"Bu ... tadi pinjamannya nggak banyak. Cuma dapat tiga juta," ujar Mas Dennis.
Apa? Mas Dennis meminjam uang tanpa sepengetahuanku? Dengan siapa dia meminjam uang sebanyak itu? Di dalam kamar, pikiranku sibuk menerka-nerka. Demi makan enak untuk aku dan anak-anaknya saja dia tidak mau, akan tetapi demi ibunya ..."Kok cuma tiga juta? Tapi yaudahlah, mana uangnya? Ibu lagi butuh sekarang, besok sore ada arisan di rumah jadi subuh besok ibu udah mulai siapin semuanya.""Dennis cuma bisa ngasih segini, Bu,""Apa? Cuma 500rb? Kok sedikit, 'kan kamu minjamnya tiga juta," pekik ibu tak terima. "Kamu kasih ke Hanindia ya?" tuduh mertua."Sebagian dari pinjaman kubelikan Erlyn tas, Bu. Sisanya untuk pegangan sebelum aku gajian. Stok kebutuhan masak juga nggak ada, Bu," jelas Mas Dennis."Bener 'kan dugaanku, tas yang ada di story WA Erlyn tadi harganya sejutaan. Sebegitu spesialkah Erlyn di matamu, Mas?"Ada perih di dada ini. Sakit dan sangat sakit bagiku. Aku menyeka air mata, lagi dan lagi jatuh tanpa permisi."Yaudah, tambah lagi 300rb. Besok itu banyak yang ikut arisan lagian nggak mungkin juga ibu ngasih makanan yang ecek-ecek, malu dong.""Lagian kamu juga Er, pake minta dibeliin tas segala, jadi kurang 'kan jatah ibu,""Ya mau gimana, Bu. Aku suka daripada sold out tasnya," jawab Erlyn manja."Satu lagi, kamu jangan boros-boros ngasih Hanindia, suruh dia berhemat dikit, lagian dia 'kan di rumah saja, nggak ngapain-ngapain juga. Ingat, Dennis. Kamu itu harus bisa membahagiakan ibumu sendiri jangan kebalik!""Iya, Bu."Deg!Darahku menggelegak mendengar ucapan ibu, apa dia lupa akan tugas anaknya untuk menafkahiku lahir bathin? Dia pikir patung yang merawat cucu-cucunya ini.Jika dia tidak siap anaknya menikah, kenapa tidak dibiarkan saja Mas Dennis menjadi perjaka sampai tua?"Yaudahlah, ibu dan Erlyn pulang dulu. Kamu, baik-baik di rumah. Ini ibu bawakan makan malam untuk kamu. Ingat, cuma untuk kamu. Nggak cukup buat dibagi-bagi. Ibu nggak mau kamu sakit, Den."Tak lama kemudian mereka pamit, kuseka airmata yang masih menetes, biarlah semoga Allah mudahkan rezekiku, jika tidak melalui Mas Dennis, mungkin Allah akan menitipkan rezekiku lewat yang lain.Aku yang menderita itu mungkin sudah biasa, toh sejak kecil sudah banyak lika-liku hidup yang ku jalani, ulah punya ayah yang tak bertanggung jawab. Namun, aku tidak ingin Haseena dan Almeer merasakan pahit seperti yang kurasakan semasa kecil.Tak ingin rasanya larut dalam kesedihan, kuputuskan untuk berselancar di aplikasi hijau mengecek apakah ada yang memesan baju dan outer yang kupasang di story WA. Mataku berbinar tatkala banyak pesan masuk di aplikasi yang berwarna hijau itu. Kubuka satu per satu, "Ya Allah, alhamdulillah," syukurku.Pesan pertama kubuka dari Loli, dia memesan dua buah gamis, belum lagi Noni dia juga memesan satu buah outer, ada sekitar 5 pesan lagi dengan total orderanku hari ini ada 10 buah baju plus outer. Jika dihitung, 10 helai dikalikan 20rb keuntungan yang kudapatkan sebanyak 200rb. "Masya Allah, alhamdulillah Ya Allah," tak henti aku mengucapkan syukur. Ini seperti mimpi, dengan berbinar-binar aku sibuk melayani pembeliku hari ini.Aku berharap jualan onlineku ini berjalan lancar dan terus berkembang. Sehari saja aku sudah mendapat keuntungan 200rb, senyumku mengembang.