Holaa, sorry ya agak telat up-nya
Setelah insiden pemukulan yang berakhir dengan patah dua gigi di pihak Badrun dan tepung tawar bernilai dua ratus ribu. Maka dimulailah siklus pendewasaan mereka. Anak-anak Wak Hasan tumbuh menjadi anak yang rupawan dan disegani. Bastian yang sekarang sudah kelas tiga SMA, tumbuh menjadi laki-laki bertubuh gempal dan kekar. Sedangkan Ari yang seumur dengan Ali, sudah menduduki kelas satu SMA. Bertubuh ramping dan tampan. Dengan seringai usil yang selalu menghiasi wajahnya. Sedangkan Ali, ya Ali. Ia tumbuh menjadi pemuda gagah yang dewasa sebelum waktunya. Tubuhnya yang dulu kurus dan ringkih mulai berisi dengan otot-otot, yang terbentuk alami karena kerasnya kehidupan. Rahangnya tampak kekar dengan mata setajam elang yang menaungi wajah. Kulitnya cokelat karena sering terbakar sinar matahari. Dia tumbuh menjadi pemuda yang jangkung dan rupawan. Tapi, miskin. Akan halnya Amy. Ia menjelma menjadi gadis rupawan. Bertubuh langsing dengan porsi yang sesuai. Tubuhnya yang kecil dengan
Hari berganti hari. Bulan ke bulan menjadi tahunan. Lalu, setelah bilangan menyapa di usia dewasa, anak lelaki dan perempuan itu telah tumbuh menjadi pemuda dan pemudi rupawan. Yang matang dalam kehidupan yang serba kekurangan. Menjadikan pribadi mereka menjadi sosok yang dewasa sebelum waktunya. Bastian tak meneruskan jenjang pendidikannya. Merelakan semua kemewahan itu untuk Ali dan adik-adiknya supaya bisa meneruskan SMA. Setelah melalui perdebatan sengit dengan Wak Hasan, yang menginginkan anak sulungnya untuk kuliah, Bastian akhirnya memenangkan debat itu. Dan menyisakan kekecewaan yang menjadi bibit penyakit di tubuh Wak Hasan. Lelaki yang beranjak tua itu, merasa tak berarti, karena tak mampu menyekolahkan semua anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Akan halnya Bastian, yang tumbuh menjadi laki-laki tangguh dan bertanggung-jawab, menghibur ayahnya. Memberikan estafet perkuliahan itu kepada Ari saja. Sedangkan Ali dan Amy tahu diri. Tak berniat menuntut lebih. Di
Saat itulah, Amy pertama kalinya bertemu dengan Hamam Prasetyo. Pak Prasetyo yang satu-satunya terlihat antusias mengenalkan mereka berdua. Wak Hasan hanya tersenyum canggung dan berulangkali melirik Amy, menyaksikan wajah keponakannya yang memerah tanda tak nyaman. Tapi, ia tak ingin menyakiti hati sahabatnya yang sangat baik hati dan dermawan itu. Bukan main gagah dan tampannya pemuda itu. Kulitnya putih serupa dengan kulit Amy. Tubuhnya jangkung dan tegap. Dadanya bidang dengan rangkaian otot menyusun perutnya yang ramping. Wajahnya tegas. Dengan rahang mencuat angkuh dan bola mata cokelat hazel yang indah dan sedikit nakal. Hidungnya tegak lurus dengan bibir tipis serta menawan, yang menyunggingkan lekukan sedikit merendahkan setiap kali ia tersenyum. Aura aristokrat dan ningrat jelas menyelubungi keseluruhan dirinya. Poppy bahkan lupa menutup mulutnya saat ia bersalaman dengan Hamam. Akan halnya Amy, bergerak-gerak gelisah setiap Hamam memandanginya. Merasa tak nyaman deng
