Azalea melihat Cakra dan Anselio bergantian. Cakra hanya bisa mengangguk untuk meyakinkan bahwa yang ia katakan barusan adalah sebuah fakta yang benar.
Memang Azalea salah karena tidak melihat profil dan foto yang dikirim ibunya tapi tetap saja siapa sangka dunia se-sempit ini? Dokter ketus ini ternyata yang ibunya sebut sebagai calon menantu potensial? Azalea tidak mengerti dari sisi mana sang ibu melihat sosok Anselio.
Dengan matanya Azalea mengusir Cakra keluar. Cakra menyentuh lehernya canggung, agak merutuki diri sendiri karena tidak memberi tahu Azalea lebih cepat. Laki-laki itu akhirnya keluar setelah mengangguk pamit pada Azalea dan Anselio.
“Wah, kamu benar-benar belum tahu?” Kata Anselio sedikit tidak percaya.
“Saya tahu, Dok. Mungkin karena kecelakaan itu ingatan saya jadi terganggu.” Azalea beralasan.
“Kepala kamu bahkan enggak mengalami cedera berat.” Anselio mendengus ringan.
Azalea memberanikan diri untuk menatap iris tajam Anselio sekali lagi. “Dokter enggak sakit hati kan?” Tanyanya hati-hati.
Anselio sedikit mengernyit tapi kemudian tersenyum kecil. “Iya, sedikit.” Azalea langsung mengatupkan bibirnya rapat. “Padahal saya selalu mendengar cerita kamu setiap kali Bu Pramita konsultasi. Tapi kayaknya kamu sama sekali engak tahu apa-apa tentang saya.”
Azalea Sahasika. Anselio selalu mendengar nama itu setiap kali Pramita konsultasi dengannya. Tentang anak gadisnya yang saat ini memimpin perusahaan karena sang ayah meninggal tiba-tiba dua tahun lalu. Tidak henti Pramita menyebutkan setiap kelebihan Azalea. Hingga akhirnya Anselio menyetujui tawaran Pramita untuk bertemu anak gadisnya itu sebagai bentuk kesopanan.
Azalea hanya mampu tersenyum keki. Bukannya tidak tahu sama sekali. Hanya saja karena tuntutan sang ibu yang kerap menyuruhnya menikah, Azalea jadi jarang pulang kerumah. Ia juga menolak semua informasi yang Cakra sampaikan jika itu menyangkut perihal laki-laki.
Melihat ekspresi Azalea yang serba salah, Anselio jadi terkekeh. “Bercanda. Malam ini anggap aja kita udah dinner bareng. Saya akan ceritakan kesan baik pada Bu Pramita. Jadi saya harap kamu juga akan mengatakan hal baik tentang saya.”
“Benar-benar kesan baik, Dok? Dokter kan yang paling tahu kondisi jantung ibu saya.” Tanda sadar Azalea melemparkan tatapan curiga.
“Dengan catatan kamu menjalani proses pemulihan dengan baik. Sekali lagi kamu jalan-jalan keluar kamar, saya akan langsung hubungi Bu Pramita. Selamat malam.” Kemudian Anselio melenggang pergi dari kamar rawat itu.
“Dih, ngancem.” Cibir Azalea tepat ketika Cakra kembali masuk ke ruangannya. Laki-laki itu buru-buru masuk setelah melihat Anselio keluar.
“Bu, enggak apa-apa?”
Azalea melirik Cakra sebal. “Kamu kenapa enggak bilang dari awal? Gila, ya? Katanya dunia itu enggak cuma selebar daun kelor tapi kenapa rasanya sempit banget?”
“Maaf, Bu. Saya kira Bu Azalea sudah tahu.”
“Kamu kira saya cenayang?” Azalea melengos. “Tapi saya heran apa yang mami lihat dari dokter Ansel. Kamu lihat sendiri kan? Saya rasa mulutnya itu enggak kebagian waktu Tuhan bagi-bagi akhlak gitu.”
Otak Cakra bekerja cepat berusaha mengumpulkan kembali informasi yang ia ketahui tentang Anselio.
“Anselio Dharmendra usia saat ini 33 tahun. Tampangnya udah kayak bangsawan, Bu. Saya yang laki-laki aja mengakui kalau Dokter Ansel itu ganteng.”
Azalea mendelik samar. “Saya juga punya mata, Cakra. Enggak usah kamu kasih tahu juga saya udah lihat sendiri.”
“Dokter Anselio itu salah satu dokter terbaik di sini, Bu. Usianya masih muda tapi keterampilannya sudah seperti professor senior.” Cakra mencari fakta lainnya.
“Itu juga saya tahu. Makanya saya percayakan kesehatan mami di rumah sakit ini kan?”
