Karena tempat tinggal Yang Feng sebelumnya sudah tak aman lagi, maka mereka pergi mengembara ke banyak tempat. Perjalanan dilakukan menggunakan kuda yang sama, menuju utara.
Ketika Long Wei menanyakan alasan kenapa mereka pergi ke utara, Yang Feng menjawab kalau tak ada alasan pasti. Satu hal pasti adalah sangat berbahaya bila terlalu dekat dengan ibu kota yang ada di wilayah barat, berdiri di kaki pegunungan Yuling.
Walau Long Wei ikut Yang Feng bukan karena sungguh-sungguh ingin jadi murid melainkan karena balas dendam dan sedikit balas budi, tapi ia tetap patuh akan segala perintah Yang Feng. Ketika mereka harus tidur beratapkan langit, Long Wei yang akan mencarikan kayu bakar dan makanan untuk mereka berdua. Ketika sampai di desa, mereka biasanya akan membantu siapa saja yang membutuhkan untuk mendapat uang, Long Wei amat rajin untuk itu. Karena inilah Yang Feng makin merasa sayang dan kasihan kepada pemuda tersebut, apalagi setelah ia mendengar masa lalu Long Wei.
Namun selama hampir seminggu perjalanan, Yang Feng belum menurunkan ilmu apa pun kepada Long Wei.
“Desa Qinglan, tempat yang damai.” Yang Feng menarik napas dalam-dalam untuk menikmati udara pagi yang dingin menyejukkan. “Sudah pernah ke sini?”
Long Wei merasakan aura ketentraman yang hampir belum pernah ia rasakan. Desa ini punya semacam aura tersendiri yang membuat siapa saja merasa nyaman. Dengan tiga bukit tinggi yang mengelilingi desa serta hutan lebat di sisi barat, membuat udara amat sejuk dan menenangkan.
Long Wei menggeleng. “Belum, desa ini tidak dilewati jalur Sungai Bai He, jadi aku tak pernah ke sini.”
Sungai Bai He adalah sungai yang biasa dilalui bajak laut Hantu Samudra ketika mereka masuk lebih jauh ke wilayah daratan.
“Kau akan menyukai desa Qinglan.” Yang Feng tertawa. “Aku ada kenalan juga di sini, dan aku mau mampir. Ikut?”
“Ke mana lagi aku kalau tidak ikut denganmu?”
Yang Feng tertawa bergelak.
Masuk gerbang desa, kesunyian alam seolah tak bisa dipecahkan oleh suara teriakan anak-anak kampung yang saling berkejaran, atau suara para wanita yang mengobrol di teras rumah. Long Wei menarik napasnya panjang, melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Yang Feng beberapa waktu lalu. Seketika kedamaian memenuhi seluruh urat syaraf di tubuhnya.
Andai aku bisa tinggal di sini selamanya. Namun, tiba-tiba pikirannya teringat dengan Giok Langit, Tangan Maut, dan Pertapa Putih. Long Wei tersenyum pahit, sepertinya tidak mungkin.
Yang Feng menuju pinggiran desa yang cukup jauh dengan gerbang masuk, tempat sebuah rumah sederhana berdiri di tengah sawah yang cukup luas. Rumah itu juga punya kandang kuda dan kambing di halaman belakang. Dari jauh, tampak seorang gadis cantik sedang belajar ilmu pukulan di halaman depan.
“Selamat pagi, Cang Er. Kau semakin cantik, nak,” sapa Yang Feng mengejutkan gadis itu yang langsung membalikkan badan.
Gadis cantik jelita dengan rambut yang panjang dan hitam serta tahi lalat di dagu kanan sehinnga menambah kemanisannya, merekahkan senyum. “Kakek Yang.” Dia langsung lari menghampiri dan menjura hormat. “Ayah pasti senang kau datang.”
“Harus senang, hahaha!” Kakek itu turun dari kuda. “Karena ia sendiri yang menyuruhku mampir kalau aku datang ke Qinglan.”
