Gerhana memeriksa sekali lagi penampilannya. Sebentar lagi ia akan ikut meninjau proyek di lapangan. Hari ini ia mengenakan baju safari dan celana berpipa lurus khas para pekerja kontruksi proyek. Untuk pertama kalinya ia bergaya macho setelah biasanya ia selalu tampil ala-ala abege yang girly. Lihatlah baju safari berwarna coklat muda list hitam ini nyaris menenggelamkan tubuhnya. Gerhana sampai harus melipat lengan bajunya berkali-kali baru tangannya bisa terlihat. Belum lagi celana panjangnya yang kerap melorot dan nyaris jatuh apabila ia tidak mengikatnya kencang dengan ikat pinggang. Tapi jatuh-jatuhnya jadi terlihat jelek. Bagian pinggang celananya mengkerut seperti berkaret karena kebesaran. Ditambah dengan sepatu proyek steel toe boots yang berfungsi untuk melindungi jari-jari kakinya dari kejatuhan bahan-bahan bangunan di lapangan, satu kata yang bisa ia simpulkan. Penampilannya aneh! Oh ya, belum lagi helm proyek berwarna putih yang ia kenakan di atas buntut kudanya. Penam
Gerhana menatap nanar taksi online yang meninggalkannya sendirian. Ia sadar keberadaannya sendirian di tempat ini sangat beresiko. Sedikit saja ia salah bersikap, fatal lah akibatnya. Oleh karena itu, walaupun sesungguhnya ia sangat ketakutan, tetapi ia tetap berusaha bersikap tenang. Keselamatannya tergantung pada pengendalian dirinya sendiri. Dengan catatan, kalau ia beruntung.Puluhan orang langsung mengepungnya saat melihatnya turun dati mobil. Mengelilinginya diiringi dengan bentakan dan makian tentang ketidak adilan masalah ganti rugi lahan. Semakin lama semakin banyak orang yang merubunginya, Gerhana semakin gugup. Ia benar-benar dikepung dari segala arah saat ini. Ia tidak punya ruang untuk bergerak."Mengapa tanah saya tidak diberi uang ganti rugi padahal saya sudah puluhan tahun tinggal di sini?" Beberapa laki-laki yang ada di depannya langsung mencecarnya. Massa yang lainnya mengamini sambil meneriakkan kata tidak adil
Jaka mondar-mandir di area parkir cafe. Sebentar-sebentar ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Si dilema belum bisa keluar-keluar dari kepalanya. Ia takut kalau Tangguh sampai celaka. Belum lagi kehadiran Badra yang terus saja memaki-makinya karena membuat Tangguh terlibat dalam masalah. Kepalanya sampai mau pecah dipaksa berpikir ke sana ke mari menebak-nebak hal yang belum pasti. Sebenarnya ia juga tidak berniat membuat posisi Tangguh dalam bahaya. Hanya saja kalau Gerhana sampai kenapa-napa, kan kasihan Tangguhnya juga. Ia tahu jalau Tangguh itudiam-diam suka memandangi photo Gerhana di ponselnya. Ada berbagai pose Gerhana yang disimpan rapi Tangguh di sana. Ada pose Gerhana yang sedang tertawa, cemberut sampaimangap karena menguap ada di galerinya. Di photo-photo itu pakaian Gerhana selalu berbeda-beda. Itu artinya Tangguh sering membayangi Gerhana dan memotretnya secara diam-diam bukan?Nah, coba kalau
Gerhana gelisah. Sudah hampir satu jam ia menunggu kemunculan Jaka di ujung jalan kafe. Semalaman ia tidak bisa tidur memikirkan keadaan Tangguh. Antonio dan Tangguh sama-sama terluka. Hanya saja Antonio kemarin telah mendapatkan pertolongan pertama di rumah sakit terbaik dengan pelayanan kualitas terbaik juga. Sementara Tangguh entah bagaimana nasibnya. Kemarin hampir bisa dikatakan ia telah seharian di rumah sakit menjaga Antonio. Alih-alih mengucapkan terima kasih, ia malah dijadikan kacung di sana. Antonio benar-benar menjadikannya seorang perawat merangkap pesuruh pribadi. Walau sempat kesal tapi ia berusaha ikhlas menjalankan segala titah Antonio. Hitung-hitung membalas budi. Lagi pula toh hanya sehari. Makanya ia tetap berusaha tersenyum manis dan memanjangkan sabarnya menghadapi segala keabsurban Antonio.Dan hari ini ia berencana untuk menjenguk Tangguh. Ia harus bersikap adil bukan? Setelah urusannya dengan Antonio selesai, ia akan berterim
