Dua hari. Sudah dua hari Damar belum say hello dengan kasur tercintanya di rumah. Padahal ia hanya dokter residen tapi kenapa rasanya seperti orang paling sibuk sedunia?
Damar rindu ibunya. Juga anjing kesayangannya yang bernama Ansel. Benar, Ansel. Bukan Anselio. Hanya Ansel. Itu bukanlah sebuah kesengajaan. Damar benar-benar mencari nama yang bagus di internet untuk anjing kesayangannya bahkan sebelum ia mengenal Dokter Ansel.
Yang barusan adalah sebuah fakta tidak penting dari seorang Damar.
“Bayi Cecil vitalnya gimana?”
“Stabil, Dok.”
“Mungkin satu atau dua hari lagi bisa keluar dari PICU. Jangan lupa panggil walinya.”
“Siap, Dok.”
Damar mengerjap memperhatikan bayi kecil yang ada di hadapannya dengan senyum haru. Cecil menderita kelainan jantung bawaan yang mengharuskan ia menggunakan VAD¹ sejak lahir. Untungnya operasi berhasil dan keadaan Cecil sekarang sudah jauh lebih baik berkat ketrampilan Anselio.
*/ [1]VAD - alat bantu ventrikel juga dikenal sebagai alat pendukung peredaran darah mekanis, adalah alat yang membantu memompa darah dari bilik bawah jantung (ventrikel) ke seluruh tubuh. /*
“VIP kita?”
“Sudah pindah keluar dari ICU, Dok. Tadi jam tujuh.”
“Oke nanti biar saya yang visit. Kamu bisa pulang pagi ini.”
Senyum lima jari Damar merekah lebar. “Beneran, Dok?”
“Iya, jangan lupa tesis kamu. Besok saya periksa.” Sahut Anselio sambil melenggang pergi.
Dan raut bahagia sepenuhnya hilang dari wajah Damar. Kalau begini kapan Damar bisa cari jodoh? Berbeda dengan Anselio yang punya wajah bak pangeran, sekali lirik, satu pleton wanita langsung berbaris sejajar. Tampang Damar biasa-biasa aja, butuh usaha yang benar-benar keras baginya untuk bisa berkenalan dengan wanita.
Tuhan, Damar ingin mengelus tangan wanita. Bukannya HVS A4.
***
Visinya yang buram perlahan menjadi jelas setelah beberapa kerjapan. Azalea langsung sadar dan mengingat segalanya. Ia bisa mengenali suara haru Cakra yang mulai masuk menembus gendang telinganya.
“Bu Azalea udah sadar? Bu? Masih kenal sama saya kan?”
“Enggak. Saya udah enggak mau kenal sama kamu.” Suara serak Azalea menjawab tanpa minat. “Minta air, Cakra.”
“Tadi katanya enggak kenal.” Cakra merengut tapi tetap mengambilkan segelas air. Dia juga membantu agar ranjang Azalea naik hingga posisi duduk.
“Enggak ada yang sakit, Bu?”
“Hm, mungkin.” Azalea meneguk airnya. “Berapa jam saya tidur?”
“Sekarang jam 9 pagi. Sekitar 18 jam? Bu Azalea pindah ke ruangan empat jam lalu.”
Azalea mengangguk sambil memijat kening karena kepalanya terasa berat efek anestesi. “Manajer yang kamu bilang itu gimana jadinya?”
“Mereka sempat menolak, tapi akhirnya setuju karena tahu akan kalah secara hukum. Oh, kondisi supirnya sekarang masih di ICU. Terus untuk korban juga masih ada yang di ICU. Dua lainnya milih untuk rawat jalan.”
Azalea mendengarkan sambil membuka kancing teratas baju pasiennya. Ia memperhatikan dengan seksama bekas operasinya.
“Kenapa? Ada yang sakit, Bu?”
“Ini kurang sejajar. Padahal udah saya bilangin.” Ia menghela napas berat.
Ketukan pintu terdengar tiga kali. Lalu Anselio melangkah masuk dengan seragam biru khas rumah sakit tanpa snelinya. Cakra langsung mengangguk sekilas untuk menyapa.
“Pasien sudah sadar, tapi enggak ada laporan?”
“Barusan, Dok. Saya belum sempat lapor dokter udah masuk duluan.” Jawab Cakra dengan cengiran canggung.