“Ayo masuk,” ajak Cang Er kepada kakek Yang. Dia melihat pula adanya Long Wei di belakang kakek itu, tapi karena tidak kenal maka Cang Er pura-pura tidak melihat.
“Ah, perkenalkan dia Long Wei, orang yang akan mewarisi semua ilmu-ilmuku.” Yang Feng memperkenalkan.
Cang Er kembali menjura, demikian pula dengan Long Wei.
“Beruntung sekali kau, kakak Long, bisa menjadi murid dari pendekar sakti Tapak Baja dari timur.”
Long Wei sudah mengetahui julukan Yang Feng yang mentereng itu dan dia memang merasa beruntung. “Terima kasih.”
Mereka masuk ke rumah sederhana tapi memiliki ruangan yang amat luas. Kursi-kursi tertata rapi di ruang tamu dengan hiasan dinding dan meja yang sekilas pandang seperti buatan tangan sendiri.
“Ini aku yang membuatnya.” Seolah bisa membaca pikiran Long Wei, Cang Er menunjuk teko kecil dari tanah liat di atas meja. “Sayang hasilnya seburuk itu.”
Di mata Long Wei, itu terlalu bagus untuk buatan sendiri karena terdapat ukiran ikan mas sedang saling berkejaran.
Cang Er memanggil ayahnya yang datang tak lama kemudian. Seorang pria berpakaian petani dengan rambut panjang dikuncir dan jenggot tipis, datang tergopoh-gopoh. Wajah lelaki itu langsung cerah saat melihat Yang Feng, teman lamanya.
“Kakek Yang, kau benar-benar datang.” Ia menjura memberi hormat.
“Dan kau sama sekali tak berubah,” ucap Yang Feng sembari menepuk-nepuk pundak orang tersebut.
Ia melihat ada pemuda lain di sana, sebelum bertanya, Yang Feng sudah memperkenalkan lebih dulu. “Dia Long Wei, orang yang akan mewarisi semua ilmuku. Dan dia Lu Kwan.” Yang Feng memperkenalkan mereka berdua.
Long Wei menjura hormat, sedangkan Lu Kwan mengangguk-angguk. “Kau mendapat anak berbakat, kakek Yang. Tulang anak ini cukup bagus,” ucapnya setelah melihat tubuh Long Wei.
“Mana istrimu?”
“Dia pergi ke desa untuk beli sesuatu. Sebentar lagi pasti datang.”
Sampai tengah hari Long Wei dan Yang Feng dijamu di rumah Lu Kwan yang menyediakan berbagai hidangan kepada mereka. Dibantu Lu Cang Er, Lu Kwan menyuguhkan daging panggang, mi kuah, arak manis dan beberapa roti isi sebagai penutup.
Yang Feng bersendawa cukup keras setelah menghabiskan sebagian besar yang diberikan tuan rumah dan Long Wei terkejut sekali Yang Feng bisa makan sebanyak itu. Ternyata selama di perjalanan, Yang Feng selalu menahan diri agar tidak terlalu makan banyak.
“Sudah lama aku tak makan sekenyang ini, terima kasih, nak.” Yang Feng kembali bersendawa. “Tapi, di mana istrimu? Kenapa tak kunjung pulang?”
Lu Kwan dan Cang Er sudah khawatir sejak tadi. Keduanya saling lirik.
“Aku akan menyusulnya, ayah.” Cang Er bangkit dari tempat duduk.
Lu Kwan mengangguk setuju.
Namun tepat saat Cang Er keluar dari pintu, dia memekik tatkala melihat tubuh ibunya yang tersungkur di halaman.
Yang Feng, Lu Kwan dan Long Wei segera berlari keluar dan mereka juga mendapat keterkejutan yang sama seperti Cang Er.
“Mei Mei.” Lu Kwan menyongsong tubuh istrinya yang penuh luka. Ia membaringkan kepala Mei Mei di pangkuannya. “Apa yang terjadi?”
