“Ini enggak bisa kalau cuma pakai antibiotik.” Gumam Anselio memperhatikan monitornya serius.
“Apa penyakit papi saya serius, Dok?” Tanya anak gadis sang pasien.
“Iya.” Anselio beralih pada pasien yang duduk di depannya kemudian melirik pada anaknya yang langsung merasa lemas.
“Endokarditis infektif. Infeksi pada bagian katup jantung. Kalau enggak cepat ditangani bisa jadi embolisme, penyumbatan pembuluh darah karena gumpalan bakteri.” Jelasnya datar dan cepat. “Ada ruangankan?” Tanya Anselio pada perawat yang ada di ruangannya.
“Iya, Dok. Bisa langsung masuk hari ini.”
Anselio mengangguk. “Rawat inap mulai hari ini dan operasi secepatnya. Ada jadwal kosong sekitar—tiga hari lagi?”
“Penuh, Dok. Malam?”
“Iya, malam juga enggak apa-apa. Jangan lupa kabari anestesiologi tiga hari lagi.”
Pria paruh baya itu ingin mencoba mengatakan sesuatu. “Maaf, Dok. Anak saya ada perform balet tiga hari lagi dan itu pertunjukannya untuk yang terakhir kali. Karena sibuk saya belum pernah menyaksikan tarian anak saya. Operasinya enggak bisa diundur minggu depan, Dok?”
“Enggak bisa.”
“Kalau pindah satu hari aja, Dok? Cuma sehari aja masa enggak bisa?”
“Enggak bisa.” Jawaban Anselio tetap sama. “Kalau bapak mau meninggal silahkan saja.” Lanjutnya tenang.
“Papa apaan, sih? Sekarang ini kesehatan papa lebih penting.” Anak gadisnya berbisik namun masih dapat terdengar oleh seisi ruangan.
“Ambil vidio dan foto aja yang banyak. Bapak bisa melihatnya berkali-kali. Setelah ini bisa langsung jalani serangkaian tes. Nanti kita ketemu lagi di kamar rawat.” Anselio mengakhiri sesi konsultasi mereka.
Anak gadis itu langsung memapah ayahnya keluar dengan hati-hati diikuti oleh seorang perawat yang akan memandu ke tempat pemeriksaan.
“Kata-katanya enggak ada sopan sama sekali padahal masih muda, mentang-mentang dokter hebat.” Keluh gadis itu tepat setelah keluar ruangan.
“Kami memohon maaf dengan tulus Pak, Mbak. Meski punya masalah dengan sikap yang kurang menyenangkan, Dokter Ansel sangat memperhatikan keadaan pasien dan termasuk salah satu dokter terbaik di rumah sakit ini. Jadi, enggak perlu khawatir bapak pasti sembuh.” Suster Eva mengucapkan kalimat yang sudah ia hapal di luar kepala.
“Silahkan ke ruang paling ujung untuk tes darah,” suster Eva menunjukan arah dengan tangannya.
Sedetik kemudian, Damar datang dengan napas tersengal karena berlari. “Dokter Ansel ada di dalam?”
“Iya, ada di dalam. Kenapa?”
“CITO.” Jawabnya singkat lalu menerobos ke dalam ruangan. Sedangkan Anselio hanya meliriknya tajam dari kursi.
“Maaf, ada pasien darurat, Dok. Kecelakaan tadi pukul delapan pagi. Salah satu korbannya VIP di rumah sakit ini dan butuh operasi segera.” Jelas Damar masih dengan napas masih ngos-ngosan.
“Diagnosanya?”
“Trauma pneumotoraks karena patahan tulang rusuk yang menusuk paru-paru. Sebelumnya sudah ada tindakan torakostomi jarum¹ jadi sekarang vitalnya stabil.”
*[1] Torakostomi jarum adalah tindakan yang dilakukan untuk mengeluarkan udara berlebih karena tension pneumotoraks*
Anselio mengangguk paham dan langsung bergegas meninggalkan ruangan diikuti oleh Damar.
“VIP di sini? Siapa?” Tanya Anselio di perjalanan.
“CEO Fros-Tech, Dok. Salah satu sponsor terbesar rumah sakit kita.”
Anselio mempercepat langkah kakinya. Bukan karena pasien tersebut VIP, tapi karena ia tahu siapa yang Damar sebut sebagai CEO Fros-Tech itu.