***Esok paginya ..."Han ... ini uang untuk beli keperluan masak," ucap Mas Dennis saat aku sedang menyapu rumah."Kamu beli saja sendiri keperluan masak untuk kami, aku takut membelikan uangmu yang tak seberapa itu, Mas!" jawabku tanpa menoleh sedikit pun."Apa? Coba ulangi lagi! Apa yang kamu bilang barusan?" Mas Dennis mendekatkan telinganya ke mulutku."Mulai hari ini aku nggak akan pegang sepersen uang dari kamu, silakan kamu beliin sendiri mulai dari kebutuhan masak, kebutuhan kamar mandi, pokoknya kebutuhan seisi rumah ini." jelasku dengan menatapnya tajam."Wah ... penjelasan yang detail. Oke! Baguslah dari sekarang aku yang handle semuanya jadi kamu tidak akan ada celah buat korupsi uangku." "Iya, memang bagus karena berkurang juga tugasku walaupun sedikit. Setidaknya jika uangmu cepat habis aku pun juga idak menjadi sasaran mulutmu yang kasar itu." cecarku. "Oh ... hebat ... hebat ..." Mas Dennis menepuk tangan, bibirnya tertawa mengejek. "Kamu baru tahu kalau aku hebat?""Apa? Kamu hebat? Hebat apanya, mengurus rumah dan anak saja nggak becus, masak apalagi, rasa sampah!""Terserahlah, percuma ngelandenin orang gila kayak kamu,""Udah makin berani ya kamu sekarang, Han. Atau ... ini ada hubungannya dengan Julio. Apa karena dia sudah mentransfermu sejumlah uang yang banyak. Iya? Apalagi gagal kemarin ngasihnya secara langsung," tuduh lelaki berkulit putih tinggi bak tiang listrik itu, lalu dia menyandarkan tubuhnya di dinding, tangan kirinya melipat di bagian atas perut sedangkan tangan memukul-mukul ringan pada hidungnya."Memangnya kenapa? Kok kepo banget sama urusanku dan Julio. Gimana rasanya lihat laki-laki lain membantuku dengan ikhlas, sakit? Kemana saja kamu selama ini, hah?" emosiku memuncak. Kami berdua sama-sama hilang kontrol, bersahutan bagai musuh yang saling menerkam."Enggak lah, memang dasar kamu saja yang mur*h*n,""Mur*h*n mana antara aku dan Erlyn?" tantangku dengan tatap tajam."Eh ... kenapa nama Erlyn dibawa-bawa?" tanyanya, gerak-geriknya mulai kelihatan gugup."Aku tidak suka, itu urusanku kamu tidak perlu ikut campur,""Jelas aku ikut campur, ingat Erlyn itu hanya anak yang diangkat oleh ibumu, kenapa dia jadi lebih diistimewakan ketimbang Haseena dan Almeer?" protesku."Erlyn tidak bisa kamu bandingkan dengan anak-anak. Erlyn sudah banyak berjasa pada ibu. Jadi wajar saja aku royal padanya.""Oooooohh ... termasuk membelikan dia tas dengan harga jutaan ketimbang membelikan anak-anakmu makanan enak, menurutmu itu tidak boleh dibandingkan? Iya? Harusnya dulu aku mendengarkan kata-kata Paman untuk tidak menerima pinanganmu."Ingat, Erlyn hanya berjasa pada ibu bukan padamu, Mas!" tambahku."Sama saja, ibu 'kan orangtuaku.""Kamu jangan seperti kacang bak lupa sama kulitnya. Kalau tidak siap menikah jangan melamar dulunya, ingat anak itu titipan yang musti dipertanggungjawabkan di akhirat nanti," tampikku. Aku bertolak ke dapur untuk mencuci piring."Halah ... nggak usah berkedok sok fitnah Erlyn lah kamu Han. Jangan jadikan Erlyn untuk menutupi hubungan gelapmu dengan Julio. Bilang saja kamu juga tidak terima aku royal pada ibu 'kan?" tuduhnya lagi."Untuk uang arisan kamu pikir saja sendiri penting mana yang arisan ketimbang makanan yang lebih sehat untuk anak-anakmu, jangan cuma bikin saja yang bisa. Jangan juga dulu sok