Share

Chapter 3

Suasana arena pertarungan liar masih terasa panas. Masing-masing kubu meneriakan yel-yel penyemangat bagi petarung jagoan mereka. Bagaimana tidak, mereka telah mempertaruhkan banyak uang demi mendapatkan pundi-pundi rupiah yang berkali-kali lipat dari yang mereka pasang. Kalau jagoan mereka sampai kalah, hilang jugalah semua uang-uang mereka. Bagi mereka tugas petarung yang mereka jagokan adalah baku hantam habis-habisan bagaikan dua ekor banteng aduan. Kalau tidak hidup ya mati. Hidup dan mati bagi petarung-petarung bayaran seperti mereka ini memang sedekat nadi bukan? Mereka jahat? Tidak juga. Toh kehidupan seperti ini merekalah yang memilih. Tidak ada paksaan. Lo menang, gue bayar. Lo mati, gue kubur. Hidup ini keras, kawan.

Tangguh melompat dengan satu kaki dan mengarahkan dengkulnya ke dada lawan. Ketika lawannya terjatuh, ia menggerakkan siku kanan secara horizontal, memotong pelipis lawan. Darah seketika mengucur deras. Saat melihat lawannya kesulitan berkonsentrasi karena darah yang mengucur deras, ia menggerakan siku kiri secara diagonal. Mengincar leher lawan. Raungan kesakitan seketika terdengar sebelum lawannya tergeletak diam tidak sadarkan diri dalam kubangan darah. Saat itu Tangguh tahu, tugasnya telah usai. 

Kejadian selanjutnya sudah ia bisa ia tebak. Wasit mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi diiringi tepuk tangan membahana dari orang-orang yang menjagokannya. Lebih tepatnya orang-orang yang menjadikannya robot pembunuh sekaligus mesin pencetak uang. Beginilah sisi gelapnya yang hanya diketahui oleh beberapa orang. Mencari tambahan pundi-pundi uang dengan menjadi petarung liar. Namanya terus saja dielu-elukan disertai dengan tatapan penuh kekaguman dan kebencian. Kubu yang kalah membencinya. Namun kubu yang menang pasti bergembira bukan? Ya, seharusnya ia juga bergembira. Ia menang! Dan itu artinya ada sekian rupiah yang akan ia bawa pulang. Tetapi alih-alih gembira, ia malah merasa muak. Ia muak bergembira sementara ia harus menginjak kepala manusia lainnya.

Tatapannya jatuh pada Pascal. Lawannya itu sudah sadar dan saat ini tengah dipapah oleh orang-orangnya. Wajahnya bermandikan darah dengan mata yang nyaris tidak terlihat karena membengkak. Pelipisnya sobek, meninggalkan luka terbuka yang menganga. Lebih dari itu, ekspresi wajahnya tampak lesu. Sponsornya memasang raut wajah ketat dan para pendukungnya beramai-ramai memaki dan meneriakinya dengan kata-kata kotor. Inilah pemandangan yang paling tidak disukainya. Perasaan bahwa ia berbahagia di atas penderitaan orang lain. 

Tangguh turun dari ring. Menghampiri Barda dan Jaka yang telah menunggu di bawah ring dengan handuk dan kotak P3K. Keadaannya sendiri pun tak kalah hancur. Pascal itu dedengkotnya Alcatraz. Mengalahkannya tidak mudah. Ia harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk membungkamnya. Sebenarnya kemenangan yang ia peroleh dari Pascal dan para petarung-petarung sebelumnya adalah karena ritual rahasianya. Ritual rahasianya adalah dengan membayangkan semua lawannya adalah ayahnya. Artinya selama ia bertarung, ia membayangkan kalau ia sedang menghabisi ayahnya yang keberadaannya entah di mana. 

"Lo hebat beut ya, Guh? Bisa meng-KO-kan Pascal yang body-nya sebesar mbahnya gajah begitu hanya dalam waktu delapan menit! Gue sungkem dah, Guh. Sungkem! Temen gue jagoan. Bukan kaleng-kaleng!" Barda dan Jaka, dua sahabat kentalnya menghampiri. Ia tidak menjawab. Toh pertanyaan mereka memang tidak memerlukan jawaban. Ia menghempaskan pinggulnya di kursi penonton. Menyeka keringat yang membanjir dengan handuk yang dibawakan Barda. Jaka membuka kotak P3K. Mengeluarkan alkohol dan kapas. Membersihkan darah yang mengalir dan mengobati luka-lukanya. 

"Kok lo ikut beginian lagi sih, Guh? Kapan hari kan lo pernah bilang kalo lo mau berhenti. Lo bilang, ibu lo bisa ikut mati karena sedih kalo lo sampai mati di sini. Lo nggak lupa kan?" Tanya Barda penasaran. Seingatnya Tangguh sudah cukup lama tidak menjejakkan kakinya di arena berdarah ini. Ia mau pensiun katanya. 

