Menurut rumor, co-ass (co-assistant) adalah satu fase hidup para calon dokter yang menegangkan, menyedihkan, merasa bodoh dan dibodohi, tidak berbeda jauh dengan level keset welcome. Intinya co-ass ada pada tataran terendah di kehidupan rumah sakit.
Kisah yang sama mungkin akan terulang pada masa residen. Setidaknya dokter residen sudah dianggap sebagai dokter untuk sebagian kalangan. Berdasarkan derajat, tentu residen lebih tinggi daripada co-ass. Begitulah pemikiran Damar sebelum menjalani pendidikan spesialis di bawah bimbingan dokter spesialis bedah toraks, Anselio Dharmendra yang mempunyai julukan Amon Berjas Putih.
Tahu Amon kan? Raja iblis yang mewakili sifat kekejaman. Anselio adalah wujud nyata sosok Amon di rumah sakit ini.
Dulu Damar merasa kehidupan co-ass adalah yang tersuram, tapi sekarang kehidupannya sebagai dokter residen juga tak kalah suram berkat kehadiran Anselio sebagai konsulennya.
“Siapa yang pegang kamar 314?” Setelah beberapa menit akhirnya suara dingin itu keluar.
Damar dan teman sesama residen di sebelahnya—Ben mulai menelan ludah masing-masing. Padahal matahari menyapa dengan terangnya di atas kepala, tapi entah kenapa mereka berdua hanya bisa merasakan aura gelap yang mematikan.
“Kamu?” Tunjuknya pada Ben yang langsung menggeleng kaku.
Damar susah payah membuka mulutnya. “Sa—saya, Dok.”
Amon Berjas Putih di sana memfokuskan tatapan tajamnya pada Damar. Kalau saja tak ingat umur, ingin rasanya Damar meraung berguling-guling di lantai tanda sudah tidak kuat lagi.
“Yang jaga tadi malam?”
“Itu saya, Dok.” Sahut Ben takut-takut.
Hunusan tajam itu langsung berganti ke arah Ben. “Kamu yang ngasih antibiotik ke pasien atas nama Rahmawati?”
“Enggak, Dok.” Ben menjawab tanpa ragu. “Bahkan wajahnya pun saya belum pernah lihat, Dok.” Lanjutnya pelan.
Anselio tersenyum miring. “Kamu bahkan enggak tahu wajah pasien karena sibuk tidur kan?”
Ben mengatupkan bibir rapat namun mau tak mau harus mengangguk. Baru kali ini rasanya tidur menjadi salah satu dosa besar.
“Berarti kamu yang ngasih antibiotik?”
Sebagai target saat ini Damar sontak menggeleng. “Enggak, Dok. Demi Tuhan bukan saya.”
“Jadi maksudnya itu antibiotik jalan sendiri masuk ke tubuh pasien? Begitu?”
Ben dan Damar tidak membuka mulut sebagai bentuk sayang pada nyawa masing-masing.
“Tolong jangan buang-buang waktu. Kalau memang enggak niat jadi dokter jangan buang waktu saya. Tulis surat pengunduran diri sekarang.” Anselio melihat mereka bergantian. “Paham?!” Bentaknya keras kemudian.
Dua dokter residen di hadapan Anselio bahkan nyaris melompat kaget. Tidak ada kalimat lain selain permohonan maaf yang bisa mereka katakan. Demi tuhan, Damar berjanji akan mencekik siapa pun yang memberikan antibiotik itu jika bertemu nanti.
Suara ketukan terdengar dua kali lalu pintu terbuka. Seorang perawat yang telah menyiapkan segenap jiwa dan raganya masuk kemudian.
“Permisi, Dok. Wali pasien yang tadi dipanggil sudah hadir di ruang konsultasi.” Katanya dengan intonasi setenang mungkin.
Ah, ingatkan Damar dan Ben untuk mengucapkan terimakasih pada Suster Eva nanti.
***
Di tengah sibuknya jalan kota pagi hari, Azalea mengendalikan kemudi dengan lihainya membelah jalur dua kala itu. Tangan kirinya membenarkan letak kacamata hitam yang bertengger cantik di hidungnya kemudian berpindah ke tuas persneling. Audi hitamnya berhenti karena lampu lalu lintas kini berwarna merah.