ngelarang aku pakai KB," cecarku."Hahaha dasar nggak waras ngelantur kemana-mana. Dasar stres. Oh iya satu lagi, kamu nggak usah datang di acara arisan ibu, ngerepotin dan bikin aku malu juga," ucapnya dari belakangku, ternyata dia mengekoriku."Kamu pikir aku mau diajakin ke rumah ibumu? Kamu pikir aku akan bangga jalan sama kamu? Tidak!" aku membalikkan badan ke arahnya. Tangannya mengudara.Terkadang kita perlu berterima kasih pada luka yang tak berdarah (Hanindia, 2021)Pantengin terus kisah Hanindia yah 💜"Tampar ... tampar aja ... sekalian saja ambil pisau, bunuh saja sekalian. Biar kamu tahu rasanya gimana ngurusin anak dari A sampai Z," serangku. Dia mendengkus kasar dan berlalu. Tak lama kemudian terdengar deru mesin motornya.Kalau tidak karena anak-anak masih kecil, aku sudah minta cerai dari dulu. Aku tidak mau anak-anak bernasib sama denganku, dibesarkan tanpa seorang ayah. Emak ditinggal Bapak karena perempuan lain saat aku duduk dibangku kelas satu SMP. Kuseka air mata, lalu lanjut mencuci piring.Aku juga tak tahu mengapa bisa bertahan sejauh ini, entah harapku terlalu yakin dia akan berubah, entah takdir yang masih mengantarku tetap bersama. ***"Ada apa Julio nelepon siang-siang begini?" tanyaku dalam hati. "Iya, Jul, Halo." Terpaksa aku mengangkatnya."Han ... maaf soal yang kemarin aku tidak ada maksud apa-apa," "Kalau tidak ada maksud apa-apa, kenapa kamu memberiku uang, Jul?""Aku kasihan sama
Tok ... Tok ... Tok ...Tiap kali ada yang mengetuk pintu, aku merasa trauma, bahkan mulai ada rasa takut untuk membukanya. Apalagi tidak ada ucapan salam atau memanggil namaku sekedar bunyi ketukan pintu.Tok ... Tok ... Tok ..."Han ... buka pintunya!" sorak Mas Dennis."Kok dia udah pulang kerja jam segini?" tanyaku dalam hati. Padahal baru saja ingin membaca sms pinjaman online yang masuk.Tok ... Tok ... Tok ..."Hanindia ... lama banget sih!" suaranya semakin keras.Dengan sigap aku langsung menaruh handphone di bawah bantal, lalu mengatur napas jangan sampai Mas Dennis curiga akan gerak-gerikku.Kret!"Dasar lelet, buka pintu saja lama!" umpatnya bersamaan dengan mendorong pintu yang tak sepenuhnya terbuka."Hooaaammm ..." aku pun pura-pura menguap tentu dengan menutup mulut sesuai adap."Enak ya kamu di rumah tidur di siang bolong kayak gini, aku panas-panasan di luar sana. Mak
"Ini, Kartika lihat sekarang kakak jualan online yah," tanyanya yang sekarang nada suaranya terdengar serius."Iya, Kar. Nambah-nambah penghasilan, mumpung juga keponakanmu udah beranjak gede, memangnya kenapa, Kar? Kok tahu kakak jualan online?""Iya, Predisa yang bilang. Dia lihat story di WA kakak. Nah kebetulan aku sekarang lagi merintis bisnis jilbab, kak. Mau nawarin kakak mau nggak jadi resellernya aku?" "Apa, Kar? Kamu punya usaha jilbab sekarang, wah keren. Mau ... mau ... Gimana sistem kerjanya nih?" tanyaku antusias."Ya sama kayak online shop yang lain kak. Aku ngasih ke kakak harga reseller nanti terserah kakak mau jual berapanya," "Ashiaaaapp ... Kart. Kirimin langsung foto-foto jilbabnya yah!" suruhku.Sambungan telfon pun berakhir, senyumku semakin mengembang. Bagai ketiban durian runtuh, sekalipun sakit terkena duri tapi ketika memakan isinya begitu manis. "Alhamdulillah, Ya Allah atas jalan yang Engkau be
