Gerhana mengikat satu rambut panjangnya menjadi kuncir kuda. Tidak lupa ia memberi tambahan pita rambut merah muda yang imut abis. Untuk wajah ia hanya memakai sedikit pelembab, bedak tabur, eyeliner dan seulas lip gloss berwarna orange. Ia memandang bayangannya sendiri di kaca meja rias. Hasilnya cukup lumayan. Sebentar lagi ia akan ke Astronomix. Untuk itu ia harus berdandan yang cantik namun tetap natural. Saat ini ia mengenakan kaus putih polos dipadu dengan overall berbahan jeans. Pakaian yang keren namun tetap rapi dan aman. Teman-temannya bahkan Mbak Nuri kerap menertawai cara berpakaiannya. Mereka menyebut style-nya terlalu childish. Tidak sesuai umur. Mungkin ini akibat dari pengaruh ibunya yang suka mendandaninya dengan gaya kanak-kanak yang imut sedari kecil. Gemesin kalau menurut istilah ibunya. Maklum saja ibunya dulu adalah seorang guru TK. Hanya saja gaya childish-nya itu terbawa sampai sekarang. Ia masih suka berdandan ala anak-anak begini. Simple dan praktis. Ia tidak harus memuntir-muntir rambutnya dengan besi panas, atau menggambari wajahnya seperti Selena. Selain ribet lama juga kan dandannya? Itu juga kalau hasil akhirnya bagus? Coba kalau penampakannya seperti boneka Annabelle? Cantik kagak, serem iya.
"Non Nana mau ke mana sih malam-malam begini? Si Mbok khawatir, Non. Takut terjadi apa-apa nanti di jalan." Mbok Wati mengamati majikan mudanya yang sedang bersiap-siap keluar rumah. Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam. Tidak biasanya majikan mudanya ini keluar rumah malam-malam sendirian. Biasanya ia selalu ditemani oleh orang tua atau kakaknya apabila ia memang mempunyai urusan penting di malam hari. Saat ini kedua orang tua Gerhana sedang berada di luar kota. Guruh, kakaknya juga baru saja keluar rumah. Pamitnya akan menghadiri pernikahan salah satu relasinya. Bagaimana ia tidak cemas memikirkan majikan mudanya ini berada di luar rumah malam-malam sendirian?
"Nana cuma mau menjenguk orang sakit kok, Mbok. Mbok tidak usah khawatir ya? Nggak lama kok, Mbok. Paling lama jam setengah sepuluh Nana juga sudah balik." Gerhana mencoba menenangkan hari ART-nya. Mbok Wati ini sudah ia anggap seperti ibu keduanya. Mbok Wati lah yang dulu mengasuhnya apabila ibunya sedang repot dengan urusan rumah tangga lainnya. Tidak heran kalau si Mboknya ini sangat menyayanginya.
"Lah jam setengah sepuluh malam itu sudah larut lho, Non. Atau Mbok telepon Mang Yahya saja ya buat menyopiri si Non?" Mbok Wati merogoh saku daster. Bermaksud mengambil ponsel dan menelepon Mang Yahya. Supir paruh waktu.
"Eh nggak usah, Mbok. Jam kerja Mang Yahya kan sampai jam enam sore aja. Ini sudah di luar jam kerjanya. Biarkan si mamang beristirahat di rumahnya. Nana sebentar aja kok, Mbok. Nana berangkat dulu ya?" Gerhana mencangklong tas dan meraih kunci mobil di atas nakas. Bersiap keluar kamar menuju garasi. Ia sengaja mempercepat langkahnya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan Mbok Wati. Bukan apa-apa, ia takut kelepasan bicara dan misinya menjadi gatot alias gagal total. Ia memang payah kalau harus terlalu lama mengarang bebas.