“Tapi CEO itu hebat ternyata, Dok. Kata petugas darurat, CEO itu yang menusuk dadanya sendiri dengan jarum. Dia juga yang melakukan tindakan medis pada salah satu korban lainnya. Padahal dia CEO, darimana coba tahu prosedur medis?”
“Darimana lagi? Jelas karena dia memang belajar ilmu kedokteran.” Anselio mengatakannya nyaris seperti berbisik tapi masih bisa Damar dengar dengan jelas.
“Serius, Dok?!”
Anelio malah melemparkan tatapan tajamnya. “Itu penting sekarang?”
“Maaf, Dok.”
***
“Bu Azalea! Bu Azalea enggak apa-apa? Bagian mana yang sakit? Omo, tangan ibu patah?! Omo-omo!” Teriak Cakra dramatis setelah menyibak tirai IGD dan melihat langsung kondisi Azalea yang menggunakan penyangga tangan.
Azalea menggaruk alisnya yang tiba-tiba gatal. “Ini dislokasi, bukan patah.” Sahutnya datar.
Cakra langsung tenang seketika. “Oh, gitu. Berarti Bu Azalea enggak apa-apa?”
“Saya harus operasi, sudah dijadwalkan. Rusuk saya patah dan itu kayaknya mengganggu kerja paru-paru. Hasil tesnya belum keluar, sih. Administrasi udah beres?”
Raut wajah Cakra kembali pias. “Rusuk patah?! Bu Azalea pasti selamat kan?!”
Azalea menoleh malas. “Umur kamu berapa, Cakra?”
“Tahun ini 24 tahun, Bu.” Mata Cakta berkaca-kaca. “Bu Azalea pasti selamat. Saya enggak bisa hidup tanpa Bu Azalea. Bu, janji—”
“24 tahun? Bukan empat tahun?” Seloroh Azalea prihatin.
“Bukan, Bu.” Cakra langsung berdiri tegak dalam posisi siap. “Administrasi sudah selesai semua. Bu Azalea kan VIP di sini.”
“Jangan sampai bocor, ingat? Kalau Mami tahu kita sama-sama the end, Cakra.” Azalea membuat gerakan memotong leher dengan tangannya. “The end.” Katanya tajam.
Cakra mengangguk paham. “Pihak rumah sakit setuju untuk tutup mulut dan merawat Bu Azalea diam-diam jauh dari jangkauan Nyonya besar.” Katanya diiringi dengan acungan jempol.
“Bagus. Dan tentang kecelakaan tadi, mobil saya ditabrak truk muatan. Saya mau kamu cari tahu penanggung jawabnya dari perusahaan mana karena sopirnya belum sadar.”
“Siap, Bu.”
Setelah Cakra menyingkir, tirai kembali tersibak. Azalea kira itu Cakra yang kembali namun ternyata bukan. Itu Dokter residen yang tadi sempat memeriksanya dan diikuti dengan dokter lainnya yang Azalea tebak adalah dokter spesialis meskipun terlihat masih sangat muda.
Walau saat ini Azalea tidak sedang berada dalam posisi yang tepat untuk mengomentari paras seseorang, tapi Azalea akui dokter itu tampan dan mempunyai pesona. Ia yakin dokter itu menjadi idola di rumah sakit ini.
“Apa ada yang terasa sakit, Mbak—maksud saya Bu Azalea?”
Damar canggung karena pasien terlihat sangat muda namun posisinya VIP, ia jadi bingung harus menyebut apa.
“Dokter cukup panggil Azalea aja, enggak masalah.” Kata Azalea santai. Toh, pegawai di rumah sakit ini bukan bawahannya.
“Dari hasil X-Ray dan CT bagian dada kamu harusnya terasa sangat sakit. Tulang rusuk kamu patah dan menusuk paru-paru. Saya dengar kamu tetap sadar sejak kejadian?” Anselio memperhatikan pasiennya dari ujung kaki hingga kepala. Ia sudah sering mendegar tentang CEO Fros-Tech, tapi baru sekarang ini bertemu secara langsung.
“Iya, saya sadar.” Azalea menanggapi seadanya.