“Dari pihak JJ group sudah setuju untuk berkontribusi dengan proyek kita, Bu.” Begitu suara terdengar dari sebelah earbuds yang terpasang di telinga kiri Azalea.
“Kontraknya?”
“Akan ditanda tangani nanti siang. Sudah dijadwalkan lunch di hotel JJ nanti pukul satu siang, Bu”
Azalea melirik spion tengah sekilas untuk mengecek kondisi di belakang. “Ah, tapi saya enggak suka makanan JJ hotel.”
“Kan Bu Azalea bisa makan dessert-nya aja.” Saran Cakra lirih dari ujung sana.
“No-no.” Azalea menggeleng. “Selai mereka asem banget. Kamu utus Pak Serowan aja. Kalau kamu hubungi sekarang, dia bisa kosongkan jadwal lunch.”
“Baik, Bu.”
“Sudahkan?”
“Ah, itu Bu. Nyonya besar bilang Bu Azalea harus mampir ke rumah hari ini. Kalau enggak sempat, tolong buat telepon aja. Bu Azalea punya nomor Nyonya besar?”
Azalea mendengus tertahan. “Anak macam apa yang enggak punya nomor ibu sendiri?”
“Tapi Bu Azalea selalu buat panggilan dari handphone saya.” Cicit Cakra.
Azalea melirik lampu lalu lintas yang perlahan berubah warna menjadi kuning, lalu berubah lagi menjadi hijau. Bersamaan dengan itu Azalea kembali menggenggam tuas persneling dan menginjak pedal gas.
“Yaudah bilang nanti akan saya telepon kalau sempat. Udahkan?”
“Satu lagi, Bu. Itu soal...”
“Soal apa?”
“Soal calon menantu potensial waktu itu. Nyonya besar udah ngirim profilnya. Ah, nomor ponselnya juga. Gimana? Saya kirim ke Bu Azalea sekarang?”
Azalea berdecak samar. Padahal usianya itu baru menginjak 28 tahun tapi ibunya sudah heboh masalah laki-laki membuat Azalea tidak paham. Memangnya semudah itu untuk berkenalan dengan laki-laki asing? Apalagi dengan tujuan menikah. Di tengah-tengah kesibukan kantor yang tidak ada habisnya begini, tidak ada waktu untuk mengenal seorang laki-laki. Selain itu, Azalea memang tidak memiliki niat untuk menikah.
“Bu, jadi gimana?”
“Kamu aja yang hubungi. Kamu bisa atur apa pun itu. Lunch, dinner, atau terserahlah.” Azalea melirik spion kanannya sekilas karena ia ingin berpindah jalur, sebentar lagi akan ada persimpangan empat. “Ingat jangan di JJ hotel, ya.” Tambahnya cepat.
“Baik, Bu.” Suara Cakra terdengar pasrah.
Azalea ingin memutuskan sambungan, tapi teringat satu hal. “Orang itu, pekerjaannya apa?”
“Sebentar, saya lihat profilnya.”
Azalea tetap mengangguk meskipun tidak terlihat oleh Cakra yang jauh darinya.
“Oh, pekerjaannya—”
BRAKK!!!
Terjadi begitu cepat, Audi hitam Azalea terbalik dua kali hingga ia merasakan pandangannya berputar begitu cepat. Suara besi yang beradu serta kaca yang pecah bercampur memenuhi telinganya. Ada juga suara klakson dan jeritan orang yang memekakan. Ketika semuanya berhenti, Azalea langsung bisa menyadarinya satu hal.
Bahwa saat ini, ia mengalami kecelakaan.