"Non Nana nggak pamit Den Guruh dulu? Ntar Non dihukum lho kalau keluar rumah malam-malam nggak izin dulu?" Ujar Mbok Wati kalem. Walau kalimat si Mbok terkesan menghimbau, namun ada peringatan yang tersirat di dalamnya. Nah kan! Si Mbok memang piawai sekali memanipulasi keadaan. Si Mbok tahu sekali kalau ia takut pada kakaknya. Makanya si Mbok dengan sengaja menekannya.
"Kalau Nana pamit, ya sudah pasti tidak diizinin sama Mas Guruh. Makanya Nana pamitnya sama si Mbok aja. Hehehe." Gerhana nyengir. "Jangan bilangin Mas Guruh ya, Mbok? Nanti Nana dihukum. Mbok nggak kasihan apa sama Nana? Padahal niat Nana ini baik lho, Mbok. Nana mau menjenguk orang sakit? Jangan bilang apa-apa sama Mas Guruh ya, Mbok? Ya, Mbok ya? Ya... ya... ya?" Gerhana memeluk manja Mbok Wati. Berusaha mengambil hatinya. Ia tahu pada akhirnya si Mbok pasti akan meluluskan permintaannya. Si Mbok terlalu sayang padanya.
"Tapi kalau nanti Den Guruh nanya, Mbok mau bilang apa coba?" Tanya Mbok Wati ragu-ragu. Nah kan! Si Mbok akhirnya luluh juga. Syukurlah.
"Mas Guruh nggak akan bertanya apa-apa, Mbok. Soalnya Nana akan pulang sebelum Mas Guruh pulang. Percaya deh. Nana berangkat dulu ya, Mbok. Assalamualaikum."
Gerhana buru-buru ngacir. Ia takut kalau Mbok Wati akan kembali menemukan cara untuk menahannya lagi. Samar-samar ia mendengar Mbok Wati membalas salamnya dengan tambahan kalimat hati-hati di jalan. Si Mboknya ini memang baik sekali bukan? Oleh karena itu ia tidak akan mengecewakannya. Ia hanya akan menitipkan uang yang sudah ia persiapkan dalam amplop putih pada bouncer di club, dan akan pulang setelahnya. Ia tidak mau melanggar janjinya pada Mbok Wati.
Ia tiba di club pukul delapan lewat tiga puluh menit. Ia sedikit ragu saat berdiri di pintu masuk. Belum masuk saja telinganya telah mendengar irama musik EDM yang memekakkan telinga. Belum lagi suasananya yang remang-remang seperti ini. Ia takut kalau nanti salah mengenali orang. Apalagi jika memikirkan kemungkinan akan bertemu dengan Abizar atau malah Om Axel sekalian. Auto mampus ia dihajar kedua orang tua dan kakaknya. Sebaiknya ia mempercepat saja segala urusannya di sini. Dengan mantap ia melangkah ke pintu masuk. Mengekori mas-mas berjas formal dan mbak-mbak yang memakai baju kurang bahan.
"Kamu yang berkuncir kuda berhenti di tempat. Hanya orang dewasa atau yang berusia 21 tahun ke atas yang boleh masuk. Kalau anak SMP, tidak boleh!" Seorang security berseragam hitam-hitam menahannya di pintu masuk. Ia merasa terhina seketika. Usianya sudah dua puluh dua bahkan dua puluh tiga, empat bulan lagi. Ia bahkan sudah lulus S1 dua bulan lalu. Masa ia disangka murid SMP? Benar-benar pembunuhan karakter ini mah!
"Saya sudah berusia 22 menjelang 23 tahun, Om security yang terhormat. Masa saya tidak boleh masuk?" Gerhana berkacak pinggang. Ia kesal karena disangka masih anak-anak. Mendengar jawabannya, security yang satu lagi mendekat. Mungkin ia ingin memastikan ucapannya. Apa benar ia sudah berusia hampir 23 tahun. Ia kini dipandangi lekat-lekat oleh dua orang security yang menyangsikan kebenaran usianya.
"Masa sih kamu ini sudah berusia hampir dua puluh tiga tahun?" Security yang kedua pun ternyata tidak mempercayainya. Wah bener-bener kebangetan. Ia merasa jalan satu-satunya adalah ia harus menunjukkan KTP-nya.
