“Makanlah.”
Long Wei menatap ikan setengah gosong itu dengan ketertarikan yang hampir tidak ada, tapi dia tetap menerimanya semata-mata hanya karena nyanyian perut yang tak mau diam.
Yang Feng, kakek bercaping yang telah “menyelamatkan” Long Wei itu memakan ikan bakar jatahnya sendiri. Sambil terus mengunyah, ia melempar satu pertanyaan yang seketika membuat amarah Long Wei datang kembali. “Jadi, apa yang telah kaulakukan sampai hanyut di sungai?”
Pikirannya memutar kembali kenangan tadi malam yang baru saja terjadi. Seperti dipertontonkan persis di depan matanya, ketika ayahnya jatuh ke sungai dalam keadaan tak bernyawa, dan tantangan kedua pendekar besar.
Mata Long Wei menyusuri sungai Bai He lalu melihat sekeliling. Akhirnya dia tahu mengapa tak ada mayat lain yang lewat atau potongan-potongan kapal. Kiranya dia sudah terseret arus yang menuju ke belokan arah tenggara, dan mungkin sekali sisa-sisa pertempuran itu mengarah barat.
“Aku sedang naik kapal, dan diserang para bajak sungai.” Jawaban Long Wei tidak sepenuhnya bohong.
Kakek itu mengangguk-angguk sembari menampakkan ekspresi iba. “Aku Yang Feng, siapa namamu?”
“Long Wei,” ucapnya singkat sebelum menggigit ikan gosongnya.
“Long Wei ….” Yang Feng mengulang beberapa kali agar nama itu tertanam di ingatannya. “Aku menemukanmu hanyut di sini sendirian. Apa kau naik kapal sendirian?”
Long Wei membuka mulutnya. Sebenarnya dia ingin mengatakan bahwa hanya dirinyalah yang selamat. Akan tetapi, mulutnya kembali tertutup. Selang beberapa saat, barulah Long Wei menjawab. “Ya, aku sendirian.”
Yang Feng kembali mengangguk-angguk. “Kau mau ke mana?”
“Laut timur. Seandainya tak ada perampok-perampok sialan itu.”
“Laut timur? Akhir-akhir ini ada kabar burung beredar kalau para bajak laut di sana sedang mengganas.”
Itu aku, orang tua! Tapi mulutnya menjawab. “Aku tahu. Aku tidak pergi terlalu jauh ke laut, hanya ke pesisirnya untuk mengunjungi saudara jauh.”
Yang Feng mengangguk-angguk lagi. “Setelah ini, kau masih mau melanjutkan perjalanan ke sana?”
Kini Long Wei menunduk.
Setelah satu pasukan ayahnya hancur, otomatis Long Wei tak punya tempat kembali. Bajak laut Hantu Samudra adalah rumahnya, tempat ia pulang, dan kini sudah hancur.
Long Wei bertanya-tanya dalam hati, apa dia harus kembali ke pantai timur dan jadi bahan cemoohan para bajak, atau mengembara ke lain tempat untuk jadi apa pun demi melanjutkan hidup. Long Wei segera memutuskan.
“Aku akan pergi ke tempat lain.” Dan tetap menjadi seorang bajak. Dulu bajak laut, sekarang dan seterusnya mungkin bajak darat.
Yang Feng terbelalak. “Lalu bagaimana dengan saudara jauhmu di pantai timur itu?”
“Aku bisa datang ke sana lain waktu saat keadaan sudah lebih baik.”
Yang Feng telah menghabiskan ikan bakarnya yang hanya tinggal tulang-belulang. Ia melempar tulang-tulang itu ke sungai lalu bangkit berdiri.
“Kau tinggallah di rumahku sampai kau pulih.” Yang Feng tersenyum. “Dan bantu aku memancing, tentu saja. Aku sudah lama tak ada teman mancing.”