Anselio memperhatikan monitor sekilas lalu mengecek infus Azalea. “Ada pusing? Atau nyeri di kepala?”
“Ah, karena gumpalan darah?”
“Beberapa obat dari neurologi udah masuk lewat infus sebelum operasi. Untuk memastikan mungkin masih ada gumpalan. Ada nyeri?”
“CT scan bukannya lebih akurat, Dok?”
Anselio mengangguk. “Iya, akan ada tes lagi nanti. Kalau terasa pusing atau nyeri, mual juga langsung laporan aja.”
“Iya, Dok.”
“Ada pertanyaan lagi?”
“Kalau hasil CT nya bagus, boleh pulang saya pulang besok, Dok?”
Terang saja Anselio langsung menatap tajam. “Kamu habis operasi, enggak lupa ingatan kan? Minimal satu minggu untuk pemulihan.”
“Tapi kondisi saya kan udah stabil.”
“Ada lubang di paru-paru kamu. Lubang, loh. Balon aja pecah kalau berlubang. Ini paru-paru loh, bukan donat bolong.”
“Kan dokter jahit jadi udah ketutup. Iya kan, Dokter-Torakoplastik-Terbaik-di-Sini?” Azalea tersenyum profesional seperti sales yang menjajakan produk.
“Kamu mau mati karena infeksi?”
Mendengar itu Azalea langsung melengos dan Cakra maju siaga. “Bu Azalea tenang aja, Nyonya besar biar saya yang handle. Ibu percaya sama saya kan?”
“Enggak.”
Cakra langsung mengatupkan bibirnya erat.
“Kamu menyembunyikan semua keadaan ini dari Bu Pramita?” Tanya Anselio dengan dahi berkerut.
“Dokter kenal ibu saya?“
Cakra merunduk. “Nyonya besar rutin periksa kesehatan jantungnya sama Dokter Ansel.” Bisiknya di telinga Azalea.
Benar juga. Alasan Azalea mensponsori rumah sakit ini adalah karena sang ibu yang rutin medical check-up di sini.
“Jadi, kamu cukup diam di sini untuk masa pemulihan. Apa perlu saya hubungi beliau?”
Azalea tersenyum dengan raut terpaksa. “Tiga hari gimana, Dok?”
“Tawar-menawar? Kamu kira ini pasar?”
Bubar sudah, bubar. Azalea tidak sanggup lagi untuk mendebat dokter di depannya itu.
“Silahkan keluar, Dok. Saya mau istirahat. Terima kasih.” Usir Azalea sebal.
Ganteng doang, kalau ketus buat apa? Dengusnya dalam hati.
“Karena anestesi udah hilang, bekas jahitannya akan terasa sakit. Tetap hati-hati walaupun hanya berbaring.” Pesan Anselio sebelum keluar.
Azalea menyentuh bekas lukanya dari luar pakaian. Sakit, ya? Bekas luka operasi pasti rasanya sakit.
“Oh, iya!” Cakra memekik tiba-tiba.
“Apa, sih? Kamu lupa matiin kompor?”
“Anu, Bu. Soal laki-laki yang kemarin. Nyonya besar bilang dia udah buat janji dinner untuk hari Jumat. Berdua. Bu Azalea dengan laki-laki itu.”
“Sekarang hari apa?”
“Rabu, Bu.”
Azalea tiba-tiba jadi pening.
***
Sebuah kepanikan kecil menerjang Cakra malam ini. Di hari ketiga, berbeda seperti keinginan Azalea yang ingin pulang, jahitan pasca-operasi-nya malah kembali terbuka. Kondisinya cukup parah karena darah sampai merembes ke baju pasien yang didominasi dengan warna putih. Terlihat kontras hingga mengundang kepanikan siapa pun yang melihat.
Karena teriakan histeris Cakra, semua perawat yang berjaga di lantai itu juga jadi panik kalang kabut bukan main. Di tengah keributan Azalea sendiri hanya diam menatap malas Cakra yang menggenggam tangannya sambil berlinang air mata.
Dulu, Azalea memilih Cakra sebagai sekretaris untuk berada di sisinya karena Cakra masih muda, fresh graduated dan mempunyai almamater yang bagus. Tapi kenyataannya Cakra tidak jauh berbeda dengan balita. Rasanya Azalea agak menyesal.
Tadi Anselio sendiri yang turun tangan menangani Azalea dibantu oleh Damar.
