Azalea tahu Gaji dokter spesialis memang besar tapi apakah sebesar itu sampai Anselio bisa tinggal di apartement mewah seperti ini? Meski penasaran namun Azalea tidak ingin memusingkannya. Yah mungkin saja Anselio juga punya banyak saham seperti ibunya. Buah kan tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya.
Sedari siang sekretarisnya—Cakra sudah diteror sang nyonya besar agar mengantarkan Azalea ke alamat Anselio sepulang kantor. Ibunya bilang, Anselio sedang sakit bahkan tidak praktek di rumah sakit.
Kalau dipikir apa coba hubungannya dengan Azalea!?
Sudah malas berdebat, jadilah sekarang Azalea berada di sini, di depan pintu yang katanya adalah unit tempat Anselio tinggal. Tapi sayangnya setelah lima menit menekan bel, pintu itu belum juga terbuka.
Ini Anselio enggak benar-benar pingsan dalam kesendirian kan? Azalea mulai menambahkan gedoran ringan di pintu besi itu.
Mencari cara lain, Azalea mengeluarkan ponselnya. Mencari nomor ponsel Anselio yang Cakra kasih sebelumnya. Aduh, masa iya dokter segagah itu bisa roboh?
Panggilan terjawab namun tidak ada suara manusia yang masuk. Azalea memastikan layar ponselnya sekali lagi sebelum mulai berbicara.
“Halo? Dokter Ansel?”
“....”
Melihat panggilannya yang masih tersambung, Azalea tetap melanjutkan. “Ini saya, Azalea. Katanya Dokter sakit jadi saya mampir ke tempat Dokter sekarang. Dokter Ansel ada di rumah?”
Azalea bersidekap sambil menunggu respon di sana. Serius ini enggak lucu kalau ternyata dia salah mendial nomor ponsel.
“....1483,”
“Ya?”
Suara yang terdengar serak dan berat di ujung sana kembali terdengar. “...kode pintu saya 1483, silahkan masuk. Kamu bisa masuk sendiri kan?”
“Ah, iya Dok.” Azalea mengangguk meski tak akan terlihat.
Azalea memasuki unit mewah itu perlahan sambil memperhatikan interior sekelilingnya. Ini sebenarnya yang CEO itu siapa? Azalea saja bahkan berpikir ratusan kali ketika Cakra merekomendasikan unit ini padanya dulu dan malah berujung tidak jadi.
Cih, dasar calon mantu idaman.
Bukannya disambut oleh sang pemilik, Azalea justru disambut oleh robot vakum kecil berputar kesana-kemari. Sedikit fakta tidak penting, merknya sama dengan yang ada di apartement Azalea.
Tidak menemukan keberadaan Anselio di sekitar, Azalea menaruh asal buah-buahan yang ia bawa di meja bar dapur dan langsung menghampiri salah satu pintu kamar yang terlihat olehnya. Orang sakit itu 90 persen kemungkinannya pasti akan berada di kamar kan?
Pintu kamar tersebut Azalea dorong setelah sebelumnya ia ketuk tiga kali. Interior kamar dengan nuansa abu-abu dan putih menyambutnya. Sedangkan Anselio yang terbaring nyaman di ranjangnya langsung bangun ke posisi duduk. Wajah bangsawan Anselio terlihat jelas sekali sedang kurang sehat. Karena itu sejujurnya Anselio terlalu malas untuk menerima siapa pun saat ini. Bahkan Damar yang sejak pagi menanyakan alamat rumahnya saja tidak laki-laki itu acuhkan. Anselio butuh istirahat.
Azalea mendekat dalam keheningan. Ingin bertanya kabar tapi kan sudah jelas kalau laki-laki itu sedang tidak enak badan. Tidak mungkin kan Azalea menanyakan tentang deposit yang dibutuhkan untuk menyewa apartement ini atau menanyakan berapa persen saham yang Anselio punya di perusahaannya.
“Kamu sendirian?” Selagi Azalea memikirkan sapaan untuk basa-basi, Anselio sudah bersuara lebih dulu.