Mulai hari itu, Long Wei tinggal di rumah Yang Feng yang sederhana dan hampir roboh. Karena rumah itu hanya ada satu kamar, maka Long Wei harus tidur di ruangan depan beralas kain tipis dan selimut yang tak lebih tebal.
Karena Long Wei merupakan seorang petarung dari bajak laut Hantu Samudra, tentu saja dia bukan orang lemah. Hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk lukanya pulih total. Sebenarnya sebagian besar waktu itu bukan untuk kesembuhan luka luarnya, tapi untuk kesembuhan luka batinnya.
Pagi di hari ketiga, Long Wei membuka percakapan di sela-sela kegiatan mereka seperti hari kemarin dan kemarinnya lagi, memancing ikan di sungai.
“Kakek, besok aku akan pergi.”
“Oh, kau pergi saja,” jawab Yang Feng seolah tak acuh.
Long Wei kaget dibuatnya. Spontan ia menolehkan kepala, memandang kakek di sampingnya.
“Maksudku, nanti sore aku harus pergi ke puncak tebing itu untuk semedi. Malam nanti adalah malam bulan purnama, baik sekali untuk meningkatkan kualitas tenaga dalamku. Aku akan kembali ke sini besok pagi hampir ke siang. Kau mau menunggu?”
Long Wei mengerutkan kening karena merasa heran ada orang yang setua itu masih memperhatikan kualitas tenaga dalam. Ia hanya berpikir bukankah sebaiknya memikirkan tentang kuburan sendiri? Mengingat tak ada orang lain yang bisa membantu di tengah hutan ini.
“Oh, baiklah, tapi maaf aku tak bisa menunggu.” Aku khawatir orang-orangnya Zhu melakukan pengejaran.
Malam tiba lebih cepat dari yang dibayangkan. Yang Feng sudah pergi sejak matahari terbenam tadi. Kini Long Wei sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan entah ke mana pun itu yang jelas jauh dari laut timur. Dia masih tidak mau—lebih tepatnya tidak bisa—untuk bertemu pasukan bajak laut Iblis Laut pimpinan Zhu Ren dalam keadaan seperti ini.
Namun sebelum pergi, Long Wei kembali teringat tujuan berikutnya yaitu untuk menjadi seorang bajak pula, tapi ini di darat. Mungkin bisa dibilang sebagai perampok.
Hal ini tak mengherankan karena semenjak kecil Long Wei hidup di kalangan para bajak laut yang kasar dan ahli dalam mengambil barang orang dengan paksaan. Maka niat jahat itu muncul dalam diri Long Wei ketika tak ada orang di rumah selain dirinya.
“Ini langkah awalku.” Ia menyeringai.
Long Wei menggeledah setiap sisi rumah Yang Feng yang tak seberapa besar. Tidak membutuhkan waktu lama karena selain rumah ini memang sempit, juga tidak ada barang berharga. Akan tetapi, ada sebuah kotak kecil persegi panjang yang tersembunyi di bawah dipan bambu tempat tidur Yang Feng.
Long Wei mengambil kotak itu dan tanpa ragu membukanya. Dia terbelalak.
Di sana terbaring sebuah gelang giok berwarna hijau cerah yang amat indah. Terakhir kali Long Wei melihat perhiasan secantik ini ketika salah seorang anak buah ayahnya memerkosa seorang putri kaya sebelum minta tebusan. Walau demikian, gelang ini jauh lebih cantik.
Long Wei mengambil gelang giok itu dengan tangan sedikit gemetar. Ada dorongan aneh di hati yang seolah memerintahnya untuk bersikap lembut kepada gelang tersebut.
“Ini … aku harus memilikinya ….” Long Wei tertawa-tawa melihat benda luar biasa itu.
Maka pemuda ini pergi meninggalkan rumah Yang Feng dengan ucapan selamat tinggal berupa pencurian terhadap satu-satunya harta di tempat tersebut. Long Wei terus tersenyum sepanjang perjalanannya menuju utara.