Napas Mei Mei terengah-engah, matanya terbuka setengah. Ucapan yang keluar terdengar serak, selirih bisikan saja.
Lu Kwan lalu mengurut leher dan dada Mei Mei untuk meredakan rasa nyeri agar ia bisa bicara lebih lancar dan jelas. Usahanya berhasil.
“Pasukan Kai Ciangkun (Perwira Kai) datang dan menemuiku. Dia ….” Ucapannya terhenti saat melihat Yang Feng berdiri di belakang suaminya. “Oh ….” Mei Mei pingsan seketika.
“Apa, Kai Ciangkun? Ada masalah apa kalian dengan perwira kekaisaran?” ujar Yang Feng penuh rasa penasaran.
Lu Kwan tak menjawab melainkan langsung membawa tubuh istrinya ke kamar. Dia menyuruh Cang Er merawat ibunya. Untungnya luka Mei Mei hanya luka ringan, tidak membahayakan nyawa.
Setelah itu ia menemui Yang Feng di ruang depan. “Anakku sudah dikejar-kejar oleh perwira itu sejak lama, ia ingin meminangnya dan aku selalu menolak karena enggan berurusan dengan pemerintahan. Selain itu pula, Cang Er tak sudi menikah dengan orang itu, wajar saja, dia sudah tua.” Lu Kwan menjelaskan situasinya. “Dan sekarang dia datang ke Qinglan untuk yang ketiga kalinya dalam sebulan. Sebelumnya tak pernah sebanyak ini.”
Mata Yang Feng memicing. “Jadi hanya persoalan sepele dan dia harus membuat istrimu seperti itu?”
Lu Kwan mengangguk. Kemudian tiba-tiba ia menjura dalam. “Tolonglah keluarga kami, kakek Yang. Kebetulan kau ada di sini, ini pasti pertolongan dari para dewa.”
“Tentu saja aku tak akan biarkan kejadian ini lewat begitu saja!” cetus Yang Feng. “Long Wei, ikut aku. Kita akan cari ribut dengan perwira sombong itu.”
Long Wei mengangguk singkat, ia tak ada alasan untuk menolak.
“Aku juga akan ikut.” Lu Kwan menawarkan diri. “Bagaimanapun, Mei Mei istriku, aku tak bisa tinggal diam.”
“Bagus, begitulah watak pendekar. Sekarang tunjukkan jalannya, akan kubengkokkan hidung Kai Ciangkun itu.”
Tanpa mereka sadari, Cang Er mendengar semua itu dari kamar dan dia merasa amat khawatir. Ia cepat-cepat mengobati luka ibunya dan segera menyusul. Firasatnya buruk soal ini.
Desa Qinglang jadi gempar karena terkejut dengan kedatangan perwira Kai yang terlalu tiba-tiba. Dua puluh orang berpakaian prajurit lengkap dengan menunggang kuda-kuda gagah, itulah pasukan pimpinan Perwira Kai yang dibawa ke desa Qinglan.Keadaan semakin gempar ketika perwira itu melukai seorang perempuan yang mereka semua tahu sebagai istri dari Lu Taihiap (Pendekar Lu). Beberapa pemuda mencoba untuk membela Mei Mei, tapi mereka hanya mendapat pukulan yang lebih keras dari bawahan perwira Kai.Kini, keadaan kembali gempar karena kedatangan Yang Feng yang mengirimkan suara berisi tenaga dalam, membuat suaranya jadi lebih keras beberapa kali lipat.“Siapa di sini yang dipanggil Perwira Kai?”Ayam-ayam berkokok dan lari ketakutan. Babi, sapi, kambing, serta hewan-hewan ternak lain merunduk dengan ngeri setelah datang bentakan yang seolah turun dari langit. Tak lama kemudian terdengar ringkik kuda dari salah satu sisi desa, Yang Feng segera menoleh ke sumber suara untuk menemukan sekump