“Saya harus bawa siapa? Pasukan tempur?”
Sebenarnya bukan maksud Azalea untuk berkata seperti itu hanya saja memang Azalea punya sedikit refleks yang buruk ketika merasa canggung.
“Maksudnya iya saya sendirian, Dok.” Azalea memperhatikan Anselio dari kepala hingga ujung kaki. “Udah minum obat, Dok?”
Nice, pertanyaan yang sangat berbobot. Azalea mencela dirinya sendiri.
“Saya cuma perlu istirahat.”
Tanpa bertanya pun Anselio tahu kalau Azalea datang pasti karena suruhan ibunya. Ia mulai memperhatikan Azalea yang masih memakai setelan kantor di sana. Kemeja putih dengan celana panjang kain berwarna nude. Meski terlihat kikuk, namun kepercayaan diri masih terpancar kuat dari pandangan Azalea.
Setelah menimbang-nimbang bagaimana caranya keluar dari kecanggungan ini, Azalea memutuskan untuk berterus terang.
“Saya tahu ini sedikit enggak nyaman tapi saya harus stay di sini seenggaknya dua jam. Jadi selama itu Dokter Ansel bisa abaikan keberadaan saya di sini.”
Senyum kecil Anselio terbit. “Sampai kapan kamu mau panggil saya pakai embel-embel dokter?”
Azalea diam bingung juga mau menjawab apa.
“Kamu masih jadi salah satu pasian yang saya tangani?”
“Enggak, Dok—” Azalea menggeleng pelan, “—okay, Ansel.”
***
Hujan turun malam itu. Rencana Azalea yang seharusnya berada di unit Anselio selama dua jam tidak jadi terealisasikan. Sampai hampir tengah malam begini Azalea masih setia bersandar di balkon Anselio. Gadis itu menyukai hujan dan punya kebiasaan untuk memperhatikan tetes hujan yang jatuh dalam kesunyian.
Terakhir Azalea mengintip ke kamar Anselio, dokter spesialis jantung itu sedang tertidur. Seperti yang Cakra katakan, segala aspek kehidupan Anselio itu hampir sempurna menyebabkan Azalea merasa kesulitan untuk menemukan alasan yang tepat. Kenapa sih ibunya harus begitu terobesi dengan pernikahan!? Kenapa juga bisa dapat calon yang mempunyai bibit unggul begini coba!?
Minimal harus punya kekuranganlah. Bau ketek, mungkin. Atau punya masalah ketombe berlebih misalnya. Padahal kesempurnaan itu hanya milik Yang Maha Kuasa.
Selain itu yang mengganggu adalah fakta kalau Azalea juga seorang wanita normal yang mempunyai hati. Jika terlalu lama bersinggungan, bisa runtuh dunia persilatan kalau nanti justru Azalea yang malah jatuh hati.
“Kamu belum pulang?”
Azalea kaget, refleksnya adalah berkata kasar.
“Fuck—” Untungnya bisa dikendalikan. “Fuckin georgeous! What are you doing here, dude?” Ralatnya langsung setelah bertemu pandang dengan Anselio.
Anselio menaikan kedua alisnya tinggi. “What am I doing? In my own house?”
Azalea hanya meringis. Ini laki gede tinggi tapi kenapa langkah kakinya tidak terdengar sama sekali!? Padahal baru juga beberapa jam yang lalu Anselio terlihat lemah tak berdaya tapi kenapa sekarang sudah segar bugar?
“Kamu belum pulang?” Anselio mengulang pertanyaannya. Ia sendiri juga cukup terkejut ternyata masih menemukan Azalea di rumahnya.
“Hujan,”
“Korelasinya?”
“Basah,”
“Mobil kamu enggak punya atap?”
Azalea membutuhkan cukup waktu untuk bisa menjawab pelan, “...saya agak trauma.”