"Gue nggak lupa, Bar. Gue hanya udah nggak punya jalan keluar lain, makanya gue adu nyawa di sini. Kontrak rumah gue minggu depan habis. Stealing martabak ibu gue hancur. Modal jualan ibu gue juga habis semua. Gue butuh aliran dana segar, Bar." Jawabnya datar.

"Lah kalo gitu kenapa juga lo tolak bantuan itu bocah? Oh gue tau, karena lo sombong kan? Sok mengagung-agungkan harga diri padahal lo lagi susah setengah mati," sindir Barda pedas. Ia kesal pada Tangguh yang ia anggap terlalu idealis. Ia, Jaka dan Tangguh tumbuh besar bersama. Sudah pasti mereka bertiga saling menyayangi dan menasehati satu dengan yang lainnya. Persahabatan mereka bertiga bahkan melebihi rasa persaudaraan. Satu yang dicubit, mereka semua yang merasa sakit.

"Guh. Gue emang kagak makan bangku sekolahan kayak lo. Cara berpikir gue cetek. Tapi yang gue tau, harga diri nggak akan bisa membuat perut sejengkal gue ini kenyang. Nggak bisa juga dibuat bayar kontrakan. Kita ini miskin, Guh. Akui dan terima kenyataan ini!" Sembur Barda kesal. Ia capek hati melihat kedegilan Tangguh. Senang banget sahabatnya ini menyiksa diri padahal ada tangan lain yang bersedia meringankan bebannya. Yang diagung-agungkan selalu saja soal harga diri. Orang miskin kok ya mikirin harga diri terus. Harga diri tai* kucing!

"Kita ini miskin? Bener banget! Gue terima kenyataan itu. Tapi kalo harga diri pun kita gadaikan, kita akan bener-bener "habis", Bar. Karena apa? Karena hanya itu lah satu-satunya harta yang kita punya! Dan gue lebih memilih untuk menggadaikan nyawa gue di sini, dari pada menggadaikannya pada orang lain. Sampai mati pun nggak akan pernah! Inget itu!" Tukas Tangguh tak kalah sengit. 

"Eh... eh... udah... udah... kenapa lo bedua pada ribut sih?" Jaka buru-buru berdiri. Memisahkan dua orang temannya yang sama-sama sedang emosi.

"Mulai hari ini sebaiknya lo bedua berhenti deh ngebahas-bahas soal yang namanya harga diri. Seneng amat pada berantem gara-gara si harga diri? Si harga diri aja belum tentu seneng," Jaka berdiri di tengah-tengah Tangguh dan Barda. Berusaha mencegah keduanya baku hantam. Selalu begini. Setiap dua orang keras kepala ini berselisih, ia lah yang harus menjadi wasit dadakan. Nasib menjadi anak bawang ya macam ini lah. Selalu jadi pencorot. Ya mau bagaimana lagi, kalau ia disuruh ikutan berantem, belum mulai saja ia sudah pasti kalah. Makanya ia memilih menjadi pengamat saja. Aman, tentram, sentosa jiwa raga bukan?

"Dari pada lo bedua pada benjut di sini, mending kita makan enak noh di warteg-nya Bi Sumi. Lo kan lagi banyak duit hari ini, Guh. Traktir gue ya?" Jaka menyerahkan jaket kulit Tangguh dan segera empunya kenakan tanpa banyak cincong. 

"Ya udah, ayok." Tangguh menjawab pendek. Ia segera meraih tas ranselnya dan berjalan menuju pintu keluar arena. Jaka mengekori langkahnya dengan gembira. Rezeki nomplok euy. Jarang-jarang ia bisa makan besar sepuasnya tanpa harus membayar. 

"Hoi, Guh. Gue kagak diajak nih? Masa cuma gara-gara kita berselisih paham lo jadi cuma nraktir si Jaka doang? Payah lo ah!" Dengus Barda kesal. Tangguh pilih kasih! Emangnya cuma si Jaka doang yang lapar apa?

"Ck! Manja amat sih lo jadi orang, Bar? Kalo mau ikut ya udah ikut aja. Tampang preman kelakuan aleman. Sensi lagi kayak perempuan!" Sembur Tangguh sebal. 

"Setdah burung garuda gue segede gaban begini lo kata gue kayak perempuan?" Barda mengekori langkah dua sahabatnya sambil misuh-misuh. Beginilah persahabatan mereka bertiga. Saling sindir, baku hantam, berselisih adalah makanan mereka sehari-hari. Tapi rasa setia kawan, senasib sepenanggungan, dan saling peduli di antara mereka, melampaui semuanya. Mereka saling memaki karena peduli. Bukan karena benci. Karena kata yang diucapkan dari hati akan masuk ke hati. Sementara kata yang berasal dari mulut hanya akan berhenti di telinga. Itulah semboyan perhabatan dari mereka bertiga.