“Selain itu dari hasil CT kepala juga ada sedikit gumpalan karena pendarahan, wajar kalau kepala kamu juga terasa sakit. Tapi menurut neurologi itu enggak masalah, bisa diatasi dengan beberapa obat. Enggak akan mengganggu operasi juga.” Lanjutnya kemudian.
“Ah, mungkin karena shock semua rasa sakitnya jadi bercampur.” Azalea meringis canggung. “Tapi hasil tes lainnya enggak ada masalah kan, Dok? Enggak ada pendarahan dalam lainnya?”
Anselio mengangguk. “Enggak ada. Torakostomi yang melewatkan kamu dari kondisi kritis. Itu tindakan petugas darurat?”
“Oh, itu. Iya, Dok.”
Anselio tahu bahwa itu adalah sebuah kebohongan namun dokter itu tidak mengatakan apa-apa. Begitu juga Damar yang sedang sibuk dengan ponselnya. Anselio hanya menatap Azalea lurus. Siapa yang tahu kalau gadis muda yang terbaring di depannya ini adalah seorang pemimpin perusahaan besar? Azalea lebih terlihat seperti mahasiswi semester akhir.
“Bagian Anestesiologi bilang ruangan udah siap, Dok.” Lapor Damar setelah mengecek ponselnya.
“Oke, pasien bisa dipindahkan sekarang.”
Azalea menahan snelli Anselio yang ingin beranjak. “Anda dokter yang akan membedah saya kan?”
“Oh iya, perkenalkan. Ini Dokter Ansel spesialis bedah toraks terbaik di rumah sakit ini. Jadi Mbak—Ibu—maksudnya Azalea enggak perlu khawatir.” Damar yang maju menjawab.
“Ada masalah?” Anselio melepaskan tangan Azalea yang menyentuh snelinya.
“Tolong buat yang cantik, Dok.” Ucap Azalea serius.
“Ya?”
“Sayatan dan jahitannya. Tolong jahit yang sejajar dan jangan pakai steples. Saya enggak mau nanti muncul keloid.”
Anselio tidak mempercayai pendengarannya. “Sekarang ini paru-paru kamu bolong dan kamu mementingkan bentuk jahitan? Kamu bercanda?”
Damar menyenggol pelan pinggang Anselio. “Pasien VIP, Dok. Mohon ingat sponsor rumah sakit kita.” Bisiknya pelan.
“Saya belum menikah. Dokter enggak tahu bagian dada itu aset semua perempuan? Jadi saya bener-bener minta tolong, oke?” Azalea menyatukan kedua tangannya di depan dada.
Yang barusan itu hanyalah alasan, Azalea hanya tidak suka memiliki bekas luka. Sejak kecil ia benar-benar menjaga tubuhnya dari segala bentuk cedera.
Anselio diam sejenak sebelum menjawab. “Silahkan konsultasi ke bedah plastik itu bukan—”
“Tenang aja, Bu—Mbak—maksud saya Azalea. Nanti akan saya jahit dengan sangat hati-hati. Permisi.” Potong Damar sebelum menyeret Anselio pergi dari sana.
Kemudian dua orang perawat mengambil alih untuk persiapan pemindahan ke ruang operasi. Cakra kembali pada saat itu.
“Operasinya sekarang, Bu?”
Azalea mengangguk. “Truknya gimana?”
“Itu truk muatan dari PT Angkasa Cipta, Bu. Tadi di telepon, orang yang katanya manajer mau datang ke rumah sakit. Terus mau gimana?”
“Minta mereka untuk tanggung jawab penuh. Kamu urus juga korban lainnya. Kalau perlu kontak tim hukum perusahaan. Tapi ingat, diam-diam.”
“Baik, Bu.” Cakra memperhatikan Azalea dengan matanya yang berkaca-kaca. “Bu, operasinya pasti berhasil kan? Jangan tinggalin saya, Bu.”
Dua orang perawat yang sedang merapihkan alat-alat medis yang terhubung ke tubuh Azalea berusaha merapatkan mulut masing-masing agar tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Azalea berdecak kesal. “Cakra,”
“Iya, Bu?”
“Enggak usah drama, itu angkat telepon kamu.” Azalea menunjuk saku Cakra dengan matanya.
Cakra mengeluarkan ponselnya yang berdering dan langsung berjengit kaget ketika melihat siapa yang meneleponnya.