Saat membuka celana kain bahannya, Gerhana menghela napas kasar. Apa yang diduganya ternyata benar. Pembalutnya sudah penuh sementara ia lupa membawa pembalut. Pelupanya memang sudah akut. Padahal tadi pagi ia sudah mengeluarkan dua buah pembalut dari laci dan meletakkannya di atas meja rias. Tinggal dimasukkan ke tas saja. Nah, bagian memasukkannya ke dalam tas itulah yang ia lupa. Memanglah benar kata pepatah, jangan suka menunda-nunda sesuatu. Akibatnya ya begini ini. Sekarang bagaimana coba? Tidak mungkin ia meminjam pembalut pada Tangguh bukan? Meminta Tangguh mencari pembalut Bu Wardah pun sepertinya tidak mungkin juga. Jangan-jangan Bu Wardah malah sudah menopause. Satu-satunya cara hanyalah meminta tolong Tangguh untuk membelinya. Masalahnya apakah Tangguh mau? Membeli pembalut bagi seorang laki-laki pasti dianggap tabu. Lain cerita kalau laki-laki itu sudah beristri. Tangguh ini selain bukan siapa-siapanya, preman lagi. Pasti ia akan mengamuk kalau diminta untuk membeli pem
"Na--Nana masih di ja--jalan ini, Yah. Sebentar lagi mungkin sampai. Na--Nana terjebak macet ini, Yah." Gerhana terbata-bata menjawab telepon dari ayahnya. Seumur hidupnya ini adalah kali pertama ia membohongi ayahnya. Selama berbicara tangannya terus bergetar. Ada rasa bersalah bercampur takut di hatinya. Gerhana memegangi dadanya. Ia takut kalau suara debaran jantungnya sampai terdengar oleh ayahnya di seberang sana. Belum lagi tatapan mencela Tangguh yang jelas-jelas mencemooh kebohongannya."Kamu itu sedang berbicara dengan seorang Jendral, Nana. Kamu menghina kecerdasan Ayah kalau kamu berbohongnya amatiran seperti ini. Kamu bilang kalau kamu sedang di jalan? Tetapi Ayah jelas mendengar suara televisi, dan beningnya suaramu. Itu artinya kalau saat ini kamu ada di dalam sebuah ruangan. Lain kali, kalau mau berbohong, harus all out. Mengaku sedang on the way misalnya. Minimal kamu harus keluar ruangan. Cari suasana yang bisa meyakinkan alibi kamu. Artin
Tangguh mengikuti langkah-langkah cepat namun teratur khas militer ayah Gerhana. Dalam hati Tangguh mengagumi bahasa tubuh kaku-kaku tegas di diri seorang jendral ini. Orang-orang yang berasal dari dunia militer memang berbeda. Gerak-gerik dan gestur mereka begitu teratur. Begitu juga dengan struktur tubuh mereka yang ramping namun berisi. Rambut cepak mereka mungkin bisa saja ditemukan pada orang-orang sipil biasa. Namun aura tegas dan disiplin mereka, tidak. Kita pasti akan langsung tahu bahasa tubuh orang-orang militer dari cara mereka berjalan saja. Kecuali kalau mereka itu para intelijen atau spionase. Para intel memang tugasnya adalah menyamar. Mereka menyamar untuk mengumpulkan informasi hingga valid, atau melakukan Operasi Tangkap Tangan. Ia tahu bahwa terkadang tukang bakso, tukang siomay bahkan ibu-ibu berhijab di pasar adalah para intel yang sedang menyamar. Kepada mereka ini ia juga salut. Mereka bisa begitu menjiwai peran dan enjoy menjalani berbagai macam profesi penya
