Naik kuda tunggangan yang diambil dari kedua prajurit pingsan, Yang Feng membawa Long Wei menjauhi tempat itu. Melihat dari arah bayangan, mereka saat ini sedang menuju ke utara.
Long Wei terus mengikuti sosok kakek berpakaian prajurit kekaisaran itu yang sejak tadi tidak mengatakan apa pun. Sebenarnya dia juga tak terlalu peduli hendak pergi ke mana, Long Wei tidak punya tujuan pasti.
Yang Feng menghentikan laju kudanya di anak sungai kecil yang masih tersambung dengan sungai di belakang warung tadi. Ia menengok ke segala penjuru terlebih dahulu untuk memastikan keadaan benar-benar aman. Setelah merasa yakin, kakek itu melompat turun dan duduk di atas rumput tebal.
“Jadi, apa itu tadi?” Long Wei masih tidak mengerti dengan semuanya.
Yang Feng terkekeh. “Kau terlalu waspada kepadaku, nak.” Ia melihat jarak mereka terpisah kurang lebih dua tombak dengan Long Wei yang telah meraba gagang pedangnya. “Aku hanya ingin bilang terima kasih.”
Wajah Long Wei berubah seketika. Mulutnya terbuka lebar, begitu pula dengan matanya.
Yang Feng melanjutkan. “Nah, kau penasaran, kan? Duduklah di sini agar kita bisa bicara dengan nyaman.” Ia menepuk-nepuk rumput tebal di sebelah tempatnya duduk.
Masih dengan kecurigaan yang belum lenyap sepenuhnya, Long Wei menghampiri Yang Feng perlahan. Dia menambatkan kuda di pohon yang sedikit jauh dari kakek tersebut, lalu mengambil tempat duduk yang juga agak jauh, terpisah kurang lebih dua langkah.
Long Wei bukan orang bodoh, walau umurnya masih muda sekali. Karena kebiasaan mengambil harta milik orang, pemuda itu jadi tahu mana barang bagus dan bukan. Pemuda itu tahu pula mana barang yang disayang dan tak disayang pemiliknya, dan dia telah menyimpulkan sejak lama bahwa gelang giok itu adalah benda yang amat berharga bagi Yang Feng.
Dan kenapa aku tetap mengikutinya sampai sini? Long Wei bertanya-tanya dalam hati.
Yang Feng tak bisa menahan senyum melihat kekhawatiran Long Wei yang keterlaluan. “Baiklah jika itu maumu,” ucapnya kemudian.
“Jadi, apa maksudmu ingin bilang terima kasih?”
“Tentu saja karena gelang giok yang kauambil itu.”
Long Wei semakin bingung. Tentu saja, mana ada orang yang bilang terima kasih kepada seseorang yang telah mengambil harta bendanya?
Melihat wajah Long Wei yang semakin kebingungan, Yang Feng lekas menjelaskan. “Sebenarnya, ini merupakan keberuntungan yang datang dari langit, aku yakin itu. Langit masih mengizinkan kalau kebenaran berdiri di atas negeri ini, maka dari itulah kau diizinkan untuk mencurinya dariku.”
Sekarang Yang Feng malah mendongeng, membicarakan hal-hal yang sulit dicerna oleh kepala Long Wei. Pencurian dibenarkan langit? Bahkan dia yang sejak lahir menjadi bajak laut pun tak pernah berpikiran sejauh itu.
“Kenapa begitu?” Yang Feng sengaja memancing rasa penasaran dan menambah rasa kebingungan Long Wei.
Tanpa sadar Long Wei terpancing pula. “Kenapa?”
“Itu adalah Giok Langit.” Yang Feng menunjuk tubuh Long Wei, seolah tahu tempat giok itu disimpan. “Giok keramat yang dibuat oleh delapan petinggi Kekaisaran Tian generasi pertama. Mereka orang-orang sakti pada masa itu. Dalam cerita-cerita, kesaktian mereka sudah seperti dewa, tentu saja itu hanya cerita, kau jangan percaya.”
Long Wei menggenggam dadanya sebelah kiri, tempat gelang itu disimpan dalam saku jubahnya.