“Apa? Siapa?” Azalea penasaran.
“Nyonya besar,” Cakra menatap Azalea nelangsa.
“Kamu pasti bisa, Cakra. Fighting!” Kemudian Azalea menutup matanya. “Ayo jalan, Sus.”
Dua perawat itu mengangguk bersamaan lalu mulai mendorong ranjang Azalea meninggalkan Cakra di IGD.
“Halo, Bu? Ah, Bu Azalea sedang ada rapat, Bu. Ada yang perlu saya sampaikan? Oh, tentang itu, Bu Azalea bilang akan mengatur dinner atau lunch dalam waktu dekat....”
Dua hari. Sudah dua hari Damar belum say hello dengan kasur tercintanya di rumah. Padahal ia hanya dokter residen tapi kenapa rasanya seperti orang paling sibuk sedunia?Damar rindu ibunya. Juga anjing kesayangannya yang bernama Ansel. Benar, Ansel. Bukan Anselio. Hanya Ansel. Itu bukanlah sebuah kesengajaan. Damar benar-benar mencari nama yang bagus di internet untuk anjing kesayangannya bahkan sebelum ia mengenal Dokter Ansel.Yang barusan adalah sebuah fakta tidak penting dari seorang Damar.“Bayi Cecil vitalnya gimana?”“Stabil, Dok.”“Mungkin satu atau dua hari lagi bisa keluar dari PICU. Jangan lupa panggil walinya.”“Siap, Dok.”Damar mengerjap memperhatikan bayi kecil yang ada di hadapannya dengan senyum haru. Cecil menderita kelainan jantung bawaan yang mengharuskan ia menggunakan VAD¹ sejak lahir. Untungnya operasi berhasil dan keadaan Cecil sekarang sudah jauh lebih baik berkat ketrampilan Anselio.*/ [1]VAD - alat bantu ventrikel juga dikenal sebagai alat pendukung peredar
Azalea melihat Cakra dan Anselio bergantian. Cakra hanya bisa mengangguk untuk meyakinkan bahwa yang ia katakan barusan adalah sebuah fakta yang benar.Memang Azalea salah karena tidak melihat profil dan foto yang dikirim ibunya tapi tetap saja siapa sangka dunia se-sempit ini? Dokter ketus ini ternyata yang ibunya sebut sebagai calon menantu potensial? Azalea tidak mengerti dari sisi mana sang ibu melihat sosok Anselio.Dengan matanya Azalea mengusir Cakra keluar. Cakra menyentuh lehernya canggung, agak merutuki diri sendiri karena tidak memberi tahu Azalea lebih cepat. Laki-laki itu akhirnya keluar setelah mengangguk pamit pada Azalea dan Anselio.“Wah, kamu benar-benar belum tahu?” Kata Anselio sedikit tidak percaya.“Saya tahu, Dok. Mungkin karena kecelakaan itu ingatan saya jadi terganggu.” Azalea beralasan.“Kepala kamu bahkan enggak mengalami cedera berat.” Anselio mendengus ringan.Azalea memberanikan diri untuk menatap iris tajam Anselio sekali lagi. “Dokter enggak sakit hati
Akhirnya setelah setelah seminggu sejak insiden jahitannya terbuka, Azalea kembali ke apartement-nya yang nyaman. Tentu saja dengan sedikit perdebatan dengan Anselio. Home sweet home. Meski bukan rumahnya tapi Azalea merasa unit apartement ini adalah home-nya. Karena di rumah, ada ibunya yang selalu meributkan tentang pernikahan.Azalea menuju ke depan cermin. Ia berdiri tegak dan mulai melepaskan kancing teratas blouse yang Cakra pilih dari lemarinya sebagai baju ganti itu. Azalea mengamati plester putih yang berada di bagian rusuk kanannya. Ia mengusapnya pelan kemudian menekannya. Tidak terasa sakit sama sekali. Azalea menghela napas berat.Sesaat kemudian dering ponsel baru nya yang tadi ia lemparkan ke ranjang terdengar. Ponsel baru karena ponsel lama Azalea memiliki retakan yang cukup mengganggu mata. Azalea meraih ponselnya dan memejamkan mata sejenak untuk mempersiapkan diri.“Kamu itu siapa, sih? Anak mami bukan? Kok payah banget dihubungi. Mami ini yang melahirkan kamu loh,