Seharusnya sejak awal Azalea mendampingi saat-saat ibunya medical check-up jadi ia tidak clueless seperti sekarang.
Cakra menyebutkan informasi lain yang ia ketahui. “Dokter Ansel pernah melakukan prosedur pembedahan untuk duta besar Dubai, loh Bu.”
“Terus saya harus apa? Memangnya prosedur pembedahan duta besar ada hubungannya dengan keberlangsungan hidup rumah tangga?” kata Azalea agak nyinyir. “Kamu pikir saya mau bongkar jantung tiap hari?”
Cakra tersenyum tabah dan tetap melanjutkan. “Latar belakang keluarganya juga cukup elite, Bu. Hotel JJ itu dikelola oleh perusahaan keluarga Dokter Ansel. Ibunya Dokter Ansel mengelola perusahaan saham, Seraphim Corp.”
“JJ group?”
Cakra menggeleng. “Saham Seraphim di JJ group cukup banyak sehingga mampu mengakuisisi Hotel JJ sejak tahun lalu. Selain itu menurut riwayat pendidikannya, Dokter Ansel jadi dokter umum di usia 21 tahun. Selesai spesialis bedah torakoplastik di usia 27 tahun. Bahkan sering disebut prodigy oleh orang-orang sekitar. Jadi menurut saya wajar aja kalau nyonya besar ingin menjodohkan Dokter Ansel dengan Bu Azalea.”
Azalea mendengarkannya dengan seksama. Memang calon menantu potensial, gumamnya dalam hati. Menikah dengan Anselio mungkin akan memberikan keuntungan tersendiri untuk perusahaannya. Selain itu juga akan membentuk image bagus untuknya karena profesi Anselio yang seorang dokter.
Tapi di mulut ia berkata. “Prodigy apanya. Saya juga jadi dokter umum di usia 23 tahun. Cuma beda dua tahun, tuh.”
Cakra malah terkejut dengan fakta yang baru ia ketahui. “Bu Azalea sekolah kedokteran?”
“Kamu enggak tahu?”
Cakra menggeleng dan Azalea hanya bisa berdecak tidak percaya. Dua tahun bersama apa saja yang orang itu lakukan?
“Setahu saya Bu Azalea sekolah bisnis.”
Azalea mengangguk. “Iya, saya juga sekolah bisnis.”
“Kok bisa, Bu? Enggak trauma skripsian? Bu Azalea sehat? Enggak kena stress disorder?” Selanjutnya Cakra curhat akan kehidupan kampusnya dan suka dukanya menyelesaikan skripsi dulu.
Azalea hanya sabar mendengarkannya.
***
Anselio melangkahkan kakinya berat menuju selasar yang berada di lantai teratas rumah sakit. Tempat biasa ia menikmati waktu ketika ingin melepaskan penat sejenak. Hari ini ia kehilangan salah satu pasien. Anselio memang sering disebut kurang sopan namun sebenarnya ia sangat peduli dengan semua pasien yang datang padanya. Ia bahkan masih mengingat semua pasien dan penyakit yang mereka keluhkan. Sayang jiwa tsundere sudah mengalir dengan derasnya di dalam darah Anselio, masuk ke jantung kemudian terpompa ke seluruh tubuh.
Seperti dua hari lalu, Anselio menyempatkan diri untuk hadir di pertunjukan balet salah seorang anak dari seorang pasien. Ayahnya harus operasi hari itu dan tidak bisa hadir. Bukan maksud Anselio untuk menggantikan sang ayah, itu hanya bentuk empati Anselio sebagai manusia.
Tapi sesampainya di tempat tujuan, Anselio justru menemukan seseorang yang seharusnya tidak berada di sana. Gadis itu duduk manis dengan kanvas di depannya. Azalea sedang melukis tentang indahnya pemandangan kota yang terlihat dari atas sini.
“Kayaknya susah banget untuk kamu diam di kamar perawatan. Mau jahitan kamu terbuka lagi?” Kata Anselio menyapa di tengah kesunyian tidak lupa lengkap dengan decakan risih.
Azalea tersentak kaget hingga tangannya membuat goresan garis cat yang tidak sesuai. “You scared me, motherfuck—” Ia langsung mengganti umpatannya dengan senyum manis terpaksa begitu melihat wujud tinggi menjulang Anselio di sampingnya. Dari sekian banyak orang di rumah sakit ini kenapa harus Anselio yang mampir ke selasar ini coba?
“Apa kabar, Dok?” Sapa Azalea seakan-akan sudah lama tidak bertemu Anselio.