“Kamu benar-benar ingin mati karena infeksi?”
“Tapi sekarang kan saya masih hidup.“ Gumam Azalea pelan.
“Apa kamu bilang?”
“Enggak, Dok. Saya sangat-sangat mencintai kehidupan saya yang damai sejahtera.” Azalea menjawab sedikit lantang sambil melirik Anselio takut-takut.
“Terus kenapa keluyuran? Kamu itu habis operasi. Mikir enggak, sih?”
Anselio tidak bisa lagi menahan intonasinya. Bukan, Anselio memang bukan tipe yang akan bertutur kata lembut jika ada error sedikit saja.
Damar menelan ludahnya ngeri. Selama perjalanan menuju kamar Azalea, ia dan petugas jaga malam ini sudah kena omel sekian alinea karena dianggap kurang memperhatikan pasien, VIP pula.
“Saya enggak keluyuran, Dok. Cuma beli kopi di bawah. Beli kopi loh, Dok. Bukannya rol depan, rol belakang, salto, tegak lilin. Cuma beli kopi.”
“Kan ada dia.” Anselio menunjuk Cakra yang berdiri cukup jauh dari bed.
“Tadi pagi Cakra enggak ada. Dia juga punya kehidupan, enggak bisa stand-by 24/7, Dok.” Azalea mencari alasan.
“Kata perawat kamu baru masuk kamar jam satu siang kan? Beli kopi dari pagi sampai siang? Kamu panen dulu biji kopinya?”
Azalea menyisir rambutnya dengan tangan. Selama hidupnya baru kali ini ia bertemu dengan dokter yang mulutnya tak berfilter begini. Apa pasien-pasiennya tidak ada yang kabur?
“Saya mampir ke lantai tiga, main sebentar sama anak-anak di bangsal itu.” Azalea akhirnya mengaku.
Hanya dengan melihat dari luar, Azalea bisa tahu perawatan apa yang anak-anak di lantai tiga itu jalani. Saat tidak sengaja melihat mereka melalui celah elevator tadi, Azalea tanpa pikir panjang menghampiri mereka. Bisa bermain mungkin menjadi sesuatu yang sangat mewah untuk anak-anak itu.
“Main petak umpet?” Damar bersuara tanpa sadar karena ia juga sering bermain dengan anak-anak di lantai tiga.
Azalea memelototi Damar sesaat sebelum residen malang itu menunduk. “Maaf, Dok.”
“Biasanya pasien lain enggak sanggup untuk banyak gerak karena bekas operasi rasanya sakit dan nyeri. Tapi kamu bahkan sanggup main petak umpet?”
“Kan cuma ngumpet, Dok. Bukannya senam aerobik yang banyak gerak.” Azalea masih menanggapi.
Anselio makin menatap Azalea gemas, ingin sekali menjahit rapat mulut gadis satu itu. “Jahitan kamu itu bukannya terbuka sedikit, tapi lepas. Luka bekas operasi kamu menganga lebar dan kamu baru sadar saat malam begini? Saya bahkan enggak kebayang gimana rasa sakitnya.”
“Justru itu. Karena rasanya selalu sakit, saya jadi enggak sadar. Saya minta maaf karena udah bikin keributan, Dok.” Azalea menunduk tulus meminta maaf. Tidak ingin mendengar omelan Anselio lebih lama lagi. Dalam hati, ia juga sadar kalau ini seratus persen adalah kelalaiannya.
“Kamu bilang mau pulang setelah tiga hari. Ini hari ketiga justru jahitan kamu terbuka lagi.” Anselio berdecak tertahan.
Mengintip jahitannya yang baru dari luar baju, Azalea jadi makin merengut. “Ini bekasnya pasti lebih parah.”
“Kamu sepeduli itu dengan bekas luka tapi malah main petak umpet di saat luka kamu belum kering?”
“Saya belum menikah, Dok.” Cicit Azalea pelan. Ia heran, Anselio ini lulusan kedokteran atau S3 peromelan.
“Kalau seorang laki-laki menolak cuma karena perkara bekas luka operasi, jelas enggak pantas untuk dipertahankan. Saya permisi, selamat malam.”
Mungkin sekitar tiga detik, Azalea sempat menyelam ke dalam iris gelap Anselio sebelum dokter itu keluar. Damar sedikit membungkuk pamit dan mengikuti langkah lebar Anselio keluar.
