaik yang dimiliki Gagak Putih serta bekal selama perjalanan. Mereka tidak tahu seberapa lama perjalanan ini akan berlangsung karena tempat itu demikian jauh, Cao Yin memperkirakan tak mungkin kurang dari dua bulan. Maka dari itu mereka juga mengantongi banyak uang.Tindakan itu sebenarnya sedikit mengkhawatirkan mengingat keadaan saat ini yang serba kacau. Namun, itu perintah guru mereka, apa boleh buat.Pagi hari itu Cang Er dan Liang Kun sudah meninggalkan wilayah Gagak Putih untuk menuju utara. Kepergian dua murid pribadi ketua perguruan tentu diiringi lambaian tangan dan sorak-sorai membahana. Semua orang mendoakan agar mereka lekas pulang dalam keadaan selamat tentunya.Dalam perjalanan ini, berbagai desa dan kota dilewati. Sungai-sungai kecil dan besar diseberangi. Beberapa kali ada bandit menghadang, tapi hanya berakhir tumbang entah tanpa nyawa atau sengaja dilepaskan. Dua tokoh Perguruan Gagak Putih ini selama perjalanan juga terus melatih ilmu sil
Ia mainkan ilmu silat Berkah Dewi khas milik Gagak Putih. Seharusnya tampak cahaya bersinar terang di masing-masing tangan ketika siapa pun mainkan ilmu silat ini. Akan tetapi, Cang Er mendapati satu keanehan pagi hari itu. Ketika ia berlatih di hutan belakang Perguguran Gagak Putih, saat ia mengerahkan tenaga dari Berkah Dewi tangan kanannya diliputi cahaya putih sedangkan tangan kirinya terselubung cahaya hitam.Cang Er bahkan sampai ngeri melihat perubahan dalam dirinya sendiri. Ketika ia mencoba memukul roboh sebatang pohon yang tak begitu tinggi, hasilnya pun luar biasa lain. Saat terkena tangan kanan, pohon itu langsung pecah berhamburan dan tumbang. Namun, ketika ia memukul menggunakan tangan kiri yang bercahaya hitam, pohon itu tumbang perlahan-lahan. Walau begitu efek yang ditimbulkan tangan kiri ini lebih mengerikan karena saat batang pohon itu tumbang, bagian dalamnya sudah menghitam seperti terbakar dan berubah jadi semacam bubuk halus.“Gila, dari mana kekuatan terkutuk i
Liang Kun sudah berulang kali memberitahunya untuk tetap berdiam di kamar selama beberapa waktu, tapi rasa penasaran yang mengeram di hati seolah sudah tidak sabar untuk dikemukakan.Cang Er selalu merasa gelisah dalam kamarnya ketika mengingat kata-kata Zhu Ren. Bajak laut itu dengan lancang berani bilang kalau gurunya juga seorang pengecut karena meminta bantuan golongan hitam untuk menggempur bajak laut Hantu Samudera. Tentu saja Cang Er tidak percaya begitu saja, maka dari itu malam ini dia dengan langkah buru-buru mendatangi tempat Cao Yin.Pintu diketuk tiga kali dan membuka perlahan. Di sana tampak Cao Yin yang mengenakan jubah serba putih sedang duduk bersila di atas bantalan empuk. Tanpa ragu, Cang Er masuk lantas menjura hormat.“Guru.”Cao Yin mengelus jenggot panjangnyanya. Dengan muka tenang, ia berkata. “Kau masih belum sembuh, kenapa malam-malam justru memaksakan diri untuk datang ke sini?”“Sebenarnya saya sudah ingin mengatakan ini kepada guru sejak pertama kali kami
Orang itu menoleh sedikit, sayang Long Wei tak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena tak ada penerangan sama sekali kecuali sebatang lilin kecil yang menyala redup di meja sebelah kiri orang itu.“Maaf lancang masuk tanpa izin,” kata Long Wei seraya menundukkan badan dengan hormat.Orang itu seolah tak mempermasalahkan sama sekali. Dia kembali ke posisi semula dan mencelupkan kuas ke tempat tinta sebelum menulis lagi di atas kertas panjang.Long Wei merasakan keanehan sikap orang, tapi dia tidak terlalu mempermasalahkan. Pemuda itu berbalik lalu mengintip di celah jendela, tampak banyak orang berlari kacau balau di tengah kekacauan kebakaran gedung-gedung besar.“Kau tidak ikut lari?” Setelah waktu yang cukup lama hanya saling diam, Long Wei akhirnya buka suara.Terdengar suara kekehan orang itu. Ia menjawab. “Pertanyaan yang sama bisa kuajukan padamu pula.”Menurut Long Wei setelah mendengar suaranya, orang itu umurnya tentu tidak lebih dari empat puluh tahun. Melihat kulit tanga