Anselio tidak menjawab, ia mengambil tempat di sebelah Azalea ikut memperhatikan pemandangan kota dari atas yang terhalang kaca bening.
“Kalau jahitan kamu terbuka lagi saya—”
“Enggak, Dok. Saya naik ke sini pakai kursi roda di dorong Cakra. Ini peralatan kanvas dan kawan-kawannya juga Cakra yang nyiapin. I am fine. Totally fine.” Azalea menyatukan telunjuk dan ibu jarinya membentuk simbol ok. “Lagian capek saya tiap buka mata cuma ngeliat tembok putih.” Keluhnya pelan.
“Kamu mau sembuh enggak, sih?”
“Ya mau atuh, Dok.” Sahut Azalea agak dongkol sambil membenahi lukisannya yang tadi kecoret karena terkejut. Hanya satu coretan tapi mampu merobohkan dinding mood-nya. “Dokter ke sini nyariin saya?”
“Saya enggak sekurang kerjaan itu.”
Anselio mengeluarkan dua lolipop dari sakunya. Satu ia sodorkan pada Azalea dan satunya ia lahap sendiri.
Azalea menerimanya dalam diam, meski bingung namun ia tetap membuka bungkus permen itu dan memasukannya ke dalam mulut.
“Terus ngapain Dokter ke sini?”
“Lihat gedung, lihat jalan, lihat kota.” Kata Anselio diselingin suara kecapan karena lolipop di mulutnya. Ia sedikit ragu haruskah mengatakan alasannya ke sini pada Azalea atau tidak. “Satu pasien saya meninggal pukul 13.42 tadi.” Lanjut Anselio agak lirih berharap gadis di sampingnya paham.
Tangan Azalea yang sedang sibuk menggerakan kuas terhenti. “Table death¹?”
*/ [1] Meninggal di atas meja operasi /*
“Bukan. Gagal jantung, dalam kondisi sedang menunggu donor. Baru hari ini ada kabar pasien mati otak.” Anselio menghela napas berat. “Empat bulan, padahal beliau sudah bertahan dengan baik selama itu.”
“Saya turut berduka.” Azalea menunduk dan memejamkan mata sejenak. Bagi Azalea, dokter itu memang hanya sebuah pekerjaan, tapi gadis itu juga tahu bahwa kehilangan pasien adalah sebuah luka yang serius.
Anselio mengulas senyum kecil. “Ah, saya lupa kalau kamu juga dokter.”
Masih dengan menunduk Azalea membalas. “Meskipun enggak punya banyak pengalaman, tapi saya paham rasanya kehilangan pasien. Dulu pengalaman first assistant pertama saya langsung berhadapan dengan table death karena sindrom WPW², padahal saya sudah berusaha sebaik yang saya bisa.”
*/ [2] WPW - suatu kondisi adanya abnormalitas jantung, dimana terdapat jalur elektrik ekstra. Kondisi ini ditemukan sejak lahir dan dapat menyebabkan gangguan irama jantung menjadi cepat
“Saya pernah dengar soal itu. Kamu sampai pulang ke Indonesia karena drop dan trauma.”
Azalea menggaruk alisnya yang tiba-tiba gatal. “Dokter pasti bosen banget ya dengerin ocehan ibu saya setiap check up.”
Azalea penasaran sebenarnya sudah sejauh mana ibunya mempromosikan dirinya pada Anselio? Memangnya dia barang dagangan produk MLM yang butuh promosi besar-besaran?
“Kalau ocehan dari sponsor terbesar mau sepanjang sungai Musi juga tetap saya dengarkan.” Kata Anselio bercanda. “Lagipula cerita kamu cukup menarik, kok.”
Ini orang punya DID³? Azalea bertanya dalam hati karena bingung dengan perubahan sikap Anselio yang tiba-tiba baik saat ini.
*/ [3] DID - issociative Identity Disorder, gangguan kepribadian di mana terdapat dua atau lebih kepribadian yang berbeda dalam diri seseorang. /*
“Menarik? Bagian mana yang menarik, Dok?”
Anselio berpikir sejenak sebelum bersuara. “Anak saya juga dokter, loh Dok. Saya enggak tahu kenapa dia kekeh ngambil jurusan kedokteran yang payah padahal sudah jelas akan menjadi penerus perusahaan.” Kemudian laki-laki itu terkekeh. “Gitu kata Bu Pramita waktu pertama kali konsultasi dua tahun lalu. Saya kira mungkin itu cita-cita masa kecil kamu. Tapi ibu kamu bilang cita-cita masa kecil kamu mau jadi penyanyi papan atas. Sayangnya kamu buta nada.” Anselio masih terkekeh.