Azalea sudah ingin memejamkan matanya lelah tapi tidak jadi karena pintu kamarnya kembali terbuka. Anselio datang kembali. Hanya sendiri tanpa Damar.
“Ada yang ketinggalan, Dok?” Cakra yang baru saja duduk di sofa langsung berdiri kembali.
Anselio menatap lurus Azalea. “Saya lupa bilang. Kamu enggak perlu khawatir soal dinner yang diatur Bu Pramita malam ini.”
“Dokter tahu dari mana saya ada janji dinner malam ini?” Azalea mengernyit bingung.
“Kamu enggak tahu?”
Azalea melongo makin bingung. “Tahu apa?”
Cakra yang sadar situasi langsung cepat-cepat berpindah ke sisi Azalea. “Itu, Bu. Anu soal laki-laki yang disuruh Nyonya besar untuk Bu Azalea temui itu dokter Anselio.” Bisiknya tepat di telinga Azalea
“Kamu bercanda?!”
Azalea melihat Cakra dan Anselio bergantian. Cakra hanya bisa mengangguk untuk meyakinkan bahwa yang ia katakan barusan adalah sebuah fakta yang benar.Memang Azalea salah karena tidak melihat profil dan foto yang dikirim ibunya tapi tetap saja siapa sangka dunia se-sempit ini? Dokter ketus ini ternyata yang ibunya sebut sebagai calon menantu potensial? Azalea tidak mengerti dari sisi mana sang ibu melihat sosok Anselio.Dengan matanya Azalea mengusir Cakra keluar. Cakra menyentuh lehernya canggung, agak merutuki diri sendiri karena tidak memberi tahu Azalea lebih cepat. Laki-laki itu akhirnya keluar setelah mengangguk pamit pada Azalea dan Anselio.“Wah, kamu benar-benar belum tahu?” Kata Anselio sedikit tidak percaya.“Saya tahu, Dok. Mungkin karena kecelakaan itu ingatan saya jadi terganggu.” Azalea beralasan.“Kepala kamu bahkan enggak mengalami cedera berat.” Anselio mendengus ringan.Azalea memberanikan diri untuk menatap iris tajam Anselio sekali lagi. “Dokter enggak sakit hati
Akhirnya setelah setelah seminggu sejak insiden jahitannya terbuka, Azalea kembali ke apartement-nya yang nyaman. Tentu saja dengan sedikit perdebatan dengan Anselio. Home sweet home. Meski bukan rumahnya tapi Azalea merasa unit apartement ini adalah home-nya. Karena di rumah, ada ibunya yang selalu meributkan tentang pernikahan.Azalea menuju ke depan cermin. Ia berdiri tegak dan mulai melepaskan kancing teratas blouse yang Cakra pilih dari lemarinya sebagai baju ganti itu. Azalea mengamati plester putih yang berada di bagian rusuk kanannya. Ia mengusapnya pelan kemudian menekannya. Tidak terasa sakit sama sekali. Azalea menghela napas berat.Sesaat kemudian dering ponsel baru nya yang tadi ia lemparkan ke ranjang terdengar. Ponsel baru karena ponsel lama Azalea memiliki retakan yang cukup mengganggu mata. Azalea meraih ponselnya dan memejamkan mata sejenak untuk mempersiapkan diri.“Kamu itu siapa, sih? Anak mami bukan? Kok payah banget dihubungi. Mami ini yang melahirkan kamu loh,
Azalea tahu Gaji dokter spesialis memang besar tapi apakah sebesar itu sampai Anselio bisa tinggal di apartement mewah seperti ini? Meski penasaran namun Azalea tidak ingin memusingkannya. Yah mungkin saja Anselio juga punya banyak saham seperti ibunya. Buah kan tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya.Sedari siang sekretarisnya—Cakra sudah diteror sang nyonya besar agar mengantarkan Azalea ke alamat Anselio sepulang kantor. Ibunya bilang, Anselio sedang sakit bahkan tidak praktek di rumah sakit.Kalau dipikir apa coba hubungannya dengan Azalea!?Sudah malas berdebat, jadilah sekarang Azalea berada di sini, di depan pintu yang katanya adalah unit tempat Anselio tinggal. Tapi sayangnya setelah lima menit menekan bel, pintu itu belum juga terbuka.Ini Anselio enggak benar-benar pingsan dalam kesendirian kan? Azalea mulai menambahkan gedoran ringan di pintu besi itu.Mencari cara lain, Azalea mengeluarkan ponselnya. Mencari nomor ponsel Anselio yang Cakra kasih sebelumnya. Aduh, masa iya d
