Waktu telah menunjukkan pukul dua belas siang, tapi Gerhana dan Bagas masih berkutat dengan desain dan hitungan-hitungan perencanaan struktur bangunan. Kertas-kertas gambar bertebaran. Penuh coretan sebagai tanda akan adanya revisi besar-besaran. Divisinya memang memang merevisi habis-habisan desain gambar akibat kontruksi yang rubuh kemarin. Masalah tanah yang lembek, debit air, proteksi lereng, ia perhitungkan dengan matang sesuai dengan permintaan Pak Antonio kemarin. Seharusnya proyek apartemen ini dipegang oleh anak-anak divisi II di bawah kepemimpinan Ramzi. Namun karena Ramzi telah dipecat secara tidak hormat oleh Abizar, team divisi II pun bubar jalan. Alhasil team divisi I lah yang maju, di bawah kepemimpinan Abizar langsung sebagai kepala proyek. Makanya sekarang divisinya sibuk bukan kepalang. Bayangkan saja, teamnya memegang dua proyek besar secara bersamaan.
"Lo besok beneran mau ikut ke proyek, Na?" Bagas membuka pembicaraan disela-sela kesibukan revisi. Gerhana menganggukkan kepalanya seraya terus mencorat- coret gambar. Mau bagaimana lagi. Dari pada perusahaan mendapat penalty karena dianggap melanggar perjanjian, lebih baik ia mengalah. Toh orang-orang terlibat dari divisinya juga.
"Sebenernya lo bisa nolak kan? Lo kan cuma arsitek. Bukan bagian perencanaan dan kontruksi. Emang sih kehadiran lo diperlukan untuk mengecek kondisi lapangan sesekali. Tapi kan nggak setiap hari begini. Kehadiran lo bisa diwakilkan oleh gue. Jatuh-jatuhnya kok gue merasa lo itu kayak dikerjain Pak Antonio." Sebagai teman yang baik, Bagas tetap menasehati Gerhana. Bukan apa-apa, ia hanya tidak suka melihat adanya bentuk penindasan terselubung. Dari pertama bertemu saja, ia sudah merasa kalau Pak Antonio itu bersikap terlalu berlebihan terhadap Gerhana. Pak Antonio bahkan menciptakan satu kondisi di mana Gerhana dipersalahkan atas segala sesuatu di luar tanggung jawabnya. Sementara bocah lugu ini sama sekali tidak peka terhadap modus-modus terselubung seperti ini.
"Gue penasaran. Lo pernah ngapain itu Pak Antonio sampai dia kayak antara dendam dan cinta gitu sama lo?" Tanya Bagas lagi. Ia belum puas kalau belum menemukan titik terang kecurigaannya.
"Dendam dan Cinta? Kok jadi kayak judul sinetron?" Gerhana terbahak. Sepertinya Bagas ini cocoknya menjabat sebagai seorang JUPER di kepolisian. Tingkat kekepoannya di luar batas rata-rata manusia.
"Seinget gue sih, gue kagak pernah tuh nyenggol dia. Cuma ya, klan Brata Kesuma kan emang rata-rata reseh sih. Suombong dan belagu. Lo belum ke temu Graciela, adik perempuan Pak Antonio. Wah parah rah rah belagunya. Kecuali bokapnya si Antonio sih. Om Sergio mah baik. Lucu lagi. Hehehe." Gerhana membalas sambil lalu pertanyaan Bagas. Perhatiannya kini tercurah pada laptop yang masih menyala. Ia sedang membuat rendering dua dimensi untuk menunjukkan atribut yang akan ia usulkan dalam presentasi nanti. Ia menggunakan perangkat lunak tiga dimensi agar hasilnya semakin optimal.