Azalea tahu Gaji dokter spesialis memang besar tapi apakah sebesar itu sampai Anselio bisa tinggal di apartement mewah seperti ini? Meski penasaran namun Azalea tidak ingin memusingkannya. Yah mungkin saja Anselio juga punya banyak saham seperti ibunya. Buah kan tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya.Sedari siang sekretarisnya—Cakra sudah diteror sang nyonya besar agar mengantarkan Azalea ke alamat Anselio sepulang kantor. Ibunya bilang, Anselio sedang sakit bahkan tidak praktek di rumah sakit.Kalau dipikir apa coba hubungannya dengan Azalea!?Sudah malas berdebat, jadilah sekarang Azalea berada di sini, di depan pintu yang katanya adalah unit tempat Anselio tinggal. Tapi sayangnya setelah lima menit menekan bel, pintu itu belum juga terbuka.Ini Anselio enggak benar-benar pingsan dalam kesendirian kan? Azalea mulai menambahkan gedoran ringan di pintu besi itu.Mencari cara lain, Azalea mengeluarkan ponselnya. Mencari nomor ponsel Anselio yang Cakra kasih sebelumnya. Aduh, masa iya d
Azalea memang tidak tertarik punya hubungan romantis dengan laki-laki, tapi bukan berarti gadis itu polos seperti kertas hvs putih yang belum ternoda skripsi. Ingat, Azalea lama tinggal di Amerika. Seperti kebanyakan remaja tanggung lain yang ingin menghilangkan stress, gadis itu juga suka keluar masuk klub malam.Perlu diketahui bahwa selain skill akademiknya, skill berciuman Azalea juga salah satu yang ia banggakan. Setidaknya begitu sebelum bibirnya bertemu dengan milik Anselio. Laki-laki itu langsung berada dalam posisi teratas di list Azalea.He is definitely a great kisser. Bagaimana Anselio bisa memanfaatkan semua momen untuk memberikan intensitas dalam lumatannya. Tidak ada tuntutan sama sekali tapi Azalea merasa sangat terbuai. Sampai gadis itu tidak sadar seharusnya ia menarik diri, bukannya malah merengkuh tubuh tinggi Anselio dan balas membelit lidah Anselio yang membelah bibirnya dengan panas.Anselio mengangkat tubuh ringan Azalea dengan mudahnya. Otak Azalea ingin memp
“Kamu benar enggak ada yang sakit?”Berkali-kali sudah Anselio menanyakan itu. Azalea ingin menjambak habis rambut Anselio rasanya. Memangnya menanyakan hal seperti setelah memerawani seorang gadis adalah suatu hal terpuji!? Ha!?Dan memangnya apa urusan Anselio dengan hal tersebut? Kalau pun sakit kan yang merasakan Azalea. Wanita itu juga tidak akan menangis meraung-raung meratapi selaput daranya yang telah robek.“Azalea—”“Enggak! Saya baik-baik aja! Enggak percaya amat, sih? Mau lihat saya lari sprint!?” Potong Azalea galak.Anselio paham betul, menilik dari intensitas kegiatan mereka semalam normalnya sang wanita akan kesulitan untuk berjalan. Tapi Azalea masih bisa bergerak sebagaimana mestinya. Anselio khawatir kalau gadis itu hanya pura-pura.“Kalau ada nyeri saat—”“Ansel, saya itu lebih pusing mikirin kemungkinan hamil yang hampir 100 persen tahu gak!?”Bulan ini Azalea belum datang bulan. Sialnya sekarang ini adalah masa suburnya. Kurang apa lagi coba!? Lebih lengkap pende
Ketika Azalea terbangun, yang pertama kali otaknya terima sebagai rangsangan adalah aroma musk dan mint yang bercampur. Azalea mengerutkan keningnya tapi demi Tuhan ia masih nyaman pada posisinya. Belum pernah sebelumnya ia merasakan posisi tidur senyaman ini. Azalea tidak ingin membuka mata. Ditambah lagi dengan usapan lembut yang konstan menyentuh kulit punggungnya.Tunggu, usapan? Siapa yang menyentuhnya?Mata Azalea langsung terbuka secepat kilat. Butuh sekitar tiga kerjapan untuknya bisa mengenali pemandangan apa yang berada di sana. Itu adalah dada manusia. Lebih tepatnya dada telanjang seorang laki-laki.Azalea menelan ludah gugup. Perlahan tapi pasti ia mendongak sambil berusaha mengendalikan dirinya sendiri namun gagal begitu mengenali siapa laki-laki yang memeluknya erat. Azalea langsung terduduk karena terkejut. Lebih terkejut lagi ketika menyadari bahwa tubuhnya sendiri juga tidak memakai sehelai benang. Tangannya jadi kembali menarik selimut untuk menutup tubuhnya.“Hidup