Azalea meringis sedikit malu. Ralat, malunya agak banyak. Bahkan sampai perkara buta nada dokter itu tahu, Azalea ingin menyembunyikan wajahnya. Pantas saja ibunya betah melakukan check up rutin padahal sebelumnya sering kabur-kaburan.
“Yang kayak begitu menarik, Dok? Bukannya sia-sia?”
Anselio menoleh. “Sia-sia? Kenapa sia-sia?”
“Saya susah payah sekolah medis tapi buktinya sekarang enggak menyembuhkan siapa-siapa.”
“Kata siapa?”
“Kata saya barusan.” Celetuk Azalea asal.
“Iya kalau dipikir memang sia-sia, padahal kamu lulusan Harvard. Tapi saya enggak tahu apa-apa tentang itu.” Anselio mengeluarkan lolipop nya sebentar. “Yang saya tahu ada salah satu korban kecelakaan yang kemarin sempat masuk ICU dan beliau selamat karena tindakan darurat yang kamu lakukan.”
Kata-kata Anselio sukses membuat Azalea menoleh hingga pandangan mereka saling bertabrakan. “Dokter tahu?”
“Petugas ambulans yang bilang.” Anselio kembali mengulum lolipopnya acuh.
“Ah, gitu.” Azalea mengangguk mengerti lalu kembali fokus pada kanvasnya.
Begitu juga Anselio yang ikut mengembalikan pandangannya ke depan. “Berkat kamu, tangis yang pecah dari keluarganya itu tangis haru karena beliau yang kembali sadar, bukan tangis pilu karena death on arrival⁴.”
*/ [4] Deat On Arrival (DOA) - ketika seorang pasien datang di rumah sakit dalam keadaan meninggal dunia. /*
Azalea tertegun sesaat. Tanpa alasan, kata-kata Anselio barusan menyusup ke dalam hatinya. Entah kenapa Azalea merasa hangat. Gadis itu mengerjap untuk mengendalikan diri.
“Itu pujian, Dok?” Tanya Azalea iseng.
Anselio mendengus. “Kalau kamu mau menganggapnya sebagai hinaan juga enggak masalah.”
Azalea tersenyum kecil karena merasa mode normal Anselio telah kembali. Sekarang ini masalah besar menumpuk di depan matanya. Orang sehebat itu jelas tidak akan dilewatkan oleh ibunya. Satu fakta yang tidak bisa ia bantah bahwa ibunya benar-benar menyukai sosok Anselio. Jadi bagaimana caranya menemukan alasan yang tepat agar Azalea bisa menolak permintaan sang ibu?
Akhirnya setelah setelah seminggu sejak insiden jahitannya terbuka, Azalea kembali ke apartement-nya yang nyaman. Tentu saja dengan sedikit perdebatan dengan Anselio. Home sweet home. Meski bukan rumahnya tapi Azalea merasa unit apartement ini adalah home-nya. Karena di rumah, ada ibunya yang selalu meributkan tentang pernikahan.Azalea menuju ke depan cermin. Ia berdiri tegak dan mulai melepaskan kancing teratas blouse yang Cakra pilih dari lemarinya sebagai baju ganti itu. Azalea mengamati plester putih yang berada di bagian rusuk kanannya. Ia mengusapnya pelan kemudian menekannya. Tidak terasa sakit sama sekali. Azalea menghela napas berat.Sesaat kemudian dering ponsel baru nya yang tadi ia lemparkan ke ranjang terdengar. Ponsel baru karena ponsel lama Azalea memiliki retakan yang cukup mengganggu mata. Azalea meraih ponselnya dan memejamkan mata sejenak untuk mempersiapkan diri.“Kamu itu siapa, sih? Anak mami bukan? Kok payah banget dihubungi. Mami ini yang melahirkan kamu loh,
Azalea tahu Gaji dokter spesialis memang besar tapi apakah sebesar itu sampai Anselio bisa tinggal di apartement mewah seperti ini? Meski penasaran namun Azalea tidak ingin memusingkannya. Yah mungkin saja Anselio juga punya banyak saham seperti ibunya. Buah kan tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya.Sedari siang sekretarisnya—Cakra sudah diteror sang nyonya besar agar mengantarkan Azalea ke alamat Anselio sepulang kantor. Ibunya bilang, Anselio sedang sakit bahkan tidak praktek di rumah sakit.Kalau dipikir apa coba hubungannya dengan Azalea!?Sudah malas berdebat, jadilah sekarang Azalea berada di sini, di depan pintu yang katanya adalah unit tempat Anselio tinggal. Tapi sayangnya setelah lima menit menekan bel, pintu itu belum juga terbuka.Ini Anselio enggak benar-benar pingsan dalam kesendirian kan? Azalea mulai menambahkan gedoran ringan di pintu besi itu.Mencari cara lain, Azalea mengeluarkan ponselnya. Mencari nomor ponsel Anselio yang Cakra kasih sebelumnya. Aduh, masa iya d