Azalea memang tidak tertarik punya hubungan romantis dengan laki-laki, tapi bukan berarti gadis itu polos seperti kertas hvs putih yang belum ternoda skripsi. Ingat, Azalea lama tinggal di Amerika. Seperti kebanyakan remaja tanggung lain yang ingin menghilangkan stress, gadis itu juga suka keluar masuk klub malam.Perlu diketahui bahwa selain skill akademiknya, skill berciuman Azalea juga salah satu yang ia banggakan. Setidaknya begitu sebelum bibirnya bertemu dengan milik Anselio. Laki-laki itu langsung berada dalam posisi teratas di list Azalea.He is definitely a great kisser. Bagaimana Anselio bisa memanfaatkan semua momen untuk memberikan intensitas dalam lumatannya. Tidak ada tuntutan sama sekali tapi Azalea merasa sangat terbuai. Sampai gadis itu tidak sadar seharusnya ia menarik diri, bukannya malah merengkuh tubuh tinggi Anselio dan balas membelit lidah Anselio yang membelah bibirnya dengan panas.Anselio mengangkat tubuh ringan Azalea dengan mudahnya. Otak Azalea ingin memp
“Kamu benar enggak ada yang sakit?”Berkali-kali sudah Anselio menanyakan itu. Azalea ingin menjambak habis rambut Anselio rasanya. Memangnya menanyakan hal seperti setelah memerawani seorang gadis adalah suatu hal terpuji!? Ha!?Dan memangnya apa urusan Anselio dengan hal tersebut? Kalau pun sakit kan yang merasakan Azalea. Wanita itu juga tidak akan menangis meraung-raung meratapi selaput daranya yang telah robek.“Azalea—”“Enggak! Saya baik-baik aja! Enggak percaya amat, sih? Mau lihat saya lari sprint!?” Potong Azalea galak.Anselio paham betul, menilik dari intensitas kegiatan mereka semalam normalnya sang wanita akan kesulitan untuk berjalan. Tapi Azalea masih bisa bergerak sebagaimana mestinya. Anselio khawatir kalau gadis itu hanya pura-pura.“Kalau ada nyeri saat—”“Ansel, saya itu lebih pusing mikirin kemungkinan hamil yang hampir 100 persen tahu gak!?”Bulan ini Azalea belum datang bulan. Sialnya sekarang ini adalah masa suburnya. Kurang apa lagi coba!? Lebih lengkap pende
Ketika Azalea terbangun, yang pertama kali otaknya terima sebagai rangsangan adalah aroma musk dan mint yang bercampur. Azalea mengerutkan keningnya tapi demi Tuhan ia masih nyaman pada posisinya. Belum pernah sebelumnya ia merasakan posisi tidur senyaman ini. Azalea tidak ingin membuka mata. Ditambah lagi dengan usapan lembut yang konstan menyentuh kulit punggungnya.Tunggu, usapan? Siapa yang menyentuhnya?Mata Azalea langsung terbuka secepat kilat. Butuh sekitar tiga kerjapan untuknya bisa mengenali pemandangan apa yang berada di sana. Itu adalah dada manusia. Lebih tepatnya dada telanjang seorang laki-laki.Azalea menelan ludah gugup. Perlahan tapi pasti ia mendongak sambil berusaha mengendalikan dirinya sendiri namun gagal begitu mengenali siapa laki-laki yang memeluknya erat. Azalea langsung terduduk karena terkejut. Lebih terkejut lagi ketika menyadari bahwa tubuhnya sendiri juga tidak memakai sehelai benang. Tangannya jadi kembali menarik selimut untuk menutup tubuhnya.“Hidup