Waktu bergulir dan malam berganti pagi. Sungai di depan pondok kecil itu kedatangan perahu-perahu kecil dan satu kapal besar yang segera menepi. Belasan orang melompat keluar dari perahu. Sikap mereka menyeramkan, seperti para bajak.
Yang Feng yang baru saja kembali dari semedinya mengerutkan kening. “Cari siapa?”
Seorang kakek berpakaian serba putih dan kakek lain yang berpakaian serba hitam muncul di geladak kapal besar. Kakek serba putih berseru. “Yang Feng, serahkan Giok Langit itu!”
Kedua alis Yang Feng hampir bertemu. “Pertapa Putih, kau masih saja mencari-cari hal tidak masuk akal itu?”
“Jangan bohong, kau membawanya!” bentak kakek berpakaian hitam.
“Tangan Maut,” kata Yang Feng sambil terkekeh geli. “Kau masih bisa berlagak setelah kekalahanmu belasan tahun lalu? Kali ini kau bawa kawan sebanyak ini?”
Pertapa Putih dan Tangan Maut melompat dari kapal besar, tubuh mereka melayang dan mendarat di tanah dengan halus.
“Aku tidak sedang ingin main-main. Kaisar menginginkannya,” ucap si Tangan Maut dengan nada mengancam.
“Aku juga sedang tidak main-main. Kalau kau ingin tahu, para dewa sedang memihakku kali ini.” Yang Feng kembali terkekeh, bahkan hampir tertawa.
“Serahkan!” Pertapa Putih mengayunkan tangan, angin besar tercipta, menyapu Yang Feng yang masih tertawa-tawa.
“Sudah hilang!” Kakek itu membalas dengan sapuan tangan kanan.
Kedua tenaga raksasa bertemu, menciptakan suara gemuruh samar dan terpaan angin yang tak bisa diremehkan. Hanya ketiga orang sakti itu saja yang masih berdiri di tempat semula, sisanya sudah terdorong mundur tiga langkah.
“Aku tidak bohong,” Yang Feng melanjutkan. Entah dari mana asalnya dia telah menggenggam bambu panjang yang biasa ia gunakan untuk memancing. “Jadi, pencarian kalian sia-sia. Katakan saja kepada kaisar sombong itu, coba cari ke dalam gaun para selirnya, siapa tahu salah satu dari mereka yang menyembunyikannya, hahaha.” Yang Feng tertawa makin keras.
“Cari giok itu!” perintah Pertapa Putih kepada orang-orang kasar itu, sedangkan dia sendiri langsung menyerang Yang Feng bersama Tangan Maut.
Cukup melelahkan ketika semalaman harus dikejar oleh satu desa karena ketahuan mencuri sepeti harta. Peti itu kecil saja, bahkan dua tangan pun terlalu besar untuk memegangnya, tapi harus Long Wei akui kalau isinya tidak main-main.Berbagai perhiasan seperti kalung, cincin, anting, gelang, dan pernak-pernik lainnya. Long Wei bahkan sampai bingung harus ia apakan harta sebanyak ini.“Dijual sajalah,” gumamnya tanpa sadar tepat ketika makanan yang ia pesan dihidangkan di atas meja.Pelayan itu membungkuk singkat sebelum pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan pelanggan lain.Warung ini berada di persimpangan yang cukup strategis. Walau di sekelilingnya masih berupa hutan lebat, tapi jarak ke desa terdekat tak sampai lima li. Hal ini membuat para pengelana tak perlu mampir ke desa-desa itu jika hanya untuk sekadar mengisi perut.Long Wei memilih singgah di tempat ini karena tujuan itu. Dia hanya akan mengisi perut sejenak sebelum kembali melanjutkan perjalanan.“Sudah sekitar dua minggu