Azalea memang tidak tertarik punya hubungan romantis dengan laki-laki, tapi bukan berarti gadis itu polos seperti kertas hvs putih yang belum ternoda skripsi. Ingat, Azalea lama tinggal di Amerika. Seperti kebanyakan remaja tanggung lain yang ingin menghilangkan stress, gadis itu juga suka keluar masuk klub malam.Perlu diketahui bahwa selain skill akademiknya, skill berciuman Azalea juga salah satu yang ia banggakan. Setidaknya begitu sebelum bibirnya bertemu dengan milik Anselio. Laki-laki itu langsung berada dalam posisi teratas di list Azalea.He is definitely a great kisser. Bagaimana Anselio bisa memanfaatkan semua momen untuk memberikan intensitas dalam lumatannya. Tidak ada tuntutan sama sekali tapi Azalea merasa sangat terbuai. Sampai gadis itu tidak sadar seharusnya ia menarik diri, bukannya malah merengkuh tubuh tinggi Anselio dan balas membelit lidah Anselio yang membelah bibirnya dengan panas.Anselio mengangkat tubuh ringan Azalea dengan mudahnya. Otak Azalea ingin memp
“Kamu benar enggak ada yang sakit?”Berkali-kali sudah Anselio menanyakan itu. Azalea ingin menjambak habis rambut Anselio rasanya. Memangnya menanyakan hal seperti setelah memerawani seorang gadis adalah suatu hal terpuji!? Ha!?Dan memangnya apa urusan Anselio dengan hal tersebut? Kalau pun sakit kan yang merasakan Azalea. Wanita itu juga tidak akan menangis meraung-raung meratapi selaput daranya yang telah robek.“Azalea—”“Enggak! Saya baik-baik aja! Enggak percaya amat, sih? Mau lihat saya lari sprint!?” Potong Azalea galak.Anselio paham betul, menilik dari intensitas kegiatan mereka semalam normalnya sang wanita akan kesulitan untuk berjalan. Tapi Azalea masih bisa bergerak sebagaimana mestinya. Anselio khawatir kalau gadis itu hanya pura-pura.“Kalau ada nyeri saat—”“Ansel, saya itu lebih pusing mikirin kemungkinan hamil yang hampir 100 persen tahu gak!?”Bulan ini Azalea belum datang bulan. Sialnya sekarang ini adalah masa suburnya. Kurang apa lagi coba!? Lebih lengkap pende
Ketika Azalea terbangun, yang pertama kali otaknya terima sebagai rangsangan adalah aroma musk dan mint yang bercampur. Azalea mengerutkan keningnya tapi demi Tuhan ia masih nyaman pada posisinya. Belum pernah sebelumnya ia merasakan posisi tidur senyaman ini. Azalea tidak ingin membuka mata. Ditambah lagi dengan usapan lembut yang konstan menyentuh kulit punggungnya.Tunggu, usapan? Siapa yang menyentuhnya?Mata Azalea langsung terbuka secepat kilat. Butuh sekitar tiga kerjapan untuknya bisa mengenali pemandangan apa yang berada di sana. Itu adalah dada manusia. Lebih tepatnya dada telanjang seorang laki-laki.Azalea menelan ludah gugup. Perlahan tapi pasti ia mendongak sambil berusaha mengendalikan dirinya sendiri namun gagal begitu mengenali siapa laki-laki yang memeluknya erat. Azalea langsung terduduk karena terkejut. Lebih terkejut lagi ketika menyadari bahwa tubuhnya sendiri juga tidak memakai sehelai benang. Tangannya jadi kembali menarik selimut untuk menutup tubuhnya.“Hidup
Menurut rumor, co-ass (co-assistant) adalah satu fase hidup para calon dokter yang menegangkan, menyedihkan, merasa bodoh dan dibodohi, tidak berbeda jauh dengan level keset welcome. Intinya co-ass ada pada tataran terendah di kehidupan rumah sakit.Kisah yang sama mungkin akan terulang pada masa residen. Setidaknya dokter residen sudah dianggap sebagai dokter untuk sebagian kalangan. Berdasarkan derajat, tentu residen lebih tinggi daripada co-ass. Begitulah pemikiran Damar sebelum menjalani pendidikan spesialis di bawah bimbingan dokter spesialis bedah toraks, Anselio Dharmendra yang mempunyai julukan Amon Berjas Putih.Tahu Amon kan? Raja iblis yang mewakili sifat kekejaman. Anselio adalah wujud nyata sosok Amon di rumah sakit ini.Dulu Damar merasa kehidupan co-ass adalah yang tersuram, tapi sekarang kehidupannya sebagai dokter residen juga tak kalah suram berkat kehadiran Anselio sebagai konsulennya.“Siapa yang pegang kamar 314?” Setelah beberapa menit akhirnya suara dingin itu k