"Duileh, lo bedua masih getol aja kerja udah jam segini. Ayo kita makan dulu, Na, Bagas." Pintu ruangan terbuka. Menghadirkan kepala Selena yang melonggok dari balik pintu. "Lo duluan aja, Len. Gue ntar-an aja. Lagi nanggung." Mendengar jawabannya Selena hanya menunjukkan jempolnya dan menutup kembali daun pintu. Ia tahu kalau Gerhana sedang serius, ia tidak suka diganggu. Gerhana meminta pendapat Bagas soal beberapa sketsa dasar. Bagas mendekati laptop dan memperhatikan bagian-bagian yang ditunjuk oleh Gerhana. Kepala mereka saling berdekatan saat memperhatikan satu objek gambar. Saking seriusnya bekerja mereka sampai tidak mendengar pintu ruangan yang dibuka dan ditutup kembali.
"Saya memberikan tanggung jawab kepada divisi I dengan harapan mendapatkan hasil yang maksimal. Kalau ternyata individu-individunya malah sibuk berpacaran seperti ini, saya tidak yakin kalau proyek ini akan selesai tepat waktu."
Anjay... Pak Antonio sudah nongol lagi aja. Sepertinya kantor mereka akan terus ia satroni selama proses kontruksi. Punya boss modelan Abizar saja bisa membuat stroke dini, apalagi ditambah dengan Pak Antonio. Pasti bisa membuatnya terserang meningitis.
"Memangnya kita sedang pacaran ya, Gas?" Tanya Gerhana kesal. Ia sengaja menyindir Pak Antonio dengan bertanya sarkas pada Bagas.
"Kalau melihat coretan kertas gambar berikut teman-temannya di sini sih, tidak. Kalau seseorang mata batinnya bersih, ia pasti tahu kalau kita ini sedang bekerja keras. Saking kerasnya kita sampai belum sempat makan siang," balas Bagas tak kalah getas. Bagas ini modelnya memang seperti ini. Kalau ia tidak salah, jangan harap ia akan mengalah. Tetapi kalau sudah menyangkut masalah loyalitas dan totalitas dalam bekerja, dua jempol patut diacungkan padanya. Makanya Abizar tetap mempertahankannya walau tajam mulutnya memang di atas rata-rata.
"Oh, jadi kamu belum sempat makan siang? Kalau begitu, ayo ikut saya mengisi perut dulu. Kebetulan saya juga belum makan. Selain itu ada beberapa hal menyangkut masalah pekerjaan yang ingin saya diskusikan denganmu,"
"Baiklah, kalau Bapak memaksa," Gerhana membereskan mejanya. "Ayo Gas, kita makan dulu. Mumpung ada yang menraktir, lo bisa makan sampai semua sisi-sisi perut lo penuh." Bisik Gerhana lirih di telinga Bagas.
"Saya hanya mengajak kamu saja. Ada etikanya, jika kita diajak oleh seseorang, tidak sopan jika kita mengajak orang lain juga," Gerhana menghitung sampai lima dalam hati. Pak Antonio ini sudah sombong, eh ngomongnya nyelekit lagi. Ia jadi tidak enak dengan Bagas.
"Biarkan saja drafter kamu ini menunjukkan etos kerjanya sebagai staff yang loyal pada perusahaan. Siapa tahu dia akan segera dipromosikan oleh Pak Abizar menggantikan Pak Ramzi." Sambungan kata-kata Pak Antonio membuat Bagas mendengus.
"Iya, Na. Lo ikut aja sama Pak Antonio ini. Gue sih ogah kalau cuma dijadiin obat nyamuk di tengah-tengah orang yang lagi usaha. Kuping gue suka gatel-gatel kalau mendengar nada-nada berbau modus." Balasan Bagas tidak kalah pedasnya. Sebelum perseteruan bertambah panjang, Gerhana segera berjalan keluar ruangan. Menghindari saling jual beli kata Pak Antonio dan Bagas. Kalau tidak segera dipisah besar kemungkinan mereka akan meneruskan perseteruan dengan kepalan tangan. Namanya juga laki-laki. Pantang disenggol egonya.