Gerbang desa sudah tampak di depan sana, tinggal beberapa langkah lagi. Akan tetapi, sepintas pemikiran menghantam kepalanya sampai membuat kening Long Wei mengkerut. Baru teringat olehnya selama pertempuran tadi sama sekali tak tampak batang hidung perwira Kai.“Ke mana dia?” Pemuda itu menghentikan larinya di depan sebuah rumah, membuat penghuninya makin ketakutan dan cepat-cepat bersembunyi.Matanya menyapu segenap penjuru untuk mencari keberadaan perwira Kai kalau-kalau orang itu justru diam-diam mengikutinya. Long Wei mencabut pedang pendek dan bersiap dengan kuda-kuda.Sepintas pemikiran kembali menghantam kepalanya tak lama kemudian. “Jangan-jangan ….” Long Wei langsung berlari menuju rumah Lu Kwan. ***Menggunakan golok besarnya, Lu Kwan menebas kepala Yang Feng sekuat tenaga. Sungguh golok itu tak bisa dianggap main-main karena senjata itulah yang mengangkat Lu Kwan menjadi pendekar tersohor berjuluk Lu Taihiap.Y
Walau sedang dalam keadaan terluka yang cukup parah, tapi Yang Feng tetaplah seorang pendekar besar yang berjuluk Tapak Baja. Kepekaannya terhadap sekitar telah tinggi sekali sehingga tebasan pedang Cang Er mampu ia rasakan dengan jelas.Pedang itu berhenti dan bergetar saat tangan Yang Feng menahannya menggunakan dua jari tangan. Cang Er berseru kaget dan mencoba menarik pedangnya, tapi tak berhasil.Sedangkan Yang Feng hanya tersenyum lembut, sama sekali tidak menunjukkan ekspresi marah. “Maafkan aku, nak … ini salahku yang tak bisa melindungi kalian.”Cang Er mematung selama beberapa saat sebelum jatuh berlutut sambil menutup muka dengan dua tangan. Pundaknya bergetar hebat diiringi isak tangis memilukan. Hati Yang Feng sakit sekali mendengarnya.Long Wei menghela napas lega saat melihat Yang Feng baik-baik saja. Ia menghampiri mereka.“Kau tak apa, kek?” tanyanya.Yang Feng menggeleng. “Luka dalamku bertambah, ini sungguh tidak baik. Setelah ini kita akan mampir ke rumah Setan Sak
Yang Feng tidak langsung mengajari sesuatu kepada Long Wei karena dia ingin mengetahui kesetiaan dan kepatuhan pemuda itu. Walau waktu yang berlalu belum begitu lama, tapi Long Wei telah membuktikan bahwa ia berani mempertaruhkan nyawa dengan menghadapi serbuan para prajurit perwira Kai.Di sisi lain, keributan itu juga memaksa Yang Feng untuk menurunkan ilmu lebih cepat dari yang sudah ia rencanakan. Maka dari itulah perjalanan menuju tempat Setan Sakti sangat lama karena mereka harus sering berhenti di tengah jalan agar Yang Feng dapat mengajarkan sesuatu kepada Long Wei.“Yang kulihat, kau sama sekali tidak mengeluarkan tenaga dalam,” komentarnya di pagi kelabu pada hari kedua perjalanan mereka menuju kediaman Setan Sakti. “Kau tidak mengeluarkan tenaga dalam,” ulangnya.Long Wei yang tadi baru saja disuruh memukul telapak tangan Yang Feng itu mengerutkan kening. “Tapi begitulah yang ayahku ajarkan.”Yang Feng menggeleng. “Itu bukan tenaga dalam tapi hanya tenaga luar saja. Kau mam