Jadi bukan hanya fisiknya yang terluka tapi kondisi mental Azalea juga sedikit terguncang. Ia langsung gemetar ketika masuk ke dalam mobil, kembali teringat pada saat-saat mobilnya terhantam dan terbalik. Nafasnya memburu dan sesak, dalam kondisi terparah Azalea bisa kehilangan kesadarannya seketika.
Anselio melemparkan tatapan yang tak terbaca membuat Azalea sedikit tidak nyaman. Tatapan Anselio itu selalu dalam dan intens. Netra gelapnya yang seakan memenjarakan tatapan Azalea dalam kelam.
“Enggak dingin?” Anselio berdeham ringan. “Mau minuman hangat?”
Azalea mengerjap polos beberapa kali, ia melihat jari kukunya yang mulai membiru. “Coffee, please.”
“With my pleasure,” kalimat Anselio sebelum menyingkir ke dalam.
Dari balkon luar sini, karena dibatasi oleh kaca bening Azalea melihat sekilas Anselio yang berkutat di dapurnya. Terpaan angin malam yang dingin membuat Azalea mengalihkan pandangannya pada deras hujan di depan. Haruskah ia tidur di sini malam ini?
Gadis itu kembali tenggelam dalam lamunannya sendiri sampai ia merasakan ada tangan kekar yang memeluknya dari belakang. Azalea tersentak, lalu menoleh. Anselio yang barusan menyampirkan selimut di bahu Azalea hanya menyunggingkan senyum tipis padanya.
Laki-laki itu masuk ke dalam dan tak lama kembali lagi dengan dua mug di tangan. Satu mug Anselio taruh di depan Azalea. Aroma kopi menguar begitu saja diiringi suara hujan.
Act of service memang bukan kaleng-kaleng. Demi Tuhan, Azalea bukan bagian dari kaum yang mudah meleyot, tapi— ah sulit.
“Kamu...” Anselio menoleh, menunggu Azalea menyelesaikan kalimatnya. “Kenapa bisa setuju dengan permintaan ibu saya?”
“Why not?” Anselio menyesap kopinya. “Awalnya saya memang keberatan, sangat. Tapi setelah dipikir enggak ada salahnya untuk dicoba.”
“Kenapa berubah pikiran?”
“Kenapa enggak boleh berubah pikiran?” Anselio terkekeh ringan. “Kamu daripada susah payah menolak, kenapa enggak coba untuk menerima dulu?”
“Saya...enggak bisa.”
“Alasannya?”
Azalea menggenggam gelas kopinya erat sejenak sebelum memberanikan diri untuk menoleh pada Anselio.
“...karena memang enggak bisa,” kata Azalea lirih.
Sekali lagi, Anselio mengunci tatapan jernih Azalea dengan iris gelapnya. Seakan menghianati, Azalea malah merasakan debaran di dada. Bibirnya terbuka sedikit tapi tidak ada kata yang keluar. Azalea menelan salivanya susah payah. Tapi masing-masing dari mereka menikmati tiap detik yang terlewat.
Sampai detik selanjutnya, entah siapa yang memulai, bibir mereka sudah saling terpagut.