Lima menit kemudian mereka telah meluncur menuju salah satu restaurant yang dipesan via telepon oleh Pak Antonio. Ternyata Pak Antonio membawanya ke restaurant terkenal yang terkenal bisa membuat kantong koyak dalam sekali makan. Namaaz Dining di daerah Senopati. Selain mahal, penyajian makanan di sini juga unik bin aneh. Karena menggunakan teknik Gastronomi Molekuler, menu-menu di restauran ini ada yang bisa meledak sendiri, berbentuk abstrak hingga super aneh. Ia bisa jantungan makan di sini. Bayangkan, ia pernah kaget saat makan Carica. Manisan asli Dieng Wonosobo yang mengeluarkan busa seperti detergen saat ia siram dengan air lemon. Ada juga menu kue clorot khas Bali yang dibuat dalam kemasan lipstick. Bayangkan, lipstick! Dan anehnya lagi, lipsticknya ini bukan hanya bisa dimakan, tapi juga bisa digunakan seperti lipstick biasa karena ada pewarna merahnya. Sebenarnya ia tidak suka makan di tempat seperti ini. Tidak worth it menurutnya. Sudah mahal, makannya jantungan, eh porsinya sedikit lagi. Tapi ini sifatnya subjektif ya? Menurutnya pribadi. Tapi bagi food hunter, tempat ini pasti memuaskan rasa ingin tahu mereka.
Setengah jam kemudian mereka telah sampai di lokasi. Saat Gerhana melihat tukang parkirnya yang berteriak heboh maju, mundur, kanan kiri balas, ia tertawa seketika. Dunia ini kecil ternyata. Karena tukang parkirnya adalah Bang Jaka. Preman bertubuh Rambo namun berhati Rinto. Bang Jaka langsung menepuk keningnya saat melihatnya turun dari mobil. Gerhana auto nyengir.
"Etdah, lo lagi... lo lagi. Kenapa hidup gue muter-muter terus di lo, bocah? Mana gue selalu sial lagi kalo ketemu lo." Omelan Jaka semakin melebarkan cengirannya.
"Ahelah si Abang kok suudzon terus sih sama saya. Emangnya kapan dan di mana saya membuat Abang sial? Abang tau nggak kalau menuduh tanpa bukti itu disebut fitnah. Abang bisa dilaporkan ke polisi karena melanggar pasal 311 ayat 1 KUHP tentang fitnah." Goda Gerhana lagi. Entah mengapa ia suka sekali mencandai Jaka. Bagi orang yang tidak mengenalnya, mungkin mereka akan takut apabila melihat wajah sangar dan tubuh besarnya. Tetapi jika mereka sudah mengetahui kepribadiannya, Jaka ini sesungguhnya baik dan peka. Penampilan memang bisa menipu.
"Fitnah apaan? Lo lupa kapan hari gue ngasih tau lo tempat kerjanya si Tangguh. Nah karena gue takut ntar lo dimacem-macemin orang di sana, gue tungguin lo di kios rokok Cang Sueb. Jaga-jaga kalo lo di mangsa orang. Eh rupanya ketahuan sama si Tangguh. Nih liat, jadi dendeng balado gue dihajar si Tangguh," Jaka menunjuk hidung dan pipi kanannya yang memar. Bagaimana ini bisa lo bilang fitnah?" Sembur Jaka kesal. Yang benar saja. Ia sudah berbuat baik malah mau diadukan ke polisi. Dasar bocah!
"Ck! Jahat amat ya si Tangguh. Sadis!" Gerhana pura-pura prihatin pada Jaka dan menjelek-jelekkan Tangguh. Maksudnya agar Jaka senang karena ada pembela.
"Kagak lah. Tangguh mah orangnya baik budi, kagak jahat. Emang gue yang salah juga sih kadang kagak bisa ngerem mulut gue. Cuma yaitu, kadang gue suka kelepasan kalo ngomong sama lo, bocah. Akhirnya malah gue sendiri yang susah. Lo mau makan kan? Ya udah sono masuk. Ntar lama-lama lidah gue nyelip lagi." Jaka mengusirnya halus. Gerhana hanya tertawa geli. Lihatlah sesungguhnya preman ini baik hati.