==================================

Gerhana memarkir mobilnya di ujung jalan. Ia sengaja parkir di tempat yang agak jauh, agar mangsanya tidak mendeteksi kehadirannya. Ia melepas blazer formal. Menyisakan crop top garis-garis dan memadukannya dengan jaket kulit hitam. Ia juga mengikat rambut panjangnya menjadi kuncir kuda yang praktis. Ia mengecek penampilannya sekali lagi. Pas banget. Penampilan sudah mirip dengan premanwati. Waktunya beraksi. Ia keluar dari mobil. Bermaksud menghampiri jajaran makanan pinggir jalan dan mencari Bu Wardah. Baru berjalan beberapa langkah, ia menepuk jidatnya sendiri. Ia lupa menukar sepatu high heels-nya dengan sneakers. Mana ada premanwati memakai sepatu high heels, ya kan? Coba bayangkan saat mereka harus berkelahi atau dikejar-kejar polisi? Eh jangan polisi ah pengandaiannya. Jadi berasa mengata-ngatai ayah sendiri. Dikejar-kejar KAMTIB misalnya. Kan repot lelarian dengan hak sepatu yang seruncing pensil? Berhasil kabur mah kagak, ngusruk iya. Ia kembali masuk ke mobil. Meraih sneaker di kolong jok tempat duduk. Mengenakannya tergesa dan kembali melanjutkan misinya.

Semakin mendekati lokasi, harapannya semakin tipis. Karena ia melihat tempat jualan si ibu masih kosong. Stealing martabaknya tidak ada. Apa jangan-jangan si ibu tidak punya modal lagi ya? Atau Bu Wardah sakit barangkali? Ia merasa makin bersalah. Keinginannya untuk menemui Bu Wardah semakin menggebu. Ia mendecakkan lidahnya saat melihat salah satu preman yang bernama Jaka, duduk santai di kios gorengan sambil minum kopi. Aha, ternyata usahanya hari ini tidak sia-sia. Sebaiknya ia membujuk Jaka saja. Sepertinya preman yang satu ini lebih bisa diajak bekerja sama. Mumpung ia sedang sendirian. Gerhana mempercepat langkahnya. Kesempatan baik ini harus ia manfaatkan semaksimal mungkin.

"Etdah ini bocah. Lo lagi lo lagi. Ngapain lo nongol lagi di mari?" Jaka menyambut kehadirannya dengan omelan. Tetapi ia membalas dengan senyuman manis. Demi misi ia harus pintar-pintar mengelola emosi.

"Ya mau menemui Bu Wardah lah, Bang Jaka." Sahut Gerhana manis.

"Ebuset, lo tau nama gue, bocah? Pake ditambahin abang lagi. Berasa jadi abang tukang gorengan gue," Jaka mengaruk-garuk kepalanya. Ini bocah emang kagak ada kapok-kapoknya nyari masalah. 

"Bu Wardah kagak ada di mari. Stealing-nya sedang diperbaiki gara-gara lo tabrak kemaren. Udah sono pulang lo, bocah!" Jaka mengibaskan tangannya. Gerhana menarik napas panjang. Sepertinya si abang preman tidak tertarik lagi untuk melanjutkan pembicaraan. Ia memutar otak. Percuma dong jadi anak polisi kalo tidak piawai dalam mengorek informasi.

"Kalo gitu minta alamatnya si ibu aja deh, Bang. Saya mau membantu membayar biaya reperasi stealing-nya. Sekalian juga mau mengganti modal Bu Wardah. Dagangannya kan kemaren rusak semua. Kasihan kan Bu Wardah?" Gerhana memasang wajah sedih nan merana. Berusaha semeyakinkan mungkin menirukan ekspresi sedih ala-ala sinetron orang tertindas. 

Jaka terdiam. Ia teringat dengan kata-kata Tangguh kemarin. Sahabatnya itu mengatakan bahwa ia sedang butuh banyak biaya. Mana kontrakannya sudah mau jatuh tempo lagi. Tetapi ia juga takut kalau si Tangguh mengamuk karena ia memberitahukan alamat rumahnya pada bocah ini. Ia bingung. Ternyata yang namanya dilema-dilema itu seperti ini toh rasanya? Emang serba salah sih. 

Melihat Jaka bimbang, Gerhana makin girang. Sepertinya preman yang satu ini jiwanya masih bisa diselamatkan. Agak-agak empuk dibandingkan dengan Barda apalagi Tangguh. Beuh, jauhlah bila dibandingkan dengan mereka berdua. Mereka berdua kan batu banget hatinya.

