"Na--Nana masih di ja--jalan ini, Yah. Sebentar lagi mungkin sampai. Na--Nana terjebak macet ini, Yah." Gerhana terbata-bata menjawab telepon dari ayahnya. Seumur hidupnya ini adalah kali pertama ia membohongi ayahnya. Selama berbicara tangannya terus bergetar. Ada rasa bersalah bercampur takut di hatinya. Gerhana memegangi dadanya. Ia takut kalau suara debaran jantungnya sampai terdengar oleh ayahnya di seberang sana. Belum lagi tatapan mencela Tangguh yang jelas-jelas mencemooh kebohongannya.
"Kamu itu sedang berbicara dengan seorang Jendral, Nana. Kamu menghina kecerdasan Ayah kalau kamu berbohongnya amatiran seperti ini. Kamu bilang kalau kamu sedang di jalan? Tetapi Ayah jelas mendengar suara televisi, dan beningnya suaramu. Itu artinya kalau saat ini kamu ada di dalam sebuah ruangan. Lain kali, kalau mau berbohong, harus all out. Mengaku sedang on the way misalnya. Minimal kamu harus keluar ruangan. Cari suasana yang bisa meyakinkan alibi kamu. Artin
Tangguh mengikuti langkah-langkah cepat namun teratur khas militer ayah Gerhana. Dalam hati Tangguh mengagumi bahasa tubuh kaku-kaku tegas di diri seorang jendral ini. Orang-orang yang berasal dari dunia militer memang berbeda. Gerak-gerik dan gestur mereka begitu teratur. Begitu juga dengan struktur tubuh mereka yang ramping namun berisi. Rambut cepak mereka mungkin bisa saja ditemukan pada orang-orang sipil biasa. Namun aura tegas dan disiplin mereka, tidak. Kita pasti akan langsung tahu bahasa tubuh orang-orang militer dari cara mereka berjalan saja. Kecuali kalau mereka itu para intelijen atau spionase. Para intel memang tugasnya adalah menyamar. Mereka menyamar untuk mengumpulkan informasi hingga valid, atau melakukan Operasi Tangkap Tangan. Ia tahu bahwa terkadang tukang bakso, tukang siomay bahkan ibu-ibu berhijab di pasar adalah para intel yang sedang menyamar. Kepada mereka ini ia juga salut. Mereka bisa begitu menjiwai peran dan enjoy menjalani berbagai macam profesi penya
Seminggu telah berlalu sejak kejadian Tangguh di sidang oleh ayahnya. Gerhana ingat betapa muramnya wajah Tangguh saat keluar dari ruang kerja ayahnya sendirian. Ia memang sengaja menunggu di ujung koridor. Ia tidak tenang sebelum Tangguh keluar dari ruangan dalam keadaan utuh. Saat tiba-tiba pintu terbuka, ia nyaris terlompat karena kaget.Pandangan mereka kembali bersirobok. Hanya saja ia merasa ada yang berbeda dari sinar mata Tangguh. Jika di dalam ruangan tadi sinar matanya begitu lembut dan menenangkan, namun sekarang sangat berbeda. Tatapannya dingin dan datar. Nyaris sinis malahan. Tatapan inilah yang ia lihat pertama kali saat insiden tabrakan gerobak martabak dulu. Dingin, datar, kejam!"Bagaimana Bang? Ayah percaya kan dengan semua penjelasan Abang?""Semuanya telah usai.""Usai bagaimana maksudnya, Bang?"Gerhana ingat. Ia sampai berlari-lari kecil demi bi
Gerhana membasuh wajahnya dengan air dingin di wastafel. Lumayan. Percikan air yang membasahi wajahnya sedikit banyak ikut mendinginkan hati dan kepalanya yang panas. Hareudang euy. In hale... ex hale... sabar.Udahlah Na, lo nggak perlu memaksakan diri untuk di notice sama Tangguh. Lo itu cuma kebetulan ditolong sama dia. Nggak usah kege-eran perasaan diistimewakan.Mungkin emang udah sifat si Tangguh suka nolongin orang. Bukan cuma lo doang. Berhenti berpikir yang bukan-bukan.Perang batin antara perasaan dan logikanya semakin membuat Gerhana pusing. Ia mengeleng-gelengkan kepalanya. Mengusir bayangan senyum manis yang Tangguh berikan pada Alexa. Baru saja ia hendak mengeringkan wajahnya dengan sehelai tissue, suara jerit tertahan yang dibarengi benda jatuh singgah di telinganya. Penasaran ia melongok keluar. Mengintip dari wastafel sembari menyeka wajah basahnya. Pemandangan tidak biasa menyambutnya. Ramzi jatuh tertelung