"Ayo masuk, Hana. Untuk apa kamu meladeni orang seperti ini?" Pak Antonio menunjuk Jaka dengan dagunya.
Masuk, Pak Eko!
"Orang seperti ini?" Jaka menunjuk dirinya sendiri. "Emangnya gue seperti apa?" Tanyanya kebingungan. Jaka ini memang polos. Gerhana buru-buru menarik lengan Pak Antonio. Ia takut nanti Jaka tersinggung dan mereka berdua baku hantam alih-alih makan. Pak Antonio pasti jadi perkedel jika digebuk oleh Jaka yang memang menjadikan perkelahian sebagai olah raga. Lama-lama Gerhana merasa harus menjadi wasit terus setiap kali Pak Antonio membuka mulut besarnya.
"Orang yang tidak selevelnya dengan kami." Tukas Antonio kalem.
Lah, malah dijelasin. Kacau ini mah. Kacau!
"Emangnya lo level berapa?"
Lah, makin melebar ke mana-mana.
"Maksud orang ini, dia tidak sama derajatnya dengan kita, Jak..Dia itu orang kaya sementara kita miskin." Tangguh keluar dari tempat persembunyiannya.
Ia memang mengelola perparkiran di daerah ini dan beberapa kawasan lainnya. Sebenarnya ia ingin menghindari Gerhana begitu ia melihat bocah ini turun bersama dengan seorang executive muda. Ia tidak ingin berurusan lagi dengan bocah itu. Hanya saja ia tidak tega melihat Jaka terus menjadi bulan-bulanan executive muda ini. IQ Jaka memang kurang begitu baik. Ditambah ia juga kurang berpendidikan, menjadikannya rentan bully-an yang sifatnya non verbal dari orang-orang yang mengaku cerdas. Sikap seperti itu menurutnya sangat tidak bermoral. Menghina orang yang mempunyai keterbatasan, sesungguhnya lebih hina dari orang yang dihinanya sendiri. Kaya harta, miskin akhlak.
"Oh... jadi maksud lo kita ini berbeda karena gue ini miskin sementara lo kaya? Eh tatakan gelas, walau gue miskin tapi gue kan kagak pernah minta makan sama lo." Jaka langsung panas. Terlahir miskin dan yatim piatu menjadikannya sensitif terhadap hinaan mengenai nasibnya. Gerahamnya gemererak. Kepalan tangannya gemetar. Betapa ingin ia meremukkan mulut sombong laki-laki perlente ini. Hanya saja ada Tangguh di sini. Tangguh selalu mengatakan kalau kita boleh miskin harta, tapi tidak miskin akhlak. Boleh emosi tapi harus bisa mengendalikan diri. Kalau tidak mengerti apa maksud pembicaraan orang lain, sebaiknya diam. Kecuali kalau seseorang itu menyerang duluan. Masalahnya laki-laki sombong ini tidak memukul-mukulnya sedari tadi. Bagaimana ia bisa menyerang besarnya itu bukan?
"Saya tidak bilang begitu. Tapi Anda yang mengucapkannya sendiri. Kejujuran memang sering kali menyakitkan bukan?" Gerhana meremas-remas kedua tangannya. Ia kebingungan berada di antara tiga laki-laki yang memendam kemarahan dengan cara masing-masing. Wajah Jaka sudah berubah ungu saking emosinya. Sedangkan Tangguh dan Antonio, berbeda. Ekspresi keduanya datar. Sulit menerka apa yang ada di dalam hati mereka berdua.
"Jak, itu ada tamu yang mau keluar. Tolong lo atur dulu parkirannya." Tangguh mengusir Jaka secara halus. Walau Jaka ini sesungguhnya berhati halus, tapi kalau sudah tersinggung, ia bisa mengamuk seperti banteng. Kalau sudah sampai pada taraf seperti itu, sulit untuk meredamnya. Setelah Jaka mendengus kasar namun mengikuti juga perintah Tangguh, barulah Tangguh beraksi.