Seminggu telah berlalu sejak kejadian Tangguh di sidang oleh ayahnya. Gerhana ingat betapa muramnya wajah Tangguh saat keluar dari ruang kerja ayahnya sendirian. Ia memang sengaja menunggu di ujung koridor. Ia tidak tenang sebelum Tangguh keluar dari ruangan dalam keadaan utuh. Saat tiba-tiba pintu terbuka, ia nyaris terlompat karena kaget.Pandangan mereka kembali bersirobok. Hanya saja ia merasa ada yang berbeda dari sinar mata Tangguh. Jika di dalam ruangan tadi sinar matanya begitu lembut dan menenangkan, namun sekarang sangat berbeda. Tatapannya dingin dan datar. Nyaris sinis malahan. Tatapan inilah yang ia lihat pertama kali saat insiden tabrakan gerobak martabak dulu. Dingin, datar, kejam!"Bagaimana Bang? Ayah percaya kan dengan semua penjelasan Abang?""Semuanya telah usai.""Usai bagaimana maksudnya, Bang?"Gerhana ingat. Ia sampai berlari-lari kecil demi bi
Gerhana membasuh wajahnya dengan air dingin di wastafel. Lumayan. Percikan air yang membasahi wajahnya sedikit banyak ikut mendinginkan hati dan kepalanya yang panas. Hareudang euy. In hale... ex hale... sabar.Udahlah Na, lo nggak perlu memaksakan diri untuk di notice sama Tangguh. Lo itu cuma kebetulan ditolong sama dia. Nggak usah kege-eran perasaan diistimewakan.Mungkin emang udah sifat si Tangguh suka nolongin orang. Bukan cuma lo doang. Berhenti berpikir yang bukan-bukan.Perang batin antara perasaan dan logikanya semakin membuat Gerhana pusing. Ia mengeleng-gelengkan kepalanya. Mengusir bayangan senyum manis yang Tangguh berikan pada Alexa. Baru saja ia hendak mengeringkan wajahnya dengan sehelai tissue, suara jerit tertahan yang dibarengi benda jatuh singgah di telinganya. Penasaran ia melongok keluar. Mengintip dari wastafel sembari menyeka wajah basahnya. Pemandangan tidak biasa menyambutnya. Ramzi jatuh tertelung
Tiga bulan kemudian.Gerhana tidak mampu menahan isak tangis saat ijab kabul baru saja berakhir. Sungguh ia tidak sanggup menahan air mata saat melihat ayahnya menangis. Ayahnya, Jendral Badai Putra Alam memalingkan wajah saat mendengar dirinya telah sah menjadi istri Tangguh. Ayahnya bahkan langsung meninggalkan keriuhan acara, dan berjalan menuju kebun belakang. Gerhana tau, ayahnya tidak ingin seorang pun melihatnya menangis."Na, tunggu di sini sebentar ya? Abang mau menyusul ayahmu. Abang ingin berbicara sebagai sesama laki-laki, biar ayahmu tenang. Abang sangat mengerti perasaan ayahmu." Gerhana hanya sanggup mengangguk saat Tangguh ingin menyusul ayahnya. Ada baiknya kalau Tangguh yang lebih dulu menemui ayahnya. Setelahnya barulah ia meyakinkan ayahnya, kalau semuanya akan tetap baik-baik. Baik ia telah menikah ataupun tidak, ayahnya akan selalu ada di hatinya.Tangguh menemukan jendral Badai duduk termenun
"Kita sudah sampai, Dek." Tangguh merasakan satu tepukan ringan di bahunya. Perlahan Tangguh membuka mata. Ia masih mengalami jet lag parah setelah belasan jam berada di atas pesawat. Setelah meregangkan otot-ototnya yang kram, Tangguh memandang rumah besar di hadapannya. Seperti ini rupanya rumah masa kecilnya. Walaupun ia masih belum bisa mengingat secara jelas, namun ada lintasan potongan-potongan kejadian di benaknya. Seperti tangga kayu berukir yang bisa dibuat bermain seluncuran, hingga karpet merah berbulu tebal di ruangan kerja yang dindingnya penuh dengan senjata. Bau amis! Tangguh mendadak bisa mencium aroma amis darah! Astaga, apa yang sedang di pikirkannya? Tangguh menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berusaha mengenyahkan ingat tidak menyenangkan itu dari benaknya. Mungkin itu hanya mimpi masa lalunya."Lo kenapa, Dek? Pusing? Ya udah kita istirahat saja dulu. Lo pasti kena jet lag." Geraldo mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menelepon seseorang. Se
