“Sini!” panggil Bastian keesokan harinya. Tangannya melambai ke arah Ali yang baru pulang dari sekolah. Anak lelaki kurus itu segera menghampiri. Seragam merah putihnya tampak lusuh dan dekil. Heran dengan mimik wajah Bastian yang tampak serius. Ia sampai di hadapan anak lelaki berseragam putih biru. Bercelana pendek dengan seragam rapi. “Ya, Kak?” tanyanya heran. Tak biasanya Bastian memandangnya sedalam ini. Pasti ada hal yang benar-benar penting yang ingin disampaikannya. Alis Bastian bertaut dengan tangan bersedekap di depan dada.“Gini...,” ucap Bastian memulai sambil menghembuskan nafas. Ali menunggu. “Kenapa lu lakuin itu kemarin? Nelusurin sungai sampe malem. Lu tau kan bahayanya bagaimana. Cuma gara-gara selendang?!” Ali menunduk. Lalu mengusap belakang kepalanya. Dengan malu ia menjelaskan semuanya. “Yah..., bukan sembarang selendang sih kak. Itu selendang peninggalan ibunya Amy. Kata dia, selendang itu yang dipakai ibunya waktu terakhir kali sebelum kecelakaan,” wajahnya b
Setelah insiden pemukulan yang berakhir dengan patah dua gigi di pihak Badrun dan tepung tawar bernilai dua ratus ribu. Maka dimulailah siklus pendewasaan mereka. Anak-anak Wak Hasan tumbuh menjadi anak yang rupawan dan disegani. Bastian yang sekarang sudah kelas tiga SMA, tumbuh menjadi laki-laki bertubuh gempal dan kekar. Sedangkan Ari yang seumur dengan Ali, sudah menduduki kelas satu SMA. Bertubuh ramping dan tampan. Dengan seringai usil yang selalu menghiasi wajahnya. Sedangkan Ali, ya Ali. Ia tumbuh menjadi pemuda gagah yang dewasa sebelum waktunya. Tubuhnya yang dulu kurus dan ringkih mulai berisi dengan otot-otot, yang terbentuk alami karena kerasnya kehidupan. Rahangnya tampak kekar dengan mata setajam elang yang menaungi wajah. Kulitnya cokelat karena sering terbakar sinar matahari. Dia tumbuh menjadi pemuda yang jangkung dan rupawan. Tapi, miskin. Akan halnya Amy. Ia menjelma menjadi gadis rupawan. Bertubuh langsing dengan porsi yang sesuai. Tubuhnya yang kecil dengan
Hari berganti hari. Bulan ke bulan menjadi tahunan. Lalu, setelah bilangan menyapa di usia dewasa, anak lelaki dan perempuan itu telah tumbuh menjadi pemuda dan pemudi rupawan. Yang matang dalam kehidupan yang serba kekurangan. Menjadikan pribadi mereka menjadi sosok yang dewasa sebelum waktunya. Bastian tak meneruskan jenjang pendidikannya. Merelakan semua kemewahan itu untuk Ali dan adik-adiknya supaya bisa meneruskan SMA. Setelah melalui perdebatan sengit dengan Wak Hasan, yang menginginkan anak sulungnya untuk kuliah, Bastian akhirnya memenangkan debat itu. Dan menyisakan kekecewaan yang menjadi bibit penyakit di tubuh Wak Hasan. Lelaki yang beranjak tua itu, merasa tak berarti, karena tak mampu menyekolahkan semua anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Akan halnya Bastian, yang tumbuh menjadi laki-laki tangguh dan bertanggung-jawab, menghibur ayahnya. Memberikan estafet perkuliahan itu kepada Ari saja. Sedangkan Ali dan Amy tahu diri. Tak berniat menuntut lebih. Di
Saat itulah, Amy pertama kalinya bertemu dengan Hamam Prasetyo. Pak Prasetyo yang satu-satunya terlihat antusias mengenalkan mereka berdua. Wak Hasan hanya tersenyum canggung dan berulangkali melirik Amy, menyaksikan wajah keponakannya yang memerah tanda tak nyaman. Tapi, ia tak ingin menyakiti hati sahabatnya yang sangat baik hati dan dermawan itu. Bukan main gagah dan tampannya pemuda itu. Kulitnya putih serupa dengan kulit Amy. Tubuhnya jangkung dan tegap. Dadanya bidang dengan rangkaian otot menyusun perutnya yang ramping. Wajahnya tegas. Dengan rahang mencuat angkuh dan bola mata cokelat hazel yang indah dan sedikit nakal. Hidungnya tegak lurus dengan bibir tipis serta menawan, yang menyunggingkan lekukan sedikit merendahkan setiap kali ia tersenyum. Aura aristokrat dan ningrat jelas menyelubungi keseluruhan dirinya. Poppy bahkan lupa menutup mulutnya saat ia bersalaman dengan Hamam. Akan halnya Amy, bergerak-gerak gelisah setiap Hamam memandanginya. Merasa tak nyaman deng