Azalea memang tidak tertarik punya hubungan romantis dengan laki-laki, tapi bukan berarti gadis itu polos seperti kertas hvs putih yang belum ternoda skripsi. Ingat, Azalea lama tinggal di Amerika. Seperti kebanyakan remaja tanggung lain yang ingin menghilangkan stress, gadis itu juga suka keluar masuk klub malam.Perlu diketahui bahwa selain skill akademiknya, skill berciuman Azalea juga salah satu yang ia banggakan. Setidaknya begitu sebelum bibirnya bertemu dengan milik Anselio. Laki-laki itu langsung berada dalam posisi teratas di list Azalea.He is definitely a great kisser. Bagaimana Anselio bisa memanfaatkan semua momen untuk memberikan intensitas dalam lumatannya. Tidak ada tuntutan sama sekali tapi Azalea merasa sangat terbuai. Sampai gadis itu tidak sadar seharusnya ia menarik diri, bukannya malah merengkuh tubuh tinggi Anselio dan balas membelit lidah Anselio yang membelah bibirnya dengan panas.Anselio mengangkat tubuh ringan Azalea dengan mudahnya. Otak Azalea ingin memp
“Kamu benar enggak ada yang sakit?”Berkali-kali sudah Anselio menanyakan itu. Azalea ingin menjambak habis rambut Anselio rasanya. Memangnya menanyakan hal seperti setelah memerawani seorang gadis adalah suatu hal terpuji!? Ha!?Dan memangnya apa urusan Anselio dengan hal tersebut? Kalau pun sakit kan yang merasakan Azalea. Wanita itu juga tidak akan menangis meraung-raung meratapi selaput daranya yang telah robek.“Azalea—”“Enggak! Saya baik-baik aja! Enggak percaya amat, sih? Mau lihat saya lari sprint!?” Potong Azalea galak.Anselio paham betul, menilik dari intensitas kegiatan mereka semalam normalnya sang wanita akan kesulitan untuk berjalan. Tapi Azalea masih bisa bergerak sebagaimana mestinya. Anselio khawatir kalau gadis itu hanya pura-pura.“Kalau ada nyeri saat—”“Ansel, saya itu lebih pusing mikirin kemungkinan hamil yang hampir 100 persen tahu gak!?”Bulan ini Azalea belum datang bulan. Sialnya sekarang ini adalah masa suburnya. Kurang apa lagi coba!? Lebih lengkap pende
Ketika Azalea terbangun, yang pertama kali otaknya terima sebagai rangsangan adalah aroma musk dan mint yang bercampur. Azalea mengerutkan keningnya tapi demi Tuhan ia masih nyaman pada posisinya. Belum pernah sebelumnya ia merasakan posisi tidur senyaman ini. Azalea tidak ingin membuka mata. Ditambah lagi dengan usapan lembut yang konstan menyentuh kulit punggungnya.Tunggu, usapan? Siapa yang menyentuhnya?Mata Azalea langsung terbuka secepat kilat. Butuh sekitar tiga kerjapan untuknya bisa mengenali pemandangan apa yang berada di sana. Itu adalah dada manusia. Lebih tepatnya dada telanjang seorang laki-laki.Azalea menelan ludah gugup. Perlahan tapi pasti ia mendongak sambil berusaha mengendalikan dirinya sendiri namun gagal begitu mengenali siapa laki-laki yang memeluknya erat. Azalea langsung terduduk karena terkejut. Lebih terkejut lagi ketika menyadari bahwa tubuhnya sendiri juga tidak memakai sehelai benang. Tangannya jadi kembali menarik selimut untuk menutup tubuhnya.“Hidup
