Baru saja mendengar deru motor Mas Dennis masuk ke pekarangan rumah hingga akhirnya memarkir di teras, Haseena dan Almeer tidak berhenti bersorak kegirangan kalau Papa mereka sudah pulang bekerja. Kulirik jam dinding ketika hendak membukakan pintu, sudah menunjukkan pukul 21.00 malam.
Kret!"Papa ... Papa, aku mau gendong," pinta Haseena dengan mengangkat kedua tangannya minta digendong Mas Dennis."Pa ... Pa ..." Almeer juga tak mau kalah."Udah ya, Nak. Papa capek mau tidur. Makan saja ini." Dia memberikan kantong kresek isi makanan pada Haseena lalu membuka hoodienya tanpa memedulikan Haseena dan Almeer dia pun bertolak ke kamar.Sungguh panas netraku melihat sikapnya, itu anak-anaknya kenapa bersikap seperti bukan darah dagingnya? Capek katanya? Apa dia nggak mikir aku nggak capek ngurus anak sendirian 24 jam.Geram melihat tingkahnya, aku pun menyusulnya ke kamar, "Mas, kamu pulang udah malam gini main dulu lah sebentar sama anak-anak. Nggak liat antusias mereka nyambut kamu pulang?" protesku. Rasanya lebih sakit ketika melihat Mas Dennis tidak menggubris anak-anak ketimbang perlakuan kasarnya padaku tadi pagi."Udah, ah ... jangan banyak bacot, aku capek nggak ada waktu buat main sama anak!" hardiknya, lalu kulihat dia menghenyakkan tubuhnya di atas ranjang, dengan lincah jarinya mengusap-usap benda pipih itu.Melihat aku menyusul Mas Dennis ke kamar, Haseena dan Almeer langsung naik ke atas kasur."Yuk, nak kita keluar!" ajakku pada Haseena dan Almeer yang tengah asyik melompat-lompat di atas kasur.Aku bertolak ke dapur membuka kantong kresek yang diberikan Mas Dennis tadi, rupanya ada makanan siap saji yang dia beli, tapi kenapa ini seperti sudah dibuka dan dimakan?"Mas, ini kok seperti udah dibuka sama dimakan ya makanannya?" tanyaku langsung ke kamar, daripada menerka ataupun suudzon lebih baik kutanyakan langsung pada Mas Dennis."Emang sudah dibuka dan dimakan. Itu kelebihan malah karena ibu dan Erlyn sudah kekenyangan," jawabnya santai tanpa menoleh malah masih asyik memainkan gadgetnya."Ya Allah, jika tidak bersisa, mungkin tidak kamu bawa pulang kali ya, Mas?" gumamku membathin."Kenapa masih berdiri di situ? Mau protes, iya? Bersyukur dikit kenapa, untung masih kubawakan walaupun sisa," hardiknya."Ma, aku mau. Aku mau, Ma," Haseena dan Almeer merengek meminta makanan yang dibawa Papanya tadi. Aku pun mengambil dan memberikan sepotong ayam goreng crispy yang dibagi dua, setengah untuk Haseena dan setengah lagi untuk Almeer."Astagfirullah, padahal tadi pagi aku meminta uang untuk membeli ayam tidak dikasih, sekarang giliran makanan siap saji goreng ayam crispy untuk ibunya yang mahal malah dibelikan." Bulir bening membasahi pipiku lagi tanpa permisi. Sejak menikah dengannya, tak terhitung aku menangisi setiap kejadian yang tidak mengenakkan.***Denting jam sudah menunjukkan pukul 22.00 malam, aku pun mengajak Haseena dan Almeer untuk masuk ke kamar satunya lagi. Anak-anak terpisah tidurnya dari Mas Dennis karena dia merasa terganggu karena Almeer suka menangis minta susu tengah malam. Padahal tangisan Almeer tidak begitu keras, lagi pula aku juga yang bangun untuk membuatkan susu untuk Almeer.Tidak butuh lama, lima belas menit kemudian anak-anakku sudah tertidur dengan lelap. Kembali mataku berkaca bahkan bulir bening ini tak mau diajak kompromi, hatiku hancur ketika menatap wajah kedua anak-anakku. Harusnya mereka dapat perlakuan baik, jika bisa mereka memilih tentunya anak-anakku ingin mempunyai orang