Nama asli dari kakek berjuluk Pertapa Putih itu adalah Cao Yin. Hanya beberapa orang yang mengetahui nama asli Pertapa Putih, kebanyakan dari mereka adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan, salah satunya adalah Setan Sakti.Di sisi lain, Cao Yin tidak mengetahui siapa nama asli Setan Sakti karena orang itu memang aneh luar biasa. Dia mengaku telah lupa dengan nama sendiri dan selalu menggunakan julukan Setan Sakti ketika memperkenalkan diri, maka dari itu entah kapan terakhir kali nama aslinya terdengar di dunia.“Jangan berlagak jadi pahlawan kau, Cao Yin,” ketus Setan Sakti sambil terus menumbuk. “Kau bisa menyembuhkan suami wanita itu kalau kalian membunuhku?”Cao Yin buru-buru menangkupkan kedua tangan dan menunduk untuk memberi hormat. Sambil tertawa ia berkata. “Hahaha, sungguh dunia ini sempit sekali. Orang yang kukira perampok nakal ternyata adalah dewa obat paling hebat di dunia. Bagaimana kabarmu, Setan Sakti? Dan kenapa kau ada di sini?”“Kalau aku sedang tidak baik, past
Menurut keterangan dari tuan Xi Yan—lelaki yang ditolongnya—, orang yang saat sini sedang mengepung mereka adalah murid-murid dari perkumpulan Ular Iblis. Tampak simbol ular berwarna putih dan bertanduk di punggung masing-masing orang, awalnya Cang Er tak tahu tanda apa itu sebelum diberi tahu.Putri mereka yang masih berumur lima tahun menangis keras melihat kekacauan ini, tapi Xi Yan segera menarik istri dan anaknya untuk bersembunyi. Kini hanya tinggal Cang Er yang berdiri gagah menghadapi tujuh orang berwajah kasar dari perkumpulan Ular Iblis.“Kau cari mati, Nona,” kata sosok tinggi besar dan gundul. Dia membawa senjata berupa rantai panjang yang ujungnya dipasangi bola berduri, kelihatan berat sekali. “Kami datang hanya mengincar orang marga Xi itu. Kenapa kau ikut campur?”“Kalian berharap aku akan membiarkan kejahatan lewat di depan hidungku begitu saja? Jangan mimpi!” bentak Cang Er. “Sekarang akulah lawan kalian.”Mata lelaki botak tadi berkedut. “Kalau kau memaksa.” Lalu ta
Tentu saja para pengunjung jadi ribut karenanya. Baru kali ini mereka melihat pemilik warung yang bertubuh sebesar gajah mampu dilemparkan orang, apalagi yang melemparnya adalah seorang kakek bongkok.Mulailah rasa takut menyebar kepada setiap orang, hinggap dan mengeram di hati siapa saja yang melihat. Mereka mulai bertanya-tanya, siapa kakek bongkok ini? Apakah seorang penjahat sakti yang baru turun gunung? Ataukah hanya orang gila yang sedang iseng saja?Rasa takut itu berhasil dibuyarkan oleh Yang Feng yang tertawa tergelak. “Kau msasih saja suka cari keributan, ingat umurmu.”Sejenak, Setan Sakti memandang marah kepada si pemilik warung, tapi tatapannya langsung cerah begitu melihat siapa yang sedang berdiri di depan pintu. “Oh, kau rupanya. Dari mana saja?” Seolah melupakan kejadian tadi, dia melangkahi pemilik warung dan menepuk-nepuk pundak Yang Feng. Wajahnya langsung mengerut. “Kau tidak sehat.”Yang Feng menjura hormat. “Aku sedang merantau seperti biasa.”“Merantau?” Setan
Long Wei sungguh tak menyangka jalan hidupnya akan berbelok sejauh ini. Dia dulu berpikir akan menjadi bajak laut sampai mati, mewarisi kelompok Hantu Samudera menggantikan ayahnya dan menjadi raja bajak laut yang ditakuti.Namun, kini dia justru dipercaya oleh dua tokoh sakti yang namanya sangat besar. Dalam sakunya pun, Long Wei membawa benda berharga paling dicari di seluruh dunia persilatan. Sungguh, beberapa kali Long Wei berpikir kalau semua itu hanya mimpi, tapi nyatanya tidak.Tentu saja dia amat girang dan berterima kasih mendengar Setan Sakti akan menurunkan ilmu padanya. Dengan demikian, otomatis ia akan jadi tambah kuat dan kesempatan untuk membalas dendam makin besar.Seperti yang dijanjikan, sore hari itu juga setelah Setan Sakti selesai mengobati Yang Feng, dia langsung menjelaskan teori dari ilmu silat yang hendak ia turunkan.