"Mas, aku minta uang belanja dong. Stok lauk sudah abis di kulkas, hari ini aku mau beli ayam, kasihan anak-anak kalau sama telur terus makannya," ujarku pada Mas Dennis yang tengah mematut diri di depan cermin.
"Aku nggak ada uang, Han. Bukannya kamu sudah kukasih kemarin lima puluh ribu, dikemanain tu duit. Jadi istri jangan boros lah, sadar dikit kerja suamimu apa," protes Mas Dennis dengan raut wajah masam, aku bisa melihat gurat wajahnya yang masam dari pantulan cermin."Mas, kemarin aku nggak ada minta duit sama kamu. Kamu ngasihnya lima hari yang lalu, Mas. Itupun sudah kubelikan telur, kelengkapan bumbu, tahu, tempe, sayur, dan token listrik," protesku, tapi memang begitu kenyataannya."Halah ... udah pandai berbohong ya kamu sekarang. Yaudah goreng aja telurnya." Mas Dennis mengibas angin saat melewatiku. "Udah ah ... aku mau berangkat kerja. Lagian sok makan ayam segala, makannya pakai telur aja, lebih hemat. Aku yang kerja, malah kamu yang makan enak, 'kan lucu. Huuuh."Dia berlalu tanpa memikirkan perasaanku. Dia mungkin tidak sadar jika aku sering mendapati struck pembelian makanan siap saji di dalam saku celana Mas Dennis ketika hendak mencucinya. Dan, makanan siap saji itu tidak pernah sekalipun nampak wujudnya dimataku. Mas Dennis juga tidak pernah makan malam di rumah sekitar sebulan ini, dia selalu beralasan sudah makan di rumah ibu selepas pulang kerja."Tapi, Mas ... " sergahku. Aku berusaha untuk menjelaskan, sisi lain juga ingin kedua anakku mendapatkan makanan yang lebih layak dan berganti menu makanan, belum selesai mengutarakan isi hati, Mas Dennis sudah lebih dulu memotongnya."Apalagi?! Bosan aku lihat kamu yang nggak pernah hemat. Selalu protes dan mengeluh!" Suara Mas Dennis mulai meninggi.Detik kemudian, terdengar derap langkah seseorang. Aku sudah tahu siapa yang datang."Assalamu'alaikum, Dennis," salamnya. Aku sangat hafal suara itu. Siapa lagi kalau bukan ibu mertua. Dia pasti sudah melenggang masuk ke dalam rumah karena setiap pagi aku memang membukakan pintu biar udara sejuk di pagi hari lebih leluasa masuk ke dalam rumah."Waalaikumsalam, Bu," sahutku.Ibu dan Mas Dennis berpapasan di ruang depan, langkahku pun ikut terhenti."Den, ibu minta uang untuk arisan 200rb yah, uangnya harus disetor nanti siang." pinta ibu sambil menengadahkan tangan ke arah Mas Dennis, anehnya dia menyunggingkan bibirnya ke arahku."Lho, Bu. Bukannya baru kemarin aku kasih uang arisan sama ibu, kok minta lagi?" protes Mas Dennis."Itu lain lagi arisannya, Den. Sekarang arisan gang komplek, cepatan sini uangnya. Kamu nggak mau 'kan jadi anak durhaka cuma gara-gara nggak ngasih ibu uang arisan. Ingat lho, surga kamu di bawah kaki ibu, bukan istrimu apalagi anak-anakmu.Seperti terhipnotis, Mas Dennis pun dengan lancar mengeruk sakunya dan memberikan dua lembar uang seratus ribu pada ibu. Hatiku bagai disayat sembilu melihat kejadian ini. Bukan aku merasa iri dan dengki pada ibu, tapi dalam seminggu ini sudah tiga kali ibu meminta uang pada Mas Dennis untuk uang arisan."Udah ya, Bu. Dennis berangkat kerja dulu, doakan rezekiku semakin lancar." Mas Dennis pun meraih