"Gue nggak nyangka, kalau akhirnya akan ipar-iparan dengan lo, Na." Soraya menatap Gerhana antusias. Setelah sekian lama tidak bersinggungan dengan orang-orang di masa lalunya, Soraya tidak mengira akan bertemu dengan Gerhana. Sungguh, ia sangat malu apabila mengingat tingkah lakunya dulu. Oleh karena itulah ia sengaja menghilang. Ia ingin menjadi manusia baru. Tetapi jujur, ada kegembiraan di hatinya, kala bertemu dengan orang-orang di masa lalunya. Bagaimanapun ia pernah melalui hari-hari indah bersama dengan orang-orang yang dikasihinya. Istimewa dengan kedua orang tua angkatnya. Terkadang jikalau rasa rindu itu muncul, ia berusaha menekannya dalam-dalam. Ia tidak mau mengusik hidup Keira dan Keisha. Ia sudah merebut kasih sayang ayah kandung mereka berdua hampir 24 tahun lamanya. Sekarang biarlah mereka berdua menerima limpahan kasih sayang ayah kandung mereka yang baru mereka ketahui."Apalagi Nana, Mbak. Setitik debu pun Nana tidak pernah menduganya.
"Ibu ingin langsung pulang atau singgah ke tempat lain lagi?" tanya Iwan sopan.Bu Wardah yang sedari tadi sibuk dengan ponsel pintarnya, menghentikan kegiatannya sejenak."Sebentar ya, Wan? Ibu akan menelepon seseorang dulu," sahut Bu Wardah santai. Sekarang ia sudah tenang dalam mengatur strategi. Ia sudah tidak takut pada apapun lagi. Jujur, kini ia malah menikmati permainan ini. Toh masalah hidup mati seseorang itu sudah ada yang mengatur bukan? Makanya ia sekarang bersikap nothing to lose saja.Bu Wardah menekan beberapa nomor yang sudah sangat ia hapal luar kepala. Dulu ia akan sangat ketakutan jika mendapati nomor ini di layar ponselnya. Tapi sekarang keadaan berbalik. Ia dengan percaya diri sengaja menghubungi nomor tersebut."Hola juan. Cómo estás?" (Halo Juan. Apa kabar?)"Donde estas ahora, maldita chica!" (Di mana ka
"Tolong Pak Polisi, biarkan anak saya menemui ayahnya sebentar saja. Ini adalah hari ulang tahunnya. Tolonglah Pak Polisi. Saya harap Bapak masih memiliki sedikit hati nurani.""Tidak bisa, Bu. Sesuai dengan prosedur kami, Pak Lopez harus segera dibawa ke kantor polisi. Pak Lopez bisa menunjuk seorang pengacara apabila ingin membela diri.""Tolonglah, Pak. Sebentar saja. Saja janji, setelah putra saya meniup lilin dan ayahnya mengucapkan selamat ulang tahun, Pak Polisi boleh membawa Pak Lopez pergi. Saya mohon, Pak. Saya mohon.""Baiklah, Bu. Atas dasar kemanusiaan, saya izinkan Pak Lopez menemui putranya. Saya mempertaruhkan kehormatan dan jabatan saya, demi memenuhi permohonan Ibu ini. Tolong, jangan hianati kepercayaan saya.""Mengapa Ibu memperdaya saya? Ibu membantu Pak Lopez melarikan diri 'kan? Apakah Ibu tau, perbuatan Ibu ini akan membuat saya dan seluruh tim saya terkena Sanksi Pelanggaran