tua yang benar-benar bertanggung jawab lahir dan bathin.Kuambil gawai pipih yang selalu disimpan di bawah bantal, aku mulai mengecek apakah sudah ada yang memesan outer yang kupasang di story WA tadi. Aku pun juga tak lupa mengunci pintu, tentu aku lebih leluasa menjalankan jualan online ini. Pasti dia menyangka aku di kamar anak-anak cuma meninabobokan saja."Han ... buka pintunya. Ngapain sih dikunci segala," panggil Mas Dennis dengan terus mengetuk tanpa jeda. "Lagian ini kenapa pakai dikunci segala sih," terdengar dia menggerutu dari luar. Gegas aku pun menyimpan gawai pipih di bawah bantal, padahal ada beberapa teman ku yang sudah menanyakan harga outer yang ku pasang di story WA."Iya, tunggu sebentar," sahutku pelan. Takut anak-anak terbangun.Kret!"Lama banget sih buka pintunya, dasar lelet!" bentaknya."Aku lagi nidurin anak, takut kamu nyolonong masuk malah anak-anak nggak jadi tidur," jelasku. Tapi memang begitu faktanya karena pernah kejadian. "Lho kamu mau kemana, Mas? Rapi bener?" tanyaku penuh selidik.Katanya capek, tapi yang kulihat sekarang dia sudah berpakaian rapi, pakai blues dan jeans panjang."Bukan urusan kamu, aku cuma ngasih tahu jangan dikunci dari dalam karena biarku bawa kunci sendiri.""Katanya capek, kok malah pergi, Mas?""Udah, ah ... jangan banyak cincong. Lagian anak-anak juga udah tidur. Aku mau kemana, mau ngapain juga bukan urusan kamu. Ingat, itu lampu semuanya dimatiin biar hemat. Nanti aku juga yang kejer nyari duit buat kalian." cerocosnya seraya berlalu dari hadapanku.Ini rumah tangga semacam apa? Aku punya suami tapi terasa janda. Anak-anakku juga seperti anak yatim, tak diperhatikan sama sekali. Jika tahu menikah sesakit ini dan serapuh ini tak mungkin aku akan memilihmu, Mas!Kututup kembali pintu kamar dan tak lupa menguncinya. Semenjak Mas Dennis protes karena Almeer selalu menangis tengah malam, aku lebih memilih tidur bersama dengan anak-anak ketimbang dia. Buat apa juga satu ranjang, bukankah aku tak berguna? Datang padaku jika terdesak urusan hasratnya saja. Selebihnya, aku patung yang tak bernilai.Suara deru mesin motor Mas Dennis perlahan mulai hilang dari pendengaran, entah kemana dia malam-malam begini. Ah ... sudahlah tak berujung juga jika aku selalu sibuk memikirkan sikapnya yang tak berubah. Kuambil kembali gawai pipih, lalu membalas satu per satu chat yang masuk.[Han, ini kira-kira muat nggak ya sama aku? Nggak masalah sih harganya, yang penting muat dulu?] isi pesan dari Telly temanku ketika kuliah.[Muat Tell, kamu mau model yang ini?] balasku, body Telly memang sedikit berisi.Tanpa menunggu lama, Telly pun membalas pesanku[Yaudah aku model yang ini satu, sama model yang ini satu lagi. Mana nomor rekeningnya Han?]Tanpa banyak drama dia langsung menunjukkan model outer yang diinginkan. Senyumku mengembang sempurna kala Telly menanyakan nomor rekening.[Alhamdulillah, makasih yah Tell, kirim saja ke rekening a.n Hanindia Prita Bank CIMB Niaga Syariah nomor 45433373xxxx bajunya 250rb ongkir 20RB total 270rb yah Tell] jelasku rinci.Centang dua birunya langsung aktif, berarti Telly memang standby.[Oke, bentar aku kirim ya]Alhamdulillah, dari dua helai baju yang dibeli Telly aku dapat untung 40rb karena satu helai baju aku memgambil untung 20rb, setidaknya bisa nambah-nambah untuk beli susu anak-anak ataupun keperluan mereka lainnya.Sementara menunggu transferan dari Telly, aku pun membalas pesan yang masuk dari Cantika, temanku sewaktu SMP.