tangan ibu lalu mencium punggung tangannya dengan takzim."Iya lah, berkat doa ibu juga kamu sesukses sekarang, Den. Harusnya kamu banyak-banyak bakti sama ibu. Jangan kayak istrimu yang bisanya cuma nampung aja. Suruh kerja kek daripada di rumah terus," celetuk ibu."Iya, Bu. Dennis tahu itu."Mas Dennis berlalu tak lama kemudian terdengar deru mesin motornya dan perlahan hilang dari pendengaranku."Heh, menantu nggak tahu diri. Jangan harap kamu bisa menguasai uang Dennis. Ingat ya, kalau tidak karena jerih payah ibu membanting tulang dulunya, tidak akan mungkin Dennis sesukses sekarang," celetuknya, aku hanya diam tertunduk. Mau dilawan bagaimanapun dia tetap mertuaku. Ibu tidak pernah mengajariku untuk melawan apalagi menjawab dengan kasar orang lebih tua.Ibu mertua pun berlalu meninggalkan rumah dengan tampak sumringah. Daripada larut dalam kekecewaan aku pun bertolak ke dapur untuk memasak. Kebetulan kedua anakku masih tidur dengan lelap di kamar satu lagi.Bukan aku yang tidak ingin bekerja, tapi keputusan resign bukan inginku pribadi. Mas Dennis yang menyuruhku resign agar fokus mengurus rumah tangga dan anak. Tapi nyatanya kini malah menjadi boomerang untukku. Sambil memanaskan minyak, tanpa permisi dan izinku bulir bening jatuh membasahi pipi. Teringat kejadian tadi pagi yang begitu memilukan. Aku bukan tidak mau bekerja, tetapi anak-anak dengan siapa sementara aku bekerja.Selesai memasak aku meletakkan goreng telur dadar isi tahu dan sayur bening wortel di bawah tudung saji. Lalu kulanjutan berkutat dengan pekerjaan rumah lainnya, yaitu menyapu. Sembari menyapu ruang tamu tanpa sofa tamu ataupun karpet permadani, "Ma," panggil anak keduaku yang masih berusia 18 bulan namanya Almeer."Eh, adek udah bangun," sapaku, dia berjalan menghampiriku. Kusambut dia dengan berusaha senyum sumringah dibalik hatiku yang perih bagai disayat sembilu yang digoreskan oleh papanya anak-anak. Aku mengembangkan kedua tangan dengan posisi bertekuk lutut."Mandi yuk, Nak!" ajakku sembari terus menciuminya dan mengusap-usap bagian kepalanya."Iya," jawabnya dengan semangat hingga lesung pipi seperti ditusuk pena itu keliatan, dia mempunyai lesung pipi yang sama denganku. Hanya bedanya aku memiliki dua lesung pipi bulatan kecil kiri dan kanan. Sedangkan Almeer memiliki lesung pipi bulatan kecil sebelah kiri. Lainnya halnya dengan Haseena dia juga mempunyai dua lesung pipi tapi bulatannya lebih besar kurang lebih seperti Afgan Syahreza penyanyi terfavorit kaum hawa.Setelah memandikan Almeer aku pun menyuapinya makan dengan telur dadar dan sayur bening wortel. Alhamdulillah, makannya sungguh lahap. Betapa tidak kami paling sering makan dengan telur ketimbang lauk yang lainnya.Sebenarnya banyak kusyukuri ketika memilih fokus untuk mengurus rumah tangga dan terlebih anak. Usia Almeer memang masih 18 bulan tapi daya tangkap yang alhamdulillah bagus belum lagi dia bisa mengucapkannya secara langsung padahal aku melafalkannya satu ataupun cuma dua kali, meskipun hanya bagian belakang katanya saja.Sebelum makan sudah kuajarkan berdoa sebelum makan, dengan sigap dia mengangkat kedua tangannya, meskipun