“Ada delapan Giok Langit dengan bentuknya yang bermacam-macam. Sepasang anting, tiga cincin, satu gelang, satu kalung, dan satu hiasan kepala berupa tusuk rambut, kesemuanya ada delapan.” Yang Feng memastikan dengan menghitung apa yang ia ucapkan menggunakan jari tangan. “Ketika mereka disatukan, maka akan memanggil seekor naga legenda yang katanya,” Yang Feng menekankan pada kata “katanya”, “naga itu adalah naga yang datang dari langit. Naga itu pula yang jadi peliharaan kaisar secara turun-temurun, bersumpah akan menjadi pelindung negeri, dan wujud dari kekuasaan sejati.”
“Tunggu.” Long Wei memotong. “Apa maksudmu menceritakan semua ini?” Ia bangkit berdiri sambil memicingkan mata. “Aku sudah mencurinya darimu, kau menceritakannya kepada pencuri?”
“Hah?” Yang Feng menampakkan tampang orang bodoh. “Kau langsung percaya?”
“Jadi kaubohong?” Kemarahan Long Wei datang tiba-tiba. Dia merasa telah dipermainkan. “Kau menolong orang yang mencuri hartamu, dan aku mengikutimu sampai ke sini padahal aku tahu kau adalah pemilik harta benda yang kucuri. Lalu kau menceritakan semua itu dan kau heran aku percaya? Siapa yang tidak waras di sini?” seru Long Wei, matanya melotot.
“Tenang, nak.” Yang Feng berdiri pula, tersenyum tipis. “Aku hanya tidak menyangka kau akan percaya.”
“Aku tak bilang aku percaya!”
Yang Feng mengabaikannya dan melepas pakaian atas. Dia menjatuhkan zirah besinya sebelum melepas pakaian di sebelah dalam. Sebelum Long Wei menanyakan apa yang terjadi, pemuda itu sudah dibungkam oleh pemandangan di hadapannya.
Tubuh tua Yang Feng yang masih tampak bugar itu dinodai dengan sebuah luka berbentuk telapak tangan hitam di bagian dada. Bekas telapak tangan itu bahkan sedikit melesak ke dalam. Melihatnya saja Long Wei seolah bisa merasakan sakitnya.
Lalu di bahu kanan Yang Feng terdapat bekas luka lain pula. Luka itu seperti luka sayat, dalam sekali, dan daging di dalam luka itu warnanya putih—benar-benar putih.
“Apa itu?” Long Wei sampai gugup saking ngerinya. “Kenapa kautunjukkan padaku?”
“Itu karena Giok Langit yang sudah kaucuri itu, nak. Ada orang yang ingin merampasnya dariku dan aku bertarung dengan mereka. Jujur saja aku hampir mati. Untung giok itu sudah kaucuri, jika tidak aku harus mengambilnya dulu dari dalam peti beru bisa melarikan diri dan kuyakin jika memang harus begitu, aku tak akan selamat.”
Yang Feng memakai kembali pakaiannya dengan benar—dengan zirah besinya pula. “Karena itulah aku berterima kasih padamu. Jadi, kau masih bawa giok itu, kan? Tidak kaujual, kan?”
Long Wei meneguk ludah, masih terbayang dua luka tadi. Di sisi lain dia kagum sekali dengan Yang Feng yang terlihat biasa saja saat mengatakan tentang luka-luka itu.
Pemuda itu mengeluarkan Giok Langit dari sakunya dengan perlahan. Saat melihatnya, Yang Feng menghela napas lega. “Bagus … bagus … kuucapkan terima kasih untuk yang kedua kali.”
“Jadi, aku harus bagaimana sekarang?” Long Wei masih kebingungan.
“Kembalikan itu padaku, kalau kau tak keberatan,” ucap Yang Feng dengan tangan kanan terulur. “Seperti yang kaulihat pada diriku, orang-orang tak akan segan membunuhmu saat mereka tahu kau memiliki gelang itu.”
Long Wei kembali merasa ragu. Giok ini adalah benda berharga, amat berharga, dia bahkan sampai terpana dibuatnya. Dia merasa sayang dengan gelang giok ini. Long Wei tak berniat menjualnya karena ia berniat untuk menjadikan giok ini sebegai satu benda pusaka, semacam jimat.
Melihat keraguan di mata Long Wei, Yang Feng merasa wajar. “Kau tahu siapa yang memberikan dua luka ini?”