"Jaka dan orang-orang seperti kami ini memang berada di bawah level Anda saat ini. Tapi kan Anda tidak perlu juga menghinanya. Hidup ini bersifat dinamika. Bergerak dari waktu ke waktu. Jaka hari ini memang hanya seorang tukang parkir. Tapi 20 tahun lagi, mungkin ia sudah menjadi seorang pengusaha. Siapa tahu bukan? Wallahualam. Sebaliknya Anda yang hari ini berbangga diri sebagai seorang boss besar, jangan lupa, suatu waktu bisa saja posisi ini menjadi terbalik. Bung, menertawakan nasib orang lain adalah sebuah kenistaan. Hidup ini penuh dengan misteri. Bahkan mungkin saja hari esok bukan lagi milik kita. Karena itu untuk apa menyombongkan diri?" Kalimat demi kalimat yang dilontarkan Tangguh membuat Gerhana tidak enak hati. Tangguh memang tidak melawan dengan kalimat penyangkalan yang meledak-ledak. Ia santun, namun tegas. Gerhana salut akan kedewasan dan pengendalian dirinya. Untuk ukuran seorang preman, Tangguh terlalu pintar. Saat Tangguh membalikkan tubuh, Gerhana sontak meraih pergelangan tangannya. Langkah Tangguh terhenti. Tapi ia sama sekali tidak membalikkan tubuhnya. Gerhanalah yang mengitarinya.
"Bang, saya minta maaf ya?" Tangguh menggelengkan kepalanya. "Kamu tidak salah. Kemiskinan kami bukan kesalahanmu, bukan juga kesalahan temanmu," Tangguh merogoh saku celananya. Ragu-ragu mengeluarkan sesuatu yang sudah beberapa hari ini terus ia bawa-bawa.
"Ini pita rambut merah mudamu yang waktu itu lepas dan jatuh di club. Sudah saya rekatkan dengan karet rambut yang baru. Mudah-mudah masih bisa kamu gunakan." Gerhana tergugu. Ternyata Tangguh masih mengingat pita rambutnya yang lepas. Tangguh bahkan memperbaikinya. Setitik debu pun ia tidak menduganya.
"Oh ya, nanti setelah makan siang, segera kembali ke kantor. Abizar itu orangnya disiplin seperti Om Axel. Kalau kamu berlama-lama di luar, nanti kamu bisa dipecat."
Halah Guh, bilang aja lo nggak nyaman melihat ini bocah berduaan dengan orang songgong itu. Ngeles aja lo kayak bajaj Bang Juri!
Gerhana memeriksa sekali lagi penampilannya. Sebentar lagi ia akan ikut meninjau proyek di lapangan. Hari ini ia mengenakan baju safari dan celana berpipa lurus khas para pekerja kontruksi proyek. Untuk pertama kalinya ia bergaya macho setelah biasanya ia selalu tampil ala-ala abege yang girly. Lihatlah baju safari berwarna coklat muda list hitam ini nyaris menenggelamkan tubuhnya. Gerhana sampai harus melipat lengan bajunya berkali-kali baru tangannya bisa terlihat. Belum lagi celana panjangnya yang kerap melorot dan nyaris jatuh apabila ia tidak mengikatnya kencang dengan ikat pinggang. Tapi jatuh-jatuhnya jadi terlihat jelek. Bagian pinggang celananya mengkerut seperti berkaret karena kebesaran. Ditambah dengan sepatu proyek steel toe boots yang berfungsi untuk melindungi jari-jari kakinya dari kejatuhan bahan-bahan bangunan di lapangan, satu kata yang bisa ia simpulkan. Penampilannya aneh! Oh ya, belum lagi helm proyek berwarna putih yang ia kenakan di atas buntut kudanya. Penam