[Han, model ini berapaan?][125rb, Can] balasku.Rupanya cantika juga langsung merespon pesan balasanku.[Mahal ya, di dekat rumahku aja cuma 60rb motifnya sama. Kamu jangan banyak ngambil untung lah Han. Baru juga jualan, mana ada yang beli kalau begini. Mau jualan atau mau korupsi nih, Han?] ejeknya, disertai dengan emoji tertawa mengeluarkan air mata.Deg!Aku ternganga membaca pesan dari Cantika, isi pesannya sangat membuatku tersinggung. Kalau memang tidak mau beli juga tak perlu menghujatku juga. "Sabar, Han. Ini hanya kerikil dalam jual beli." Aku menguatkan diri.[Yaudah, beli aja yang dekat rumah kamu, Can] balasku. Tak perlu juga aku menghujatnya balik karena hanya menghabiskan tenaga dan pikiranku saja.Beberapa detik setelah membalas pesan dari Cantika, aku mendapat pesan dari Telly.[Han, ini bukti transfernya ya. Ini juga alamat rumahku]Ya Allah, aku sujud syukur baru juga beberapa jam memposting, Alhamdulillah sudah ada pembeli.[Alhamdulillah, makasih banyak ya Tell. Besok ku kirimin resinya ya][Oke, Han]Telly memang terbilang sukses sekarang, padahal dulunya dia dibesarkan dari keluarga sederhana. Tinggal diujung desa yang sangat terpencil. Allah memang bisa membolak-balikkan kehidupan seseorang. "Semoga suatu hari nanti hidupku dan juga anak-anak menjadi lebih baik, Ya Allah," harapku dalam hati.Tanpa terasa kulihat jam di gawai pipih sudah menunjukkan pukul 00.30 tapi belum ada tanda-tanda kepulangan Mas Dennis. Kemana dia? Aku takut dia balik lagi ke lubang hitam itu."Hanin ... Buka pintunya!" Aku terperanjat kaget mendengar teriakan di luaran sana. Aku tahu siapa yang datang, mertuaku."Sebentar, Bu," sahutku berjalan setengah berlari.Kret!"Dasar menantu tidak tahu diri, kenapa kamu usir anak saya? Hah? Jawab? Makin hari saya lihat, kau makin k*r*ng ajar ya." serang ibu.Tanpa ucapan salam, tanpa masuk ke dalam rumah, dan tanpa bertanya lebih dahulu, dia mencercaku dengan entengnya."Ngusir siapa maksud ibu? Kenapa ibu berkata demikian? Masuk dulu, Bu. Nggak enak diliat orang," usulku."Di sini saja, biar orang-orang tahu kamu itu istri macam apa.""Kamu masih nanya siapa? Siapa lagi kalau bukan Dennis, kamu usir Dennis dini hari 'kan? Kamu sakit hati perihal uang arisan saya? Iya? Hah? Jawab?" Matanya melotot tajam bak ingin menerkamku."Aku tidak ada mengusir Mas Dennis, Bu. Semalam malah dia yang berpamitan keluar rumah. Aku cuma protes karena dia nggak ada waktu buat main sama anak.""Wajar dong dia bilang capek. Dia kan kerja. Kalau kamu n
Ide cemerlangku menari di pelupuk mata. "Allah sudah ciptakan aku untuk menjadi manusia yang kuat dan pantang menyerah, sekalipun hatiku begitu rapuh." Tanpa pikir panjang aku pun langsung mengomentari status story WA Bang Gunaldi.[Abang jualan sekarang?] tanyaku, karena story WA yang dipasang Bang Gunaldi adalah beberapa koleksi baju wanita, mulai dari daster, longdress, dan model baju lainnya.[Iya, Han. Istri Abang yang jual, Abang cuma bantu-bantu promoin saja] balasnya. Aku tak perlu menunggu lama karena Bang Gunaldi hitungan detik langsung membalas pesanku.[Wah, iyakah? Boleh aku jadi resellernya, Bang?] balasku antusias.[Boleh, banget. Abang telepon ya? Lagi nggak sibukkan?][Boleh, Bang. Nggak, anak-anak lagi sibuk main] balasku sigap. Pilu dan risau hatiku seketika terbang mengudara.Detik kemudian ada panggilan masuk dari Bang Gunaldi, tanpa mengulur, aku pun langsung mengangkatnya."Halo, Bang," sapaku. "Jadi gimana sistem kerjanya, Bang?" tanyaku pada topik pembicaraan.