“Bu! Bu Azalea?! Ada apa?! Bu?! Bisa dengar saya?! Bu Azalea!” Panggilan yang terdengar di telinga kirinya menyadarkan Azalea.Azalea berusaha mengatur napasnya yang terasa sesak. “Cakra, dengar saya. Ada kecelakaan di jalan Pagar Alam. Tolong telepon ambulans sekarang.” Mata Azalea menyipit memperhatikan situasi di luar mobil. “Mungkin ada beberapa korban lain.” Tambahnya.“Bu Azalea enggak apa-apa?”Azalea tidak menjawab. Saat itu ia menyadari bagian punggung tangan kanannya penuh dengan darah karena pecahan kaca. Sialnya lagi ia tidakbisa menggerakan lengan kanannya. Dengan tangan kiri, Azalea meraih ponsel yang untungnya ia tempatkan di penyangga dasbor mobil. Kemudian Azalea melepaskan seatbelt yang mengikat tubuhnya. Karena tadi mobilnya sempat berada dalam posisi terbalik menyebabkan pintu mobil tersangkut sehingga sulit terbuka.Azalea bisa menoleh ke sekeliling, berarti lehernya baik-baik saja. Sekuat tenaga ia berusaha mendorong pintu mobil untuk terbuka. Pintu itu terbuka k
“Ini enggak bisa kalau cuma pakai antibiotik.” Gumam Anselio memperhatikan monitornya serius. “Apa penyakit papi saya serius, Dok?” Tanya anak gadis sang pasien. “Iya.” Anselio beralih pada pasien yang duduk di depannya kemudian melirik pada anaknya yang langsung merasa lemas. “Endokarditis infektif. Infeksi pada bagian katup jantung. Kalau enggak cepat ditangani bisa jadi embolisme, penyumbatan pembuluh darah karena gumpalan bakteri.” Jelasnya datar dan cepat. “Ada ruangankan?” Tanya Anselio pada perawat yang ada di ruangannya. “Iya, Dok. Bisa langsung masuk hari ini.” Anselio mengangguk. “Rawat inap mulai hari ini dan operasi secepatnya. Ada jadwal kosong sekitar—tiga hari lagi?” “Penuh, Dok. Malam?” “Iya, malam juga enggak apa-apa. Jangan lupa kabari anestesiologi tiga hari lagi.” Pria paruh baya itu ingin mencoba mengatakan sesuatu. “Maaf, Dok. Anak saya ada perform balet tiga hari lagi dan itu pertunjukannya untuk yang terakhir kali. Karena sibuk saya belum pernah menyaks
Dua hari. Sudah dua hari Damar belum say hello dengan kasur tercintanya di rumah. Padahal ia hanya dokter residen tapi kenapa rasanya seperti orang paling sibuk sedunia?Damar rindu ibunya. Juga anjing kesayangannya yang bernama Ansel. Benar, Ansel. Bukan Anselio. Hanya Ansel. Itu bukanlah sebuah kesengajaan. Damar benar-benar mencari nama yang bagus di internet untuk anjing kesayangannya bahkan sebelum ia mengenal Dokter Ansel.Yang barusan adalah sebuah fakta tidak penting dari seorang Damar.“Bayi Cecil vitalnya gimana?”“Stabil, Dok.”“Mungkin satu atau dua hari lagi bisa keluar dari PICU. Jangan lupa panggil walinya.”“Siap, Dok.”Damar mengerjap memperhatikan bayi kecil yang ada di hadapannya dengan senyum haru. Cecil menderita kelainan jantung bawaan yang mengharuskan ia menggunakan VAD¹ sejak lahir. Untungnya operasi berhasil dan keadaan Cecil sekarang sudah jauh lebih baik berkat ketrampilan Anselio.*/ [1]VAD - alat bantu ventrikel juga dikenal sebagai alat pendukung peredar