"Selamat siang, Pak. Apa terjadi sesuatu di proyek?" Gerhana langsung berdiri. Siaga satu saat melihat Antonio menghampiri mejanya. Bukan apa-apa. Alam bawah sadarnya selalu mendeteksi aura negatif saat client songongnya ini menyapa. Tidak ada berita baik yang pernah keluar dari mulut sianidanya."Apa kamu berharap proyek kita selalu terkena masalah? Ingat, ucapan adalah doa. Jadi biasakan untuk selalu berbaik sangka."Nahkan! Belum apa-apa bawaannya sudah menuduh saja."Bukannya saya berburuk sangka. Tapi biasanya kan berita yang Bapak bawa tidak pernah enak di--aduh!" Gerhana tidak melanjutkan kalimatnya karena kakinya ditendang seseorang di bawah meja. Melihat pelototan Selena, sadarlah ia akan kecerobohannya. Ia memang cenderung suka berbicara sesuai fakta dan non filter. Reaksi otaknya selalu berbanding lurus dengan mulutnya. Hanya saja tidak semua hal bisa dikatakan secara gamblang bukan? Seperti kalima
Mobil yang dikendarai Tangguh baru berjalan beberapa menit, tapi Gerhana sudah tidak tahan berada di dalamnya. Akibat kempesnya ban mobil Antonio, ia terpaksa menerima tawaran Alexa agar menumpang mobilnya saja. Toh tujuan mereka memang searah katanya. Kalau Antonio, jangan ditanya. Mana sudi anak sultan begitu mau menumpang mobil orang. Client songongnya itu memilih menunggu dijemput supir sambil memeriksa CCTV restaurant. Ia mengancam akan menuntut pihak pengelola parkiran apabila terbukti ada oknum yang menyabotase mobilnya. Orang seperti Antonio ini mana terima kalau dicurangi. Pasti ia akan mengusut tuntas sampai ke akar-akarnya.Di sepanjang perjalanan sikap Alexa terhadap romantis sekali. Mulai dari memberi air mineral, permen, sampai mengelap tetesan air yang sedikit tumpah di dagu Tangguh pun semua Alexa yang melayani. Bagaimana hati Gerhana tidak cenat cenut bukan? Walau pun Tangguh itu bukan apa-apanya, tadi ada rasa tidak rela yang mencubiti re
Jam antik di ruang tamu berdentang sebanyak 10 kali. Gerhana yang terus mondar mandir di kamarnya kian gelisah. Berarti waktu Tangguh bertanding hanya tersisa satu jam lagi. Sementara jarak dari rumahnya ke Alcatraz memakan waktu setidaknya satu jam. Kalau ia mengebut pun paling tidak akan menghabiskan waktu sekitar empat puluh menit. Masalahnya sampai sekarang ini ia belum menemukan ide untuk bisa "keluar" dari rumah secepatnya.Sayup-sayup terdengar suara televisi dari ruang tamu. Sepertinya Mbok Wati sedang menonton acara reality show favoritnya. Biasanya setelah acara reality shownya habis, Mbok Wati akan melanjutkan dengan menonton berita-berita kriminal sekitar tanah air. Setelah itu barulah Mbok Wati tidur. Sedangkan kakaknya setelah makan malam tadi langsung masuk ke ruang kerja. Biasanya setelah masuk ke sana, kakaknya akan tenggelam dalam dunianya hingga berjam-jam lamanya. Waktu terus berjalan hingga jam dinding kamarnya menunjukkan pukul 22.30 WIB. I