“Namanya adalah Silat Sakti Im-Yang. Di mana Im adalah tenaga dingin dan Yang adalah tenaga panas. Seingatku, tak ada satu manusia pun di bumi in
Orang yang kurus tadi tertawa terbahak-bahak. “Lihat, kan? Sebentar lagi kita bisa pergi dari sini dan jadi kaya raya.”Kekehan si tinggi besar bersenjata golok terdengar memuakkan telinga. “Kita harus bisa menangkap Dewi Teratai Merah.”Pria kurus itu mengangguk-angguk membenarkan. Ia kembali memandang ke arah Cang Er dan Liang Kun. “Jadi, siapa anak muda ini?”Liang Kun melintangkan pedang di depan dada dan spontan maju selangkah di hadapan Cang Er. “Aku Liang Kun, kakak seperguruannya.”“Pasti lebih kuat,” komentar si tinggi besar.“Kalian siapa dan mau apa? Lalu apa maksudnya Dewi Teratai Merah?” Liang Kun memandang tajam penuh kecurigaan.“Hahaha, bahkan kakak seperguruannya sendiri tidak tahu kalau adiknya sudah terkenal di kalangan kita!” si kurus berkata kepada si besar.“Benar-benar menggelikan.” Si tinggi besar tertawa sampai perutnya bergerak naik turun.Cang Er merapatkan tubuh ke belakang Liang Kun. “Kakak, aku sama sekali tidak mengenal mereka dan tidak tahu apa maksud d
Setelah pergi cukup jauh dari Danau Yueya, mereka berdua memperlambat laju kuda masing-masing. Jalanan memang lebar, tapi mereka memilih untuk tidak terlalu buru-buru untuk menikmati keadaan alam sekitar sekaligus beristirahat dari lelahnya tugas yang baru saja dijalankan.“Cang Er, apakah kau yakin baik-baik saja,” tanya Liang Kun yang sudah menjajari kuda Cang Er.Gadis itu tersentak dari lamunannya. Memang tadi dia sedang melamun tentang segala kejadian di Desa Cin Wu baru-baru ini. “Kenapa?”“Wajahmu selalu tampak murung.”Kembali Cang Er menunduk dan merenungkan semuanya. “Sebenarnya, ada satu hal yang sedang kupikirkan dan kusesali.”“Apakah yang kauceritakan kepada Gak Tai Ciangkun tadi itu bohong?” tanya Liang Kun penuh selidik.Gadis itu cepat-cepat menggeleng. “Tidak sama sekali. Semua itu benar. Hanya saja ada beberapa bagian yang aku rahasiakan.”Liang Kun mengembuskan napas panjang. “Sudah kuduga,” ucapnya yakin. “Aku memang merasa ada yang janggal dengan dirimu sejak tad
Perjalanan ke barat kali ini sedikit jauh. Menaiki kuda tunggangannya, ia menyusuri jalan-jalan setapak sempit sepanjang hutan untuk sampai ke tempat tujuan. Tentu saja, dalam hutan-hutan yang lebat ini terdapat banyak para bandit beserta segala macam orang jahat. Di tengah jalan ini Cang Er banyak bertarung untuk menumpas mereka. Kadang ada yang dibunuh, kadang ada yang dibiarkan lolos dengan membuat mereka setengah cacat atau sumpah paksaan.Setelah beberapa hari ke arah barat, Cang Er sedikit membelok. Kini ia menuju barat daya. Tujuannya adalah Danau Yueya yang terkenal dengan keindahan sekaligus keunikan tempat tersebut. Pasalnya, danau itu memiliki ciri khas tersendiri dalam bentuknya yang melengkung seperti bulan sabit raksasa. Jika dipandang dari bukit terdekat ketika sore hari, maka airnya akan berwarna merah terang. Ketika dipandang saat malam hari, maka Danau Yueya memantulkan gambar bintang dan bulan dari langit.Tiga hari berikutnya, Cang Er tiba di danau tersebut saat so