Menurut rumor, co-ass (co-assistant) adalah satu fase hidup para calon dokter yang menegangkan, menyedihkan, merasa bodoh dan dibodohi, tidak berbeda jauh dengan level keset welcome. Intinya co-ass ada pada tataran terendah di kehidupan rumah sakit.Kisah yang sama mungkin akan terulang pada masa residen. Setidaknya dokter residen sudah dianggap sebagai dokter untuk sebagian kalangan. Berdasarkan derajat, tentu residen lebih tinggi daripada co-ass. Begitulah pemikiran Damar sebelum menjalani pendidikan spesialis di bawah bimbingan dokter spesialis bedah toraks, Anselio Dharmendra yang mempunyai julukan Amon Berjas Putih.Tahu Amon kan? Raja iblis yang mewakili sifat kekejaman. Anselio adalah wujud nyata sosok Amon di rumah sakit ini.Dulu Damar merasa kehidupan co-ass adalah yang tersuram, tapi sekarang kehidupannya sebagai dokter residen juga tak kalah suram berkat kehadiran Anselio sebagai konsulennya.“Siapa yang pegang kamar 314?” Setelah beberapa menit akhirnya suara dingin itu k
“Kamu benar enggak ada yang sakit?”Berkali-kali sudah Anselio menanyakan itu. Azalea ingin menjambak habis rambut Anselio rasanya. Memangnya menanyakan hal seperti setelah memerawani seorang gadis adalah suatu hal terpuji!? Ha!?Dan memangnya apa urusan Anselio dengan hal tersebut? Kalau pun sakit kan yang merasakan Azalea. Wanita itu juga tidak akan menangis meraung-raung meratapi selaput daranya yang telah robek.“Azalea—”“Enggak! Saya baik-baik aja! Enggak percaya amat, sih? Mau lihat saya lari sprint!?” Potong Azalea galak.Anselio paham betul, menilik dari intensitas kegiatan mereka semalam normalnya sang wanita akan kesulitan untuk berjalan. Tapi Azalea masih bisa bergerak sebagaimana mestinya. Anselio khawatir kalau gadis itu hanya pura-pura.“Kalau ada nyeri saat—”“Ansel, saya itu lebih pusing mikirin kemungkinan hamil yang hampir 100 persen tahu gak!?”Bulan ini Azalea belum datang bulan. Sialnya sekarang ini adalah masa suburnya. Kurang apa lagi coba!? Lebih lengkap pende
Azalea memang tidak tertarik punya hubungan romantis dengan laki-laki, tapi bukan berarti gadis itu polos seperti kertas hvs putih yang belum ternoda skripsi. Ingat, Azalea lama tinggal di Amerika. Seperti kebanyakan remaja tanggung lain yang ingin menghilangkan stress, gadis itu juga suka keluar masuk klub malam.Perlu diketahui bahwa selain skill akademiknya, skill berciuman Azalea juga salah satu yang ia banggakan. Setidaknya begitu sebelum bibirnya bertemu dengan milik Anselio. Laki-laki itu langsung berada dalam posisi teratas di list Azalea.He is definitely a great kisser. Bagaimana Anselio bisa memanfaatkan semua momen untuk memberikan intensitas dalam lumatannya. Tidak ada tuntutan sama sekali tapi Azalea merasa sangat terbuai. Sampai gadis itu tidak sadar seharusnya ia menarik diri, bukannya malah merengkuh tubuh tinggi Anselio dan balas membelit lidah Anselio yang membelah bibirnya dengan panas.Anselio mengangkat tubuh ringan Azalea dengan mudahnya. Otak Azalea ingin memp