Menurut rumor, co-ass (co-assistant) adalah satu fase hidup para calon dokter yang menegangkan, menyedihkan, merasa bodoh dan dibodohi, tidak berbeda jauh dengan level keset welcome. Intinya co-ass ada pada tataran terendah di kehidupan rumah sakit.Kisah yang sama mungkin akan terulang pada masa residen. Setidaknya dokter residen sudah dianggap sebagai dokter untuk sebagian kalangan. Berdasarkan derajat, tentu residen lebih tinggi daripada co-ass. Begitulah pemikiran Damar sebelum menjalani pendidikan spesialis di bawah bimbingan dokter spesialis bedah toraks, Anselio Dharmendra yang mempunyai julukan Amon Berjas Putih.Tahu Amon kan? Raja iblis yang mewakili sifat kekejaman. Anselio adalah wujud nyata sosok Amon di rumah sakit ini.Dulu Damar merasa kehidupan co-ass adalah yang tersuram, tapi sekarang kehidupannya sebagai dokter residen juga tak kalah suram berkat kehadiran Anselio sebagai konsulennya.“Siapa yang pegang kamar 314?” Setelah beberapa menit akhirnya suara dingin itu k
“Bu! Bu Azalea?! Ada apa?! Bu?! Bisa dengar saya?! Bu Azalea!” Panggilan yang terdengar di telinga kirinya menyadarkan Azalea.Azalea berusaha mengatur napasnya yang terasa sesak. “Cakra, dengar saya. Ada kecelakaan di jalan Pagar Alam. Tolong telepon ambulans sekarang.” Mata Azalea menyipit memperhatikan situasi di luar mobil. “Mungkin ada beberapa korban lain.” Tambahnya.“Bu Azalea enggak apa-apa?”Azalea tidak menjawab. Saat itu ia menyadari bagian punggung tangan kanannya penuh dengan darah karena pecahan kaca. Sialnya lagi ia tidakbisa menggerakan lengan kanannya. Dengan tangan kiri, Azalea meraih ponsel yang untungnya ia tempatkan di penyangga dasbor mobil. Kemudian Azalea melepaskan seatbelt yang mengikat tubuhnya. Karena tadi mobilnya sempat berada dalam posisi terbalik menyebabkan pintu mobil tersangkut sehingga sulit terbuka.Azalea bisa menoleh ke sekeliling, berarti lehernya baik-baik saja. Sekuat tenaga ia berusaha mendorong pintu mobil untuk terbuka. Pintu itu terbuka k
“Ini enggak bisa kalau cuma pakai antibiotik.” Gumam Anselio memperhatikan monitornya serius. “Apa penyakit papi saya serius, Dok?” Tanya anak gadis sang pasien. “Iya.” Anselio beralih pada pasien yang duduk di depannya kemudian melirik pada anaknya yang langsung merasa lemas. “Endokarditis infektif. Infeksi pada bagian katup jantung. Kalau enggak cepat ditangani bisa jadi embolisme, penyumbatan pembuluh darah karena gumpalan bakteri.” Jelasnya datar dan cepat. “Ada ruangankan?” Tanya Anselio pada perawat yang ada di ruangannya. “Iya, Dok. Bisa langsung masuk hari ini.” Anselio mengangguk. “Rawat inap mulai hari ini dan operasi secepatnya. Ada jadwal kosong sekitar—tiga hari lagi?” “Penuh, Dok. Malam?” “Iya, malam juga enggak apa-apa. Jangan lupa kabari anestesiologi tiga hari lagi.” Pria paruh baya itu ingin mencoba mengatakan sesuatu. “Maaf, Dok. Anak saya ada perform balet tiga hari lagi dan itu pertunjukannya untuk yang terakhir kali. Karena sibuk saya belum pernah menyaks
Dua hari. Sudah dua hari Damar belum say hello dengan kasur tercintanya di rumah. Padahal ia hanya dokter residen tapi kenapa rasanya seperti orang paling sibuk sedunia?Damar rindu ibunya. Juga anjing kesayangannya yang bernama Ansel. Benar, Ansel. Bukan Anselio. Hanya Ansel. Itu bukanlah sebuah kesengajaan. Damar benar-benar mencari nama yang bagus di internet untuk anjing kesayangannya bahkan sebelum ia mengenal Dokter Ansel.Yang barusan adalah sebuah fakta tidak penting dari seorang Damar.“Bayi Cecil vitalnya gimana?”“Stabil, Dok.”“Mungkin satu atau dua hari lagi bisa keluar dari PICU. Jangan lupa panggil walinya.”“Siap, Dok.”Damar mengerjap memperhatikan bayi kecil yang ada di hadapannya dengan senyum haru. Cecil menderita kelainan jantung bawaan yang mengharuskan ia menggunakan VAD¹ sejak lahir. Untungnya operasi berhasil dan keadaan Cecil sekarang sudah jauh lebih baik berkat ketrampilan Anselio.*/ [1]VAD - alat bantu ventrikel juga dikenal sebagai alat pendukung peredar