"Lepasin, Mas!"Aku berusaha keras menyentak tangan yang digenggam kuat Mas Dennis. Namun, energi ini seolah tak berdaya karena sudah terkuras dengan segala pekerjaan rumah tangga."Aku nggak akan lepasin sebelum kamu jujur. Ada hubungan apa kamu dengan Julio?!" teriaknya.Kulihat matanya makin memerah, lebih merah dari yang kulihat tadi pagi, entah efek kurang tidur atau ..."Aku tidak ada hubungan apa-apa, Mas sama Julio," protesku, dengan derai airmata. "Apa yang perlu dijujurin lagi, nyatanya memang aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Julio.""Kalau kalian tidak ada hubungan apa-apa, kenapa bisa Julio datang ke sini? Hah, jawab!""Aku juga nggak tahu kenapa dia bisa datang ke sini." jawabku lirih. "Halah ... !" tepisnya.Aku terpental ke kasur ketika Mas Dennis mendorong. dengan keras."Lantas, aku akan percaya begitu saja dengan ucapanmu itu, Han? Tidak semudah itu, mana mungkin maling mau mengakui perbuatannya. Apa yang kulihat tadi tidak sesuai dengan apa yang kamu utarakan,
"Bu ... tadi pinjamannya nggak banyak. Cuma dapat tiga juta," ujar Mas Dennis.Apa? Mas Dennis meminjam uang tanpa sepengetahuanku? Dengan siapa dia meminjam uang sebanyak itu? Di dalam kamar, pikiranku sibuk menerka-nerka. Demi makan enak untuk aku dan anak-anaknya saja dia tidak mau, akan tetapi demi ibunya ... "Kok cuma tiga juta? Tapi yaudahlah, mana uangnya? Ibu lagi butuh sekarang, besok sore ada arisan di rumah jadi subuh besok ibu udah mulai siapin semuanya.""Dennis cuma bisa ngasih segini, Bu," "Apa? Cuma 500rb? Kok sedikit, 'kan kamu minjamnya tiga juta," pekik ibu tak terima. "Kamu kasih ke Hanindia ya?" tuduh mertua. "Sebagian dari pinjaman kubelikan Erlyn tas, Bu. Sisanya untuk pegangan sebelum aku gajian. Stok kebutuhan masak juga nggak ada, Bu," jelas Mas Dennis."Bener 'kan dugaanku, tas yang ada di story WA Erlyn tadi harganya sejutaan. Sebegitu spesialkah Erlyn di matamu, Mas?"Ada perih di dada ini. Sakit dan sangat sakit bagiku. Aku menyeka air mata, lagi dan la
"Tampar ... tampar aja ... sekalian saja ambil pisau, bunuh saja sekalian. Biar kamu tahu rasanya gimana ngurusin anak dari A sampai Z," serangku. Dia mendengkus kasar dan berlalu. Tak lama kemudian terdengar deru mesin motornya.Kalau tidak karena anak-anak masih kecil, aku sudah minta cerai dari dulu. Aku tidak mau anak-anak bernasib sama denganku, dibesarkan tanpa seorang ayah. Emak ditinggal Bapak karena perempuan lain saat aku duduk dibangku kelas satu SMP. Kuseka air mata, lalu lanjut mencuci piring.Aku juga tak tahu mengapa bisa bertahan sejauh ini, entah harapku terlalu yakin dia akan berubah, entah takdir yang masih mengantarku tetap bersama. ***"Ada apa Julio nelepon siang-siang begini?" tanyaku dalam hati. "Iya, Jul, Halo." Terpaksa aku mengangkatnya."Han ... maaf soal yang kemarin aku tidak ada maksud apa-apa," "Kalau tidak ada maksud apa-apa, kenapa kamu memberiku uang, Jul?""Aku kasihan sama