Duhai, betapa besar perbedaan antara cincin dua gram dengan cincin berbatu berlian belasan karat itu. ***♡♡♡***Perdebatan sengitpun terjadi. Antara Ali dan keluarga Wak Hasan. Mereka didudukkan dalam satu ruangan. Membahas tentang kabar mengejutkan yang baru saja diterima Ali.Perdebatan yang berujung dengan teguhnya keputusan Amy dengan pertunangan itu."Sudah bulatkah keputusanmu, Amy? Menikah bukanlah perkara main-main. Tak ada yang memaksamu untuk menikah dengan Hamam," tanya Wak Hasan. Mata tuanya lekat menatap anak adik semata wayangnya.Amy lama menunduk. Lalu, kemudian ia menegakkan kembali kepalanya. Memandang ke sekeliling, kepada Wak Hasan, Wak Hasan Tino, Kak Bastian, Kak Ali, Poppy dan berakhir di wajahAli."Amy sudah memutuskan, Wak. Tak ada paksaan atau apapun dari mereka, Ali. Ini adalah murni keinginanku," ucapnya teguh sambil terus memandang Ali.Mata lelaki itu terbeliak lebar. Masih tak percaya dengan semua mimpi buruk yang menimpanya. Bagaimana mungkin, setelah s
"Aarrghh!!"Suaranya yang berat dan dalam menggema di antara bebatuan. Begitu terus berulang-ulang hingga suaranya menjadi serak. Amy menjerit-jerit, memohon supaya Ali berhenti sambil menutup kedua telinganya."Ali ...! Hentikan! Hentikan, Ali! Aku salah! Aku salah! Maafkan aku! Maafkanlah, aku ...," rintih Amy sambil berusaha menarik pinggang Reinaldi supaya bergerak menjauhi bibir jurang.Akhirnya mereka berdua jatuh berguling ke atas permukaan tanah yang sedikit berumput menjauhi bibir jurang. Amy terus-menerus sesenggukan dengan air mata dan ingus yang berleleran di wajahnya."Aku pergi bekerja, Amy! Dua tahun! Dua tahun aku harus bertahan hidup di pedalaman hutan itu! Kau lihat bekas-bekas luka ini? Jangan tutup matamu!" teriak Ali sambil kembali mencengkeram bahu Amy dan memaksanya melihat gurat-gurat bekas luka yang telah memutih di sepanjang lengannya.Dengan geram Ali membuka kemejanya hingga lepas dan bertelanjang dada. Perempuan itu tersedu-sedu, berusaha mengalihkan pandan
Wak Hasan meninggal.Berita apa lagi yang bisa meluluhlantakkan dunia Ali setelah pernikahan Amy?Ia mendapat kabar itu pada tengah malam. Saat ia duduk termangu, setelah berhari-hari terpukul dengan keputusan keluarga itu. Badrun datang dengan tergesa-gesa ke kontrakannya di kota. Sebuah petak kecil di gang sempit nan bau.Seluruh tubuh Ali bergetar, kemudian ia jatuh lemas. Seakan-akan tulang-belulangnya dilolosi satu-persatu. Airmata menggenang lalu luruh, mengingat pertemuan mereka yang terakhir kali berakhir dengan menyedihkan. Siapa yang menyangka, jika itu adalah saat terakhir ia bisa melihat dan memeluk laki-laki yang telah dianggapnya sebagai Ayah kandung?Tak lama kemudian, kedua orang itu keluar dengan tergesa. Membawa buntilan baju milik Ali yang tak seberapa. Lalu mereka menaiki mobil pick up yang dipinjam Badrun dari tetangga. Hanya untuk menjemput Ali. Tiga jam perjalanan, dari Jakarta ke Bandung, dilalui dalam diam. Masing-masing sibuk dengan pikiran mereka sendiri-send
Bahkan lebih sakit dari ketika Amy meninggalkannya. Jantungnya berdetam kuat, saat ia memasuki rumah dan mendapati keadaan, bahwa rumah yang dulu sering disinggahinya, dalam keadaan yang benar-benar memprihatinkan.Kelumpuhan yang diderita oleh Bastian, benar-benar telah menguras perekonomian Wak Hasan sekeluarga. Barang-barang yang berharga telah dijual. Bahkan kursi goyang tempat Wak Hasan sering duduk mengaso di sore hari, telah berpindah ke lain rumah. Pandangan Ali beredar ke sekeliling rumah. Tampak Bastian berbaring di atas kasur tipis di dalam kamarnya. Terus-menerus menangis menyesali kelumpuhannya. Kakak laki-laki tertua itu menjadi begitu lemah semenjak lumpuh. Sesungguhnya, ia bukan laki-laki yang lemah. Namun kelumpuhan ini benar-benar menggerus jiwanya. Ia bukan orang yang suka diurus orang lain. Dialah yang harusnya mengurus keluarganya. Ari duduk terpekur di sudut kamar. Ikut menangis dalam diam. Duduk melipat kaki di depan dada dan menenggelamkan kepala di antaranya.