Naik kuda tunggangan yang diambil dari kedua prajurit pingsan, Yang Feng membawa Long Wei menjauhi tempat itu. Melihat dari arah bayangan, mereka saat ini sedang menuju ke utara.Long Wei terus mengikuti sosok kakek berpakaian prajurit kekaisaran itu yang sejak tadi tidak mengatakan apa pun. Sebenarnya dia juga tak terlalu peduli hendak pergi ke mana, Long Wei tidak punya tujuan pasti.Yang Feng menghentikan laju kudanya di anak sungai kecil yang masih tersambung dengan sungai di belakang warung tadi. Ia menengok ke segala penjuru terlebih dahulu untuk memastikan keadaan benar-benar aman. Setelah merasa yakin, kakek itu melompat turun dan duduk di atas rumput tebal.“Jadi, apa itu tadi?” Long Wei masih tidak mengerti dengan semuanya.Yang Feng terkekeh. “Kau terlalu waspada kepadaku, nak.” Ia melihat jarak mereka terpisah kurang lebih dua tombak dengan Long Wei yang telah meraba gagang pedangnya. “Aku hanya ingin bilang terima kasih.”Wajah Long Wei berubah seketika. Mulutnya terbuka l
Karena tempat tinggal Yang Feng sebelumnya sudah tak aman lagi, maka mereka pergi mengembara ke banyak tempat. Perjalanan dilakukan menggunakan kuda yang sama, menuju utara.Ketika Long Wei menanyakan alasan kenapa mereka pergi ke utara, Yang Feng menjawab kalau tak ada alasan pasti. Satu hal pasti adalah sangat berbahaya bila terlalu dekat dengan ibu kota yang ada di wilayah barat, berdiri di kaki pegunungan Yuling.Walau Long Wei ikut Yang Feng bukan karena sungguh-sungguh ingin jadi murid melainkan karena balas dendam dan sedikit balas budi, tapi ia tetap patuh akan segala perintah Yang Feng. Ketika mereka harus tidur beratapkan langit, Long Wei yang akan mencarikan kayu bakar dan makanan untuk mereka berdua. Ketika sampai di desa, mereka biasanya akan membantu siapa saja yang membutuhkan untuk mendapat uang, Long Wei amat rajin untuk itu. Karena inilah Yang Feng makin merasa sayang dan kasihan kepada pemuda tersebut, apalagi setelah ia mendengar masa lalu Long Wei.Namun selama ha
Desa Qinglang jadi gempar karena terkejut dengan kedatangan perwira Kai yang terlalu tiba-tiba. Dua puluh orang berpakaian prajurit lengkap dengan menunggang kuda-kuda gagah, itulah pasukan pimpinan Perwira Kai yang dibawa ke desa Qinglan.Keadaan semakin gempar ketika perwira itu melukai seorang perempuan yang mereka semua tahu sebagai istri dari Lu Taihiap (Pendekar Lu). Beberapa pemuda mencoba untuk membela Mei Mei, tapi mereka hanya mendapat pukulan yang lebih keras dari bawahan perwira Kai.Kini, keadaan kembali gempar karena kedatangan Yang Feng yang mengirimkan suara berisi tenaga dalam, membuat suaranya jadi lebih keras beberapa kali lipat.“Siapa di sini yang dipanggil Perwira Kai?”Ayam-ayam berkokok dan lari ketakutan. Babi, sapi, kambing, serta hewan-hewan ternak lain merunduk dengan ngeri setelah datang bentakan yang seolah turun dari langit. Tak lama kemudian terdengar ringkik kuda dari salah satu sisi desa, Yang Feng segera menoleh ke sumber suara untuk menemukan sekump