hanya kata 'him' yang jelas dia ucapkan dari "bismillahirrahmanirrahim"."Mama," suara panggilan berasal dari ambang pintu, putri sulungku bernama Haseena sudah bangun, dia berumur 3 tahun.Ketika Haseena berumur 9 bulan aku positif hamil, padahal melahirkan Haseena melalui proses Cesar. Kenapa bisa hamil? Alasannya karena Mas Dennis melarangku untuk memakai KB, IUd dan sejenisnya sedangkan aku aku dia tidak bisa diajak kompromi bila urusan ranjang. Feelingku mengisyaratkan ini pasti 'jadi' dalam waktu dekat.Dan ternyata memang benar, aku hamil mengandung Almeer, dengan perasaan campur aduk antara terima dan tidak. Mas Dennis cumanya hanya bisa menanam saham, tapi ketika urusan mengasuh anak ataupun bergantian tidur, jangan harap dia akan mau.Setelah memandikan Haseena dan menyuapinya makan. Kini kedua anakku sudah asyik bermain, mengambil gawai pipih di bawah bantal tidur yang sedari tadi tak kusentuh sama sekali dari bangun tidur selepas Subuh tadi. Aku berselancar di aplikasi berinisial I*. Fees story yang muncul pertama kali adalah akun online shop milik Hafizah, seketika muncul ide yang cemerlang dibenakku."Assalamu'alaikum, Fizah lagi sibuk nggak?" tanyaku ketika telepon sudah tersambung."Enggak begitu sibuk, kenapa Han?""Mau nanya, boleh nggak aku jadi reseller usaha outer kamu?" tanyaku pelan."Wah, Masya Allah, boleh banget malah Han." Terdengar sambutan riang dari Hafizah."Alhamdulillah, makasih banyak yah. Tapi ... sistem jualnya gimana, Zah?" tanyaku penuh rasa penasaran. Ini hal baru bagiku.Setelah menelepon kurang lebih setengah jam dengan Hafizah akhirnya aku mengerti bahkan sangat paham bagaimana sistem penjualannya. Allah itu memang baik, di saat seperti Allah memberi jawaban dengan cara lain.Tanpa menunggu lama, Hafizah pun mengirim beberapa foto outernya yang ready stok, tanpa mikir panjang aku pun memasang lewat status WA tentu saja kusembunyikan dari Mas Dennis dan rentetan keluarganya yang berteman denganku, termasuk rekan kerjanya, Mas Danang. Aku tidak ingin dia tahu dengan usaha jualan online ku ini.Baru saja mendengar deru motor Mas Dennis masuk ke pekarangan rumah hingga akhirnya memarkir di teras, Haseena dan Almeer tidak berhenti bersorak kegirangan kalau Papa mereka sudah pulang bekerja. Kulirik jam dinding ketika hendak membukakan pintu, sudah menunjukkan pukul 21.00 malam.Kret!"Papa ... Papa, aku mau gendong," pinta Haseena dengan mengangkat kedua tangannya minta digendong Mas Dennis."Pa ... Pa ..." Almeer juga tak mau kalah."Udah ya, Nak. Papa capek mau tidur. Makan saja ini." Dia memberikan kantong kresek isi makanan pada Haseena lalu membuka hoodienya tanpa memedulikan Haseena dan Almeer dia pun bertolak ke kamar.Sungguh panas netraku melihat sikapnya, itu anak-anaknya kenapa bersikap seperti bukan darah dagingnya? Capek katanya? Apa dia nggak mikir aku nggak capek ngurus anak sendirian 24 jam.Geram melihat tingkahnya, aku pun menyusulnya ke kamar, "Mas, kamu pulang udah malam gini main dulu lah sebentar sama anak-anak. Nggak liat antusias mereka nyambut kamu pula