Selendang hijau zamrud itu akhirnya hancur, di malam pertama Amy diboyong ke rumah keluarga Prasetyo. Saat Hamam merobek mahkotanya dengan kasar dan juga mencabik-cabik selendang itu tepat di depan muka Amy yang menangis menahan sakit dan ketakutan tanpa daya.Laki-laki itu tahu, dengan melihat bahasa tubuh dan gerak-gerik keduanya bahwa masih ada banyak cinta yang bersembunyi antara istri dan si miskin itu.Dengan selendang itulah Reinaldi menautkan hatinya pada Amy sebagaimana Amy juga menautkan seluruh cintanya pada kenangan masa kecilnya yang malang.Dan Hamam Prasetyo tak suka dengan kenyataan itu.Terlepas dari dia cinta atau tidak.Miliknya adalah miliknya.***Tak usahlah diceritakan bagaimana derita Amy semenjak menginjakkan kaki ke dalam rumah Hamam. Bagaimana keluarga Hamam memperlakukan dia layaknya kasta terendah di dalam kehidupan duniawi ini.Seperti yang diceritakan sebelumnya, Amy terpuruk di dalam mempertahankan rumah tangganya setelah berpisah dengan keluarga Wak Has
“Jadi?” tanya Lily Fazo sambil duduk bersandar di kursi belakang rumah. Tangannya menyanggah kepalanya di satu sisi dan matanya memandang ke arah semak-semak pohon mawar liar yang bergerombol di pagar halaman. Amy memandang ke arah wanita itu dengan pandangan bertanya. “Jadi, bagaimana?” tanya Amy heran. Ia duduk menyandar lalu tersenyum. Cahaya matahari sore memantul dari kaca jendela dan mengenai rambutnya. Ia tampak begitu cantik dan bahagia. Lily Fazo memandanginya lama. Merasa ikut bahagia bersama ibu hamil itu. “Aku bersyukur kau lepas dari Hamam. Sebuah pernikahan yang tidak sehat, hanya akan membawa luka bagi semua. Terutama anak-anak. Mereka tidak akan mudah untuk memaafkan orang-orang yang telah menyakitinya, seperti halnya Bella,” ucap Lily Fazo dalam. Matanya yang cokelat gelap memandang Amy dengan sayang. “Namun, kau harus memaafkan, Amy. Saat itu akan datang. Dan kau akan berhadapan dengan itu semua.” Lily Fazo memandang Amy lembut. Sesuatu berdesir di dalam hati wani
Reinaldi pulang dengan membawa sejuta perasaan. Campur aduk di dalam dirinya. Dan saat melihat Amy duduk di bangku kayu di samping rumah, ia merasakan ketenangan dan kedamaian seketika menyelimutinya. Wanita itu tampak sedang merenung. Gurat kesedihan menghiasi wajah cantiknya. Reinaldi duduk di samping istrinya, merengkuh pundak Amy hingga perempuan itu tersadar dari lamunannya. “Assalammualaikum,” ucap suami dari Amy tersebut. Amy segera menoleh. Matanya yang sendu menatap Reinaldi dengan penuh kerinduan. Betapa tidak, tepat seminggu mereka tidak bertemu. “Ada apa, Kekasihku?” tanya Reinaldi lembut. Tangannya mengelus perut besar istrinya. Amy menghembuskan nafas. Sebenarnya, dia sangat ingin menceritakan ihwal pertemuan dan perkelahiannya dengan Angelique beberapa hari lalu. Namun, pengertiannya akan sifat Reinaldi membuatnya berusaha menahan lidahnya.Reinaldi tentu akan langsung terbang kembali dan menemui Angelique. Amy bisa memastikan permasalahan ini akan lebih panjang jik