Gerbang desa sudah tampak di depan sana, tinggal beberapa langkah lagi. Akan tetapi, sepintas pemikiran menghantam kepalanya sampai membuat kening Long Wei mengkerut. Baru teringat olehnya selama pertempuran tadi sama sekali tak tampak batang hidung perwira Kai.“Ke mana dia?” Pemuda itu menghentikan larinya di depan sebuah rumah, membuat penghuninya makin ketakutan dan cepat-cepat bersembunyi.Matanya menyapu segenap penjuru untuk mencari keberadaan perwira Kai kalau-kalau orang itu justru diam-diam mengikutinya. Long Wei mencabut pedang pendek dan bersiap dengan kuda-kuda.Sepintas pemikiran kembali menghantam kepalanya tak lama kemudian. “Jangan-jangan ….” Long Wei langsung berlari menuju rumah Lu Kwan. ***Menggunakan golok besarnya, Lu Kwan menebas kepala Yang Feng sekuat tenaga. Sungguh golok itu tak bisa dianggap main-main karena senjata itulah yang mengangkat Lu Kwan menjadi pendekar tersohor berjuluk Lu Taihiap.Y
Walau sedang dalam keadaan terluka yang cukup parah, tapi Yang Feng tetaplah seorang pendekar besar yang berjuluk Tapak Baja. Kepekaannya terhadap sekitar telah tinggi sekali sehingga tebasan pedang Cang Er mampu ia rasakan dengan jelas.Pedang itu berhenti dan bergetar saat tangan Yang Feng menahannya menggunakan dua jari tangan. Cang Er berseru kaget dan mencoba menarik pedangnya, tapi tak berhasil.Sedangkan Yang Feng hanya tersenyum lembut, sama sekali tidak menunjukkan ekspresi marah. “Maafkan aku, nak … ini salahku yang tak bisa melindungi kalian.”Cang Er mematung selama beberapa saat sebelum jatuh berlutut sambil menutup muka dengan dua tangan. Pundaknya bergetar hebat diiringi isak tangis memilukan. Hati Yang Feng sakit sekali mendengarnya.Long Wei menghela napas lega saat melihat Yang Feng baik-baik saja. Ia menghampiri mereka.“Kau tak apa, kek?” tanyanya.Yang Feng menggeleng. “Luka dalamku bertambah, ini sungguh tidak baik. Setelah ini kita akan mampir ke rumah Setan Sak
Yang Feng tidak langsung mengajari sesuatu kepada Long Wei karena dia ingin mengetahui kesetiaan dan kepatuhan pemuda itu. Walau waktu yang berlalu belum begitu lama, tapi Long Wei telah membuktikan bahwa ia berani mempertaruhkan nyawa dengan menghadapi serbuan para prajurit perwira Kai.Di sisi lain, keributan itu juga memaksa Yang Feng untuk menurunkan ilmu lebih cepat dari yang sudah ia rencanakan. Maka dari itulah perjalanan menuju tempat Setan Sakti sangat lama karena mereka harus sering berhenti di tengah jalan agar Yang Feng dapat mengajarkan sesuatu kepada Long Wei.“Yang kulihat, kau sama sekali tidak mengeluarkan tenaga dalam,” komentarnya di pagi kelabu pada hari kedua perjalanan mereka menuju kediaman Setan Sakti. “Kau tidak mengeluarkan tenaga dalam,” ulangnya.Long Wei yang tadi baru saja disuruh memukul telapak tangan Yang Feng itu mengerutkan kening. “Tapi begitulah yang ayahku ajarkan.”Yang Feng menggeleng. “Itu bukan tenaga dalam tapi hanya tenaga luar saja. Kau mam
Nama asli dari kakek berjuluk Pertapa Putih itu adalah Cao Yin. Hanya beberapa orang yang mengetahui nama asli Pertapa Putih, kebanyakan dari mereka adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan, salah satunya adalah Setan Sakti.Di sisi lain, Cao Yin tidak mengetahui siapa nama asli Setan Sakti karena orang itu memang aneh luar biasa. Dia mengaku telah lupa dengan nama sendiri dan selalu menggunakan julukan Setan Sakti ketika memperkenalkan diri, maka dari itu entah kapan terakhir kali nama aslinya terdengar di dunia.