"Hanin ... Buka pintunya!" Aku terperanjat kaget mendengar teriakan di luaran sana. Aku tahu siapa yang datang, mertuaku."Sebentar, Bu," sahutku berjalan setengah berlari.Kret!"Dasar menantu tidak tahu diri, kenapa kamu usir anak saya? Hah? Jawab? Makin hari saya lihat, kau makin k*r*ng ajar ya." serang ibu.Tanpa ucapan salam, tanpa masuk ke dalam rumah, dan tanpa bertanya lebih dahulu, dia mencercaku dengan entengnya."Ngusir siapa maksud ibu? Kenapa ibu berkata demikian? Masuk dulu, Bu. Nggak enak diliat orang," usulku."Di sini saja, biar orang-orang tahu kamu itu istri macam apa.""Kamu masih nanya siapa? Siapa lagi kalau bukan Dennis, kamu usir Dennis dini hari 'kan? Kamu sakit hati perihal uang arisan saya? Iya? Hah? Jawab?" Matanya melotot tajam bak ingin menerkamku."Aku tidak ada mengusir Mas Dennis, Bu. Semalam malah dia yang berpamitan keluar rumah. Aku cuma protes karena dia nggak ada waktu buat main sama anak.""Wajar dong dia bilang capek. Dia kan kerja. Kalau kamu n
Ide cemerlangku menari di pelupuk mata. "Allah sudah ciptakan aku untuk menjadi manusia yang kuat dan pantang menyerah, sekalipun hatiku begitu rapuh." Tanpa pikir panjang aku pun langsung mengomentari status story WA Bang Gunaldi.[Abang jualan sekarang?] tanyaku, karena story WA yang dipasang Bang Gunaldi adalah beberapa koleksi baju wanita, mulai dari daster, longdress, dan model baju lainnya.[Iya, Han. Istri Abang yang jual, Abang cuma bantu-bantu promoin saja] balasnya. Aku tak perlu menunggu lama karena Bang Gunaldi hitungan detik langsung membalas pesanku.[Wah, iyakah? Boleh aku jadi resellernya, Bang?] balasku antusias.[Boleh, banget. Abang telepon ya? Lagi nggak sibukkan?][Boleh, Bang. Nggak, anak-anak lagi sibuk main] balasku sigap. Pilu dan risau hatiku seketika terbang mengudara.Detik kemudian ada panggilan masuk dari Bang Gunaldi, tanpa mengulur, aku pun langsung mengangkatnya."Halo, Bang," sapaku. "Jadi gimana sistem kerjanya, Bang?" tanyaku pada topik pembicaraan.
"Lepasin, Mas!"Aku berusaha keras menyentak tangan yang digenggam kuat Mas Dennis. Namun, energi ini seolah tak berdaya karena sudah terkuras dengan segala pekerjaan rumah tangga."Aku nggak akan lepasin sebelum kamu jujur. Ada hubungan apa kamu dengan Julio?!" teriaknya.Kulihat matanya makin memerah, lebih merah dari yang kulihat tadi pagi, entah efek kurang tidur atau ..."Aku tidak ada hubungan apa-apa, Mas sama Julio," protesku, dengan derai airmata. "Apa yang perlu dijujurin lagi, nyatanya memang aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Julio.""Kalau kalian tidak ada hubungan apa-apa, kenapa bisa Julio datang ke sini? Hah, jawab!""Aku juga nggak tahu kenapa dia bisa datang ke sini." jawabku lirih. "Halah ... !" tepisnya.Aku terpental ke kasur ketika Mas Dennis mendorong. dengan keras."Lantas, aku akan percaya begitu saja dengan ucapanmu itu, Han? Tidak semudah itu, mana mungkin maling mau mengakui perbuatannya. Apa yang kulihat tadi tidak sesuai dengan apa yang kamu utarakan,