"Ayolah, Bang Jaka yang macho namun baik hati dan tidak sombong. Bantulah orang yang mau berbuat baik. Selama ini Abang kan sudah banyak sekali melakukan kejahatan. Berbuat baiklah sesekali agar api neraka tidak terus berkobar untuk Abang. Api neraka itu panasnya seribu kali lebih panas dari api dunia lho, Bang." Gerhana mengarang bebas. Ya mau bagaimana lagi. Setidaknya walau pun ia berbohong tapi kan niatnya baik. 

"Gue bukannya kagak mau berbuat baik, Bocah. Tapi masalahnya kan lo tau sendiri si Tangguh itu ngancemnya pegimana. Bisa jadi dendeng gue kalo berani melanggar aturannya," Jaka mengedikkan kedua bahunya. Merasa tidak ada jalan kedua bagi keduanya. Tangguh itu kerasnya kayak batu. Sementara ini bocah juga semangatnya tak kunjung padam. Sekonyong-konyong sebuah ide cemerlang singgah di kepalanya. 

"Begini aja, Bocah. Gue kasih tau lo alamat kerjanya si Tangguh. Nah ntar di sono, lo kasih aja uangnya sama bouncer-bouncer temennya si Tangguh. Bilang nitip uang ini untuk ibunya si Tangguh. Tolong kasihin ke Tangguh ya? Bilang aja gitu. Kalo lo nitipnya sama bouncer, pasti aman."

"Akhirnya Bang Jaka berani juga melanggar aturan Bang Tangguh demi melakukan misi kebaikan. Terima kasih banyak ya, Bang Jaka? Saya yakin, api neraka untuk Bang Jaka sudah dikorting sekian persen panasnya karena kebaikan hati Abang hari ini." Ujar Gerhana gembira. Akhirnya usahanya membuahkan hasil juga.

"Lah kapan gue ngelanggar aturannya si Tangguh? Kan gue cuma ngasih tau lo alamat kerjanya doang, bukan alamat rumahnya. Berarti gue kagak ngelanggar aturan dong?" Sahut Jaka yakin. Rumah sama alamat kerja kan beda? Mana jauh-jauhan lagi tempatnya. Ya kan?

"Hahaha. Iya ya, Bang. Abang cerdas beut dah pokoknya. Teope begete. Alamatnya di mana, Bang?" Gerhana ingin tertawa tetapi ia takut dosa karena menertawai orang yang lebih tua. Mana maksud orangnya baik lagi. Ya kan?

"Ntar malem lo ke Astronomix deh. Si Tangguh seminggu tiga kali jadi bouncer di sana. Semoga niat baik lo kesampean ya, Bocah? Sekarang lo pulang gih, udah sore. Ntar emak lo bingung lagi nyariin anaknya kagak pulang-pulang." 

Mampus! Astronomix kan kepunyaan Om Axel, alias Om-nya Abizar. Kalau ia ketahuan ke sana, bisa dihukum squat jump sampai semaputlah ia oleh ayahnya. Lah seumur-umur ia tidak pernah menginjakkan kaki ke tempat-tempat begituan. Tapi demi melaksanakan kewajiban, ia harus menerjang segala rintangan.

"Mohon maaf ya, Bang Jaka. Bouncer itu apaan sih?" 

"Bouncer itu tukang pukul istilah kasarnya, Bocah. Lah lo kagak tau masalah beginian ya?" Jaka menepuk keningnya sendiri. 

"Gue sebenernya sedang melakukan kebaikan atau kejahatan sih ini? Ntar kalo lo kenapa-kenapa di sana kan gue yang dosa ya, Bocah?" Jaka bingung. Kini ia sedikit menyesal. Mungkin ia memang melakukan misi kebaikan untuk Bu Wardah. Tapi secara tidak langsung ia juga telah melakukan tindak kejahatan terselubung. Kalau ini bocah sampai dimakan mentah oleh para hidung belang di sana, api nerakanya pasti akan berkali-kali lipat panasnya. Nah kan, dia dilema lagi sekarang. Kalau Tangguh dan Barda selalu bermasalah dengan harga diri, ia sekarang jadi ikut punya masalah dengan si dilema. Naseb... naseb...

Gerhana Putri Alam

Tangguh Langit Ramadhan

Jaka Suharsa

Barda Laksamana

Notes.

Bouncer adalah semacam penjaga keamanan di bar atau klub malam. Tugas mereka antara lain menyediakan keamanan, memeriksa usia legal, dan menolak masuk tergantung pada kriteria yang ditetapkan oleh pihak club. Bouncer biasanya pria berukuran tubuh tinggi besar dengan tampilan orang sangar. Karena tugas mereka selalu berhubungan dengan orang-orang yang agresif dan perkelahian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status