Azalea melihat Cakra dan Anselio bergantian. Cakra hanya bisa mengangguk untuk meyakinkan bahwa yang ia katakan barusan adalah sebuah fakta yang benar.Memang Azalea salah karena tidak melihat profil dan foto yang dikirim ibunya tapi tetap saja siapa sangka dunia se-sempit ini? Dokter ketus ini ternyata yang ibunya sebut sebagai calon menantu potensial? Azalea tidak mengerti dari sisi mana sang ibu melihat sosok Anselio.Dengan matanya Azalea mengusir Cakra keluar. Cakra menyentuh lehernya canggung, agak merutuki diri sendiri karena tidak memberi tahu Azalea lebih cepat. Laki-laki itu akhirnya keluar setelah mengangguk pamit pada Azalea dan Anselio.“Wah, kamu benar-benar belum tahu?” Kata Anselio sedikit tidak percaya.“Saya tahu, Dok. Mungkin karena kecelakaan itu ingatan saya jadi terganggu.” Azalea beralasan.“Kepala kamu bahkan enggak mengalami cedera berat.” Anselio mendengus ringan.Azalea memberanikan diri untuk menatap iris tajam Anselio sekali lagi. “Dokter enggak sakit hati
Akhirnya setelah setelah seminggu sejak insiden jahitannya terbuka, Azalea kembali ke apartement-nya yang nyaman. Tentu saja dengan sedikit perdebatan dengan Anselio. Home sweet home. Meski bukan rumahnya tapi Azalea merasa unit apartement ini adalah home-nya. Karena di rumah, ada ibunya yang selalu meributkan tentang pernikahan.Azalea menuju ke depan cermin. Ia berdiri tegak dan mulai melepaskan kancing teratas blouse yang Cakra pilih dari lemarinya sebagai baju ganti itu. Azalea mengamati plester putih yang berada di bagian rusuk kanannya. Ia mengusapnya pelan kemudian menekannya. Tidak terasa sakit sama sekali. Azalea menghela napas berat.Sesaat kemudian dering ponsel baru nya yang tadi ia lemparkan ke ranjang terdengar. Ponsel baru karena ponsel lama Azalea memiliki retakan yang cukup mengganggu mata. Azalea meraih ponselnya dan memejamkan mata sejenak untuk mempersiapkan diri.“Kamu itu siapa, sih? Anak mami bukan? Kok payah banget dihubungi. Mami ini yang melahirkan kamu loh,
Azalea tahu Gaji dokter spesialis memang besar tapi apakah sebesar itu sampai Anselio bisa tinggal di apartement mewah seperti ini? Meski penasaran namun Azalea tidak ingin memusingkannya. Yah mungkin saja Anselio juga punya banyak saham seperti ibunya. Buah kan tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya.Sedari siang sekretarisnya—Cakra sudah diteror sang nyonya besar agar mengantarkan Azalea ke alamat Anselio sepulang kantor. Ibunya bilang, Anselio sedang sakit bahkan tidak praktek di rumah sakit.Kalau dipikir apa coba hubungannya dengan Azalea!?Sudah malas berdebat, jadilah sekarang Azalea berada di sini, di depan pintu yang katanya adalah unit tempat Anselio tinggal. Tapi sayangnya setelah lima menit menekan bel, pintu itu belum juga terbuka.Ini Anselio enggak benar-benar pingsan dalam kesendirian kan? Azalea mulai menambahkan gedoran ringan di pintu besi itu.Mencari cara lain, Azalea mengeluarkan ponselnya. Mencari nomor ponsel Anselio yang Cakra kasih sebelumnya. Aduh, masa iya d
Azalea memang tidak tertarik punya hubungan romantis dengan laki-laki, tapi bukan berarti gadis itu polos seperti kertas hvs putih yang belum ternoda skripsi. Ingat, Azalea lama tinggal di Amerika. Seperti kebanyakan remaja tanggung lain yang ingin menghilangkan stress, gadis itu juga suka keluar masuk klub malam.Perlu diketahui bahwa selain skill akademiknya, skill berciuman Azalea juga salah satu yang ia banggakan. Setidaknya begitu sebelum bibirnya bertemu dengan milik Anselio. Laki-laki itu langsung berada dalam posisi teratas di list Azalea.He is definitely a great kisser. Bagaimana Anselio bisa memanfaatkan semua momen untuk memberikan intensitas dalam lumatannya. Tidak ada tuntutan sama sekali tapi Azalea merasa sangat terbuai. Sampai gadis itu tidak sadar seharusnya ia menarik diri, bukannya malah merengkuh tubuh tinggi Anselio dan balas membelit lidah Anselio yang membelah bibirnya dengan panas.Anselio mengangkat tubuh ringan Azalea dengan mudahnya. Otak Azalea ingin memp