Gerhana menatap nanar taksi online yang meninggalkannya sendirian. Ia sadar keberadaannya sendirian di tempat ini sangat beresiko. Sedikit saja ia salah bersikap, fatal lah akibatnya. Oleh karena itu, walaupun sesungguhnya ia sangat ketakutan, tetapi ia tetap berusaha bersikap tenang. Keselamatannya tergantung pada pengendalian dirinya sendiri. Dengan catatan, kalau ia beruntung.Puluhan orang langsung mengepungnya saat melihatnya turun dati mobil. Mengelilinginya diiringi dengan bentakan dan makian tentang ketidak adilan masalah ganti rugi lahan. Semakin lama semakin banyak orang yang merubunginya, Gerhana semakin gugup. Ia benar-benar dikepung dari segala arah saat ini. Ia tidak punya ruang untuk bergerak."Mengapa tanah saya tidak diberi uang ganti rugi padahal saya sudah puluhan tahun tinggal di sini?" Beberapa laki-laki yang ada di depannya langsung mencecarnya. Massa yang lainnya mengamini sambil meneriakkan kata tidak adil
Jaka mondar-mandir di area parkir cafe. Sebentar-sebentar ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Si dilema belum bisa keluar-keluar dari kepalanya. Ia takut kalau Tangguh sampai celaka. Belum lagi kehadiran Badra yang terus saja memaki-makinya karena membuat Tangguh terlibat dalam masalah. Kepalanya sampai mau pecah dipaksa berpikir ke sana ke mari menebak-nebak hal yang belum pasti. Sebenarnya ia juga tidak berniat membuat posisi Tangguh dalam bahaya. Hanya saja kalau Gerhana sampai kenapa-napa, kan kasihan Tangguhnya juga. Ia tahu jalau Tangguh itudiam-diam suka memandangi photo Gerhana di ponselnya. Ada berbagai pose Gerhana yang disimpan rapi Tangguh di sana. Ada pose Gerhana yang sedang tertawa, cemberut sampaimangap karena menguap ada di galerinya. Di photo-photo itu pakaian Gerhana selalu berbeda-beda. Itu artinya Tangguh sering membayangi Gerhana dan memotretnya secara diam-diam bukan?Nah, coba kalau
Gerhana gelisah. Sudah hampir satu jam ia menunggu kemunculan Jaka di ujung jalan kafe. Semalaman ia tidak bisa tidur memikirkan keadaan Tangguh. Antonio dan Tangguh sama-sama terluka. Hanya saja Antonio kemarin telah mendapatkan pertolongan pertama di rumah sakit terbaik dengan pelayanan kualitas terbaik juga. Sementara Tangguh entah bagaimana nasibnya. Kemarin hampir bisa dikatakan ia telah seharian di rumah sakit menjaga Antonio. Alih-alih mengucapkan terima kasih, ia malah dijadikan kacung di sana. Antonio benar-benar menjadikannya seorang perawat merangkap pesuruh pribadi. Walau sempat kesal tapi ia berusaha ikhlas menjalankan segala titah Antonio. Hitung-hitung membalas budi. Lagi pula toh hanya sehari. Makanya ia tetap berusaha tersenyum manis dan memanjangkan sabarnya menghadapi segala keabsurban Antonio.Dan hari ini ia berencana untuk menjenguk Tangguh. Ia harus bersikap adil bukan? Setelah urusannya dengan Antonio selesai, ia akan berterim
Saat membuka celana kain bahannya, Gerhana menghela napas kasar. Apa yang diduganya ternyata benar. Pembalutnya sudah penuh sementara ia lupa membawa pembalut. Pelupanya memang sudah akut. Padahal tadi pagi ia sudah mengeluarkan dua buah pembalut dari laci dan meletakkannya di atas meja rias. Tinggal dimasukkan ke tas saja. Nah, bagian memasukkannya ke dalam tas itulah yang ia lupa. Memanglah benar kata pepatah, jangan suka menunda-nunda sesuatu. Akibatnya ya begini ini. Sekarang bagaimana coba? Tidak mungkin ia meminjam pembalut pada Tangguh bukan? Meminta Tangguh mencari pembalut Bu Wardah pun sepertinya tidak mungkin juga. Jangan-jangan Bu Wardah malah sudah menopause. Satu-satunya cara hanyalah meminta tolong Tangguh untuk membelinya. Masalahnya apakah Tangguh mau? Membeli pembalut bagi seorang laki-laki pasti dianggap tabu. Lain cerita kalau laki-laki itu sudah beristri. Tangguh ini selain bukan siapa-siapanya, preman lagi. Pasti ia akan mengamuk kalau diminta untuk membeli pem