Azalea melihat Cakra dan Anselio bergantian. Cakra hanya bisa mengangguk untuk meyakinkan bahwa yang ia katakan barusan adalah sebuah fakta yang benar.Memang Azalea salah karena tidak melihat profil dan foto yang dikirim ibunya tapi tetap saja siapa sangka dunia se-sempit ini? Dokter ketus ini ternyata yang ibunya sebut sebagai calon menantu potensial? Azalea tidak mengerti dari sisi mana sang ibu melihat sosok Anselio.Dengan matanya Azalea mengusir Cakra keluar. Cakra menyentuh lehernya canggung, agak merutuki diri sendiri karena tidak memberi tahu Azalea lebih cepat. Laki-laki itu akhirnya keluar setelah mengangguk pamit pada Azalea dan Anselio.“Wah, kamu benar-benar belum tahu?” Kata Anselio sedikit tidak percaya.“Saya tahu, Dok. Mungkin karena kecelakaan itu ingatan saya jadi terganggu.” Azalea beralasan.“Kepala kamu bahkan enggak mengalami cedera berat.” Anselio mendengus ringan.Azalea memberanikan diri untuk menatap iris tajam Anselio sekali lagi. “Dokter enggak sakit hati
“Kamu benar enggak ada yang sakit?”Berkali-kali sudah Anselio menanyakan itu. Azalea ingin menjambak habis rambut Anselio rasanya. Memangnya menanyakan hal seperti setelah memerawani seorang gadis adalah suatu hal terpuji!? Ha!?Dan memangnya apa urusan Anselio dengan hal tersebut? Kalau pun sakit kan yang merasakan Azalea. Wanita itu juga tidak akan menangis meraung-raung meratapi selaput daranya yang telah robek.“Azalea—”“Enggak! Saya baik-baik aja! Enggak percaya amat, sih? Mau lihat saya lari sprint!?” Potong Azalea galak.Anselio paham betul, menilik dari intensitas kegiatan mereka semalam normalnya sang wanita akan kesulitan untuk berjalan. Tapi Azalea masih bisa bergerak sebagaimana mestinya. Anselio khawatir kalau gadis itu hanya pura-pura.“Kalau ada nyeri saat—”“Ansel, saya itu lebih pusing mikirin kemungkinan hamil yang hampir 100 persen tahu gak!?”Bulan ini Azalea belum datang bulan. Sialnya sekarang ini adalah masa suburnya. Kurang apa lagi coba!? Lebih lengkap pende
Azalea memang tidak tertarik punya hubungan romantis dengan laki-laki, tapi bukan berarti gadis itu polos seperti kertas hvs putih yang belum ternoda skripsi. Ingat, Azalea lama tinggal di Amerika. Seperti kebanyakan remaja tanggung lain yang ingin menghilangkan stress, gadis itu juga suka keluar masuk klub malam.Perlu diketahui bahwa selain skill akademiknya, skill berciuman Azalea juga salah satu yang ia banggakan. Setidaknya begitu sebelum bibirnya bertemu dengan milik Anselio. Laki-laki itu langsung berada dalam posisi teratas di list Azalea.He is definitely a great kisser. Bagaimana Anselio bisa memanfaatkan semua momen untuk memberikan intensitas dalam lumatannya. Tidak ada tuntutan sama sekali tapi Azalea merasa sangat terbuai. Sampai gadis itu tidak sadar seharusnya ia menarik diri, bukannya malah merengkuh tubuh tinggi Anselio dan balas membelit lidah Anselio yang membelah bibirnya dengan panas.Anselio mengangkat tubuh ringan Azalea dengan mudahnya. Otak Azalea ingin memp