“J*laaang!! Apa yang kau lakukan pada adikku!!” Teriakan menggelegar terdengar dari arah belakang, diiringi dengan sentakan pada rambut Agelique yang ditarik dengan kuat. Sementara lengannya dicekal dan dipiting ke belakang. Tubuh perempuan itu seketika jatuh dengan punggung menghantam lantai duluan. Angelique meringis lalu membuka mata dan seketika terkejut ketika melihat tubuh besar Poppy telah berdiri di hadapannya. Berkacak pinggang dengan wajah memerah murka. Sebelah tangan perempuan itu sudah memegang sesuatu. Sebuah bantal yang besar sekali sedangkan sebelahnya lagi sibuk menggenggam payung kecil yang kembali dipukulkannya pada tubuh Angelique yang sebagian sangat terbuka sehingga membuat beberapa pengunjung lelaki yang lewat mengambil kesempatan untuk menyaksikan pertarungan tak imbang itu sambil melotot.Sementara, Mbok Napsiah, pembantu yang setia itu segera saja cepat-cepat menangkap tubuh Amy yang limbung dan menariknya menjauh dari tiang selasar. Hatinya berdegup kencan
Perempuan cantik bergaun merah itu sedang menunggu saudari sepupunya, di depan pintu sebuah butik terkenal, yang menjual perlengkapan bayi. Amy berdiri dalam balutan gaun hamil midi buatan perancang Indonesia yang terkenal. Rambutnya yang hitam bergelombang di ikat dengan model putri Perancis, menambah kesan wanita cantik nan elegan. Bibirnya terus-menerus menyunggingkan senyum penuh kebahagiaan dan keharuan, mensyukuri segala nikmat dan bahagia yang telah diraihnya sekarang. Gawainya berdering. Ia menatap layar dan tertawa kecil. Belum sampai sepuluh menit yang lalu, Ali, suaminya yang luar biasa tampan itu meneleponnya.“Assalamuaikum, Cinta. Belum genap sepuluh menit yang lalu, engkau menekan tombol end,” sapa Amy geli. Suara tawa renyah yang dalam dan berat menyambutnya di sana.“Tidak. Aku hanya ingin memastikan, apakah kau baik-baik saja di sana, Kekasihku,” jawab suara bariton itu lembut.“Aku dan anak kita, baik-baik saja, Cinta. Tenang-tenanglah di kantor sana. Aku tak mau m
“Mamih, bantulah aku, Mamih. Aku tak mau berpisah dengan Hamam. Aku hanya mau Hamam dalam hidupku,” ujar Angelique terus menghiba pada ibu mertuanya. “Kami telah mengenal sedari kecil. Kami selalu bersama, Mamih. Semenjak dulu. Bahkan, aku rela melepas keperawananku dulu hanya untuk Hamam, Mamih. Pada malam pesta perpisahan sekolah SMU dulu, Mamih, kami ...,”“Cukup, Angelique. Cukup. Tak perlu kau jabarkan perihal masa lalu kalian yang sudah sama-sama rusak itu,” tukas Bu Sonia risih. Angelique terdiam. Berusaha menahan kegelisahan hati yang tak bisa disembunyikannya. Ibu mertuanya memandang risau. Mempertanyakan semua kesalahan yang telah dilakukannya.“Aku mencintainya, Mamih ...,” gugunya. Sesenggukan menangis di sudut sofa ruang keluarga Bu Sonia. Ia datang tanpa memperdulikan larangan ayahnya. Keluarga besarnya menentang keras keinginannya untuk rujuk dengan Hamam. Setelah peristiwa KDRT itu. Ah, cinta memang seaneh ini.“Tetapi, mengapa kau menyia-nyiakan semua kesempatan yang
Tanpa diminta, Angelique duduk di hadapan lelaki itu."Halo, Reinaldi," sapa perempuan itu ramah. Senyumnya yang paling manis terkembang begitu saja.Laki-laki itu tampak kurang senang ketika harus berhadapan dengan Angelique."Kursi itu sudah ada yang punya," ujarnya masam. "Aku tidak pernah mengundangmu untuk duduk di situ."Kebiasaan lelaki ini yang apa adanya membuat Angelique tertawa renyah. Deretan giginya tampak berkilau ditimpa cahaya sore musim dingin kota Vienna."Oww, belum ada yang punya," ejek perempuan itu sambil menyentuh jemari manis Reinaldi yang masih kosong.Lelaki itu secara spontan menarik tangannya menjauhi Angelique."Apa maumu, Angel?" desis Reinaldi waspada. Angel tapi kelakuan melebihi devil.Angelique kembali tertawa. Dia mengedarkan pandang ke sekeliling kafe, dan melihat beberapa pria memandang balik ke arahnya. Dia memang semenarik itu dengan blouse sutera sepadan dengan pantalon rajut yang semakin menampakkan keindahan tubuhnya yang jenjang. Seuntai ka