“Kamu benar enggak ada yang sakit?”Berkali-kali sudah Anselio menanyakan itu. Azalea ingin menjambak habis rambut Anselio rasanya. Memangnya menanyakan hal seperti setelah memerawani seorang gadis adalah suatu hal terpuji!? Ha!?Dan memangnya apa urusan Anselio dengan hal tersebut? Kalau pun sakit kan yang merasakan Azalea. Wanita itu juga tidak akan menangis meraung-raung meratapi selaput daranya yang telah robek.“Azalea—”“Enggak! Saya baik-baik aja! Enggak percaya amat, sih? Mau lihat saya lari sprint!?” Potong Azalea galak.Anselio paham betul, menilik dari intensitas kegiatan mereka semalam normalnya sang wanita akan kesulitan untuk berjalan. Tapi Azalea masih bisa bergerak sebagaimana mestinya. Anselio khawatir kalau gadis itu hanya pura-pura.“Kalau ada nyeri saat—”“Ansel, saya itu lebih pusing mikirin kemungkinan hamil yang hampir 100 persen tahu gak!?”Bulan ini Azalea belum datang bulan. Sialnya sekarang ini adalah masa suburnya. Kurang apa lagi coba!? Lebih lengkap pende
“Kamu benar enggak ada yang sakit?”Berkali-kali sudah Anselio menanyakan itu. Azalea ingin menjambak habis rambut Anselio rasanya. Memangnya menanyakan hal seperti setelah memerawani seorang gadis adalah suatu hal terpuji!? Ha!?Dan memangnya apa urusan Anselio dengan hal tersebut? Kalau pun sakit kan yang merasakan Azalea. Wanita itu juga tidak akan menangis meraung-raung meratapi selaput daranya yang telah robek.“Azalea—”“Enggak! Saya baik-baik aja! Enggak percaya amat, sih? Mau lihat saya lari sprint!?” Potong Azalea galak.Anselio paham betul, menilik dari intensitas kegiatan mereka semalam normalnya sang wanita akan kesulitan untuk berjalan. Tapi Azalea masih bisa bergerak sebagaimana mestinya. Anselio khawatir kalau gadis itu hanya pura-pura.“Kalau ada nyeri saat—”“Ansel, saya itu lebih pusing mikirin kemungkinan hamil yang hampir 100 persen tahu gak!?”Bulan ini Azalea belum datang bulan. Sialnya sekarang ini adalah masa suburnya. Kurang apa lagi coba!? Lebih lengkap pende
Azalea memang tidak tertarik punya hubungan romantis dengan laki-laki, tapi bukan berarti gadis itu polos seperti kertas hvs putih yang belum ternoda skripsi. Ingat, Azalea lama tinggal di Amerika. Seperti kebanyakan remaja tanggung lain yang ingin menghilangkan stress, gadis itu juga suka keluar masuk klub malam.Perlu diketahui bahwa selain skill akademiknya, skill berciuman Azalea juga salah satu yang ia banggakan. Setidaknya begitu sebelum bibirnya bertemu dengan milik Anselio. Laki-laki itu langsung berada dalam posisi teratas di list Azalea.He is definitely a great kisser. Bagaimana Anselio bisa memanfaatkan semua momen untuk memberikan intensitas dalam lumatannya. Tidak ada tuntutan sama sekali tapi Azalea merasa sangat terbuai. Sampai gadis itu tidak sadar seharusnya ia menarik diri, bukannya malah merengkuh tubuh tinggi Anselio dan balas membelit lidah Anselio yang membelah bibirnya dengan panas.Anselio mengangkat tubuh ringan Azalea dengan mudahnya. Otak Azalea ingin memp