Tok ... Tok ... Tok ...Tiap kali ada yang mengetuk pintu, aku merasa trauma, bahkan mulai ada rasa takut untuk membukanya. Apalagi tidak ada ucapan salam atau memanggil namaku sekedar bunyi ketukan pintu.Tok ... Tok ... Tok ..."Han ... buka pintunya!" sorak Mas Dennis."Kok dia udah pulang kerja jam segini?" tanyaku dalam hati. Padahal baru saja ingin membaca sms pinjaman online yang masuk.Tok ... Tok ... Tok ..."Hanindia ... lama banget sih!" suaranya semakin keras.Dengan sigap aku langsung menaruh handphone di bawah bantal, lalu mengatur napas jangan sampai Mas Dennis curiga akan gerak-gerikku.Kret!"Dasar lelet, buka pintu saja lama!" umpatnya bersamaan dengan mendorong pintu yang tak sepenuhnya terbuka."Hooaaammm ..." aku pun pura-pura menguap tentu dengan menutup mulut sesuai adap."Enak ya kamu di rumah tidur di siang bolong kayak gini, aku panas-panasan di luar sana. Mak
"Ini, Kartika lihat sekarang kakak jualan online yah," tanyanya yang sekarang nada suaranya terdengar serius."Iya, Kar. Nambah-nambah penghasilan, mumpung juga keponakanmu udah beranjak gede, memangnya kenapa, Kar? Kok tahu kakak jualan online?""Iya, Predisa yang bilang. Dia lihat story di WA kakak. Nah kebetulan aku sekarang lagi merintis bisnis jilbab, kak. Mau nawarin kakak mau nggak jadi resellernya aku?" "Apa, Kar? Kamu punya usaha jilbab sekarang, wah keren. Mau ... mau ... Gimana sistem kerjanya nih?" tanyaku antusias."Ya sama kayak online shop yang lain kak. Aku ngasih ke kakak harga reseller nanti terserah kakak mau jual berapanya," "Ashiaaaapp ... Kart. Kirimin langsung foto-foto jilbabnya yah!" suruhku.Sambungan telfon pun berakhir, senyumku semakin mengembang. Bagai ketiban durian runtuh, sekalipun sakit terkena duri tapi ketika memakan isinya begitu manis. "Alhamdulillah, Ya Allah atas jalan yang Engkau be
"Satu lagi, jangan di rumah saja. Kerja kek, apa kek, jangan jadi istri manja cumanya bisa nampung aja. Ibu dulu bisa kok , mengasuh anak sembari berjualan. Nggak kayak kamu, lempengnya minta ampun," hujatnya."Sudah! Ibu mau tidur, ganggu orang istirahat saja kamu!" "Apa ibu tidak tahu, jikalau Mas Dennis sudah dipecat? Berarti kamu tidak di rumah ibu, Mas? Kamu kemana?" Benar 'kan apa yang kutakutkan terjadi, bukannya dapat jawaban malah beruntun hujatan yang dia lontarkan. Entahlah! Padahal sedikit pun aku tak cemburu jikalau Mas Dennis bisa berlaku adil atau setidaknya lebih menjadi lelaki yang pekerja keras. Lagi dan lagi, kuseka air mata yang jatuh membasahi pipiku yang tak terawat lagi.Kuputuskan untuk menidurkan anak-anak terlebih dahulu, apalagi dentingnya jam sudah menunjukkan pukul 21.00 malam. Kurang lebih menidurkan Haseena dan Almeer selama setengah jam, aku kembali mengambil gawai pipih yang tertinggal di ruang tengah. Tadi kelupaan membawanya, karena aku sibuk membua