"Sayang ..., tidak apa-apa mami tinggal?"Panggilan lembut Bu Sonia ditanggapi dengan dingin oleh Angelique. Perempuan itu hanya membuang muka sambil meringis menahan sakit akibat bengkak di wajahnya. Pukulan Hamam benar-benar meluluhlantakkan tubuhnya.'Bagaimana mungkin Amy tahan hidup bersama Hamam setelah dipukuli seperti ini berulangkali? Terbuat dari apa tubuh wanita itu? Apakah ot*aknya terbuat dari baja atau bubur kertas sehingga mau menerima penyiksaan begini selama bertahun-tahun?' batin Angelique sambil memperhatikan dedaunan pohon mangga yang rimbun di ujung halaman rumah sakit.Setelah mendapat keker*san dari Hamam, keluarganya secepat kilat mengangkut Angelique ke rumah sakit. Ruangan VVIP segera disiapkan dengan kawalan ketat dari bodyguard keluarga Noto.Mereka sedapat mungkin meredam hal-hal yang bisa menjadi santapan para paparazi untuk konsumsi tabloid-tabloid murahan maupun acara-acara gosip tentang keadaan Angelique. Bukan main kemarahan yang ditunjukkan Tuan No
Hari telah menjelang sore, ketika pintu rumah Amy diketuk oleh seseorang. Dengan susah payah, ia bangkit dari sofa dan bergerak perlahan menuju pintu. Usia kandungannya telah mencapai delapan bulan, sehingga membuatnya sedikit sulit bergerak. Anaknya kemungkinan kembar. Hal yang patut ia syukuri dengan baik.“Ibu?” ucapnya terkejut. Saat sosok Bu Sonia berdiri di hadapannya dengan wajah masgyul. Tubuh perempuan tua itu tampak lebih kurus dari waktu terakhir mereka bertemu. Tanpa diduga, mantan mertuanya itu segera menubruk Amy dan mulai menangis tersedu-sedu. “Ib ..., ibu ...? Apa-apaan ini?” seru Amy sambil berusaha menjauhkan diri dari ibu Hamam. Tetapi, Bu Sonia semakin bergeming, lalu memegang sebelah tangan perempuan hamil itu sambil terisak-isak.“Amy ..., menantuku ..., anakku ..., mohon ..., mohon maafkan ibumu ini,” ucapnya sambil tersedu-sedu. Amy mengibaskan tangannya, berusaha melepaskan tangan wanita itu dengan takut. Bayangan wajah bengis mantan mertuanya dulu masih te
Reinaldi berdiri di depan jendela. Berusaha menyesap udara dan bernafas dengan normal. Ada sesak yang hendak menyeruak keluar dari rongga dadanya. Betapa belasan tahun lalu ia menginginkan momen tadi. Sebuah sentuhan halus menyapa punggungnya. Bertahan di sana dalam waktu yang lama. Menepuk-nepuk pelan otot-otot yang tegang lalu merangkul bahunya dengan hangat."Kau puas, Ali?" tanya Ari tanpa memandang wajah Reinaldi. Wajah tampan kakak iparnya itu menatap keluar jendela. Ke arah gedung-gedung pencakar langit di bawah sana. Reinaldi memandangnya. Merasakan kehangatan yang menenangkan dari rangkulan lengan kokoh Ari. Belasan tahun lalu, laki-laki inilah yang menguatkannya melewati semua cobaan terberat Ali. Saat-saat terburuknya. Lelaki yang kasih sayangnya melebihi saudara kandung.Air matanya merebak, hingga sosok itu bagai bayangan di hadapannya. Ari menoleh dan tersenyum. Menepuk-nepuk pundak dengan hangat, lalu mengeratkan rangkulan di bahu lebarnya, membiarkan Reinaldi menunduk