“Jangan berlagak jadi pahlawan kau, Cao Yin,” ketus Setan Sakti sambil terus menumbuk. “Kau bisa menyembuhkan suami wanita itu kalau kalian membunuhku?”Cao Yin buru-buru menangkupkan kedua tangan dan menunduk untuk memberi hormat. Sambil tertawa ia berkata. “Hahaha, sungguh dunia ini sempit sekali. Orang yang kukira perampok nakal ternyata adalah dewa obat paling hebat di dunia. Bagaimana kabarmu, Setan Sakti? Dan kenapa kau ada di sini?”“Kalau aku sedang tidak baik, past
Orang yang kurus tadi tertawa terbahak-bahak. “Lihat, kan? Sebentar lagi kita bisa pergi dari sini dan jadi kaya raya.”Kekehan si tinggi besar bersenjata golok terdengar memuakkan telinga. “Kita harus bisa menangkap Dewi Teratai Merah.”Pria kurus itu mengangguk-angguk membenarkan. Ia kembali memandang ke arah Cang Er dan Liang Kun. “Jadi, siapa anak muda ini?”Liang Kun melintangkan pedang di depan dada dan spontan maju selangkah di hadapan Cang Er. “Aku Liang Kun, kakak seperguruannya.”“Pasti lebih kuat,” komentar si tinggi besar.“Kalian siapa dan mau apa? Lalu apa maksudnya Dewi Teratai Merah?” Liang Kun memandang tajam penuh kecurigaan.“Hahaha, bahkan kakak seperguruannya sendiri tidak tahu kalau adiknya sudah terkenal di kalangan kita!” si kurus berkata kepada si besar.“Benar-benar menggelikan.” Si tinggi besar tertawa sampai perutnya bergerak naik turun.Cang Er merapatkan tubuh ke belakang Liang Kun. “Kakak, aku sama sekali tidak mengenal mereka dan tidak tahu apa maksud d
Setelah pergi cukup jauh dari Danau Yueya, mereka berdua memperlambat laju kuda masing-masing. Jalanan memang lebar, tapi mereka memilih untuk tidak terlalu buru-buru untuk menikmati keadaan alam sekitar sekaligus beristirahat dari lelahnya tugas yang baru saja dijalankan.“Cang Er, apakah kau yakin baik-baik saja,” tanya Liang Kun yang sudah menjajari kuda Cang Er.Gadis itu tersentak dari lamunannya. Memang tadi dia sedang melamun tentang segala kejadian di Desa Cin Wu baru-baru ini. “Kenapa?”“Wajahmu selalu tampak murung.”Kembali Cang Er menunduk dan merenungkan semuanya. “Sebenarnya, ada satu hal yang sedang kupikirkan dan kusesali.”“Apakah yang kauceritakan kepada Gak Tai Ciangkun tadi itu bohong?” tanya Liang Kun penuh selidik.Gadis itu cepat-cepat menggeleng. “Tidak sama sekali. Semua itu benar. Hanya saja ada beberapa bagian yang aku rahasiakan.”Liang Kun mengembuskan napas panjang. “Sudah kuduga,” ucapnya yakin. “Aku memang merasa ada yang janggal dengan dirimu sejak tad
Perjalanan ke barat kali ini sedikit jauh. Menaiki kuda tunggangannya, ia menyusuri jalan-jalan setapak sempit sepanjang hutan untuk sampai ke tempat tujuan. Tentu saja, dalam hutan-hutan yang lebat ini terdapat banyak para bandit beserta segala macam orang jahat. Di tengah jalan ini Cang Er banyak bertarung untuk menumpas mereka. Kadang ada yang dibunuh, kadang ada yang dibiarkan lolos dengan membuat mereka setengah cacat atau sumpah paksaan.Setelah beberapa hari ke arah barat, Cang Er sedikit membelok. Kini ia menuju barat daya. Tujuannya adalah Danau Yueya yang terkenal dengan keindahan sekaligus keunikan tempat tersebut. Pasalnya, danau itu memiliki ciri khas tersendiri dalam bentuknya yang melengkung seperti bulan sabit raksasa. Jika dipandang dari bukit terdekat ketika sore hari, maka airnya akan berwarna merah terang. Ketika dipandang saat malam hari, maka Danau Yueya memantulkan gambar bintang dan bulan dari langit.Tiga hari berikutnya, Cang Er tiba di danau tersebut saat so