Menurut rumor, co-ass (co-assistant) adalah satu fase hidup para calon dokter yang menegangkan, menyedihkan, merasa bodoh dan dibodohi, tidak berbeda jauh dengan level keset welcome. Intinya co-ass ada pada tataran terendah di kehidupan rumah sakit.Kisah yang sama mungkin akan terulang pada masa residen. Setidaknya dokter residen sudah dianggap sebagai dokter untuk sebagian kalangan. Berdasarkan derajat, tentu residen lebih tinggi daripada co-ass. Begitulah pemikiran Damar sebelum menjalani pendidikan spesialis di bawah bimbingan dokter spesialis bedah toraks, Anselio Dharmendra yang mempunyai julukan Amon Berjas Putih.Tahu Amon kan? Raja iblis yang mewakili sifat kekejaman. Anselio adalah wujud nyata sosok Amon di rumah sakit ini.Dulu Damar merasa kehidupan co-ass adalah yang tersuram, tapi sekarang kehidupannya sebagai dokter residen juga tak kalah suram berkat kehadiran Anselio sebagai konsulennya.“Siapa yang pegang kamar 314?” Setelah beberapa menit akhirnya suara dingin itu k
“Bu! Bu Azalea?! Ada apa?! Bu?! Bisa dengar saya?! Bu Azalea!” Panggilan yang terdengar di telinga kirinya menyadarkan Azalea.Azalea berusaha mengatur napasnya yang terasa sesak. “Cakra, dengar saya. Ada kecelakaan di jalan Pagar Alam. Tolong telepon ambulans sekarang.” Mata Azalea menyipit memperhatikan situasi di luar mobil. “Mungkin ada beberapa korban lain.” Tambahnya.“Bu Azalea enggak apa-apa?”Azalea tidak menjawab. Saat itu ia menyadari bagian punggung tangan kanannya penuh dengan darah karena pecahan kaca. Sialnya lagi ia tidakbisa menggerakan lengan kanannya. Dengan tangan kiri, Azalea meraih ponsel yang untungnya ia tempatkan di penyangga dasbor mobil. Kemudian Azalea melepaskan seatbelt yang mengikat tubuhnya. Karena tadi mobilnya sempat berada dalam posisi terbalik menyebabkan pintu mobil tersangkut sehingga sulit terbuka.Azalea bisa menoleh ke sekeliling, berarti lehernya baik-baik saja. Sekuat tenaga ia berusaha mendorong pintu mobil untuk terbuka. Pintu itu terbuka k
“Kamu benar enggak ada yang sakit?”Berkali-kali sudah Anselio menanyakan itu. Azalea ingin menjambak habis rambut Anselio rasanya. Memangnya menanyakan hal seperti setelah memerawani seorang gadis adalah suatu hal terpuji!? Ha!?Dan memangnya apa urusan Anselio dengan hal tersebut? Kalau pun sakit kan yang merasakan Azalea. Wanita itu juga tidak akan menangis meraung-raung meratapi selaput daranya yang telah robek.“Azalea—”“Enggak! Saya baik-baik aja! Enggak percaya amat, sih? Mau lihat saya lari sprint!?” Potong Azalea galak.Anselio paham betul, menilik dari intensitas kegiatan mereka semalam normalnya sang wanita akan kesulitan untuk berjalan. Tapi Azalea masih bisa bergerak sebagaimana mestinya. Anselio khawatir kalau gadis itu hanya pura-pura.“Kalau ada nyeri saat—”“Ansel, saya itu lebih pusing mikirin kemungkinan hamil yang hampir 100 persen tahu gak!?”Bulan ini Azalea belum datang bulan. Sialnya sekarang ini adalah masa suburnya. Kurang apa lagi coba!? Lebih lengkap pende
Azalea memang tidak tertarik punya hubungan romantis dengan laki-laki, tapi bukan berarti gadis itu polos seperti kertas hvs putih yang belum ternoda skripsi. Ingat, Azalea lama tinggal di Amerika. Seperti kebanyakan remaja tanggung lain yang ingin menghilangkan stress, gadis itu juga suka keluar masuk klub malam.Perlu diketahui bahwa selain skill akademiknya, skill berciuman Azalea juga salah satu yang ia banggakan. Setidaknya begitu sebelum bibirnya bertemu dengan milik Anselio. Laki-laki itu langsung berada dalam posisi teratas di list Azalea.He is definitely a great kisser. Bagaimana Anselio bisa memanfaatkan semua momen untuk memberikan intensitas dalam lumatannya. Tidak ada tuntutan sama sekali tapi Azalea merasa sangat terbuai. Sampai gadis itu tidak sadar seharusnya ia menarik diri, bukannya malah merengkuh tubuh tinggi Anselio dan balas membelit lidah Anselio yang membelah bibirnya dengan panas.Anselio mengangkat tubuh ringan Azalea dengan mudahnya. Otak Azalea ingin memp