"Bu ... tadi pinjamannya nggak banyak. Cuma dapat tiga juta," ujar Mas Dennis.Apa? Mas Dennis meminjam uang tanpa sepengetahuanku? Dengan siapa dia meminjam uang sebanyak itu? Di dalam kamar, pikiranku sibuk menerka-nerka. Demi makan enak untuk aku dan anak-anaknya saja dia tidak mau, akan tetapi demi ibunya ... "Kok cuma tiga juta? Tapi yaudahlah, mana uangnya? Ibu lagi butuh sekarang, besok sore ada arisan di rumah jadi subuh besok ibu udah mulai siapin semuanya.""Dennis cuma bisa ngasih segini, Bu," "Apa? Cuma 500rb? Kok sedikit, 'kan kamu minjamnya tiga juta," pekik ibu tak terima. "Kamu kasih ke Hanindia ya?" tuduh mertua. "Sebagian dari pinjaman kubelikan Erlyn tas, Bu. Sisanya untuk pegangan sebelum aku gajian. Stok kebutuhan masak juga nggak ada, Bu," jelas Mas Dennis."Bener 'kan dugaanku, tas yang ada di story WA Erlyn tadi harganya sejutaan. Sebegitu spesialkah Erlyn di matamu, Mas?"Ada perih di dada ini. Sakit dan sangat sakit bagiku. Aku menyeka air mata, lagi dan la
"Tampar ... tampar aja ... sekalian saja ambil pisau, bunuh saja sekalian. Biar kamu tahu rasanya gimana ngurusin anak dari A sampai Z," serangku. Dia mendengkus kasar dan berlalu. Tak lama kemudian terdengar deru mesin motornya.Kalau tidak karena anak-anak masih kecil, aku sudah minta cerai dari dulu. Aku tidak mau anak-anak bernasib sama denganku, dibesarkan tanpa seorang ayah. Emak ditinggal Bapak karena perempuan lain saat aku duduk dibangku kelas satu SMP. Kuseka air mata, lalu lanjut mencuci piring.Aku juga tak tahu mengapa bisa bertahan sejauh ini, entah harapku terlalu yakin dia akan berubah, entah takdir yang masih mengantarku tetap bersama. ***"Ada apa Julio nelepon siang-siang begini?" tanyaku dalam hati. "Iya, Jul, Halo." Terpaksa aku mengangkatnya."Han ... maaf soal yang kemarin aku tidak ada maksud apa-apa," "Kalau tidak ada maksud apa-apa, kenapa kamu memberiku uang, Jul?""Aku kasihan sama
Tok ... Tok ... Tok ...Tiap kali ada yang mengetuk pintu, aku merasa trauma, bahkan mulai ada rasa takut untuk membukanya. Apalagi tidak ada ucapan salam atau memanggil namaku sekedar bunyi ketukan pintu.Tok ... Tok ... Tok ..."Han ... buka pintunya!" sorak Mas Dennis."Kok dia udah pulang kerja jam segini?" tanyaku dalam hati. Padahal baru saja ingin membaca sms pinjaman online yang masuk.Tok ... Tok ... Tok ..."Hanindia ... lama banget sih!" suaranya semakin keras.Dengan sigap aku langsung menaruh handphone di bawah bantal, lalu mengatur napas jangan sampai Mas Dennis curiga akan gerak-gerikku.Kret!"Dasar lelet, buka pintu saja lama!" umpatnya bersamaan dengan mendorong pintu yang tak sepenuhnya terbuka."Hooaaammm ..." aku pun pura-pura menguap tentu dengan menutup mulut sesuai adap."Enak ya kamu di rumah tidur di siang bolong kayak gini, aku panas-panasan di luar sana. Mak
"Ini, Kartika lihat sekarang kakak jualan online yah," tanyanya yang sekarang nada suaranya terdengar serius."Iya, Kar. Nambah-nambah penghasilan, mumpung juga keponakanmu udah beranjak gede, memangnya kenapa, Kar? Kok tahu kakak jualan online?""Iya, Predisa yang bilang. Dia lihat story di WA kakak. Nah kebetulan aku sekarang lagi merintis bisnis jilbab, kak. Mau nawarin kakak mau nggak jadi resellernya aku?" "Apa, Kar? Kamu punya usaha jilbab sekarang, wah keren. Mau ... mau ... Gimana sistem kerjanya nih?" tanyaku antusias."Ya sama kayak online shop yang lain kak. Aku ngasih ke kakak harga reseller nanti terserah kakak mau jual berapanya," "Ashiaaaapp ... Kart. Kirimin langsung foto-foto jilbabnya yah!" suruhku.Sambungan telfon pun berakhir, senyumku semakin mengembang. Bagai ketiban durian runtuh, sekalipun sakit terkena duri tapi ketika memakan isinya begitu manis. "Alhamdulillah, Ya Allah atas jalan yang Engkau be