"Ya benar lah, Om Security. Kalau tidak percaya lihat ini ada K--"
"Maaf Bang Ray, Bang Boy. Ini adik gue." Seseorang menarik lengannya.
Tangguh! Bagaimana ini? Padahal niatnya hanya ingin menitipkan uang pada salah satu bouncer untuk diteruskan pada si Tangguh ini. Tak disangka tak dinyana, orangnya malah muncul duluan.
"Oh adek lo toh, Guh? Baik-baik lo jaga anak perawan. Mana masih abege begini lagi," Gerhana cemberut. Ia masih tidak terima dianggap sebagai anak SMP. Orang tuanya telah menghabiskan berkarung-karung beras untuk membesarkannya. Masa sih tidak ada hasilnya?
"Iya, Bang. Gue juga nggak nyangka kalau si--" Tangguh menghentikan kalimatnya. Ia tidak tahu siapa nama gadis keras kepala ini.
"Nana. Nama saya Gerhana," bisik Gerhana pelan. Walau pun kesal tetapi ia tidak mau membuat Tangguh malu karena kebohongannya terbongkar.
"Kalau si Na--Nana ini nekad mencari gue sampai ke sini," lanjut Tangguh tergagap. "Gue bawa Nana ke luar dulu ya, Bang?" Tangguh bermaksud membawa Gerhana ke parkiran dan mengusirnya pulang. Hanya saja ia tidak mengira kalau gadis keras kepala ini malah berlari masuk ke dalam club. Gadis ini memang benar-benar menyusahkan!
Akan halnya Gerhana yang penasaran dengan suasana club malam yang hanya bisa ia lihat di film-film, memutuskan untuk melihat-lihat sebentar. Lagi pula kalau ia masuk, pasti Tangguh akan ikut masuk juga. Jadi gampang kan memberikan uangnya? Tidak main petak umpet melulu? Kecerdasan tingkat tinghinya ini memang mengagumkan bukan? Hehehe. Tidak apa-apa kan memuji diri sendiri? Hitung-hitung latihan meningkatkan kadar kepedean diri.
Saat pertama sekali memasuki ruangan remang-remang ini, ia dimanjakan dengan lampu warna-warni yang indah. Berkelap-kelip karena suasana ruangan yang cenderung gelap. Secara keseluruhan, ia merasa seperti tengah dikerumuni oleh ribuan kunang-kunang yang beterbangan. Musik EDM-nya juga lumayan familiar di telinganya. Female DJ-nya bukan seksi lagi, tetapi nyaris seperti telanjang. Hanya bra hitam berenda dan secarik kain tipis yang menutupi area bawah perutnya. Pantas saja para laki-laki suka ke tempat ini. Banyak penampakan-penampakan indah rupanya. Ada sekelompok wanita dan pria yang duduk bergerombol di sudut ruangan. Mereka tertawa-tawa sembari menyesap minuman warna-warni di gelas kecil. Ada yang berwarna merah seperti sirup Marja* dan juga yang berwarna biru mirip spirtus. Mereka semua terlihat terlalu gembira hingga nyaris menyerupai orang gila. Bagaimana tidak mirip orang gila, soalnya setiap salah seorang dari mereka berbicara beberapa patah kata saja, langsung disambut tawa meriah oleh semua teman-temannya. Ia tidak yakin apa mereka sungguh-sungguh memahami apa yang lawan bicara mereka katakan. Pokoknya asal tertawa saja. Mirip orang gila kan?
Setelah benar-benar menginjakkan kaki ke tempat yang dilabeli kata tabu oleh keluarganya ini, ia bisa menarik satu kesimpulan. Tempat ini sebetulnya bukan tempat untuk bersenang-senang. Tetapi tempat untuk melarikan diri dari sesuatu. Entah itu lari dari masalah pekerjaan, percintaan atau apapun. Ia berani mengatakan hal itu setelah mengamati wajah-wajah penikmatnya. Mereka semua memang tertawa-tawa. Tetapi tawa mereka tidak sampai ke mata, apalagi ke hati. Mereka terkesan gembira, tetapi ekspresi mereka hampa. Ini malah namanya bukan club malam. Tapi tempat pelarian.