Long Wei menggeleng. Tentu saja dia tidak tahu.
“Mereka berdua dijuluki Tangan Maut dan Pertapa Putih—eh?” Yang Feng terkejut saat cengkeraman Long Wei pada gelang itu semakin erat. “Ada apa?” Yang Feng menghentikan niatnya yang hendak melanjutkan cerita seram tentang dua orang tersebut.
Long Wei menggeram. “Aku ada dendam pribadi dengan mereka. Merekalah yang membunuh ayahku, malam hari sebelum aku ditolong olehmu.”
Yang Feng terbelalak. Kejutan ini benar-benar di luar dugaannya. Dia sama sekali tak berpikir kalau pemuda malang yang tanpa sengaja tersangkut di kail pancingnya ternyata sudah punya urusan dengan dua orang pendekar itu.
“Takdir … takdir … kadang memang membingungkan. Ini pasti sudah digariskan oleh Langit, ini pasti bukan kebetulan semata.” Yang Feng menarik kembali tangannya sambil menggelengkan kepala. “Misteri alam yang tak pernah bisa diungkapkan, itulah takdir.”
Long Wei masih diam.
Yang Feng tiba-tiba menatap Long Wei serius. Sorot matanya tajam sampai membuat tulang belakang Long Wei terasa dingin.
“Long Wei, kutarik kata-kataku yang menginginkan kau mengembalikan gelang itu. Kurasa dunia sudah menakdirkanku untuk mati tak lama lagi, maka dari itu ia memilih seorang penerus untuk melanjutkan tugasku menjaga salah satu Giok Langit,” ucapnya penuh wibawa dan Long Wei masih tidak paham.
Lelaki tua itu melanjutkan. “Sekarang kuubah pertanyaanku, sekaligus aku ingin minta bantuanmu. Maukah kau membawa gelang itu, melindunginya dari tangan-tangan jahat, dan mewarisi semua ilmu dariku?”
Long Wei tak perlu berpikir dua kali untuk mengerti apa maksudnya. “Jadi muridmu?”
Yang Feng mengangguk perlahan.
Long Wei semakin bimbang. Diamatinya gelang giok itu yang indahnya luar biasa, lalu menatap Yang Feng di hadapannya, kemudian gelang itu lagi. Kejadian ini terus terulang sampai memakan waktu yang bisa dibilang tidak sebentar, tapi mereka masih tetap saling berdiri seperti itu.
Dia sudah menyelamatkanku, batin Long Wei bersuara. Dia sudah dilukai oleh orang-orang yang membunuh ayahku, suara itu kembali terdengar.
“Bagaimana?” Yang Feng masih setia menunggu.
Long Wei telah menentukan pilihan.
“Aku, Long Wei, mulai hari ini akan jadi pewaris ilmu dari kakek Yang Feng. Ini kulakukan sebagai balas budiku yang sudah diselamatkan dua kali.”
Yang Feng sebenarnya tak terlalu setuju dengan itu, yang ia pedulikan adalah menjaga Giok Langit. Namun, lelaki tua ini tetap tersenyum dan mengangguk.
“Hanya satu hal lagi yang harus kausetujui.” Kini Long Wei yang menatap tajam.
“Oh, apa itu?”
Sebelum melanjutkan, ia meneguk ludah. “Pesan dari mendiang ayahku. ‘Seorang lelaki tak akan mudah tunduk kepada siapa pun’.”
Jantung Long Wei berdetak lebih cepat saat melihat senyum menghilang di wajah Yang Feng.
Kemudian kakek itu berkata. “Ucapanmu sombong sekali ….” Senyumnya kembali terbit. “Tapi aku ingin kau mempertahankannya sampai kapan pun.” Yang Feng lantas tertawa bergelak. “Kau tak perlu berlutut untuk mengangkatku jadi guru, aku pun tak terlalu perlu dengan dirimu yang jadi seorang murid. Yang jelas, aku hanya ingin kau mewarisi semua ilmu-ilmuku dan kaugunakan untuk melindungi Giok Langit serta berjalan di jalan kebenaran.”
Long Wei tidak menjawab karena pikirannya belum berpikir sejauh itu.