Tangguh sedang menyusun bantal agar Gerhana nyaman bersandar, saat pintu kamar tiba-tiba terbuka. Antonio Brata Kesuma. Tangguh menarik napas panjang. Mempersiapkan hati dan pikiran agar mampu meredam kericuhan yang tidak perlu. Demi Tuhan, Gerhana baru selamat dari kasus penembakan. Ia tidak ingin kalau pacarnya ini harus menjadi saksi lagi dalam kasus perkelahian. Makanya ia akan mencoba memanjangkan sabar dalam menghadapi si pencari kesempatan ini."Bagaimana keadaan kamu, Na?" Antonio mendekati sisi ranjang. Menarik satu kursi dan duduk sedekat mungkin dengan Gerhana. Ia sama sekali tidak mempedulikan kehadiran Tangguh. Ia menganggap Tangguh sebagai mahkluk tak kasat mata. Ada tetapi tidak ada. Toh memang tidak ada pentingnya juga."Saya sekarang sudah baik-baik saja, Pak. Sebentar lagi juga akan pulih seperti sedia kala. Doakan saja ya, Pak?" sahut Gerhana sopan. Ia merasa tidak enak pada Tangguh karena Antonio tidak menganggapnya sama
"Bang, itu si Grace mau dibawa ke mana sama Bang Barda?" Gerhana kebingungan melihat Barda yang melenggang begitu saja dengan Graciela menggeliat-geliat marah di bahunya. Gerhana bahkan masih bisa mendengar suara Graciela yang terus memaki-maki Barda."Tidak apa-apa, Na. Tenang saja. Barda walaupun mulutnya kasar tapi pada dasarnya ia tidak tegaan terhadap perempuan. Ia akan menjaga Grace dengan baik. Percayalah, Na." Tangguh menarik sebuah kursi. Mendekati tempat Gerhana berbaring."Bagaimana keadaan kamu hari ini?" Tangguh mengelus pipinya perlahan. Gerhana merasa serba salah karena Tangguh bersikap seintim ini saat ada mata lain yang melihatnya. Ia malu pada Jaka yang seketika menjadi rajin menepuk-nepuk nyamuk karena salah tingkah. Padahal ruang rawat inapnya ini tidak ada nyamuknya sama sekali."Nana sudah lumayan baik, Bang. Hanya saja Nana rasanya kepengen sekali membersihkan diri sungguhan, alias mandi. Buk
Kesadaran Gerhana hilang timbul selama beberapa hari ini. Menurut dokter Gadis, proses pemulihan luka Gerhana memang akan memakan waktu yang cukup lama. Gerhana kehilangan secuil paru-paru dan ginjalnya. Untungnya peluru yang bersarang di sana tidak mengenai area yang berbahaya. Tetapi tetap saja memerlukan waktu untuk menghentikan pendarahannya.Sudah tiga hari ini Tangguh seperti pindah rumah. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit dibandingkan dengan rumahnya sendiri. Selama tiga hari ini juga ia selalu menginap di rumah sakit. Kursi tunggu stainlessteel rumah sakit, telah menjadi teman baiknya. Keadaan di rumah sakit relatif tenang karena Antonio sedang berada di luar negeri. Si pencari kesempatan itu tidak tau apa-apa mengenai hal ini. Tetapi dua jam lalu, berita tertembaknya Gerhana sampai juga ke telinganya. Antonio akan tiba di tanah air dalam waktu delapan jam lagi. Tangguh tau, setelah ini ia akan terus baku mulut dengan si tukang cari
Tangguh membaringkan tubuh lelahnya di kursi ruang tunggu rumah sakit. Berbantalkan lengannya sendiri, ia memejamkan mata. Mencoba mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Dan terjadi lagi! Setiap ia memejamkan mata, bayangan Gerhana yang ambruk bersimbah darah tergambar jelas dalam benaknya. Tangguh bangkit kembali. Kembali menegakkan tubuh. Ia tidak berani memejamkan mata. Bayangan desis lirih kesakitan Gerhana terus terbayang-bayang di benaknya.Arghhh!Tangguh meremas rambutnya kesal. Ia sekarang tidak tau harus berbuat apa. Benaknya tidak bisa berhenti memikirkan Gerhana. Malam ini adalah malam perjuangan Gerhana. Perjuangan hidup matinya akan ditentukan dalam dua belas jam ini. Makanya ia tidak mau beranjak seinchi pun dari pintu ruangan intensif. Ia ingin saat Gerhana sadar nanti, wajahnyalah yang pertama kali dilihat Gerhana oleh setelah tim medis. Saat ini sang jendral dan istrinya pulang sebentar untuk membersihkan diri d