Azalea tahu Gaji dokter spesialis memang besar tapi apakah sebesar itu sampai Anselio bisa tinggal di apartement mewah seperti ini? Meski penasaran namun Azalea tidak ingin memusingkannya. Yah mungkin saja Anselio juga punya banyak saham seperti ibunya. Buah kan tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya.Sedari siang sekretarisnya—Cakra sudah diteror sang nyonya besar agar mengantarkan Azalea ke alamat Anselio sepulang kantor. Ibunya bilang, Anselio sedang sakit bahkan tidak praktek di rumah sakit.Kalau dipikir apa coba hubungannya dengan Azalea!?Sudah malas berdebat, jadilah sekarang Azalea berada di sini, di depan pintu yang katanya adalah unit tempat Anselio tinggal. Tapi sayangnya setelah lima menit menekan bel, pintu itu belum juga terbuka.Ini Anselio enggak benar-benar pingsan dalam kesendirian kan? Azalea mulai menambahkan gedoran ringan di pintu besi itu.Mencari cara lain, Azalea mengeluarkan ponselnya. Mencari nomor ponsel Anselio yang Cakra kasih sebelumnya. Aduh, masa iya d
Akhirnya setelah setelah seminggu sejak insiden jahitannya terbuka, Azalea kembali ke apartement-nya yang nyaman. Tentu saja dengan sedikit perdebatan dengan Anselio. Home sweet home. Meski bukan rumahnya tapi Azalea merasa unit apartement ini adalah home-nya. Karena di rumah, ada ibunya yang selalu meributkan tentang pernikahan.Azalea menuju ke depan cermin. Ia berdiri tegak dan mulai melepaskan kancing teratas blouse yang Cakra pilih dari lemarinya sebagai baju ganti itu. Azalea mengamati plester putih yang berada di bagian rusuk kanannya. Ia mengusapnya pelan kemudian menekannya. Tidak terasa sakit sama sekali. Azalea menghela napas berat.Sesaat kemudian dering ponsel baru nya yang tadi ia lemparkan ke ranjang terdengar. Ponsel baru karena ponsel lama Azalea memiliki retakan yang cukup mengganggu mata. Azalea meraih ponselnya dan memejamkan mata sejenak untuk mempersiapkan diri.“Kamu itu siapa, sih? Anak mami bukan? Kok payah banget dihubungi. Mami ini yang melahirkan kamu loh,
Azalea melihat Cakra dan Anselio bergantian. Cakra hanya bisa mengangguk untuk meyakinkan bahwa yang ia katakan barusan adalah sebuah fakta yang benar.Memang Azalea salah karena tidak melihat profil dan foto yang dikirim ibunya tapi tetap saja siapa sangka dunia se-sempit ini? Dokter ketus ini ternyata yang ibunya sebut sebagai calon menantu potensial? Azalea tidak mengerti dari sisi mana sang ibu melihat sosok Anselio.Dengan matanya Azalea mengusir Cakra keluar. Cakra menyentuh lehernya canggung, agak merutuki diri sendiri karena tidak memberi tahu Azalea lebih cepat. Laki-laki itu akhirnya keluar setelah mengangguk pamit pada Azalea dan Anselio.“Wah, kamu benar-benar belum tahu?” Kata Anselio sedikit tidak percaya.“Saya tahu, Dok. Mungkin karena kecelakaan itu ingatan saya jadi terganggu.” Azalea beralasan.“Kepala kamu bahkan enggak mengalami cedera berat.” Anselio mendengus ringan.Azalea memberanikan diri untuk menatap iris tajam Anselio sekali lagi. “Dokter enggak sakit hati