(khusus bab ini alurnya maju-mundur ya, reader)"Lalu, apa yang terjadi setelah itu, Ma?" tanya Haseena, kulihat matanya sudah berkaca-kaca sedari tadi."Iya, Ma. Kenapa Papa dan Mama bisa bersatu lagi?" tanya Almeer antusias."Terus bagaimana dengan Tante Erlyn? Mereka jadi test DNA, Ma?" tambah Haseena lagi."Aku juga penasaran, Kak dengan Tante Lulu. Dia 'kan julidnya kebangetan, Ma. Gimana dia sama suaminya?" tanya Almeer lagi."Nah iya, Dek. Kakak juga penasaran tuh sama Tante Lulu? Kok ada ya orang punya mulut sejulid dia, heran ..." protes Haseena."Ya ada lah, Kak. Dari zaman behulak juga udah, ada." timpal Almeer. Mereka tawa mereka pecah. Terbahak-bahak yang begitu keras hingga mengundang Mas Dennis keluar dari kamar."Kalian lagi cerita apa, sih? Kok kayaknya seru banget?" timbrung Mas Dennis, dia memutar roda yang ada pada kursi rodanya."Nggak ada, Mas. Cerita lelucuan zaman dulu, zaman kamu tidak waras, Mas," ejekku sembari terkekeh."Astagfirullah, Hanindia ...." Mas De
"Nggak, Mas. Tadi yang ngantar Juliana dan Bu Minah bukan Julio. Kamu ingat 'kan Bu Minah, tetangga ibumu dulu, dia sudah pindah dua tahun lalu," aku masih berusaha menjelaskan pada Mas Dennis yang sudah berkawan setan, karena raut wajahnya suka memerah seperti bara api."Dia bohong, Den. Kamu jangan percaya, tadi ibu lihat sendiri selingkuhannya itu yang ngantar pulang," timbrung ibu dengan lantang diikuti dengan menyunggingkan ujung bibirnya."Aku berani sumpah, Mas. Aku tidak bohong sama sekali. Juliana barusan pergi, aku bisa minta dia untuk balik ke sini lagi kalau kamu tidak percaya," ucapku seraya terus meyakinkan Mas Dennis."Bu ... tolong jangan memperkeruh keadaan. Jangan memutarbalikkan realita sebenarnya. Jelas-jelas ibu lihat sendiri aku diantar Juliana dan Bu Minah tadi. Bahkan Ibu ikut mengobrol dengan Bu Minah dan juga Juliana. Ibu sebenarnya kenapa sih? Sampai segitunya memfitnahku!""Ngaku aja deh, Han. Nggak usah berselimut dusta gitu," timbrung Erlyn."Kamu lihat '
"Itu supir taksi online, Bu. Bukan ..."Belum selesai aku berbicara, lagi dan lagi ibu sudah memotongnya, "Haa ... apa? Supir taksi online? Hahahaha ..." tawa beraroma sindiran itupun pecah, "Mana ada maling yang mau ngaku. Kalau banyak maling ngaku, udah penuh tuh penjara.""Bu ... kasih aku kesempatan untuk jelasinnya, jangan seperti ini," pintaku lirih."Kesempatan apa? Kesempatan supaya kamu bisa nyakitin anak saya lagi? Iya? Oh ... tidak bisa Hanindia ..." Telunjuknya ikut bermain arah kiri ke kanan persis di depan wajahnya."Udah, Bu. Seret aja, Bu. Daripada ngelunjak nantinya, Bu," hasung Mbak Lulu. Aku pikir dia sudah beranjak dari sana."Assalamu'alaikum, Bu Iyum." Terdengar ucapan salam di belakang sana, aku sedikit terkejut melihat Bu Minah menyapa mertua yang baru saja keluar dari mobil. Wajahnya yang memerah dan amarah yang bagaikan bom yang siap meledak berubah dratis bahkan tiga puluh enam derajat celsius."Ibu Minah?!" pekik ibu kaget bukan main, terkesiap, dan terper