Gerakan Long Wei lebih cepat. Dia menangkis tusukan itu dengan cara menekan pedang ke bawah. Sebelum Zhen Yu mampu berekasi, Xu Qinghe melancarkan serangan berupa bacokan yang langsung ditangkis oleh pemuda itu dengan tangan kiri. Suara beradu dua logam terdengar, ternyata tangan kiri Zhen Yu juga dilapisi sarung tangan besi.Long Wei tak bisa membantu lebih jauh lagi karena ia merasakan bahaya dari belakang. Begitu berbalik, ternyata sudah ada lima orang yang menyerang. Begitu pula dengan Ceng Tok, ia sudah sibuk menghadapi mengeroyokan para Singa Emas.Xu Qinghe berteriak keras, menyerang dengan dua kali tebasan ke leher dan dada. Zhen Yu mampu menangkis sekaligus menghindar. Pemuda itu melakukan serangan balik berupa tusukan tangan kiri yang seolah bisa mengambil jantung Xu Qinghe jika tangan itu berhasil menembus dada.Trang ....“Kau kurang kuat!” seru Zhen Yu.Trang ... Trang ....“Kau masih takut!”Trang ... Sraat ....Darah keluar dari luka gores di pipi Zhen Yu.“Kau lengah!”
Tiba-tiba hujan turun deras. Tanah yang tadi kering kini benar-benar basah dalam waktu amat singkat. Genangan air tercipta di sudut-sudut yang biasanya tak terlalu diperhatikan, atau bahkan di kumpulan rumput taman atau halaman depan.Long Wei memandangi beberapa genangan kecil yang ada di sekelilingnya dan dia bertanya-tanya dalam hati. Setelah lewat malam ini, apakah genangan air itu masih keruh karena tercampur tanah? Atakaukah akan berubah warna? Merah, mungkin?Suitan nyaring terdengar. Long Wei tahu itu suara Ceng Tok yang bersuit dari atas gerbang depan. Suitan tanda bahaya yang seolah menarik siapa saja dari pelukan mimpi indah. Berturut-turut pintu kamar terbuka lebar, semuanya berlari keluar.Terjangan air hujan besar-besar tak mereka pedulikan. Mereka semua tahu ini pasti ada hubungannya dengan pertempuran di kaki bukit beberapa hari lalu. Mereka semua siap mempertaruhkan nyawa.“Singa Emas datang menyerang!” teriak Ceng Tok dan tahu-tahu di tembok tinggi yang mengelilingi
Dia merasa bingung sendiri, kenapa tadi ia begitu teropsesi dengan Giok Langit sampai mengabaikan Xu Liangchen. Dia terlalu fokus kepada Lin Dong untuk mengejar Han Rui yang telah membawa cincin itu. Dia terlalu fokus pada Giok Langit.Long Wei memandang Xu Qinghe yang memangku kepala ayahnya sambil mengucurkan air mata. Dua Raja Singa yang tersisa memanfaatkan kesempatan ini untuk melarikan diri. Long Wei sama sekali tak menghiraukan mereka.Dia lebih memikirkan dirinya sendiri.Apa yang terjadi padaku? batinnya. Perasaan apa itu tadi?Jerit Xu Qinghe yang semakin keras mengalihkan perhatian pemuda itu. Ia cepat mendekat untuk melihat luka-luka yang diderita Xu Liangchen. Beberapa saat kemudian, Long Wei menggelengkan kepalanya lemah. Racun itu sudah menyebar terlalu jauh. Mungkin hanya Setan Sakti yang mampu menangani ini.Agaknya Xu Liangchen tadi terlalu gegabah sehingga terlalu banyak menangkis serangan para musuh sehingga racun itu berhasil masuk.“Aku tahu aku tak akan selamat,