Azalea tahu Gaji dokter spesialis memang besar tapi apakah sebesar itu sampai Anselio bisa tinggal di apartement mewah seperti ini? Meski penasaran namun Azalea tidak ingin memusingkannya. Yah mungkin saja Anselio juga punya banyak saham seperti ibunya. Buah kan tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya.Sedari siang sekretarisnya—Cakra sudah diteror sang nyonya besar agar mengantarkan Azalea ke alamat Anselio sepulang kantor. Ibunya bilang, Anselio sedang sakit bahkan tidak praktek di rumah sakit.Kalau dipikir apa coba hubungannya dengan Azalea!?Sudah malas berdebat, jadilah sekarang Azalea berada di sini, di depan pintu yang katanya adalah unit tempat Anselio tinggal. Tapi sayangnya setelah lima menit menekan bel, pintu itu belum juga terbuka.Ini Anselio enggak benar-benar pingsan dalam kesendirian kan? Azalea mulai menambahkan gedoran ringan di pintu besi itu.Mencari cara lain, Azalea mengeluarkan ponselnya. Mencari nomor ponsel Anselio yang Cakra kasih sebelumnya. Aduh, masa iya d
Akhirnya setelah setelah seminggu sejak insiden jahitannya terbuka, Azalea kembali ke apartement-nya yang nyaman. Tentu saja dengan sedikit perdebatan dengan Anselio. Home sweet home. Meski bukan rumahnya tapi Azalea merasa unit apartement ini adalah home-nya. Karena di rumah, ada ibunya yang selalu meributkan tentang pernikahan.Azalea menuju ke depan cermin. Ia berdiri tegak dan mulai melepaskan kancing teratas blouse yang Cakra pilih dari lemarinya sebagai baju ganti itu. Azalea mengamati plester putih yang berada di bagian rusuk kanannya. Ia mengusapnya pelan kemudian menekannya. Tidak terasa sakit sama sekali. Azalea menghela napas berat.Sesaat kemudian dering ponsel baru nya yang tadi ia lemparkan ke ranjang terdengar. Ponsel baru karena ponsel lama Azalea memiliki retakan yang cukup mengganggu mata. Azalea meraih ponselnya dan memejamkan mata sejenak untuk mempersiapkan diri.“Kamu itu siapa, sih? Anak mami bukan? Kok payah banget dihubungi. Mami ini yang melahirkan kamu loh,
Azalea melihat Cakra dan Anselio bergantian. Cakra hanya bisa mengangguk untuk meyakinkan bahwa yang ia katakan barusan adalah sebuah fakta yang benar.Memang Azalea salah karena tidak melihat profil dan foto yang dikirim ibunya tapi tetap saja siapa sangka dunia se-sempit ini? Dokter ketus ini ternyata yang ibunya sebut sebagai calon menantu potensial? Azalea tidak mengerti dari sisi mana sang ibu melihat sosok Anselio.Dengan matanya Azalea mengusir Cakra keluar. Cakra menyentuh lehernya canggung, agak merutuki diri sendiri karena tidak memberi tahu Azalea lebih cepat. Laki-laki itu akhirnya keluar setelah mengangguk pamit pada Azalea dan Anselio.“Wah, kamu benar-benar belum tahu?” Kata Anselio sedikit tidak percaya.“Saya tahu, Dok. Mungkin karena kecelakaan itu ingatan saya jadi terganggu.” Azalea beralasan.“Kepala kamu bahkan enggak mengalami cedera berat.” Anselio mendengus ringan.Azalea memberanikan diri untuk menatap iris tajam Anselio sekali lagi. “Dokter enggak sakit hati
Dua hari. Sudah dua hari Damar belum say hello dengan kasur tercintanya di rumah. Padahal ia hanya dokter residen tapi kenapa rasanya seperti orang paling sibuk sedunia?Damar rindu ibunya. Juga anjing kesayangannya yang bernama Ansel. Benar, Ansel. Bukan Anselio. Hanya Ansel. Itu bukanlah sebuah kesengajaan. Damar benar-benar mencari nama yang bagus di internet untuk anjing kesayangannya bahkan sebelum ia mengenal Dokter Ansel.Yang barusan adalah sebuah fakta tidak penting dari seorang Damar.“Bayi Cecil vitalnya gimana?”“Stabil, Dok.”“Mungkin satu atau dua hari lagi bisa keluar dari PICU. Jangan lupa panggil walinya.”“Siap, Dok.”Damar mengerjap memperhatikan bayi kecil yang ada di hadapannya dengan senyum haru. Cecil menderita kelainan jantung bawaan yang mengharuskan ia menggunakan VAD¹ sejak lahir. Untungnya operasi berhasil dan keadaan Cecil sekarang sudah jauh lebih baik berkat ketrampilan Anselio.*/ [1]VAD - alat bantu ventrikel juga dikenal sebagai alat pendukung peredar