Rasaku berkecamuk, hatiku sakit, tapi melihat Haseena menangis seperti ini juga membuat ku semakin bersalah. Baru saja aku menghirup udara segar rasanya, berpikiran sedikit tenang.Ting ... Tung ... Ting ... Tung ..."Assalamu'alaikum,""Itu pasti Non Juliana, Ibu bukain pintu dulu ya, Han," aku mengangguk pelan."Ma ... Kakak mau pulang," Haseena terus saja merengek meminta pulang, kuseka air matanya yanh begitu deras membasahi pipi mulusnya. "Ma ..." panggil Almeer yang baru bangun dari tidurnya."Sini, Nak," kupeluk kedua anakku, air mata yang sedari tadi kutahan kini tumpah ruah juga akhirnya."Lho, Hanindia ... kamu kenapa?" aku menatap wajah Juliana dia tampak heran melihat kami bertiga berpelukan."Apa yang terjadi, Bik?" tanya Juliana pada Bu Minah yang sedang berdiri di ambang pintu."Haseena, pengen ketemu sama Papanya, Jul," jawabku pelan."Oooh ya sudah, nggak apa-apa, Han.""Kakak, mau pulang ya, Nak?" Juliana mengelus kepala Haseena, gadis cantik itu mengangguk dalam si
Ku sisir pandangan sampai bagian belakang mobil yang dikemudi Juliana hilang dari pandanganku, mengunci pintu lalu berjalan menuju kamar sekedar mengintip, dan rupanya mereka masih tertidur dengan lelap.Aku beranjak menuju ruang samping dapur yang digunakan khusus mencuci dan menjemur pakaian di sana. Aku ingin menemui Bu Minah karena masih penasaran dengan ucapan Bu Minah tadi soal Erlyn. Mumpung Juliana sedang berpergian aku pun tak melewatkan kesempatan bertanya lebih leluasa dengan Bu Minah. Design rumah Juliana terbilang unik menurutku, walaupun setiap ruangan tidak terbilang besar tetapi karena di design penuh cekatan makanya terlihat rapi dan tertata. Di lantai dasar ada dua buah kamar yang letaknya berdampingan, antara ruang tamu dan ruang tengah di"Bu ..." panggilku."Astagfirullah Al'adzim, Hanindia ... kamu bikin ibu kaget saja," Bu Minah terperanjat karena kaget sembari menepuk-nepuk dadanya dan tak henti beristighfar."Maaf, Bu. Nggak bermaksud ngagetin. Hmm ... itu Bu
Esok harinya ..."Eh, Han kamu nggak usah repot-repot," sergah Juliana dari belakang. Seketika ku hentikan aktivitas mencuci piring dan menoleh ke belakang."Kamu udah bangun, Jul?" sapaku, "Nggak apa-apa, Jul. Udah kebiasaan aku juga kayak gini. Itu teh hangat udah kubikin untuk kamu sama roti selai coklat juga.""Ya ampun Hanindia ... Wah makasih, Han. Aku jadi nggak enak malah kamu siapin sarapan. Nggak usah repot-repot nyuci piring dan lainnya, Han. Lagian nanti juga ada yang beresin rumah, palingan Bik Minah bentar lagi juga datang," ujar Juliana."Bik Minah? Siapa tuh, Jul?" aku tetap melanjutkan mencuci piring dan sekawannya karena nanggung hanya tinggal beberapa biji saja."Orang yang bersihin rumahku setiap pagi, Han. Dia datang jam 6 pagi, nanti sebelum aku pergi kerja dia sudah pulang lagi, bentar lagi juga datang," ujar Juliana, gadis berkulit putih dan berambut sepanjang punggung itu."Memangnya kenapa, Han? Kok wajahmu kayak bingung gitu?" tanya Juliana heran sambil meng