Azalea tahu Gaji dokter spesialis memang besar tapi apakah sebesar itu sampai Anselio bisa tinggal di apartement mewah seperti ini? Meski penasaran namun Azalea tidak ingin memusingkannya. Yah mungkin saja Anselio juga punya banyak saham seperti ibunya. Buah kan tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya.Sedari siang sekretarisnya—Cakra sudah diteror sang nyonya besar agar mengantarkan Azalea ke alamat Anselio sepulang kantor. Ibunya bilang, Anselio sedang sakit bahkan tidak praktek di rumah sakit.Kalau dipikir apa coba hubungannya dengan Azalea!?Sudah malas berdebat, jadilah sekarang Azalea berada di sini, di depan pintu yang katanya adalah unit tempat Anselio tinggal. Tapi sayangnya setelah lima menit menekan bel, pintu itu belum juga terbuka.Ini Anselio enggak benar-benar pingsan dalam kesendirian kan? Azalea mulai menambahkan gedoran ringan di pintu besi itu.Mencari cara lain, Azalea mengeluarkan ponselnya. Mencari nomor ponsel Anselio yang Cakra kasih sebelumnya. Aduh, masa iya d
Akhirnya setelah setelah seminggu sejak insiden jahitannya terbuka, Azalea kembali ke apartement-nya yang nyaman. Tentu saja dengan sedikit perdebatan dengan Anselio. Home sweet home. Meski bukan rumahnya tapi Azalea merasa unit apartement ini adalah home-nya. Karena di rumah, ada ibunya yang selalu meributkan tentang pernikahan.Azalea menuju ke depan cermin. Ia berdiri tegak dan mulai melepaskan kancing teratas blouse yang Cakra pilih dari lemarinya sebagai baju ganti itu. Azalea mengamati plester putih yang berada di bagian rusuk kanannya. Ia mengusapnya pelan kemudian menekannya. Tidak terasa sakit sama sekali. Azalea menghela napas berat.Sesaat kemudian dering ponsel baru nya yang tadi ia lemparkan ke ranjang terdengar. Ponsel baru karena ponsel lama Azalea memiliki retakan yang cukup mengganggu mata. Azalea meraih ponselnya dan memejamkan mata sejenak untuk mempersiapkan diri.“Kamu itu siapa, sih? Anak mami bukan? Kok payah banget dihubungi. Mami ini yang melahirkan kamu loh,
Azalea melihat Cakra dan Anselio bergantian. Cakra hanya bisa mengangguk untuk meyakinkan bahwa yang ia katakan barusan adalah sebuah fakta yang benar.Memang Azalea salah karena tidak melihat profil dan foto yang dikirim ibunya tapi tetap saja siapa sangka dunia se-sempit ini? Dokter ketus ini ternyata yang ibunya sebut sebagai calon menantu potensial? Azalea tidak mengerti dari sisi mana sang ibu melihat sosok Anselio.Dengan matanya Azalea mengusir Cakra keluar. Cakra menyentuh lehernya canggung, agak merutuki diri sendiri karena tidak memberi tahu Azalea lebih cepat. Laki-laki itu akhirnya keluar setelah mengangguk pamit pada Azalea dan Anselio.“Wah, kamu benar-benar belum tahu?” Kata Anselio sedikit tidak percaya.“Saya tahu, Dok. Mungkin karena kecelakaan itu ingatan saya jadi terganggu.” Azalea beralasan.“Kepala kamu bahkan enggak mengalami cedera berat.” Anselio mendengus ringan.Azalea memberanikan diri untuk menatap iris tajam Anselio sekali lagi. “Dokter enggak sakit hati
Dua hari. Sudah dua hari Damar belum say hello dengan kasur tercintanya di rumah. Padahal ia hanya dokter residen tapi kenapa rasanya seperti orang paling sibuk sedunia?Damar rindu ibunya. Juga anjing kesayangannya yang bernama Ansel. Benar, Ansel. Bukan Anselio. Hanya Ansel. Itu bukanlah sebuah kesengajaan. Damar benar-benar mencari nama yang bagus di internet untuk anjing kesayangannya bahkan sebelum ia mengenal Dokter Ansel.Yang barusan adalah sebuah fakta tidak penting dari seorang Damar.“Bayi Cecil vitalnya gimana?”“Stabil, Dok.”“Mungkin satu atau dua hari lagi bisa keluar dari PICU. Jangan lupa panggil walinya.”“Siap, Dok.”Damar mengerjap memperhatikan bayi kecil yang ada di hadapannya dengan senyum haru. Cecil menderita kelainan jantung bawaan yang mengharuskan ia menggunakan VAD¹ sejak lahir. Untungnya operasi berhasil dan keadaan Cecil sekarang sudah jauh lebih baik berkat ketrampilan Anselio.*/ [1]VAD - alat bantu ventrikel juga dikenal sebagai alat pendukung peredar