Kini ia mengamati orang-orang yang sedang bergoyah heboh di dance floor. Ada yang bergoyang seksi, goyang santai, goyang dumang sampai yang bergoyang ala jurus k****u master. Mungkin ia sedang hang over. Semakin lama menjadi pengamat, ia seolah-olah terlempar dalam dimensi lain. Seumur-umur ia tidak pernah berada di tempat yang seperti ini.
"Sudah puas, anak kecil? Kalau sudah, silahkan pulang. Ini bukan tempat kamu?" Tanpa menoleh pun ia tahu siapa yang berbicara tepat di telinganya ini. Siapa lagi kalau bukan Tangguh?
"Bukan tempat saya? Siapa bilang? Ini tempat umum. Siapa saja boleh datang ke sini asal mampu membayar," pungkasnya ketus. Ia membuka resleting tas. Mengeluarkan sebuah amplop putih.
"Nih. Saya titip amplop ini buat ibunya Abang. Sudah, jangan serem begitu mukanya. Ck! Saya ulangi ya, buat ibunya Abang. Bukan buat Abang. Jelas?" Ia meraih tangan besar Tangguh. Meletakkan amplop di telapak tangannya serta menutup tangan besar itu kembali. Tugasnya usai sudah. Sebaiknya ia kembali saja ke rumah. Mbok Wati pasti belum tenang sebelum ia pulang. Baru saja berjalan beberapa langkah, ia merasa seseorang menarik kuncir buntut kudanya.
"Ambil kembali uang kamu, Bocah! Saya sudah bilang kalau saya tidak membutuhkan uangmu. Kamu belum pikun 'kan?"
"Adududuh... jangan ditarik dong kuncir saya. Tuh kan pitanya jadi rusak!" Seru Gerhana kesal. Tangguh menarik rambut sekaligus pita merah mudanya. Alhasil perekat pitanya lepas. Menyisakan karet hitamnya saja.
"Makanya kamu jangan ngeyel. Saya tidak suka menjilat ludah saya sendiri. Sekali saya mengatakan tidak, sampai kapan pun tetap tidak. Paham kamu!" Tangguh gantian menjejalkan amplop itu ke tangan Gerhana. Ia sampai kehabisan akal untuk menghadapi bocah nakal ini. Entah dari mana bocah ini mengetahui tempat kerjanya. Tanpa banyak bicara lagi ia segera meninggalkan bocah keras kepala itu. Kalau dibiarkan pasti lama-lama ia akan bosan dan akhirnya pulang juga. Hanya saja ia khawatir melihat tatapan penuh hasrat dari beberapa om-om senang dan para executive muda yang terus mengintai gerak-gerak si bocah. Para pemain lama seperti mereka-mereka ini tahu saja mana mangsa yang masih fresh untuk dikelabuhi. Tidak mungkin ia membiarkannya berkeliaran bebas seperti ini tanpa ia awasi. Ternyata ia masih punya hati nurani juga. Padahal ia mengira kalau hati nuraninya sudah lama mati.
Gerhana meradang. Ia tidak terima niat baiknya diacuhkan begitu saja oleh Tangguh. Pokoknya sebelum uang ini sampai ke tangan Bu Wardah, ia tidak akan menyerah begitu saja. Dengan cepat ia mengekori langkah-langkah Tangguh. Ia ingin melihat sehebat apa kesabaran si abang preman ini kalau terus ia kintili.
Mari kita adu kesabaran, Bang!
"Ngapain kamu mengikuti saya? Saya mau bekerja."
Nah kan!
"Saya kan hanya mau menunjukkan tanggung jawab saya pada ibunya Abang. Dan kalau boleh, saya juga ingin menjenguk ibunya Abang. Masa begitu saja tidak boleh?"