"Satu lagi, jangan di rumah saja. Kerja kek, apa kek, jangan jadi istri manja cumanya bisa nampung aja. Ibu dulu bisa kok , mengasuh anak sembari berjualan. Nggak kayak kamu, lempengnya minta ampun," hujatnya."Sudah! Ibu mau tidur, ganggu orang istirahat saja kamu!" "Apa ibu tidak tahu, jikalau Mas Dennis sudah dipecat? Berarti kamu tidak di rumah ibu, Mas? Kamu kemana?" Benar 'kan apa yang kutakutkan terjadi, bukannya dapat jawaban malah beruntun hujatan yang dia lontarkan. Entahlah! Padahal sedikit pun aku tak cemburu jikalau Mas Dennis bisa berlaku adil atau setidaknya lebih menjadi lelaki yang pekerja keras. Lagi dan lagi, kuseka air mata yang jatuh membasahi pipiku yang tak terawat lagi.Kuputuskan untuk menidurkan anak-anak terlebih dahulu, apalagi dentingnya jam sudah menunjukkan pukul 21.00 malam. Kurang lebih menidurkan Haseena dan Almeer selama setengah jam, aku kembali mengambil gawai pipih yang tertinggal di ruang tengah. Tadi kelupaan membawanya, karena aku sibuk membua
Siapa lagi yang menyeka air mata di Subuh yang kian beranjak ini kalau tidak tanganku sendiri. Ketika keluar dari kamar anak-anak tadi, memang tidak ada motor matic itu terparkir di dalam rumah, pertanda dia tidak pulang."Tak bisakah, kamu beri aku waktu untuk bernapas lega sekali saja, Mas!"Jangan tanya, ini bukan kali pertama dia tidak pulang karena berkecimpung dunia haram itu, tatkala aku sedang mengandung Haseena entah berapa kali dia meninggalkanku di rumah kontrakan sendirian. Iba? Tentu saja tidak, jika dia iba dan peduli akan kesehatan fisik dan mentalku pasti lelaki berhidung mancung itu tidak akan tega membiarkanku menghabiskan pergantian malam sendirian."Apa sebenarnya tujuanmu menikahiku, Mas?"Padahal Allah begitu baik, menitipkan rezeki janin di perutku ketika pernikahan kami baru beranjak 1 bulan lebih, tapi kenyataannya hadirnya aku sebagai istrinya dan hadirnya janin di kandunganku rupanya tak mampu membuat dia beranjak dari dunia hitam itu. Semua perjalanan awal
"Den, sekarang 'kan ibu nggak jualan lagi, terus soal arisan gimana, Den? Kalau kebutuhan rumah ada Erlyn yang bantuin,""Biar Dennis yang nanggung, Bu, lagian Dennis juga udah kerja lagi, gampang lah soal itu," "Tapi gajimu 'kan nggak seberapa, Den? Selama ini ibu juga udah banyak 'kan berkorban untuk kamu, itung-itung gitu, Den?""Iya, Bu. Beneran, nggak masalah sama aku, yang penting buat aku, ibu bahagia. Aku seperti sekarang juga berkat pengorbanan ibu,""Terus apa nggak apa-apa sama istrimu nanti? Tapi harusnya nggak apa-apa 'kan ya, kalau nggak karena ibu juga mana mungkin dia punya suami sarjana kayak kamu, Den?""Bu ... soal Hanindia biar aku yang urus, keputusan mutlak ada di tanganku, Bu. Aku kepala keluarga, jadi dia sebagai istri harus nurut," kulihat ibu tersenyum bahagia tatkala aku akan menanggung beberapa kebutuhan ibu dan arisannya. Walaupun ada Erlyn yang membantu tapi aku sebagai anak juga harus bertanggung jawab penuh akan ibu.Malam harinya mau nggak mau aku har