(khusus bab ini alurnya maju-mundur ya, reader)"Lalu, apa yang terjadi setelah itu, Ma?" tanya Haseena, kulihat matanya sudah berkaca-kaca sedari tadi."Iya, Ma. Kenapa Papa dan Mama bisa bersatu lagi?" tanya Almeer antusias."Terus bagaimana dengan Tante Erlyn? Mereka jadi test DNA, Ma?" tambah Haseena lagi."Aku juga penasaran, Kak dengan Tante Lulu. Dia 'kan julidnya kebangetan, Ma. Gimana dia sama suaminya?" tanya Almeer lagi."Nah iya, Dek. Kakak juga penasaran tuh sama Tante Lulu? Kok ada ya orang punya mulut sejulid dia, heran ..." protes Haseena."Ya ada lah, Kak. Dari zaman behulak juga udah, ada." timpal Almeer. Mereka tawa mereka pecah. Terbahak-bahak yang begitu keras hingga mengundang Mas Dennis keluar dari kamar."Kalian lagi cerita apa, sih? Kok kayaknya seru banget?" timbrung Mas Dennis, dia memutar roda yang ada pada kursi rodanya."Nggak ada, Mas. Cerita lelucuan zaman dulu, zaman kamu tidak waras, Mas," ejekku sembari terkekeh."Astagfirullah, Hanindia ...." Mas De
"Nggak, Mas. Tadi yang ngantar Juliana dan Bu Minah bukan Julio. Kamu ingat 'kan Bu Minah, tetangga ibumu dulu, dia sudah pindah dua tahun lalu," aku masih berusaha menjelaskan pada Mas Dennis yang sudah berkawan setan, karena raut wajahnya suka memerah seperti bara api."Dia bohong, Den. Kamu jangan percaya, tadi ibu lihat sendiri selingkuhannya itu yang ngantar pulang," timbrung ibu dengan lantang diikuti dengan menyunggingkan ujung bibirnya."Aku berani sumpah, Mas. Aku tidak bohong sama sekali. Juliana barusan pergi, aku bisa minta dia untuk balik ke sini lagi kalau kamu tidak percaya," ucapku seraya terus meyakinkan Mas Dennis."Bu ... tolong jangan memperkeruh keadaan. Jangan memutarbalikkan realita sebenarnya. Jelas-jelas ibu lihat sendiri aku diantar Juliana dan Bu Minah tadi. Bahkan Ibu ikut mengobrol dengan Bu Minah dan juga Juliana. Ibu sebenarnya kenapa sih? Sampai segitunya memfitnahku!""Ngaku aja deh, Han. Nggak usah berselimut dusta gitu," timbrung Erlyn."Kamu lihat '
"Itu supir taksi online, Bu. Bukan ..."Belum selesai aku berbicara, lagi dan lagi ibu sudah memotongnya, "Haa ... apa? Supir taksi online? Hahahaha ..." tawa beraroma sindiran itupun pecah, "Mana ada maling yang mau ngaku. Kalau banyak maling ngaku, udah penuh tuh penjara.""Bu ... kasih aku kesempatan untuk jelasinnya, jangan seperti ini," pintaku lirih."Kesempatan apa? Kesempatan supaya kamu bisa nyakitin anak saya lagi? Iya? Oh ... tidak bisa Hanindia ..." Telunjuknya ikut bermain arah kiri ke kanan persis di depan wajahnya."Udah, Bu. Seret aja, Bu. Daripada ngelunjak nantinya, Bu," hasung Mbak Lulu. Aku pikir dia sudah beranjak dari sana."Assalamu'alaikum, Bu Iyum." Terdengar ucapan salam di belakang sana, aku sedikit terkejut melihat Bu Minah menyapa mertua yang baru saja keluar dari mobil. Wajahnya yang memerah dan amarah yang bagaikan bom yang siap meledak berubah dratis bahkan tiga puluh enam derajat celsius."Ibu Minah?!" pekik ibu kaget bukan main, terkesiap, dan terper