Gerakan Long Wei lebih cepat. Dia menangkis tusukan itu dengan cara menekan pedang ke bawah. Sebelum Zhen Yu mampu berekasi, Xu Qinghe melancarkan serangan berupa bacokan yang langsung ditangkis oleh pemuda itu dengan tangan kiri. Suara beradu dua logam terdengar, ternyata tangan kiri Zhen Yu juga dilapisi sarung tangan besi.Long Wei tak bisa membantu lebih jauh lagi karena ia merasakan bahaya dari belakang. Begitu berbalik, ternyata sudah ada lima orang yang menyerang. Begitu pula dengan Ceng Tok, ia sudah sibuk menghadapi mengeroyokan para Singa Emas.Xu Qinghe berteriak keras, menyerang dengan dua kali tebasan ke leher dan dada. Zhen Yu mampu menangkis sekaligus menghindar. Pemuda itu melakukan serangan balik berupa tusukan tangan kiri yang seolah bisa mengambil jantung Xu Qinghe jika tangan itu berhasil menembus dada.Trang ....“Kau kurang kuat!” seru Zhen Yu.Trang ... Trang ....“Kau masih takut!”Trang ... Sraat ....Darah keluar dari luka gores di pipi Zhen Yu.“Kau lengah!”
Tiba-tiba hujan turun deras. Tanah yang tadi kering kini benar-benar basah dalam waktu amat singkat. Genangan air tercipta di sudut-sudut yang biasanya tak terlalu diperhatikan, atau bahkan di kumpulan rumput taman atau halaman depan.Long Wei memandangi beberapa genangan kecil yang ada di sekelilingnya dan dia bertanya-tanya dalam hati. Setelah lewat malam ini, apakah genangan air itu masih keruh karena tercampur tanah? Atakaukah akan berubah warna? Merah, mungkin?Suitan nyaring terdengar. Long Wei tahu itu suara Ceng Tok yang bersuit dari atas gerbang depan. Suitan tanda bahaya yang seolah menarik siapa saja dari pelukan mimpi indah. Berturut-turut pintu kamar terbuka lebar, semuanya berlari keluar.Terjangan air hujan besar-besar tak mereka pedulikan. Mereka semua tahu ini pasti ada hubungannya dengan pertempuran di kaki bukit beberapa hari lalu. Mereka semua siap mempertaruhkan nyawa.“Singa Emas datang menyerang!” teriak Ceng Tok dan tahu-tahu di tembok tinggi yang mengelilingi
Dia merasa bingung sendiri, kenapa tadi ia begitu teropsesi dengan Giok Langit sampai mengabaikan Xu Liangchen. Dia terlalu fokus kepada Lin Dong untuk mengejar Han Rui yang telah membawa cincin itu. Dia terlalu fokus pada Giok Langit.Long Wei memandang Xu Qinghe yang memangku kepala ayahnya sambil mengucurkan air mata. Dua Raja Singa yang tersisa memanfaatkan kesempatan ini untuk melarikan diri. Long Wei sama sekali tak menghiraukan mereka.Dia lebih memikirkan dirinya sendiri.Apa yang terjadi padaku? batinnya. Perasaan apa itu tadi?Jerit Xu Qinghe yang semakin keras mengalihkan perhatian pemuda itu. Ia cepat mendekat untuk melihat luka-luka yang diderita Xu Liangchen. Beberapa saat kemudian, Long Wei menggelengkan kepalanya lemah. Racun itu sudah menyebar terlalu jauh. Mungkin hanya Setan Sakti yang mampu menangani ini.Agaknya Xu Liangchen tadi terlalu gegabah sehingga terlalu banyak menangkis serangan para musuh sehingga racun itu berhasil masuk.“Aku tahu aku tak akan selamat,