“Ini enggak bisa kalau cuma pakai antibiotik.” Gumam Anselio memperhatikan monitornya serius. “Apa penyakit papi saya serius, Dok?” Tanya anak gadis sang pasien. “Iya.” Anselio beralih pada pasien yang duduk di depannya kemudian melirik pada anaknya yang langsung merasa lemas. “Endokarditis infektif. Infeksi pada bagian katup jantung. Kalau enggak cepat ditangani bisa jadi embolisme, penyumbatan pembuluh darah karena gumpalan bakteri.” Jelasnya datar dan cepat. “Ada ruangankan?” Tanya Anselio pada perawat yang ada di ruangannya. “Iya, Dok. Bisa langsung masuk hari ini.” Anselio mengangguk. “Rawat inap mulai hari ini dan operasi secepatnya. Ada jadwal kosong sekitar—tiga hari lagi?” “Penuh, Dok. Malam?” “Iya, malam juga enggak apa-apa. Jangan lupa kabari anestesiologi tiga hari lagi.” Pria paruh baya itu ingin mencoba mengatakan sesuatu. “Maaf, Dok. Anak saya ada perform balet tiga hari lagi dan itu pertunjukannya untuk yang terakhir kali. Karena sibuk saya belum pernah menyaks
“Bu! Bu Azalea?! Ada apa?! Bu?! Bisa dengar saya?! Bu Azalea!” Panggilan yang terdengar di telinga kirinya menyadarkan Azalea.Azalea berusaha mengatur napasnya yang terasa sesak. “Cakra, dengar saya. Ada kecelakaan di jalan Pagar Alam. Tolong telepon ambulans sekarang.” Mata Azalea menyipit memperhatikan situasi di luar mobil. “Mungkin ada beberapa korban lain.” Tambahnya.“Bu Azalea enggak apa-apa?”Azalea tidak menjawab. Saat itu ia menyadari bagian punggung tangan kanannya penuh dengan darah karena pecahan kaca. Sialnya lagi ia tidakbisa menggerakan lengan kanannya. Dengan tangan kiri, Azalea meraih ponsel yang untungnya ia tempatkan di penyangga dasbor mobil. Kemudian Azalea melepaskan seatbelt yang mengikat tubuhnya. Karena tadi mobilnya sempat berada dalam posisi terbalik menyebabkan pintu mobil tersangkut sehingga sulit terbuka.Azalea bisa menoleh ke sekeliling, berarti lehernya baik-baik saja. Sekuat tenaga ia berusaha mendorong pintu mobil untuk terbuka. Pintu itu terbuka k
Menurut rumor, co-ass (co-assistant) adalah satu fase hidup para calon dokter yang menegangkan, menyedihkan, merasa bodoh dan dibodohi, tidak berbeda jauh dengan level keset welcome. Intinya co-ass ada pada tataran terendah di kehidupan rumah sakit.Kisah yang sama mungkin akan terulang pada masa residen. Setidaknya dokter residen sudah dianggap sebagai dokter untuk sebagian kalangan. Berdasarkan derajat, tentu residen lebih tinggi daripada co-ass. Begitulah pemikiran Damar sebelum menjalani pendidikan spesialis di bawah bimbingan dokter spesialis bedah toraks, Anselio Dharmendra yang mempunyai julukan Amon Berjas Putih.Tahu Amon kan? Raja iblis yang mewakili sifat kekejaman. Anselio adalah wujud nyata sosok Amon di rumah sakit ini.Dulu Damar merasa kehidupan co-ass adalah yang tersuram, tapi sekarang kehidupannya sebagai dokter residen juga tak kalah suram berkat kehadiran Anselio sebagai konsulennya.“Siapa yang pegang kamar 314?” Setelah beberapa menit akhirnya suara dingin itu k