Rasaku berkecamuk, hatiku sakit, tapi melihat Haseena menangis seperti ini juga membuat ku semakin bersalah. Baru saja aku menghirup udara segar rasanya, berpikiran sedikit tenang.Ting ... Tung ... Ting ... Tung ..."Assalamu'alaikum,""Itu pasti Non Juliana, Ibu bukain pintu dulu ya, Han," aku mengangguk pelan."Ma ... Kakak mau pulang," Haseena terus saja merengek meminta pulang, kuseka air matanya yanh begitu deras membasahi pipi mulusnya. "Ma ..." panggil Almeer yang baru bangun dari tidurnya."Sini, Nak," kupeluk kedua anakku, air mata yang sedari tadi kutahan kini tumpah ruah juga akhirnya."Lho, Hanindia ... kamu kenapa?" aku menatap wajah Juliana dia tampak heran melihat kami bertiga berpelukan."Apa yang terjadi, Bik?" tanya Juliana pada Bu Minah yang sedang berdiri di ambang pintu."Haseena, pengen ketemu sama Papanya, Jul," jawabku pelan."Oooh ya sudah, nggak apa-apa, Han.""Kakak, mau pulang ya, Nak?" Juliana mengelus kepala Haseena, gadis cantik itu mengangguk dalam si
Ku sisir pandangan sampai bagian belakang mobil yang dikemudi Juliana hilang dari pandanganku, mengunci pintu lalu berjalan menuju kamar sekedar mengintip, dan rupanya mereka masih tertidur dengan lelap.Aku beranjak menuju ruang samping dapur yang digunakan khusus mencuci dan menjemur pakaian di sana. Aku ingin menemui Bu Minah karena masih penasaran dengan ucapan Bu Minah tadi soal Erlyn. Mumpung Juliana sedang berpergian aku pun tak melewatkan kesempatan bertanya lebih leluasa dengan Bu Minah. Design rumah Juliana terbilang unik menurutku, walaupun setiap ruangan tidak terbilang besar tetapi karena di design penuh cekatan makanya terlihat rapi dan tertata. Di lantai dasar ada dua buah kamar yang letaknya berdampingan, antara ruang tamu dan ruang tengah di"Bu ..." panggilku."Astagfirullah Al'adzim, Hanindia ... kamu bikin ibu kaget saja," Bu Minah terperanjat karena kaget sembari menepuk-nepuk dadanya dan tak henti beristighfar."Maaf, Bu. Nggak bermaksud ngagetin. Hmm ... itu Bu
Esok harinya ..."Eh, Han kamu nggak usah repot-repot," sergah Juliana dari belakang. Seketika ku hentikan aktivitas mencuci piring dan menoleh ke belakang."Kamu udah bangun, Jul?" sapaku, "Nggak apa-apa, Jul. Udah kebiasaan aku juga kayak gini. Itu teh hangat udah kubikin untuk kamu sama roti selai coklat juga.""Ya ampun Hanindia ... Wah makasih, Han. Aku jadi nggak enak malah kamu siapin sarapan. Nggak usah repot-repot nyuci piring dan lainnya, Han. Lagian nanti juga ada yang beresin rumah, palingan Bik Minah bentar lagi juga datang," ujar Juliana."Bik Minah? Siapa tuh, Jul?" aku tetap melanjutkan mencuci piring dan sekawannya karena nanggung hanya tinggal beberapa biji saja."Orang yang bersihin rumahku setiap pagi, Han. Dia datang jam 6 pagi, nanti sebelum aku pergi kerja dia sudah pulang lagi, bentar lagi juga datang," ujar Juliana, gadis berkulit putih dan berambut sepanjang punggung itu."Memangnya kenapa, Han? Kok wajahmu kayak bingung gitu?" tanya Juliana heran sambil meng