"Ibu saya tidak apa-apa. Lagi pula ibu saya juga sudah memaafkan kamu? Mengenai gerobak martabak, itu juga sudah saya perbaiki. Saya tidak butuh uang kamu. Jadi kamu tidak usah terus mengikuti saya. Nanti orang-orang mengira kalau saya itu mau memalak kamu lagi!"
"Mana bisa begitu? Kata orang tua saya kalau kata maaf itu berguna, pengadilan itu tidak ada dan penjara bakalan kosong semua. Maaf itu penting. Hanya saja ada sanksi yang juga menyertainya. Saya dididik untuk selalu bersikap penuh tanggung jawab. Jadi saya tetap akan mengganti uang perbaikan gerobak dan wajib untuk menjenguk ibunya Abang."
Gerhana melihat Tangguh membuka mulutnya, namun akhirnya menutupnya kembali. Sepertinya ia sudah kehabisan akal untuk menghadapinya. Hah, si abang preman ini tidak tahu saja bagaimana keras kepalanya ia kalau sudah punya mau. Batu karang mah lewat! Dilewati air laut maksudnya. Hehehe.
"Ya sudah. Saya akan membawa kamu menemui ibu saya. Tapi ingat, setelah itu kamu jangan pernah menampakkan batang hidung kamu lagi di hadapan saya atau ibu saya. Berjumpa dengan kamu membuat kami tertimpa sial saja!"
Akhirnya, ia menang juga kan? Siapa dulu, Nana gitu lho!
"Kamu ini sedikit-sedikit bilang saya tidak dididik untuk begini begitu. Memangnya orang tua kamu itu guru agama ya?"
Wah, belum tahu si abang preman orang tua gue itu siapa? Siap-siap sakit jantung ye, Bang? Hehehe.
"Ibu saya dulunya guru TK." Sahutnya kalem.
"Pantas saja. Kalau ayah kamu? Guru agama?"
Satu, dua, tiga!
"Bukan. Ayah saya itu polisi. Nama ayah saya Jendral Badai Putra Alam." Sahutnya dengan gaya jumawa. Ia puas sekali bisa menakut-nakuti si abang preman ini.
Hehehe. Jantungan, jantungan lo sana!
"Bagus! Kalau begitu ayo, saya akan mengantar kamu pulang. Saya ingin menemui ayahmu, dan memintanya untuk mencabut SIM A kamu, karena kamu terbukti tidak kompeten dalam menyetir sehingga merugikan orang lain!"
Mampus! Kok hasil akhirnya jadi begini sih? Salah gertak ini mah!
"Tapi--tapi---" Gerhana tergagap."Tidak ada kata tetapi. Bukannya tadi kamu bilang kalau kamu itu selalu dididik menjadi orang yang bertanggung jawab? Ini adalah saat yang paling tepat untuk membuktikan semua omonganmu."Tangguh berjalan cepat melewati rombongan muda-mudi yang baru saja masuk. Malam minggu seperti ini club memang sedang ramai-ramainya. Pekerjaannya pasti menumpuk malam ini. Kalau sudah mabuk biasanya mereka ini cenderung suka membuat keributan. Dimulai dari saling pandang dan tidak sengaja tersenggol, bisa menjadi pemicu perkelahian. Dan tugasnyalah meredam semua kemungkinan-kemungkinan buruk itu. Sebaiknya ia mengurus bocah ini secepatnya dan segera kembali ke sini.Saat melewati beberapa laki-laki yang sedang hang over, ia menepis tangan-tangan jahil yang berniat untuk menyentuh Gerhana. Mata-mata penuh nafsu juga memandangi bocah ini dengan penuh minat. Walaupun memakai overall jeans, tapi kaus