Azalea tahu Gaji dokter spesialis memang besar tapi apakah sebesar itu sampai Anselio bisa tinggal di apartement mewah seperti ini? Meski penasaran namun Azalea tidak ingin memusingkannya. Yah mungkin saja Anselio juga punya banyak saham seperti ibunya. Buah kan tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya.Sedari siang sekretarisnya—Cakra sudah diteror sang nyonya besar agar mengantarkan Azalea ke alamat Anselio sepulang kantor. Ibunya bilang, Anselio sedang sakit bahkan tidak praktek di rumah sakit.Kalau dipikir apa coba hubungannya dengan Azalea!?Sudah malas berdebat, jadilah sekarang Azalea berada di sini, di depan pintu yang katanya adalah unit tempat Anselio tinggal. Tapi sayangnya setelah lima menit menekan bel, pintu itu belum juga terbuka.Ini Anselio enggak benar-benar pingsan dalam kesendirian kan? Azalea mulai menambahkan gedoran ringan di pintu besi itu.Mencari cara lain, Azalea mengeluarkan ponselnya. Mencari nomor ponsel Anselio yang Cakra kasih sebelumnya. Aduh, masa iya d
Akhirnya setelah setelah seminggu sejak insiden jahitannya terbuka, Azalea kembali ke apartement-nya yang nyaman. Tentu saja dengan sedikit perdebatan dengan Anselio. Home sweet home. Meski bukan rumahnya tapi Azalea merasa unit apartement ini adalah home-nya. Karena di rumah, ada ibunya yang selalu meributkan tentang pernikahan.Azalea menuju ke depan cermin. Ia berdiri tegak dan mulai melepaskan kancing teratas blouse yang Cakra pilih dari lemarinya sebagai baju ganti itu. Azalea mengamati plester putih yang berada di bagian rusuk kanannya. Ia mengusapnya pelan kemudian menekannya. Tidak terasa sakit sama sekali. Azalea menghela napas berat.Sesaat kemudian dering ponsel baru nya yang tadi ia lemparkan ke ranjang terdengar. Ponsel baru karena ponsel lama Azalea memiliki retakan yang cukup mengganggu mata. Azalea meraih ponselnya dan memejamkan mata sejenak untuk mempersiapkan diri.“Kamu itu siapa, sih? Anak mami bukan? Kok payah banget dihubungi. Mami ini yang melahirkan kamu loh,
Azalea melihat Cakra dan Anselio bergantian. Cakra hanya bisa mengangguk untuk meyakinkan bahwa yang ia katakan barusan adalah sebuah fakta yang benar.Memang Azalea salah karena tidak melihat profil dan foto yang dikirim ibunya tapi tetap saja siapa sangka dunia se-sempit ini? Dokter ketus ini ternyata yang ibunya sebut sebagai calon menantu potensial? Azalea tidak mengerti dari sisi mana sang ibu melihat sosok Anselio.Dengan matanya Azalea mengusir Cakra keluar. Cakra menyentuh lehernya canggung, agak merutuki diri sendiri karena tidak memberi tahu Azalea lebih cepat. Laki-laki itu akhirnya keluar setelah mengangguk pamit pada Azalea dan Anselio.“Wah, kamu benar-benar belum tahu?” Kata Anselio sedikit tidak percaya.“Saya tahu, Dok. Mungkin karena kecelakaan itu ingatan saya jadi terganggu.” Azalea beralasan.“Kepala kamu bahkan enggak mengalami cedera berat.” Anselio mendengus ringan.Azalea memberanikan diri untuk menatap iris tajam Anselio sekali lagi. “Dokter enggak sakit hati
Dua hari. Sudah dua hari Damar belum say hello dengan kasur tercintanya di rumah. Padahal ia hanya dokter residen tapi kenapa rasanya seperti orang paling sibuk sedunia?Damar rindu ibunya. Juga anjing kesayangannya yang bernama Ansel. Benar, Ansel. Bukan Anselio. Hanya Ansel. Itu bukanlah sebuah kesengajaan. Damar benar-benar mencari nama yang bagus di internet untuk anjing kesayangannya bahkan sebelum ia mengenal Dokter Ansel.Yang barusan adalah sebuah fakta tidak penting dari seorang Damar.“Bayi Cecil vitalnya gimana?”“Stabil, Dok.”“Mungkin satu atau dua hari lagi bisa keluar dari PICU. Jangan lupa panggil walinya.”“Siap, Dok.”Damar mengerjap memperhatikan bayi kecil yang ada di hadapannya dengan senyum haru. Cecil menderita kelainan jantung bawaan yang mengharuskan ia menggunakan VAD¹ sejak lahir. Untungnya operasi berhasil dan keadaan Cecil sekarang sudah jauh lebih baik berkat ketrampilan Anselio.*/ [1]VAD - alat bantu ventrikel juga dikenal sebagai alat pendukung peredar