Dua hari. Sudah dua hari Damar belum say hello dengan kasur tercintanya di rumah. Padahal ia hanya dokter residen tapi kenapa rasanya seperti orang paling sibuk sedunia?Damar rindu ibunya. Juga anjing kesayangannya yang bernama Ansel. Benar, Ansel. Bukan Anselio. Hanya Ansel. Itu bukanlah sebuah kesengajaan. Damar benar-benar mencari nama yang bagus di internet untuk anjing kesayangannya bahkan sebelum ia mengenal Dokter Ansel.Yang barusan adalah sebuah fakta tidak penting dari seorang Damar.“Bayi Cecil vitalnya gimana?”“Stabil, Dok.”“Mungkin satu atau dua hari lagi bisa keluar dari PICU. Jangan lupa panggil walinya.”“Siap, Dok.”Damar mengerjap memperhatikan bayi kecil yang ada di hadapannya dengan senyum haru. Cecil menderita kelainan jantung bawaan yang mengharuskan ia menggunakan VAD¹ sejak lahir. Untungnya operasi berhasil dan keadaan Cecil sekarang sudah jauh lebih baik berkat ketrampilan Anselio.*/ [1]VAD - alat bantu ventrikel juga dikenal sebagai alat pendukung peredar
“Ini enggak bisa kalau cuma pakai antibiotik.” Gumam Anselio memperhatikan monitornya serius. “Apa penyakit papi saya serius, Dok?” Tanya anak gadis sang pasien. “Iya.” Anselio beralih pada pasien yang duduk di depannya kemudian melirik pada anaknya yang langsung merasa lemas. “Endokarditis infektif. Infeksi pada bagian katup jantung. Kalau enggak cepat ditangani bisa jadi embolisme, penyumbatan pembuluh darah karena gumpalan bakteri.” Jelasnya datar dan cepat. “Ada ruangankan?” Tanya Anselio pada perawat yang ada di ruangannya. “Iya, Dok. Bisa langsung masuk hari ini.” Anselio mengangguk. “Rawat inap mulai hari ini dan operasi secepatnya. Ada jadwal kosong sekitar—tiga hari lagi?” “Penuh, Dok. Malam?” “Iya, malam juga enggak apa-apa. Jangan lupa kabari anestesiologi tiga hari lagi.” Pria paruh baya itu ingin mencoba mengatakan sesuatu. “Maaf, Dok. Anak saya ada perform balet tiga hari lagi dan itu pertunjukannya untuk yang terakhir kali. Karena sibuk saya belum pernah menyaks
“Bu! Bu Azalea?! Ada apa?! Bu?! Bisa dengar saya?! Bu Azalea!” Panggilan yang terdengar di telinga kirinya menyadarkan Azalea.Azalea berusaha mengatur napasnya yang terasa sesak. “Cakra, dengar saya. Ada kecelakaan di jalan Pagar Alam. Tolong telepon ambulans sekarang.” Mata Azalea menyipit memperhatikan situasi di luar mobil. “Mungkin ada beberapa korban lain.” Tambahnya.“Bu Azalea enggak apa-apa?”Azalea tidak menjawab. Saat itu ia menyadari bagian punggung tangan kanannya penuh dengan darah karena pecahan kaca. Sialnya lagi ia tidakbisa menggerakan lengan kanannya. Dengan tangan kiri, Azalea meraih ponsel yang untungnya ia tempatkan di penyangga dasbor mobil. Kemudian Azalea melepaskan seatbelt yang mengikat tubuhnya. Karena tadi mobilnya sempat berada dalam posisi terbalik menyebabkan pintu mobil tersangkut sehingga sulit terbuka.Azalea bisa menoleh ke sekeliling, berarti lehernya baik-baik saja. Sekuat tenaga ia berusaha mendorong pintu mobil untuk terbuka. Pintu itu terbuka k
Menurut rumor, co-ass (co-assistant) adalah satu fase hidup para calon dokter yang menegangkan, menyedihkan, merasa bodoh dan dibodohi, tidak berbeda jauh dengan level keset welcome. Intinya co-ass ada pada tataran terendah di kehidupan rumah sakit.Kisah yang sama mungkin akan terulang pada masa residen. Setidaknya dokter residen sudah dianggap sebagai dokter untuk sebagian kalangan. Berdasarkan derajat, tentu residen lebih tinggi daripada co-ass. Begitulah pemikiran Damar sebelum menjalani pendidikan spesialis di bawah bimbingan dokter spesialis bedah toraks, Anselio Dharmendra yang mempunyai julukan Amon Berjas Putih.Tahu Amon kan? Raja iblis yang mewakili sifat kekejaman. Anselio adalah wujud nyata sosok Amon di rumah sakit ini.Dulu Damar merasa kehidupan co-ass adalah yang tersuram, tapi sekarang kehidupannya sebagai dokter residen juga tak kalah suram berkat kehadiran Anselio sebagai konsulennya.“Siapa yang pegang kamar 314?” Setelah beberapa menit akhirnya suara dingin itu k