Xu Qinghe menangkis dan terpental, jatuh bergulingan. Pedang beronce merahnya terlempar jauh setelah menerima hantaman pedang milik Han Rui. Wanita dengan jubah serba merah itu lantas menerjang lagi, menusuk dada.“Setan betina!” pekik Xu Liangchen.Han Rui sedikit terkejut lalu menarik kembali serangan. Dia mampu melihat sinar berkelebat yang hampir menggorok lehernya. Ternyata itu adalah pedang berkilau yang entah sejak kapan sudah berada di tangan Xu Liangchen.Tak lama kemudian, datang pula seorang lelaki berjubah serba hitam. Ia memiliki wajah tegas, alis tebal dan kepala botak. Di tangannya membawa rantai panjang yang di ujungnya terdapat bola besi berduri.“Oh ... pertemuan yang kurang menyenangkan, menurutku.” Han Rui terkekeh menatap Xu Liangchen. “Apa kabarmu, orang tua?”Satu Raja Singa terpental tepat di depan muka Han Rui saat Long Wei dengan murka menyepaknya keras. Wanita itu buru-buru memandang untuk menemukan muka Long Wei yang membayangkan kemurkaan luar biasa.“Bagu
Xu Qinghe memerintahkan selusin orang yang ia rasa memiliki kepandaian tinggi. Saat itu juga, bersama Long Wei, mereka pergi menyusul Xu Liangchen yang pasti sudah cukup jauh dari Kota Shengyin. Dengan naik kuda-kuda berkualitas baik, mereka membelah jalanan kota dan berhasil mengejutkan para warga.Di tengah perjalanan, Long Wei hanya menjelaskan kalau mungkin Xu Liangchen dalam bahaya. Entah mendapat serangan atau apa pun.“Kalau Ular Darah sengaja melakukan ini untuk merebut perhiasan itu.” Long Wei sengaja menyebut perhiasan karena saat ini mereka tidak sendiri. “Apakah kau tidak berpikir kalau mungkin sekali kekacauan antara Pedang Api dan Singa Emas adalah siasat mereka pula untuk merebut perhiasan?”Napas Xu Qinghe berhenti sejenak. “Itu ... itu masuk akal juga.”“Aku khawatir ayahmu di perjalanan mendapat serangan,” ucap Long Wei. “Entah dari Singa Emas atau dari Ular Darah atau dari keduanya.”“Kita harus cepat!”Keadaan memang gawat sekali. Ini adalah masalah pelik yang mung
Long Wei mencoba menyamai langkah kaki Xu Qinghe yang melintasi lorong entah menuju ke mana. Gadis itu sama sekali tidak menjawab ketika terus didesak Long Wei. Hingga ketika Xu Qinghe berbelok, ternyata mereka sampai di taman belakang yang lumayan luas.Xu Qinghe berhenti tiba-tiba dan membalikkan tubuh dengan sebal. “Kau kenapa mengikutiku terus? Apa tak ada yang perlu kaulakukan?”“Tidak, kalau kau bertanya,” jawab Long Wei cepat. “Yang pasti, kau harus menjelaskan kenapa kalian menerima permintaan itu? Apa kalian tidak tahu siapa itu Ular Darah?”Xu Qinghe menggembungkan pipi sebelum berbalik dan pergi. Beberapa saat kemudian, dia berhenti lagi lalu mengempaskan diri ke kursi taman yang berada di bawah naungan pohon besar.Long Wei menyusul. “Jawab aku!”Xu Qinghe masih memasang muka jengkel.Long Wei ingin mendesak lagi, tapi gadis itu sudah mendahuluinya dengan bentakan. “Kau di sini diminta untuk menjagaku, bukan menanyaiku macam-macam apalagi urusan Pedang Api!”Tangan pemuda