“Ini enggak bisa kalau cuma pakai antibiotik.” Gumam Anselio memperhatikan monitornya serius. “Apa penyakit papi saya serius, Dok?” Tanya anak gadis sang pasien. “Iya.” Anselio beralih pada pasien yang duduk di depannya kemudian melirik pada anaknya yang langsung merasa lemas. “Endokarditis infektif. Infeksi pada bagian katup jantung. Kalau enggak cepat ditangani bisa jadi embolisme, penyumbatan pembuluh darah karena gumpalan bakteri.” Jelasnya datar dan cepat. “Ada ruangankan?” Tanya Anselio pada perawat yang ada di ruangannya. “Iya, Dok. Bisa langsung masuk hari ini.” Anselio mengangguk. “Rawat inap mulai hari ini dan operasi secepatnya. Ada jadwal kosong sekitar—tiga hari lagi?” “Penuh, Dok. Malam?” “Iya, malam juga enggak apa-apa. Jangan lupa kabari anestesiologi tiga hari lagi.” Pria paruh baya itu ingin mencoba mengatakan sesuatu. “Maaf, Dok. Anak saya ada perform balet tiga hari lagi dan itu pertunjukannya untuk yang terakhir kali. Karena sibuk saya belum pernah menyaks
“Bu! Bu Azalea?! Ada apa?! Bu?! Bisa dengar saya?! Bu Azalea!” Panggilan yang terdengar di telinga kirinya menyadarkan Azalea.Azalea berusaha mengatur napasnya yang terasa sesak. “Cakra, dengar saya. Ada kecelakaan di jalan Pagar Alam. Tolong telepon ambulans sekarang.” Mata Azalea menyipit memperhatikan situasi di luar mobil. “Mungkin ada beberapa korban lain.” Tambahnya.“Bu Azalea enggak apa-apa?”Azalea tidak menjawab. Saat itu ia menyadari bagian punggung tangan kanannya penuh dengan darah karena pecahan kaca. Sialnya lagi ia tidakbisa menggerakan lengan kanannya. Dengan tangan kiri, Azalea meraih ponsel yang untungnya ia tempatkan di penyangga dasbor mobil. Kemudian Azalea melepaskan seatbelt yang mengikat tubuhnya. Karena tadi mobilnya sempat berada dalam posisi terbalik menyebabkan pintu mobil tersangkut sehingga sulit terbuka.Azalea bisa menoleh ke sekeliling, berarti lehernya baik-baik saja. Sekuat tenaga ia berusaha mendorong pintu mobil untuk terbuka. Pintu itu terbuka k
Menurut rumor, co-ass (co-assistant) adalah satu fase hidup para calon dokter yang menegangkan, menyedihkan, merasa bodoh dan dibodohi, tidak berbeda jauh dengan level keset welcome. Intinya co-ass ada pada tataran terendah di kehidupan rumah sakit.Kisah yang sama mungkin akan terulang pada masa residen. Setidaknya dokter residen sudah dianggap sebagai dokter untuk sebagian kalangan. Berdasarkan derajat, tentu residen lebih tinggi daripada co-ass. Begitulah pemikiran Damar sebelum menjalani pendidikan spesialis di bawah bimbingan dokter spesialis bedah toraks, Anselio Dharmendra yang mempunyai julukan Amon Berjas Putih.Tahu Amon kan? Raja iblis yang mewakili sifat kekejaman. Anselio adalah wujud nyata sosok Amon di rumah sakit ini.Dulu Damar merasa kehidupan co-ass adalah yang tersuram, tapi sekarang kehidupannya sebagai dokter residen juga tak kalah suram berkat kehadiran Anselio sebagai konsulennya.“Siapa yang pegang kamar 314?” Setelah beberapa menit akhirnya suara dingin itu k