"Na--Nana masih di ja--jalan ini, Yah. Sebentar lagi mungkin sampai. Na--Nana terjebak macet ini, Yah." Gerhana terbata-bata menjawab telepon dari ayahnya. Seumur hidupnya ini adalah kali pertama ia membohongi ayahnya. Selama berbicara tangannya terus bergetar. Ada rasa bersalah bercampur takut di hatinya. Gerhana memegangi dadanya. Ia takut kalau suara debaran jantungnya sampai terdengar oleh ayahnya di seberang sana. Belum lagi tatapan mencela Tangguh yang jelas-jelas mencemooh kebohongannya."Kamu itu sedang berbicara dengan seorang Jendral, Nana. Kamu menghina kecerdasan Ayah kalau kamu berbohongnya amatiran seperti ini. Kamu bilang kalau kamu sedang di jalan? Tetapi Ayah jelas mendengar suara televisi, dan beningnya suaramu. Itu artinya kalau saat ini kamu ada di dalam sebuah ruangan. Lain kali, kalau mau berbohong, harus all out. Mengaku sedang on the way misalnya. Minimal kamu harus keluar ruangan. Cari suasana yang bisa meyakinkan alibi kamu. Artin
Tangguh mengikuti langkah-langkah cepat namun teratur khas militer ayah Gerhana. Dalam hati Tangguh mengagumi bahasa tubuh kaku-kaku tegas di diri seorang jendral ini. Orang-orang yang berasal dari dunia militer memang berbeda. Gerak-gerik dan gestur mereka begitu teratur. Begitu juga dengan struktur tubuh mereka yang ramping namun berisi. Rambut cepak mereka mungkin bisa saja ditemukan pada orang-orang sipil biasa. Namun aura tegas dan disiplin mereka, tidak. Kita pasti akan langsung tahu bahasa tubuh orang-orang militer dari cara mereka berjalan saja. Kecuali kalau mereka itu para intelijen atau spionase. Para intel memang tugasnya adalah menyamar. Mereka menyamar untuk mengumpulkan informasi hingga valid, atau melakukan Operasi Tangkap Tangan. Ia tahu bahwa terkadang tukang bakso, tukang siomay bahkan ibu-ibu berhijab di pasar adalah para intel yang sedang menyamar. Kepada mereka ini ia juga salut. Mereka bisa begitu menjiwai peran dan enjoy menjalani berbagai macam profesi penya
Seminggu telah berlalu sejak kejadian Tangguh di sidang oleh ayahnya. Gerhana ingat betapa muramnya wajah Tangguh saat keluar dari ruang kerja ayahnya sendirian. Ia memang sengaja menunggu di ujung koridor. Ia tidak tenang sebelum Tangguh keluar dari ruangan dalam keadaan utuh. Saat tiba-tiba pintu terbuka, ia nyaris terlompat karena kaget.Pandangan mereka kembali bersirobok. Hanya saja ia merasa ada yang berbeda dari sinar mata Tangguh. Jika di dalam ruangan tadi sinar matanya begitu lembut dan menenangkan, namun sekarang sangat berbeda. Tatapannya dingin dan datar. Nyaris sinis malahan. Tatapan inilah yang ia lihat pertama kali saat insiden tabrakan gerobak martabak dulu. Dingin, datar, kejam!"Bagaimana Bang? Ayah percaya kan dengan semua penjelasan Abang?""Semuanya telah usai.""Usai bagaimana maksudnya, Bang?"Gerhana ingat. Ia sampai berlari-lari kecil demi bi