Karena maklum dengan kepandaian Long Wei, Shi tidak mau terlalu gegabah. Satu pasak lagi dikeluarkan maka kini ia memegang sepasang pasak yang ampuh sekali.Jika Shi menjadi lebih waspada, berbeda dengan dua orang lainnya. Mereka belum mengenal sejauh apa kepandaian Long Wei, sehingga saat bertongkat ataupun tidak di mata mereka sama saja.Ming Zhao Yu yang melakukan serangan lebih dulu. Lelaki bertopeng itu merangsek maju dengan tombak siap menusuk mengarah titik-titik vital. Hampir secara bersamaan, Lonceng Surga menyerang menggunakan tapak tangan kiri yang mengeluarkan asap hitam, ilmu khas Ular Darah.Long Wei hanya melirik sesaat serangan-serangan mereka lalu mulai bergerak.Walau yang menyerang lebih dulu adalah Ming Zhao Yu, tapi yang lebih dekat adalah Lonceng Surga sehingga serangannya yang mendarat lebih dulu. Long Wei menghadapinya dengan tenang. Ia miringkan tubuh ke belakang untuk menghindar dan bersiap melakukan serangan balik.Akan tetapi, memang pantas jika orang ini m
Tanpa sungkan lagi Long Wei mainkan ilmu Guntur Peruntuh Mega. Tangannya yang berisi tenaga dalam sepenuhnya bergerak cepat untuk memukul ke kanan dan kiri. Dalam sekali gebrakan ini, dua pengeroyok tumbang seketika.Di sisi lain, tanpa sarung tangan besinya, Zhen Yu juga mengamuk tak kalah hebat. Dia bersilat dengan ilmu silat yang kelihatan agak aneh, gerakannya lebih sering menunduk dan menubruk atau melakukan cakaran ke arah mata. Namun, sejatinya di situlah letak keampuhan ilmu tersebut. Gerakan yang mirip singa itu selalu berhasil menipu mata lawan, seolah hendak bergerak ke kanan padahal ke kiri atau sebaliknya. Tak jauh berbeda dari Long Wei, dalam sekali bergebrak beberapa prajurit sudah jatuh tumbang.Ah Cui walau tidak terlalu menonjol, tapi ternyata dia memiliki ilmu silat yang lumayan juga. Gerakannya hampir mirip dengan Zhen Yu walau tidak sekuat pemuda itu. Akan tetapi, dia tetap merupakan sosok merepotkan bagi para prajurit.“Hyaaaahhh!”Menyusul bentakan ini, tiga ora
“Satu.”“Apa tidak terlalu sedikit?”“Terlalu banyak justru berbahaya. Ini istana, tak bisa kita samakan dengan yang lain-lain.” Zhen Yu memberi penjelasan dengan ekspresi yakin. “Kelemahannya juga satu, kalau ketahuan selesai sudah.”Kakek Raja Perahu yang sejak tadi diam kini ikut bersuara. “Kalian memang seperti singa, berani sekali. Menyusupkan orang ke istana hanya satu orang?”“Harus kukatakan lagi?”Menurut penjelasan Zhen Yu, Singa Emas sudah sejak lama menanam orang di istana dan jumlahnya hanya satu. Pemuda itu menjamin kalau kepandaian orang itu sangat lihai dalam hal penyamaran dan penyusupan. Kali ini jika ada orang yang menyelamatkan mereka, pastilah si penyusup itu.“Atau dengan tambahan orang dari luar,” tambah Zhen Yu setelah berpikir sebentar. “Untuk menyelamatkanku, kalau hanya satu orang kupikir terlalu sedikit.”Di tengah pembicaraan mereka yang dilakukan setengah berbisik, samar-samar mereka mendengar suara gaduh dari atas. Tak ada yang merasa heran dengan itu ka
Ketika Long Wei terbangun, dia mendapati dirinya sedang berada di sebuah ruangan remang-remang tanpa cahaya. Matanya mampu melihat wujud ruangan batu di sekelilingnya hanya karena cahaya obor dari luar yang terbawa masuk sekalian. Di depannya terdapat jeruji besi yang tampak tebal dan kuat, sekali pandang saja ia sudah mengerti bahwa ini ada di penjara.Ia menekan lantai batu dingin di bawah menggunakan dua tangan dalam usahanya bangkit mendudukkan diri. Terasa sakit di seluruh badan, tapi semua luka yang diakibatkan dari pertempuran melawan Shi dan lain-lain sudah mengering.Long Wei menyandarkan diri di dinding batu belakangnya lantas menghela napas panjang. Dia tidak mau berpikir pendek dan langsung menyerah putus asa. Dia akan mencari jalan keluar bagaimanapun caranya, tugas besar yang ia emban belum selesai. Tangan Maut dan Pertapa Putih masih berkeliaran, urusan antara Pedang Api dan Singa Emas belum selesai sedangkan dia sudah berjanji kepada Xu Qinghe untuk memperbaikinya, Gio