Dia hanya memikirkan kematian ayahnya, Tangan Maut, Pertapa Putih, mewarisi ilmu, dan balas dendam.
Karena tempat tinggal Yang Feng sebelumnya sudah tak aman lagi, maka mereka pergi mengembara ke banyak tempat. Perjalanan dilakukan menggunakan kuda yang sama, menuju utara.Ketika Long Wei menanyakan alasan kenapa mereka pergi ke utara, Yang Feng menjawab kalau tak ada alasan pasti. Satu hal pasti adalah sangat berbahaya bila terlalu dekat dengan ibu kota yang ada di wilayah barat, berdiri di kaki pegunungan Yuling.Walau Long Wei ikut Yang Feng bukan karena sungguh-sungguh ingin jadi murid melainkan karena balas dendam dan sedikit balas budi, tapi ia tetap patuh akan segala perintah Yang Feng. Ketika mereka harus tidur beratapkan langit, Long Wei yang akan mencarikan kayu bakar dan makanan untuk mereka berdua. Ketika sampai di desa, mereka biasanya akan membantu siapa saja yang membutuhkan untuk mendapat uang, Long Wei amat rajin untuk itu. Karena inilah Yang Feng makin merasa sayang dan kasihan kepada pemuda tersebut, apalagi setelah ia mendengar masa lalu Long Wei.Namun selama ha
Desa Qinglang jadi gempar karena terkejut dengan kedatangan perwira Kai yang terlalu tiba-tiba. Dua puluh orang berpakaian prajurit lengkap dengan menunggang kuda-kuda gagah, itulah pasukan pimpinan Perwira Kai yang dibawa ke desa Qinglan.Keadaan semakin gempar ketika perwira itu melukai seorang perempuan yang mereka semua tahu sebagai istri dari Lu Taihiap (Pendekar Lu). Beberapa pemuda mencoba untuk membela Mei Mei, tapi mereka hanya mendapat pukulan yang lebih keras dari bawahan perwira Kai.Kini, keadaan kembali gempar karena kedatangan Yang Feng yang mengirimkan suara berisi tenaga dalam, membuat suaranya jadi lebih keras beberapa kali lipat.“Siapa di sini yang dipanggil Perwira Kai?”Ayam-ayam berkokok dan lari ketakutan. Babi, sapi, kambing, serta hewan-hewan ternak lain merunduk dengan ngeri setelah datang bentakan yang seolah turun dari langit. Tak lama kemudian terdengar ringkik kuda dari salah satu sisi desa, Yang Feng segera menoleh ke sumber suara untuk menemukan sekump
Gerbang desa sudah tampak di depan sana, tinggal beberapa langkah lagi. Akan tetapi, sepintas pemikiran menghantam kepalanya sampai membuat kening Long Wei mengkerut. Baru teringat olehnya selama pertempuran tadi sama sekali tak tampak batang hidung perwira Kai.“Ke mana dia?” Pemuda itu menghentikan larinya di depan sebuah rumah, membuat penghuninya makin ketakutan dan cepat-cepat bersembunyi.Matanya menyapu segenap penjuru untuk mencari keberadaan perwira Kai kalau-kalau orang itu justru diam-diam mengikutinya. Long Wei mencabut pedang pendek dan bersiap dengan kuda-kuda.Sepintas pemikiran kembali menghantam kepalanya tak lama kemudian. “Jangan-jangan ….” Long Wei langsung berlari menuju rumah Lu Kwan. ***Menggunakan golok besarnya, Lu Kwan menebas kepala Yang Feng sekuat tenaga. Sungguh golok itu tak bisa dianggap main-main karena senjata itulah yang mengangkat Lu Kwan menjadi pendekar tersohor berjuluk Lu Taihiap.Y