"Bu Wardah harus di operasi bypass secepatnya. Ada tiga pembuluh darah yang tersumbat di jantung ibu Anda. Kalau hanya dilakukan tindakan pasang cincin, tidak akan efektif. Istimewa ibu Anda juga mempunyai riwayat hipertensi dan diabetes. Hanya saja, karena Bu Wardah menggunakan BPJS, maka beliau wajib menunggu antrian operasi tahun depan. Sementara melihat keadaan ibu Anda yang sudah seperti ini, saya pesimis. Jika dalam waktu seminggu saja tidak ada tindakan operasi, dikhawatirkan keadaannya akan fatal.""Kalau mengunakan dana pribadi, berapa kisaran biayanya, Dok?""Sekitar 80 sampai 500 juta. Besarnya biaya disesuaikan dengan fasilitas dan seberapa banyak pembuluh arteri yang harus diganti. Juga termasuk biaya tenaga medis yang dibutuhkan serta teknologi yang digunakan. Biaya tersebut hanya mencakup tindakan operasinya saja, belum perawatan lainnya."Pembicaraan terakhirnya dengan Dokter Hendrawan terus terbayang-bay
Gerhana merasa ia seperti sedang terhisap pada sebuah pusaran yang tidak berdasar. Berputar-putar dan melayang tanpa ia tahu akan bermuara di mana. Ia ketakutan dan berusaha menggerak-gerakkan tubuhnya. Melawan sekuat tenaga demi tidak terseret arus. Namun ia sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Saat ia ingin berteriak, lidahnya juga terasa kelu. Yang bisa ia rasakan hanyalah gelombang pusaran kegelapan yang menghisapnya kian dalam.Anehnya ia bisa mendengar suara-suara berisik di sekitar walau tidak begitu jelas artinya. Ia mendengar teriakan, umpatan, serta suara orang-orang yang berbicara secara bersamaan. Keadaan menakutkan itu berlangsung sekian lama, sampai lamat-lamat ia mendengar suara panik seseorang yang terus memanggil-manggil namanya."Na... Nana... kamu kenapa? Buka mata kamu, Na? Demi Tuhan. Jangan membuat saya ketakutan!!!""Na! Lo bangun dong, Na? Kalo lo sampe kenapa-kenapa, gu
Tiga bulan kemudian.Gerhana tidak mampu menahan isak tangis saat ijab kabul baru saja berakhir. Sungguh ia tidak sanggup menahan air mata saat melihat ayahnya menangis. Ayahnya, Jendral Badai Putra Alam memalingkan wajah saat mendengar dirinya telah sah menjadi istri Tangguh. Ayahnya bahkan langsung meninggalkan keriuhan acara, dan berjalan menuju kebun belakang. Gerhana tau, ayahnya tidak ingin seorang pun melihatnya menangis."Na, tunggu di sini sebentar ya? Abang mau menyusul ayahmu. Abang ingin berbicara sebagai sesama laki-laki, biar ayahmu tenang. Abang sangat mengerti perasaan ayahmu." Gerhana hanya sanggup mengangguk saat Tangguh ingin menyusul ayahnya. Ada baiknya kalau Tangguh yang lebih dulu menemui ayahnya. Setelahnya barulah ia meyakinkan ayahnya, kalau semuanya akan tetap baik-baik. Baik ia telah menikah ataupun tidak, ayahnya akan selalu ada di hatinya.Tangguh menemukan jendral Badai duduk termenun
"Kita sudah sampai, Dek." Tangguh merasakan satu tepukan ringan di bahunya. Perlahan Tangguh membuka mata. Ia masih mengalami jet lag parah setelah belasan jam berada di atas pesawat. Setelah meregangkan otot-ototnya yang kram, Tangguh memandang rumah besar di hadapannya. Seperti ini rupanya rumah masa kecilnya. Walaupun ia masih belum bisa mengingat secara jelas, namun ada lintasan potongan-potongan kejadian di benaknya. Seperti tangga kayu berukir yang bisa dibuat bermain seluncuran, hingga karpet merah berbulu tebal di ruangan kerja yang dindingnya penuh dengan senjata. Bau amis! Tangguh mendadak bisa mencium aroma amis darah! Astaga, apa yang sedang di pikirkannya? Tangguh menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berusaha mengenyahkan ingat tidak menyenangkan itu dari benaknya. Mungkin itu hanya mimpi masa lalunya."Lo kenapa, Dek? Pusing? Ya udah kita istirahat saja dulu. Lo pasti kena jet lag." Geraldo mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menelepon seseorang. Se