“Bu! Bu Azalea?! Ada apa?! Bu?! Bisa dengar saya?! Bu Azalea!” Panggilan yang terdengar di telinga kirinya menyadarkan Azalea.Azalea berusaha mengatur napasnya yang terasa sesak. “Cakra, dengar saya. Ada kecelakaan di jalan Pagar Alam. Tolong telepon ambulans sekarang.” Mata Azalea menyipit memperhatikan situasi di luar mobil. “Mungkin ada beberapa korban lain.” Tambahnya.“Bu Azalea enggak apa-apa?”Azalea tidak menjawab. Saat itu ia menyadari bagian punggung tangan kanannya penuh dengan darah karena pecahan kaca. Sialnya lagi ia tidakbisa menggerakan lengan kanannya. Dengan tangan kiri, Azalea meraih ponsel yang untungnya ia tempatkan di penyangga dasbor mobil. Kemudian Azalea melepaskan seatbelt yang mengikat tubuhnya. Karena tadi mobilnya sempat berada dalam posisi terbalik menyebabkan pintu mobil tersangkut sehingga sulit terbuka.Azalea bisa menoleh ke sekeliling, berarti lehernya baik-baik saja. Sekuat tenaga ia berusaha mendorong pintu mobil untuk terbuka. Pintu itu terbuka k
“Ini enggak bisa kalau cuma pakai antibiotik.” Gumam Anselio memperhatikan monitornya serius. “Apa penyakit papi saya serius, Dok?” Tanya anak gadis sang pasien. “Iya.” Anselio beralih pada pasien yang duduk di depannya kemudian melirik pada anaknya yang langsung merasa lemas. “Endokarditis infektif. Infeksi pada bagian katup jantung. Kalau enggak cepat ditangani bisa jadi embolisme, penyumbatan pembuluh darah karena gumpalan bakteri.” Jelasnya datar dan cepat. “Ada ruangankan?” Tanya Anselio pada perawat yang ada di ruangannya. “Iya, Dok. Bisa langsung masuk hari ini.” Anselio mengangguk. “Rawat inap mulai hari ini dan operasi secepatnya. Ada jadwal kosong sekitar—tiga hari lagi?” “Penuh, Dok. Malam?” “Iya, malam juga enggak apa-apa. Jangan lupa kabari anestesiologi tiga hari lagi.” Pria paruh baya itu ingin mencoba mengatakan sesuatu. “Maaf, Dok. Anak saya ada perform balet tiga hari lagi dan itu pertunjukannya untuk yang terakhir kali. Karena sibuk saya belum pernah menyaks
“Kamu benar enggak ada yang sakit?”Berkali-kali sudah Anselio menanyakan itu. Azalea ingin menjambak habis rambut Anselio rasanya. Memangnya menanyakan hal seperti setelah memerawani seorang gadis adalah suatu hal terpuji!? Ha!?Dan memangnya apa urusan Anselio dengan hal tersebut? Kalau pun sakit kan yang merasakan Azalea. Wanita itu juga tidak akan menangis meraung-raung meratapi selaput daranya yang telah robek.“Azalea—”“Enggak! Saya baik-baik aja! Enggak percaya amat, sih? Mau lihat saya lari sprint!?” Potong Azalea galak.Anselio paham betul, menilik dari intensitas kegiatan mereka semalam normalnya sang wanita akan kesulitan untuk berjalan. Tapi Azalea masih bisa bergerak sebagaimana mestinya. Anselio khawatir kalau gadis itu hanya pura-pura.“Kalau ada nyeri saat—”“Ansel, saya itu lebih pusing mikirin kemungkinan hamil yang hampir 100 persen tahu gak!?”Bulan ini Azalea belum datang bulan. Sialnya sekarang ini adalah masa suburnya. Kurang apa lagi coba!? Lebih lengkap pende