Tangguh memeriksa penampilannya sekali lagi. Sebisa mungkin menutupi luka-luka di tubuhnya dengan jaket. Kedua sikunya yang beset karena tergesek aspal, telah ia obati seadanya. Hanya saja luka di keningnya tidak bisa ia tutupi. Ia sudah mencoba mengakalinya dengan menempelkan tiga buah hansaplast sekaligus. Overall, lumayanlah. Setidaknya luka-lukanya sudah tidak terlalu kentara. Bukan apa-apa. Ia hanya tidak suka membuat ibunya khawatir. Setelah merasa penampilannya cukup baik, barulah ia mengetuk pintu."Astaga, kamu kenapa, Guh? Kok keningmu bisa terluka?" Belum sempat menjawab pertanyaan ibunya, aksi ibunya telah membungkam apapun alasannya. Ibunya membuka jaketnya begitu saja. Luka-luka di kedua sikunya yang tergesek aspal terlihat juga oleh ibunya. Ibunya ini memang sudah sangat hapal dengan segala tindak tanduknya. Ia tidak pernah mempercayai begitu saja ucapannya tanpa membuktikannya secara langsung."Jangan bilang kalau kamu habis
Waktu telah menunjukkan pukul dua belas siang, tapi Gerhana dan Bagas masih berkutat dengan desain dan hitungan-hitungan perencanaan struktur bangunan. Kertas-kertas gambar bertebaran. Penuh coretan sebagai tanda akan adanya revisi besar-besaran. Divisinya memang memang merevisi habis-habisan desain gambar akibat kontruksi yang rubuh kemarin. Masalah tanah yang lembek, debit air, proteksi lereng, ia perhitungkan dengan matang sesuai dengan permintaan Pak Antonio kemarin. Seharusnya proyek apartemen ini dipegang oleh anak-anak divisi II di bawah kepemimpinan Ramzi. Namun karena Ramzi telah dipecat secara tidak hormat oleh Abizar, team divisi II pun bubar jalan. Alhasil team divisi I lah yang maju, di bawah kepemimpinan Abizar langsung sebagai kepala proyek. Makanya sekarang divisinya sibuk bukan kepalang. Bayangkan saja, teamnya memegang dua proyek besar secara bersamaan."Lo besok beneran mau ikut ke proyek, Na?" Bagas membuka pembicaraan disela-sela kesib
Gerhana memeriksa sekali lagi penampilannya. Sebentar lagi ia akan ikut meninjau proyek di lapangan. Hari ini ia mengenakan baju safari dan celana berpipa lurus khas para pekerja kontruksi proyek. Untuk pertama kalinya ia bergaya macho setelah biasanya ia selalu tampil ala-ala abege yang girly. Lihatlah baju safari berwarna coklat muda list hitam ini nyaris menenggelamkan tubuhnya. Gerhana sampai harus melipat lengan bajunya berkali-kali baru tangannya bisa terlihat. Belum lagi celana panjangnya yang kerap melorot dan nyaris jatuh apabila ia tidak mengikatnya kencang dengan ikat pinggang. Tapi jatuh-jatuhnya jadi terlihat jelek. Bagian pinggang celananya mengkerut seperti berkaret karena kebesaran. Ditambah dengan sepatu proyek steel toe boots yang berfungsi untuk melindungi jari-jari kakinya dari kejatuhan bahan-bahan bangunan di lapangan, satu kata yang bisa ia simpulkan. Penampilannya aneh! Oh ya, belum lagi helm proyek berwarna putih yang ia kenakan di atas buntut kudanya. Penam
Gerhana menatap nanar taksi online yang meninggalkannya sendirian. Ia sadar keberadaannya sendirian di tempat ini sangat beresiko. Sedikit saja ia salah bersikap, fatal lah akibatnya. Oleh karena itu, walaupun sesungguhnya ia sangat ketakutan, tetapi ia tetap berusaha bersikap tenang. Keselamatannya tergantung pada pengendalian dirinya sendiri. Dengan catatan, kalau ia beruntung.Puluhan orang langsung mengepungnya saat melihatnya turun dati mobil. Mengelilinginya diiringi dengan bentakan dan makian tentang ketidak adilan masalah ganti rugi lahan. Semakin lama semakin banyak orang yang merubunginya, Gerhana semakin gugup. Ia benar-benar dikepung dari segala arah saat ini. Ia tidak punya ruang untuk bergerak."Mengapa tanah saya tidak diberi uang ganti rugi padahal saya sudah puluhan tahun tinggal di sini?" Beberapa laki-laki yang ada di depannya langsung mencecarnya. Massa yang lainnya mengamini sambil meneriakkan kata tidak adil