"Gue nggak nyangka, kalau akhirnya akan ipar-iparan dengan lo, Na." Soraya menatap Gerhana antusias. Setelah sekian lama tidak bersinggungan dengan orang-orang di masa lalunya, Soraya tidak mengira akan bertemu dengan Gerhana. Sungguh, ia sangat malu apabila mengingat tingkah lakunya dulu. Oleh karena itulah ia sengaja menghilang. Ia ingin menjadi manusia baru. Tetapi jujur, ada kegembiraan di hatinya, kala bertemu dengan orang-orang di masa lalunya. Bagaimanapun ia pernah melalui hari-hari indah bersama dengan orang-orang yang dikasihinya. Istimewa dengan kedua orang tua angkatnya. Terkadang jikalau rasa rindu itu muncul, ia berusaha menekannya dalam-dalam. Ia tidak mau mengusik hidup Keira dan Keisha. Ia sudah merebut kasih sayang ayah kandung mereka berdua hampir 24 tahun lamanya. Sekarang biarlah mereka berdua menerima limpahan kasih sayang ayah kandung mereka yang baru mereka ketahui."Apalagi Nana, Mbak. Setitik debu pun Nana tidak pernah menduganya.
"Ibu ingin langsung pulang atau singgah ke tempat lain lagi?" tanya Iwan sopan.Bu Wardah yang sedari tadi sibuk dengan ponsel pintarnya, menghentikan kegiatannya sejenak."Sebentar ya, Wan? Ibu akan menelepon seseorang dulu," sahut Bu Wardah santai. Sekarang ia sudah tenang dalam mengatur strategi. Ia sudah tidak takut pada apapun lagi. Jujur, kini ia malah menikmati permainan ini. Toh masalah hidup mati seseorang itu sudah ada yang mengatur bukan? Makanya ia sekarang bersikap nothing to lose saja.Bu Wardah menekan beberapa nomor yang sudah sangat ia hapal luar kepala. Dulu ia akan sangat ketakutan jika mendapati nomor ini di layar ponselnya. Tapi sekarang keadaan berbalik. Ia dengan percaya diri sengaja menghubungi nomor tersebut."Hola juan. Cómo estás?" (Halo Juan. Apa kabar?)"Donde estas ahora, maldita chica!" (Di mana ka
"Tolong Pak Polisi, biarkan anak saya menemui ayahnya sebentar saja. Ini adalah hari ulang tahunnya. Tolonglah Pak Polisi. Saya harap Bapak masih memiliki sedikit hati nurani.""Tidak bisa, Bu. Sesuai dengan prosedur kami, Pak Lopez harus segera dibawa ke kantor polisi. Pak Lopez bisa menunjuk seorang pengacara apabila ingin membela diri.""Tolonglah, Pak. Sebentar saja. Saja janji, setelah putra saya meniup lilin dan ayahnya mengucapkan selamat ulang tahun, Pak Polisi boleh membawa Pak Lopez pergi. Saya mohon, Pak. Saya mohon.""Baiklah, Bu. Atas dasar kemanusiaan, saya izinkan Pak Lopez menemui putranya. Saya mempertaruhkan kehormatan dan jabatan saya, demi memenuhi permohonan Ibu ini. Tolong, jangan hianati kepercayaan saya.""Mengapa Ibu memperdaya saya? Ibu membantu Pak Lopez melarikan diri 'kan? Apakah Ibu tau, perbuatan Ibu ini akan membuat saya dan seluruh tim saya terkena Sanksi Pelanggaran