Azalea memang tidak tertarik punya hubungan romantis dengan laki-laki, tapi bukan berarti gadis itu polos seperti kertas hvs putih yang belum ternoda skripsi. Ingat, Azalea lama tinggal di Amerika. Seperti kebanyakan remaja tanggung lain yang ingin menghilangkan stress, gadis itu juga suka keluar masuk klub malam.Perlu diketahui bahwa selain skill akademiknya, skill berciuman Azalea juga salah satu yang ia banggakan. Setidaknya begitu sebelum bibirnya bertemu dengan milik Anselio. Laki-laki itu langsung berada dalam posisi teratas di list Azalea.He is definitely a great kisser. Bagaimana Anselio bisa memanfaatkan semua momen untuk memberikan intensitas dalam lumatannya. Tidak ada tuntutan sama sekali tapi Azalea merasa sangat terbuai. Sampai gadis itu tidak sadar seharusnya ia menarik diri, bukannya malah merengkuh tubuh tinggi Anselio dan balas membelit lidah Anselio yang membelah bibirnya dengan panas.Anselio mengangkat tubuh ringan Azalea dengan mudahnya. Otak Azalea ingin memp
Azalea tahu Gaji dokter spesialis memang besar tapi apakah sebesar itu sampai Anselio bisa tinggal di apartement mewah seperti ini? Meski penasaran namun Azalea tidak ingin memusingkannya. Yah mungkin saja Anselio juga punya banyak saham seperti ibunya. Buah kan tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya.Sedari siang sekretarisnya—Cakra sudah diteror sang nyonya besar agar mengantarkan Azalea ke alamat Anselio sepulang kantor. Ibunya bilang, Anselio sedang sakit bahkan tidak praktek di rumah sakit.Kalau dipikir apa coba hubungannya dengan Azalea!?Sudah malas berdebat, jadilah sekarang Azalea berada di sini, di depan pintu yang katanya adalah unit tempat Anselio tinggal. Tapi sayangnya setelah lima menit menekan bel, pintu itu belum juga terbuka.Ini Anselio enggak benar-benar pingsan dalam kesendirian kan? Azalea mulai menambahkan gedoran ringan di pintu besi itu.Mencari cara lain, Azalea mengeluarkan ponselnya. Mencari nomor ponsel Anselio yang Cakra kasih sebelumnya. Aduh, masa iya d
Akhirnya setelah setelah seminggu sejak insiden jahitannya terbuka, Azalea kembali ke apartement-nya yang nyaman. Tentu saja dengan sedikit perdebatan dengan Anselio. Home sweet home. Meski bukan rumahnya tapi Azalea merasa unit apartement ini adalah home-nya. Karena di rumah, ada ibunya yang selalu meributkan tentang pernikahan.Azalea menuju ke depan cermin. Ia berdiri tegak dan mulai melepaskan kancing teratas blouse yang Cakra pilih dari lemarinya sebagai baju ganti itu. Azalea mengamati plester putih yang berada di bagian rusuk kanannya. Ia mengusapnya pelan kemudian menekannya. Tidak terasa sakit sama sekali. Azalea menghela napas berat.Sesaat kemudian dering ponsel baru nya yang tadi ia lemparkan ke ranjang terdengar. Ponsel baru karena ponsel lama Azalea memiliki retakan yang cukup mengganggu mata. Azalea meraih ponselnya dan memejamkan mata sejenak untuk mempersiapkan diri.“Kamu itu siapa, sih? Anak mami bukan? Kok payah banget dihubungi. Mami ini yang melahirkan kamu loh,
Azalea melihat Cakra dan Anselio bergantian. Cakra hanya bisa mengangguk untuk meyakinkan bahwa yang ia katakan barusan adalah sebuah fakta yang benar.Memang Azalea salah karena tidak melihat profil dan foto yang dikirim ibunya tapi tetap saja siapa sangka dunia se-sempit ini? Dokter ketus ini ternyata yang ibunya sebut sebagai calon menantu potensial? Azalea tidak mengerti dari sisi mana sang ibu melihat sosok Anselio.Dengan matanya Azalea mengusir Cakra keluar. Cakra menyentuh lehernya canggung, agak merutuki diri sendiri karena tidak memberi tahu Azalea lebih cepat. Laki-laki itu akhirnya keluar setelah mengangguk pamit pada Azalea dan Anselio.“Wah, kamu benar-benar belum tahu?” Kata Anselio sedikit tidak percaya.“Saya tahu, Dok. Mungkin karena kecelakaan itu ingatan saya jadi terganggu.” Azalea beralasan.“Kepala kamu bahkan enggak mengalami cedera berat.” Anselio mendengus ringan.Azalea memberanikan diri untuk menatap iris tajam Anselio sekali lagi. “Dokter enggak sakit hati