Duhai, betapa besar perbedaan antara cincin dua gram dengan cincin berbatu berlian belasan karat itu. ***♡♡♡***Perdebatan sengitpun terjadi. Antara Ali dan keluarga Wak Hasan. Mereka didudukkan dalam satu ruangan. Membahas tentang kabar mengejutkan yang baru saja diterima Ali.Perdebatan yang berujung dengan teguhnya keputusan Amy dengan pertunangan itu."Sudah bulatkah keputusanmu, Amy? Menikah bukanlah perkara main-main. Tak ada yang memaksamu untuk menikah dengan Hamam," tanya Wak Hasan. Mata tuanya lekat menatap anak adik semata wayangnya.Amy lama menunduk. Lalu, kemudian ia menegakkan kembali kepalanya. Memandang ke sekeliling, kepada Wak Hasan, Wak Hasan Tino, Kak Bastian, Kak Ali, Poppy dan berakhir di wajahAli."Amy sudah memutuskan, Wak. Tak ada paksaan atau apapun dari mereka, Ali. Ini adalah murni keinginanku," ucapnya teguh sambil terus memandang Ali.Mata lelaki itu terbeliak lebar. Masih tak percaya dengan semua mimpi buruk yang menimpanya. Bagaimana mungkin, setelah s
"Aarrghh!!"Suaranya yang berat dan dalam menggema di antara bebatuan. Begitu terus berulang-ulang hingga suaranya menjadi serak. Amy menjerit-jerit, memohon supaya Ali berhenti sambil menutup kedua telinganya."Ali ...! Hentikan! Hentikan, Ali! Aku salah! Aku salah! Maafkan aku! Maafkanlah, aku ...," rintih Amy sambil berusaha menarik pinggang Reinaldi supaya bergerak menjauhi bibir jurang.Akhirnya mereka berdua jatuh berguling ke atas permukaan tanah yang sedikit berumput menjauhi bibir jurang. Amy terus-menerus sesenggukan dengan air mata dan ingus yang berleleran di wajahnya."Aku pergi bekerja, Amy! Dua tahun! Dua tahun aku harus bertahan hidup di pedalaman hutan itu! Kau lihat bekas-bekas luka ini? Jangan tutup matamu!" teriak Ali sambil kembali mencengkeram bahu Amy dan memaksanya melihat gurat-gurat bekas luka yang telah memutih di sepanjang lengannya.Dengan geram Ali membuka kemejanya hingga lepas dan bertelanjang dada. Perempuan itu tersedu-sedu, berusaha mengalihkan pandan
Wak Hasan meninggal.Berita apa lagi yang bisa meluluhlantakkan dunia Ali setelah pernikahan Amy?Ia mendapat kabar itu pada tengah malam. Saat ia duduk termangu, setelah berhari-hari terpukul dengan keputusan keluarga itu. Badrun datang dengan tergesa-gesa ke kontrakannya di kota. Sebuah petak kecil di gang sempit nan bau.Seluruh tubuh Ali bergetar, kemudian ia jatuh lemas. Seakan-akan tulang-belulangnya dilolosi satu-persatu. Airmata menggenang lalu luruh, mengingat pertemuan mereka yang terakhir kali berakhir dengan menyedihkan. Siapa yang menyangka, jika itu adalah saat terakhir ia bisa melihat dan memeluk laki-laki yang telah dianggapnya sebagai Ayah kandung?Tak lama kemudian, kedua orang itu keluar dengan tergesa. Membawa buntilan baju milik Ali yang tak seberapa. Lalu mereka menaiki mobil pick up yang dipinjam Badrun dari tetangga. Hanya untuk menjemput Ali. Tiga jam perjalanan, dari Jakarta ke Bandung, dilalui dalam diam. Masing-masing sibuk dengan pikiran mereka sendiri-send
Bahkan lebih sakit dari ketika Amy meninggalkannya. Jantungnya berdetam kuat, saat ia memasuki rumah dan mendapati keadaan, bahwa rumah yang dulu sering disinggahinya, dalam keadaan yang benar-benar memprihatinkan.Kelumpuhan yang diderita oleh Bastian, benar-benar telah menguras perekonomian Wak Hasan sekeluarga. Barang-barang yang berharga telah dijual. Bahkan kursi goyang tempat Wak Hasan sering duduk mengaso di sore hari, telah berpindah ke lain rumah. Pandangan Ali beredar ke sekeliling rumah. Tampak Bastian berbaring di atas kasur tipis di dalam kamarnya. Terus-menerus menangis menyesali kelumpuhannya. Kakak laki-laki tertua itu menjadi begitu lemah semenjak lumpuh. Sesungguhnya, ia bukan laki-laki yang lemah. Namun kelumpuhan ini benar-benar menggerus jiwanya. Ia bukan orang yang suka diurus orang lain. Dialah yang harusnya mengurus keluarganya. Ari duduk terpekur di sudut kamar. Ikut menangis dalam diam. Duduk melipat kaki di depan dada dan menenggelamkan kepala di antaranya.