Tangguh sedang menyusun bantal agar Gerhana nyaman bersandar, saat pintu kamar tiba-tiba terbuka. Antonio Brata Kesuma. Tangguh menarik napas panjang. Mempersiapkan hati dan pikiran agar mampu meredam kericuhan yang tidak perlu. Demi Tuhan, Gerhana baru selamat dari kasus penembakan. Ia tidak ingin kalau pacarnya ini harus menjadi saksi lagi dalam kasus perkelahian. Makanya ia akan mencoba memanjangkan sabar dalam menghadapi si pencari kesempatan ini."Bagaimana keadaan kamu, Na?" Antonio mendekati sisi ranjang. Menarik satu kursi dan duduk sedekat mungkin dengan Gerhana. Ia sama sekali tidak mempedulikan kehadiran Tangguh. Ia menganggap Tangguh sebagai mahkluk tak kasat mata. Ada tetapi tidak ada. Toh memang tidak ada pentingnya juga."Saya sekarang sudah baik-baik saja, Pak. Sebentar lagi juga akan pulih seperti sedia kala. Doakan saja ya, Pak?" sahut Gerhana sopan. Ia merasa tidak enak pada Tangguh karena Antonio tidak menganggapnya sama
"Bang, itu si Grace mau dibawa ke mana sama Bang Barda?" Gerhana kebingungan melihat Barda yang melenggang begitu saja dengan Graciela menggeliat-geliat marah di bahunya. Gerhana bahkan masih bisa mendengar suara Graciela yang terus memaki-maki Barda."Tidak apa-apa, Na. Tenang saja. Barda walaupun mulutnya kasar tapi pada dasarnya ia tidak tegaan terhadap perempuan. Ia akan menjaga Grace dengan baik. Percayalah, Na." Tangguh menarik sebuah kursi. Mendekati tempat Gerhana berbaring."Bagaimana keadaan kamu hari ini?" Tangguh mengelus pipinya perlahan. Gerhana merasa serba salah karena Tangguh bersikap seintim ini saat ada mata lain yang melihatnya. Ia malu pada Jaka yang seketika menjadi rajin menepuk-nepuk nyamuk karena salah tingkah. Padahal ruang rawat inapnya ini tidak ada nyamuknya sama sekali."Nana sudah lumayan baik, Bang. Hanya saja Nana rasanya kepengen sekali membersihkan diri sungguhan, alias mandi. Buk
Kesadaran Gerhana hilang timbul selama beberapa hari ini. Menurut dokter Gadis, proses pemulihan luka Gerhana memang akan memakan waktu yang cukup lama. Gerhana kehilangan secuil paru-paru dan ginjalnya. Untungnya peluru yang bersarang di sana tidak mengenai area yang berbahaya. Tetapi tetap saja memerlukan waktu untuk menghentikan pendarahannya.Sudah tiga hari ini Tangguh seperti pindah rumah. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit dibandingkan dengan rumahnya sendiri. Selama tiga hari ini juga ia selalu menginap di rumah sakit. Kursi tunggu stainlessteel rumah sakit, telah menjadi teman baiknya. Keadaan di rumah sakit relatif tenang karena Antonio sedang berada di luar negeri. Si pencari kesempatan itu tidak tau apa-apa mengenai hal ini. Tetapi dua jam lalu, berita tertembaknya Gerhana sampai juga ke telinganya. Antonio akan tiba di tanah air dalam waktu delapan jam lagi. Tangguh tau, setelah ini ia akan terus baku mulut dengan si tukang cari
Tangguh membaringkan tubuh lelahnya di kursi ruang tunggu rumah sakit. Berbantalkan lengannya sendiri, ia memejamkan mata. Mencoba mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Dan terjadi lagi! Setiap ia memejamkan mata, bayangan Gerhana yang ambruk bersimbah darah tergambar jelas dalam benaknya. Tangguh bangkit kembali. Kembali menegakkan tubuh. Ia tidak berani memejamkan mata. Bayangan desis lirih kesakitan Gerhana terus terbayang-bayang di benaknya.Arghhh!Tangguh meremas rambutnya kesal. Ia sekarang tidak tau harus berbuat apa. Benaknya tidak bisa berhenti memikirkan Gerhana. Malam ini adalah malam perjuangan Gerhana. Perjuangan hidup matinya akan ditentukan dalam dua belas jam ini. Makanya ia tidak mau beranjak seinchi pun dari pintu ruangan intensif. Ia ingin saat Gerhana sadar nanti, wajahnyalah yang pertama kali dilihat Gerhana oleh setelah tim medis. Saat ini sang jendral dan istrinya pulang sebentar untuk membersihkan diri d