Walau sedang dalam keadaan terluka yang cukup parah, tapi Yang Feng tetaplah seorang pendekar besar yang berjuluk Tapak Baja. Kepekaannya terhadap sekitar telah tinggi sekali sehingga tebasan pedang Cang Er mampu ia rasakan dengan jelas.Pedang itu berhenti dan bergetar saat tangan Yang Feng menahannya menggunakan dua jari tangan. Cang Er berseru kaget dan mencoba menarik pedangnya, tapi tak berhasil.Sedangkan Yang Feng hanya tersenyum lembut, sama sekali tidak menunjukkan ekspresi marah. “Maafkan aku, nak … ini salahku yang tak bisa melindungi kalian.”Cang Er mematung selama beberapa saat sebelum jatuh berlutut sambil menutup muka dengan dua tangan. Pundaknya bergetar hebat diiringi isak tangis memilukan. Hati Yang Feng sakit sekali mendengarnya.Long Wei menghela napas lega saat melihat Yang Feng baik-baik saja. Ia menghampiri mereka.“Kau tak apa, kek?” tanyanya.Yang Feng menggeleng. “Luka dalamku bertambah, ini sungguh tidak baik. Setelah ini kita akan mampir ke rumah Setan Sak
Yang Feng tidak langsung mengajari sesuatu kepada Long Wei karena dia ingin mengetahui kesetiaan dan kepatuhan pemuda itu. Walau waktu yang berlalu belum begitu lama, tapi Long Wei telah membuktikan bahwa ia berani mempertaruhkan nyawa dengan menghadapi serbuan para prajurit perwira Kai.Di sisi lain, keributan itu juga memaksa Yang Feng untuk menurunkan ilmu lebih cepat dari yang sudah ia rencanakan. Maka dari itulah perjalanan menuju tempat Setan Sakti sangat lama karena mereka harus sering berhenti di tengah jalan agar Yang Feng dapat mengajarkan sesuatu kepada Long Wei.“Yang kulihat, kau sama sekali tidak mengeluarkan tenaga dalam,” komentarnya di pagi kelabu pada hari kedua perjalanan mereka menuju kediaman Setan Sakti. “Kau tidak mengeluarkan tenaga dalam,” ulangnya.Long Wei yang tadi baru saja disuruh memukul telapak tangan Yang Feng itu mengerutkan kening. “Tapi begitulah yang ayahku ajarkan.”Yang Feng menggeleng. “Itu bukan tenaga dalam tapi hanya tenaga luar saja. Kau mam
Nama asli dari kakek berjuluk Pertapa Putih itu adalah Cao Yin. Hanya beberapa orang yang mengetahui nama asli Pertapa Putih, kebanyakan dari mereka adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan, salah satunya adalah Setan Sakti.Di sisi lain, Cao Yin tidak mengetahui siapa nama asli Setan Sakti karena orang itu memang aneh luar biasa. Dia mengaku telah lupa dengan nama sendiri dan selalu menggunakan julukan Setan Sakti ketika memperkenalkan diri, maka dari itu entah kapan terakhir kali nama aslinya terdengar di dunia.“Jangan berlagak jadi pahlawan kau, Cao Yin,” ketus Setan Sakti sambil terus menumbuk. “Kau bisa menyembuhkan suami wanita itu kalau kalian membunuhku?”Cao Yin buru-buru menangkupkan kedua tangan dan menunduk untuk memberi hormat. Sambil tertawa ia berkata. “Hahaha, sungguh dunia ini sempit sekali. Orang yang kukira perampok nakal ternyata adalah dewa obat paling hebat di dunia. Bagaimana kabarmu, Setan Sakti? Dan kenapa kau ada di sini?”“Kalau aku sedang tidak baik, past
Menurut keterangan dari tuan Xi Yan—lelaki yang ditolongnya—, orang yang saat sini sedang mengepung mereka adalah murid-murid dari perkumpulan Ular Iblis. Tampak simbol ular berwarna putih dan bertanduk di punggung masing-masing orang, awalnya Cang Er tak tahu tanda apa itu sebelum diberi tahu.Putri mereka yang masih berumur lima tahun menangis keras melihat kekacauan ini, tapi Xi Yan segera menarik istri dan anaknya untuk bersembunyi. Kini hanya tinggal Cang Er yang berdiri gagah menghadapi tujuh orang berwajah kasar dari perkumpulan Ular Iblis.“Kau cari mati, Nona,” kata sosok tinggi besar dan gundul. Dia membawa senjata berupa rantai panjang yang ujungnya dipasangi bola berduri, kelihatan berat sekali. “Kami datang hanya mengincar orang marga Xi itu. Kenapa kau ikut campur?”“Kalian berharap aku akan membiarkan kejahatan lewat di depan hidungku begitu saja? Jangan mimpi!” bentak Cang Er. “Sekarang akulah lawan kalian.”Mata lelaki botak tadi berkedut. “Kalau kau memaksa.” Lalu ta