"Iya, nggak apa-apa, Han. Kamu kalau ada apa-apa jangan sungkan sama aku. Kalian di sini aku senang banget. Rumah ramai, biasanya aku sendiri saja. Juliana belum menikah sekalipun secara karir dia begitu sukses, sangat menjadi kebanggaan orang tuanya. Malah ekonomi orang tua Juliana ikut menanjak naik dikarenakan dimodali usaha beras oleh Juliana di kampung halaman."Aku? Entah kapan bisa membahagiakan, Mama yang sekarang tinggal seorang diri di kampung,""Makasih banyak ya, Jul.""Iya, aku bikinin minum dulu," ujar Juliana hendak beranjak."Oo iya, Jul. Maaf, kamar mandinya dimana? Aku mau mandiin Haseena dan Almeer dulu."Ada di dalam kamar depan, Han. Kamu masukin aja barang-barang ke sana. Itu memang kamar khusus tamu," jelasnya dan berlalu ke belakang.Haseena dan Almeer tengah asyik bermain kejar-kejaran. Tak ada raut cemas sama sekali di wajah mereka ketika berada di rumah Juliana. Padahal ini baru kali pertamanya mereka ke sini sama sepertiku.Sembari menunggu Juliana membuatk
"Eh ... Ada yang mau kabur sepertinya," sindir Mbak Lulu ketika aku masuk ke dalam taksi online. Entah mengapa harus bersamaan waktunya taksiku datang dengan adanya wanita julid ini di sini."Mau pergi ke rumah selingkuhannya ya, Han?" tuduhnya, tidak ada angin ataupun hujan malah cuaca sangat cerah."Wah ... perkembangan yang begitu pesat ya. Baru kemarin disusul ke sini. Eh sekarang malah nyusul balik. Ternyata lebih ngeri ya wanita yang katanya rumahan, tersiksa, pendiam, nggak suka ngumpul, rupanya punya selingkuhan," tambahnya lagi. Ucapan Mbak Lulu begitu jelas di pendengaranku, mungkin sengaja volume bicaranya dikeraskan."Mending kayak aku dan Mbak lainnya yang suka julid, tapi kamis setia," belanya.Tanpa memperdulikan Mbak Lulu yang sibuk mengoceh yang lebih tepatnya menghujat, aku menuntun anak-anak masuk ke dalam mobil, sedangkan tas bawaanku yang berisikan perlengkapanku dan anak-anak sudah masukin pak sopir di bagian belakang mobil.Ocehannya sudah tak terdengar ketika a
"Istrimu memang tidak bisa dibilangin ya, Den. Dibilangin malah bentak ibu," aku sekesiap mendengarnya."Apaa ... Bu? Hanin bentak ibu? Dasar istri tidak ada akhlak, nggak ada sopan santun sedikitpun. Tenang, Bu. Akan ku beri dia pelajaran supaya nggak ngelunjak lagi."Tanpa pikir panjang aku pun langsung pulang ke rumah, anak mana yang akan terima jika wanita yang melahirkan dan merawatnya dibentak oleh istri sendiri.Sesampainya di rumah tanpa ada rasa iba, tanganku mendarat ke wajahnya, amarahku membuncah hingga tak peduli akan tangis kedua anakku yang semakin menjadi. Kalau saja kewarasanku sudah hilang semuanya mungkin bisa kubunuh Hanindia saat itu juga. Tidak ada yang boleh menyakiti ibu, siapapun itu akan kubuat lebih menderita!"Kenapa lu, Den? Kusut bener?" tanya Adi ketika aku sedang merehatkan pikiran di warung kopi tempat kami nongkrong semalam."Pusing gue masalah di rumah banyak banget, mana nggak ada duit lagi,""Hahaha, makanya jangan sok-sok an nikah lu, contoh kaya