"Iya, nggak apa-apa, Han. Kamu kalau ada apa-apa jangan sungkan sama aku. Kalian di sini aku senang banget. Rumah ramai, biasanya aku sendiri saja. Juliana belum menikah sekalipun secara karir dia begitu sukses, sangat menjadi kebanggaan orang tuanya. Malah ekonomi orang tua Juliana ikut menanjak naik dikarenakan dimodali usaha beras oleh Juliana di kampung halaman."Aku? Entah kapan bisa membahagiakan, Mama yang sekarang tinggal seorang diri di kampung,""Makasih banyak ya, Jul.""Iya, aku bikinin minum dulu," ujar Juliana hendak beranjak."Oo iya, Jul. Maaf, kamar mandinya dimana? Aku mau mandiin Haseena dan Almeer dulu."Ada di dalam kamar depan, Han. Kamu masukin aja barang-barang ke sana. Itu memang kamar khusus tamu," jelasnya dan berlalu ke belakang.Haseena dan Almeer tengah asyik bermain kejar-kejaran. Tak ada raut cemas sama sekali di wajah mereka ketika berada di rumah Juliana. Padahal ini baru kali pertamanya mereka ke sini sama sepertiku.Sembari menunggu Juliana membuatk
"Eh ... Ada yang mau kabur sepertinya," sindir Mbak Lulu ketika aku masuk ke dalam taksi online. Entah mengapa harus bersamaan waktunya taksiku datang dengan adanya wanita julid ini di sini."Mau pergi ke rumah selingkuhannya ya, Han?" tuduhnya, tidak ada angin ataupun hujan malah cuaca sangat cerah."Wah ... perkembangan yang begitu pesat ya. Baru kemarin disusul ke sini. Eh sekarang malah nyusul balik. Ternyata lebih ngeri ya wanita yang katanya rumahan, tersiksa, pendiam, nggak suka ngumpul, rupanya punya selingkuhan," tambahnya lagi. Ucapan Mbak Lulu begitu jelas di pendengaranku, mungkin sengaja volume bicaranya dikeraskan."Mending kayak aku dan Mbak lainnya yang suka julid, tapi kamis setia," belanya.Tanpa memperdulikan Mbak Lulu yang sibuk mengoceh yang lebih tepatnya menghujat, aku menuntun anak-anak masuk ke dalam mobil, sedangkan tas bawaanku yang berisikan perlengkapanku dan anak-anak sudah masukin pak sopir di bagian belakang mobil.Ocehannya sudah tak terdengar ketika a
"Istrimu memang tidak bisa dibilangin ya, Den. Dibilangin malah bentak ibu," aku sekesiap mendengarnya."Apaa ... Bu? Hanin bentak ibu? Dasar istri tidak ada akhlak, nggak ada sopan santun sedikitpun. Tenang, Bu. Akan ku beri dia pelajaran supaya nggak ngelunjak lagi."Tanpa pikir panjang aku pun langsung pulang ke rumah, anak mana yang akan terima jika wanita yang melahirkan dan merawatnya dibentak oleh istri sendiri.Sesampainya di rumah tanpa ada rasa iba, tanganku mendarat ke wajahnya, amarahku membuncah hingga tak peduli akan tangis kedua anakku yang semakin menjadi. Kalau saja kewarasanku sudah hilang semuanya mungkin bisa kubunuh Hanindia saat itu juga. Tidak ada yang boleh menyakiti ibu, siapapun itu akan kubuat lebih menderita!"Kenapa lu, Den? Kusut bener?" tanya Adi ketika aku sedang merehatkan pikiran di warung kopi tempat kami nongkrong semalam."Pusing gue masalah di rumah banyak banget, mana nggak ada duit lagi,""Hahaha, makanya jangan sok-sok an nikah lu, contoh kaya