Tentu saja para pengunjung jadi ribut karenanya. Baru kali ini mereka melihat pemilik warung yang bertubuh sebesar gajah mampu dilemparkan orang, apalagi yang melemparnya adalah seorang kakek bongkok.Mulailah rasa takut menyebar kepada setiap orang, hinggap dan mengeram di hati siapa saja yang melihat. Mereka mulai bertanya-tanya, siapa kakek bongkok ini? Apakah seorang penjahat sakti yang baru turun gunung? Ataukah hanya orang gila yang sedang iseng saja?Rasa takut itu berhasil dibuyarkan oleh Yang Feng yang tertawa tergelak. “Kau msasih saja suka cari keributan, ingat umurmu.”Sejenak, Setan Sakti memandang marah kepada si pemilik warung, tapi tatapannya langsung cerah begitu melihat siapa yang sedang berdiri di depan pintu. “Oh, kau rupanya. Dari mana saja?” Seolah melupakan kejadian tadi, dia melangkahi pemilik warung dan menepuk-nepuk pundak Yang Feng. Wajahnya langsung mengerut. “Kau tidak sehat.”Yang Feng menjura hormat. “Aku sedang merantau seperti biasa.”“Merantau?” Setan
Orang yang kurus tadi tertawa terbahak-bahak. “Lihat, kan? Sebentar lagi kita bisa pergi dari sini dan jadi kaya raya.”Kekehan si tinggi besar bersenjata golok terdengar memuakkan telinga. “Kita harus bisa menangkap Dewi Teratai Merah.”Pria kurus itu mengangguk-angguk membenarkan. Ia kembali memandang ke arah Cang Er dan Liang Kun. “Jadi, siapa anak muda ini?”Liang Kun melintangkan pedang di depan dada dan spontan maju selangkah di hadapan Cang Er. “Aku Liang Kun, kakak seperguruannya.”“Pasti lebih kuat,” komentar si tinggi besar.“Kalian siapa dan mau apa? Lalu apa maksudnya Dewi Teratai Merah?” Liang Kun memandang tajam penuh kecurigaan.“Hahaha, bahkan kakak seperguruannya sendiri tidak tahu kalau adiknya sudah terkenal di kalangan kita!” si kurus berkata kepada si besar.“Benar-benar menggelikan.” Si tinggi besar tertawa sampai perutnya bergerak naik turun.Cang Er merapatkan tubuh ke belakang Liang Kun. “Kakak, aku sama sekali tidak mengenal mereka dan tidak tahu apa maksud d
Setelah pergi cukup jauh dari Danau Yueya, mereka berdua memperlambat laju kuda masing-masing. Jalanan memang lebar, tapi mereka memilih untuk tidak terlalu buru-buru untuk menikmati keadaan alam sekitar sekaligus beristirahat dari lelahnya tugas yang baru saja dijalankan.“Cang Er, apakah kau yakin baik-baik saja,” tanya Liang Kun yang sudah menjajari kuda Cang Er.Gadis itu tersentak dari lamunannya. Memang tadi dia sedang melamun tentang segala kejadian di Desa Cin Wu baru-baru ini. “Kenapa?”“Wajahmu selalu tampak murung.”Kembali Cang Er menunduk dan merenungkan semuanya. “Sebenarnya, ada satu hal yang sedang kupikirkan dan kusesali.”“Apakah yang kauceritakan kepada Gak Tai Ciangkun tadi itu bohong?” tanya Liang Kun penuh selidik.Gadis itu cepat-cepat menggeleng. “Tidak sama sekali. Semua itu benar. Hanya saja ada beberapa bagian yang aku rahasiakan.”Liang Kun mengembuskan napas panjang. “Sudah kuduga,” ucapnya yakin. “Aku memang merasa ada yang janggal dengan dirimu sejak tad