“Ini enggak bisa kalau cuma pakai antibiotik.” Gumam Anselio memperhatikan monitornya serius. “Apa penyakit papi saya serius, Dok?” Tanya anak gadis sang pasien. “Iya.” Anselio beralih pada pasien yang duduk di depannya kemudian melirik pada anaknya yang langsung merasa lemas. “Endokarditis infektif. Infeksi pada bagian katup jantung. Kalau enggak cepat ditangani bisa jadi embolisme, penyumbatan pembuluh darah karena gumpalan bakteri.” Jelasnya datar dan cepat. “Ada ruangankan?” Tanya Anselio pada perawat yang ada di ruangannya. “Iya, Dok. Bisa langsung masuk hari ini.” Anselio mengangguk. “Rawat inap mulai hari ini dan operasi secepatnya. Ada jadwal kosong sekitar—tiga hari lagi?” “Penuh, Dok. Malam?” “Iya, malam juga enggak apa-apa. Jangan lupa kabari anestesiologi tiga hari lagi.” Pria paruh baya itu ingin mencoba mengatakan sesuatu. “Maaf, Dok. Anak saya ada perform balet tiga hari lagi dan itu pertunjukannya untuk yang terakhir kali. Karena sibuk saya belum pernah menyaks
“Bu! Bu Azalea?! Ada apa?! Bu?! Bisa dengar saya?! Bu Azalea!” Panggilan yang terdengar di telinga kirinya menyadarkan Azalea.Azalea berusaha mengatur napasnya yang terasa sesak. “Cakra, dengar saya. Ada kecelakaan di jalan Pagar Alam. Tolong telepon ambulans sekarang.” Mata Azalea menyipit memperhatikan situasi di luar mobil. “Mungkin ada beberapa korban lain.” Tambahnya.“Bu Azalea enggak apa-apa?”Azalea tidak menjawab. Saat itu ia menyadari bagian punggung tangan kanannya penuh dengan darah karena pecahan kaca. Sialnya lagi ia tidakbisa menggerakan lengan kanannya. Dengan tangan kiri, Azalea meraih ponsel yang untungnya ia tempatkan di penyangga dasbor mobil. Kemudian Azalea melepaskan seatbelt yang mengikat tubuhnya. Karena tadi mobilnya sempat berada dalam posisi terbalik menyebabkan pintu mobil tersangkut sehingga sulit terbuka.Azalea bisa menoleh ke sekeliling, berarti lehernya baik-baik saja. Sekuat tenaga ia berusaha mendorong pintu mobil untuk terbuka. Pintu itu terbuka k
Menurut rumor, co-ass (co-assistant) adalah satu fase hidup para calon dokter yang menegangkan, menyedihkan, merasa bodoh dan dibodohi, tidak berbeda jauh dengan level keset welcome. Intinya co-ass ada pada tataran terendah di kehidupan rumah sakit.Kisah yang sama mungkin akan terulang pada masa residen. Setidaknya dokter residen sudah dianggap sebagai dokter untuk sebagian kalangan. Berdasarkan derajat, tentu residen lebih tinggi daripada co-ass. Begitulah pemikiran Damar sebelum menjalani pendidikan spesialis di bawah bimbingan dokter spesialis bedah toraks, Anselio Dharmendra yang mempunyai julukan Amon Berjas Putih.Tahu Amon kan? Raja iblis yang mewakili sifat kekejaman. Anselio adalah wujud nyata sosok Amon di rumah sakit ini.Dulu Damar merasa kehidupan co-ass adalah yang tersuram, tapi sekarang kehidupannya sebagai dokter residen juga tak kalah suram berkat kehadiran Anselio sebagai konsulennya.“Siapa yang pegang kamar 314?” Setelah beberapa menit akhirnya suara dingin itu k