Dua hari. Sudah dua hari Damar belum say hello dengan kasur tercintanya di rumah. Padahal ia hanya dokter residen tapi kenapa rasanya seperti orang paling sibuk sedunia?Damar rindu ibunya. Juga anjing kesayangannya yang bernama Ansel. Benar, Ansel. Bukan Anselio. Hanya Ansel. Itu bukanlah sebuah kesengajaan. Damar benar-benar mencari nama yang bagus di internet untuk anjing kesayangannya bahkan sebelum ia mengenal Dokter Ansel.Yang barusan adalah sebuah fakta tidak penting dari seorang Damar.“Bayi Cecil vitalnya gimana?”“Stabil, Dok.”“Mungkin satu atau dua hari lagi bisa keluar dari PICU. Jangan lupa panggil walinya.”“Siap, Dok.”Damar mengerjap memperhatikan bayi kecil yang ada di hadapannya dengan senyum haru. Cecil menderita kelainan jantung bawaan yang mengharuskan ia menggunakan VAD¹ sejak lahir. Untungnya operasi berhasil dan keadaan Cecil sekarang sudah jauh lebih baik berkat ketrampilan Anselio.*/ [1]VAD - alat bantu ventrikel juga dikenal sebagai alat pendukung peredar
“Ini enggak bisa kalau cuma pakai antibiotik.” Gumam Anselio memperhatikan monitornya serius. “Apa penyakit papi saya serius, Dok?” Tanya anak gadis sang pasien. “Iya.” Anselio beralih pada pasien yang duduk di depannya kemudian melirik pada anaknya yang langsung merasa lemas. “Endokarditis infektif. Infeksi pada bagian katup jantung. Kalau enggak cepat ditangani bisa jadi embolisme, penyumbatan pembuluh darah karena gumpalan bakteri.” Jelasnya datar dan cepat. “Ada ruangankan?” Tanya Anselio pada perawat yang ada di ruangannya. “Iya, Dok. Bisa langsung masuk hari ini.” Anselio mengangguk. “Rawat inap mulai hari ini dan operasi secepatnya. Ada jadwal kosong sekitar—tiga hari lagi?” “Penuh, Dok. Malam?” “Iya, malam juga enggak apa-apa. Jangan lupa kabari anestesiologi tiga hari lagi.” Pria paruh baya itu ingin mencoba mengatakan sesuatu. “Maaf, Dok. Anak saya ada perform balet tiga hari lagi dan itu pertunjukannya untuk yang terakhir kali. Karena sibuk saya belum pernah menyaks
“Bu! Bu Azalea?! Ada apa?! Bu?! Bisa dengar saya?! Bu Azalea!” Panggilan yang terdengar di telinga kirinya menyadarkan Azalea.Azalea berusaha mengatur napasnya yang terasa sesak. “Cakra, dengar saya. Ada kecelakaan di jalan Pagar Alam. Tolong telepon ambulans sekarang.” Mata Azalea menyipit memperhatikan situasi di luar mobil. “Mungkin ada beberapa korban lain.” Tambahnya.“Bu Azalea enggak apa-apa?”Azalea tidak menjawab. Saat itu ia menyadari bagian punggung tangan kanannya penuh dengan darah karena pecahan kaca. Sialnya lagi ia tidakbisa menggerakan lengan kanannya. Dengan tangan kiri, Azalea meraih ponsel yang untungnya ia tempatkan di penyangga dasbor mobil. Kemudian Azalea melepaskan seatbelt yang mengikat tubuhnya. Karena tadi mobilnya sempat berada dalam posisi terbalik menyebabkan pintu mobil tersangkut sehingga sulit terbuka.Azalea bisa menoleh ke sekeliling, berarti lehernya baik-baik saja. Sekuat tenaga ia berusaha mendorong pintu mobil untuk terbuka. Pintu itu terbuka k
Menurut rumor, co-ass (co-assistant) adalah satu fase hidup para calon dokter yang menegangkan, menyedihkan, merasa bodoh dan dibodohi, tidak berbeda jauh dengan level keset welcome. Intinya co-ass ada pada tataran terendah di kehidupan rumah sakit.Kisah yang sama mungkin akan terulang pada masa residen. Setidaknya dokter residen sudah dianggap sebagai dokter untuk sebagian kalangan. Berdasarkan derajat, tentu residen lebih tinggi daripada co-ass. Begitulah pemikiran Damar sebelum menjalani pendidikan spesialis di bawah bimbingan dokter spesialis bedah toraks, Anselio Dharmendra yang mempunyai julukan Amon Berjas Putih.Tahu Amon kan? Raja iblis yang mewakili sifat kekejaman. Anselio adalah wujud nyata sosok Amon di rumah sakit ini.Dulu Damar merasa kehidupan co-ass adalah yang tersuram, tapi sekarang kehidupannya sebagai dokter residen juga tak kalah suram berkat kehadiran Anselio sebagai konsulennya.“Siapa yang pegang kamar 314?” Setelah beberapa menit akhirnya suara dingin itu k