Perjalanan ke barat kali ini sedikit jauh. Menaiki kuda tunggangannya, ia menyusuri jalan-jalan setapak sempit sepanjang hutan untuk sampai ke tempat tujuan. Tentu saja, dalam hutan-hutan yang lebat ini terdapat banyak para bandit beserta segala macam orang jahat. Di tengah jalan ini Cang Er banyak bertarung untuk menumpas mereka. Kadang ada yang dibunuh, kadang ada yang dibiarkan lolos dengan membuat mereka setengah cacat atau sumpah paksaan.Setelah beberapa hari ke arah barat, Cang Er sedikit membelok. Kini ia menuju barat daya. Tujuannya adalah Danau Yueya yang terkenal dengan keindahan sekaligus keunikan tempat tersebut. Pasalnya, danau itu memiliki ciri khas tersendiri dalam bentuknya yang melengkung seperti bulan sabit raksasa. Jika dipandang dari bukit terdekat ketika sore hari, maka airnya akan berwarna merah terang. Ketika dipandang saat malam hari, maka Danau Yueya memantulkan gambar bintang dan bulan dari langit.Tiga hari berikutnya, Cang Er tiba di danau tersebut saat so
Gerakan Long Wei lebih cepat. Dia menangkis tusukan itu dengan cara menekan pedang ke bawah. Sebelum Zhen Yu mampu berekasi, Xu Qinghe melancarkan serangan berupa bacokan yang langsung ditangkis oleh pemuda itu dengan tangan kiri. Suara beradu dua logam terdengar, ternyata tangan kiri Zhen Yu juga dilapisi sarung tangan besi.Long Wei tak bisa membantu lebih jauh lagi karena ia merasakan bahaya dari belakang. Begitu berbalik, ternyata sudah ada lima orang yang menyerang. Begitu pula dengan Ceng Tok, ia sudah sibuk menghadapi mengeroyokan para Singa Emas.Xu Qinghe berteriak keras, menyerang dengan dua kali tebasan ke leher dan dada. Zhen Yu mampu menangkis sekaligus menghindar. Pemuda itu melakukan serangan balik berupa tusukan tangan kiri yang seolah bisa mengambil jantung Xu Qinghe jika tangan itu berhasil menembus dada.Trang ....“Kau kurang kuat!” seru Zhen Yu.Trang ... Trang ....“Kau masih takut!”Trang ... Sraat ....Darah keluar dari luka gores di pipi Zhen Yu.“Kau lengah!”
Tiba-tiba hujan turun deras. Tanah yang tadi kering kini benar-benar basah dalam waktu amat singkat. Genangan air tercipta di sudut-sudut yang biasanya tak terlalu diperhatikan, atau bahkan di kumpulan rumput taman atau halaman depan.Long Wei memandangi beberapa genangan kecil yang ada di sekelilingnya dan dia bertanya-tanya dalam hati. Setelah lewat malam ini, apakah genangan air itu masih keruh karena tercampur tanah? Atakaukah akan berubah warna? Merah, mungkin?Suitan nyaring terdengar. Long Wei tahu itu suara Ceng Tok yang bersuit dari atas gerbang depan. Suitan tanda bahaya yang seolah menarik siapa saja dari pelukan mimpi indah. Berturut-turut pintu kamar terbuka lebar, semuanya berlari keluar.Terjangan air hujan besar-besar tak mereka pedulikan. Mereka semua tahu ini pasti ada hubungannya dengan pertempuran di kaki bukit beberapa hari lalu. Mereka semua siap mempertaruhkan nyawa.“Singa Emas datang menyerang!” teriak Ceng Tok dan tahu-tahu di tembok tinggi yang mengelilingi
Dia merasa bingung sendiri, kenapa tadi ia begitu teropsesi dengan Giok Langit sampai mengabaikan Xu Liangchen. Dia terlalu fokus kepada Lin Dong untuk mengejar Han Rui yang telah membawa cincin itu. Dia terlalu fokus pada Giok Langit.Long Wei memandang Xu Qinghe yang memangku kepala ayahnya sambil mengucurkan air mata. Dua Raja Singa yang tersisa memanfaatkan kesempatan ini untuk melarikan diri. Long Wei sama sekali tak menghiraukan mereka.Dia lebih memikirkan dirinya sendiri.Apa yang terjadi padaku? batinnya. Perasaan apa itu tadi?Jerit Xu Qinghe yang semakin keras mengalihkan perhatian pemuda itu. Ia cepat mendekat untuk melihat luka-luka yang diderita Xu Liangchen. Beberapa saat kemudian, Long Wei menggelengkan kepalanya lemah. Racun itu sudah menyebar terlalu jauh. Mungkin hanya Setan Sakti yang mampu menangani ini.Agaknya Xu Liangchen tadi terlalu gegabah sehingga terlalu banyak menangkis serangan para musuh sehingga racun itu berhasil masuk.“Aku tahu aku tak akan selamat,