Xu Qinghe menangkis dan terpental, jatuh bergulingan. Pedang beronce merahnya terlempar jauh setelah menerima hantaman pedang milik Han Rui. Wanita dengan jubah serba merah itu lantas menerjang lagi, menusuk dada.“Setan betina!” pekik Xu Liangchen.Han Rui sedikit terkejut lalu menarik kembali serangan. Dia mampu melihat sinar berkelebat yang hampir menggorok lehernya. Ternyata itu adalah pedang berkilau yang entah sejak kapan sudah berada di tangan Xu Liangchen.Tak lama kemudian, datang pula seorang lelaki berjubah serba hitam. Ia memiliki wajah tegas, alis tebal dan kepala botak. Di tangannya membawa rantai panjang yang di ujungnya terdapat bola besi berduri.“Oh ... pertemuan yang kurang menyenangkan, menurutku.” Han Rui terkekeh menatap Xu Liangchen. “Apa kabarmu, orang tua?”Satu Raja Singa terpental tepat di depan muka Han Rui saat Long Wei dengan murka menyepaknya keras. Wanita itu buru-buru memandang untuk menemukan muka Long Wei yang membayangkan kemurkaan luar biasa.“Bagu
Xu Qinghe memerintahkan selusin orang yang ia rasa memiliki kepandaian tinggi. Saat itu juga, bersama Long Wei, mereka pergi menyusul Xu Liangchen yang pasti sudah cukup jauh dari Kota Shengyin. Dengan naik kuda-kuda berkualitas baik, mereka membelah jalanan kota dan berhasil mengejutkan para warga.Di tengah perjalanan, Long Wei hanya menjelaskan kalau mungkin Xu Liangchen dalam bahaya. Entah mendapat serangan atau apa pun.“Kalau Ular Darah sengaja melakukan ini untuk merebut perhiasan itu.” Long Wei sengaja menyebut perhiasan karena saat ini mereka tidak sendiri. “Apakah kau tidak berpikir kalau mungkin sekali kekacauan antara Pedang Api dan Singa Emas adalah siasat mereka pula untuk merebut perhiasan?”Napas Xu Qinghe berhenti sejenak. “Itu ... itu masuk akal juga.”“Aku khawatir ayahmu di perjalanan mendapat serangan,” ucap Long Wei. “Entah dari Singa Emas atau dari Ular Darah atau dari keduanya.”“Kita harus cepat!”Keadaan memang gawat sekali. Ini adalah masalah pelik yang mung
Long Wei mencoba menyamai langkah kaki Xu Qinghe yang melintasi lorong entah menuju ke mana. Gadis itu sama sekali tidak menjawab ketika terus didesak Long Wei. Hingga ketika Xu Qinghe berbelok, ternyata mereka sampai di taman belakang yang lumayan luas.Xu Qinghe berhenti tiba-tiba dan membalikkan tubuh dengan sebal. “Kau kenapa mengikutiku terus? Apa tak ada yang perlu kaulakukan?”“Tidak, kalau kau bertanya,” jawab Long Wei cepat. “Yang pasti, kau harus menjelaskan kenapa kalian menerima permintaan itu? Apa kalian tidak tahu siapa itu Ular Darah?”Xu Qinghe menggembungkan pipi sebelum berbalik dan pergi. Beberapa saat kemudian, dia berhenti lagi lalu mengempaskan diri ke kursi taman yang berada di bawah naungan pohon besar.Long Wei menyusul. “Jawab aku!”Xu Qinghe masih memasang muka jengkel.Long Wei ingin mendesak lagi, tapi gadis itu sudah mendahuluinya dengan bentakan. “Kau di sini diminta untuk menjagaku, bukan menanyaiku macam-macam apalagi urusan Pedang Api!”Tangan pemuda