Jaka mondar-mandir di area parkir cafe. Sebentar-sebentar ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Si dilema belum bisa keluar-keluar dari kepalanya. Ia takut kalau Tangguh sampai celaka. Belum lagi kehadiran Badra yang terus saja memaki-makinya karena membuat Tangguh terlibat dalam masalah. Kepalanya sampai mau pecah dipaksa berpikir ke sana ke mari menebak-nebak hal yang belum pasti. Sebenarnya ia juga tidak berniat membuat posisi Tangguh dalam bahaya. Hanya saja kalau Gerhana sampai kenapa-napa, kan kasihan Tangguhnya juga. Ia tahu jalau Tangguh itudiam-diam suka memandangi photo Gerhana di ponselnya. Ada berbagai pose Gerhana yang disimpan rapi Tangguh di sana. Ada pose Gerhana yang sedang tertawa, cemberut sampaimangap karena menguap ada di galerinya. Di photo-photo itu pakaian Gerhana selalu berbeda-beda. Itu artinya Tangguh sering membayangi Gerhana dan memotretnya secara diam-diam bukan?Nah, coba kalau
Gerhana gelisah. Sudah hampir satu jam ia menunggu kemunculan Jaka di ujung jalan kafe. Semalaman ia tidak bisa tidur memikirkan keadaan Tangguh. Antonio dan Tangguh sama-sama terluka. Hanya saja Antonio kemarin telah mendapatkan pertolongan pertama di rumah sakit terbaik dengan pelayanan kualitas terbaik juga. Sementara Tangguh entah bagaimana nasibnya. Kemarin hampir bisa dikatakan ia telah seharian di rumah sakit menjaga Antonio. Alih-alih mengucapkan terima kasih, ia malah dijadikan kacung di sana. Antonio benar-benar menjadikannya seorang perawat merangkap pesuruh pribadi. Walau sempat kesal tapi ia berusaha ikhlas menjalankan segala titah Antonio. Hitung-hitung membalas budi. Lagi pula toh hanya sehari. Makanya ia tetap berusaha tersenyum manis dan memanjangkan sabarnya menghadapi segala keabsurban Antonio.Dan hari ini ia berencana untuk menjenguk Tangguh. Ia harus bersikap adil bukan? Setelah urusannya dengan Antonio selesai, ia akan berterim
Saat membuka celana kain bahannya, Gerhana menghela napas kasar. Apa yang diduganya ternyata benar. Pembalutnya sudah penuh sementara ia lupa membawa pembalut. Pelupanya memang sudah akut. Padahal tadi pagi ia sudah mengeluarkan dua buah pembalut dari laci dan meletakkannya di atas meja rias. Tinggal dimasukkan ke tas saja. Nah, bagian memasukkannya ke dalam tas itulah yang ia lupa. Memanglah benar kata pepatah, jangan suka menunda-nunda sesuatu. Akibatnya ya begini ini. Sekarang bagaimana coba? Tidak mungkin ia meminjam pembalut pada Tangguh bukan? Meminta Tangguh mencari pembalut Bu Wardah pun sepertinya tidak mungkin juga. Jangan-jangan Bu Wardah malah sudah menopause. Satu-satunya cara hanyalah meminta tolong Tangguh untuk membelinya. Masalahnya apakah Tangguh mau? Membeli pembalut bagi seorang laki-laki pasti dianggap tabu. Lain cerita kalau laki-laki itu sudah beristri. Tangguh ini selain bukan siapa-siapanya, preman lagi. Pasti ia akan mengamuk kalau diminta untuk membeli pem