Xu Qinghe menangkis dan terpental, jatuh bergulingan. Pedang beronce merahnya terlempar jauh setelah menerima hantaman pedang milik Han Rui. Wanita dengan jubah serba merah itu lantas menerjang lagi, menusuk dada.“Setan betina!” pekik Xu Liangchen.Han Rui sedikit terkejut lalu menarik kembali serangan. Dia mampu melihat sinar berkelebat yang hampir menggorok lehernya. Ternyata itu adalah pedang berkilau yang entah sejak kapan sudah berada di tangan Xu Liangchen.Tak lama kemudian, datang pula seorang lelaki berjubah serba hitam. Ia memiliki wajah tegas, alis tebal dan kepala botak. Di tangannya membawa rantai panjang yang di ujungnya terdapat bola besi berduri.“Oh ... pertemuan yang kurang menyenangkan, menurutku.” Han Rui terkekeh menatap Xu Liangchen. “Apa kabarmu, orang tua?”Satu Raja Singa terpental tepat di depan muka Han Rui saat Long Wei dengan murka menyepaknya keras. Wanita itu buru-buru memandang untuk menemukan muka Long Wei yang membayangkan kemurkaan luar biasa.“Bagu
Xu Qinghe memerintahkan selusin orang yang ia rasa memiliki kepandaian tinggi. Saat itu juga, bersama Long Wei, mereka pergi menyusul Xu Liangchen yang pasti sudah cukup jauh dari Kota Shengyin. Dengan naik kuda-kuda berkualitas baik, mereka membelah jalanan kota dan berhasil mengejutkan para warga.Di tengah perjalanan, Long Wei hanya menjelaskan kalau mungkin Xu Liangchen dalam bahaya. Entah mendapat serangan atau apa pun.“Kalau Ular Darah sengaja melakukan ini untuk merebut perhiasan itu.” Long Wei sengaja menyebut perhiasan karena saat ini mereka tidak sendiri. “Apakah kau tidak berpikir kalau mungkin sekali kekacauan antara Pedang Api dan Singa Emas adalah siasat mereka pula untuk merebut perhiasan?”Napas Xu Qinghe berhenti sejenak. “Itu ... itu masuk akal juga.”“Aku khawatir ayahmu di perjalanan mendapat serangan,” ucap Long Wei. “Entah dari Singa Emas atau dari Ular Darah atau dari keduanya.”“Kita harus cepat!”Keadaan memang gawat sekali. Ini adalah masalah pelik yang mung
Long Wei mencoba menyamai langkah kaki Xu Qinghe yang melintasi lorong entah menuju ke mana. Gadis itu sama sekali tidak menjawab ketika terus didesak Long Wei. Hingga ketika Xu Qinghe berbelok, ternyata mereka sampai di taman belakang yang lumayan luas.Xu Qinghe berhenti tiba-tiba dan membalikkan tubuh dengan sebal. “Kau kenapa mengikutiku terus? Apa tak ada yang perlu kaulakukan?”“Tidak, kalau kau bertanya,” jawab Long Wei cepat. “Yang pasti, kau harus menjelaskan kenapa kalian menerima permintaan itu? Apa kalian tidak tahu siapa itu Ular Darah?”Xu Qinghe menggembungkan pipi sebelum berbalik dan pergi. Beberapa saat kemudian, dia berhenti lagi lalu mengempaskan diri ke kursi taman yang berada di bawah naungan pohon besar.Long Wei menyusul. “Jawab aku!”Xu Qinghe masih memasang muka jengkel.Long Wei ingin mendesak lagi, tapi gadis itu sudah mendahuluinya dengan bentakan. “Kau di sini diminta untuk menjagaku, bukan menanyaiku macam-macam apalagi urusan Pedang Api!”Tangan pemuda