Dulu Hanindia begitu cantik, sangat mempesona, kalau tidak, mana mungkin aku mau memilikinya. Lebih hebatnya, aku bisa mengalahkan beberapa lelaki yang mengagumi Hanindia, termasuk Julio. Kalau soal tampang dan posisi jabatan Julio oke lah, tapi kalau soal mengolah perempuan, Julio kalah jauh, buktinya sekarang aku 'kan yang menjadi suaminya Hanindia."Mas ... Mas ..." "Mas ... Mas Dennis," seperti ada suara merdu yang memanggilku."Hah ... apa, Er?" tanyaku bangun dari lamunan. Aku semakin terbuai melihat senyumnya yang merekah bagai bunga yang sedang kembang."Kamu lamunin apa, Mas? Kok sampai segitunya menatapku tanpa berkedip, dipanggil-panggil nggak nyahut," tanyanya masih dengan senyum menggoda, aku tahu karena aku lelaki."Ah ... enggak ngelamunin apa-apa kok, Er," elakku."Eh, kalian jangan saling menggoda gitu. Nanti malah suka-sukaan, nggak boleh!" serang ibu tiba-tiba. Ucapan ibu seperti itu bukan kali pertama, setiap dia membaca gerak-gerik yang aneh antara aku dan Erlyn
"Istrimu memang tidak bisa dibilangin ya, Den. Dibilangin malah bentak ibu," aku sekesiap mendengarnya."Apaa ... Bu? Hanin bentak ibu? Dasar istri tidak ada akhlak, nggak ada sopan santun sedikitpun. Tenang, Bu. Akan ku beri dia pelajaran supaya nggak ngelunjak lagi."Tanpa pikir panjang aku pun langsung pulang ke rumah, anak mana yang akan terima jika wanita yang melahirkan dan merawatnya dibentak oleh istri sendiri.Sesampainya di rumah tanpa ada rasa iba, tanganku mendarat ke wajahnya, amarahku membuncah hingga tak peduli akan tangis kedua anakku yang semakin menjadi. Kalau saja kewarasanku sudah hilang semuanya mungkin bisa kubunuh Hanindia saat itu juga. Tidak ada yang boleh menyakiti ibu, siapapun itu akan kubuat lebih menderita!"Kenapa lu, Den? Kusut bener?" tanya Adi ketika aku sedang merehatkan pikiran di warung kopi tempat kami nongkrong semalam."Pusing gue masalah di rumah banyak banget, mana nggak ada duit lagi,""Hahaha, makanya jangan sok-sok an nikah lu, contoh kaya
(khusus bab ini alurnya maju-mundur ya, reader)"Lalu, apa yang terjadi setelah itu, Ma?" tanya Haseena, kulihat matanya sudah berkaca-kaca sedari tadi."Iya, Ma. Kenapa Papa dan Mama bisa bersatu lagi?" tanya Almeer antusias."Terus bagaimana dengan Tante Erlyn? Mereka jadi test DNA, Ma?" tambah Haseena lagi."Aku juga penasaran, Kak dengan Tante Lulu. Dia 'kan julidnya kebangetan, Ma. Gimana dia sama suaminya?" tanya Almeer lagi."Nah iya, Dek. Kakak juga penasaran tuh sama Tante Lulu? Kok ada ya orang punya mulut sejulid dia, heran ..." protes Haseena."Ya ada lah, Kak. Dari zaman behulak juga udah, ada." timpal Almeer. Mereka tawa mereka pecah. Terbahak-bahak yang begitu keras hingga mengundang Mas Dennis keluar dari kamar."Kalian lagi cerita apa, sih? Kok kayaknya seru banget?" timbrung Mas Dennis, dia memutar roda yang ada pada kursi rodanya."Nggak ada, Mas. Cerita lelucuan zaman dulu, zaman kamu tidak waras, Mas," ejekku sembari terkekeh."Astagfirullah, Hanindia ...." Mas De
"Nggak, Mas. Tadi yang ngantar Juliana dan Bu Minah bukan Julio. Kamu ingat 'kan Bu Minah, tetangga ibumu dulu, dia sudah pindah dua tahun lalu," aku masih berusaha menjelaskan pada Mas Dennis yang sudah berkawan setan, karena raut wajahnya suka memerah seperti bara api."Dia bohong, Den. Kamu jangan percaya, tadi ibu lihat sendiri selingkuhannya itu yang ngantar pulang," timbrung ibu dengan lantang diikuti dengan menyunggingkan ujung bibirnya."Aku berani sumpah, Mas. Aku tidak bohong sama sekali. Juliana barusan pergi, aku bisa minta dia untuk balik ke sini lagi kalau kamu tidak percaya," ucapku seraya terus meyakinkan Mas Dennis."Bu ... tolong jangan memperkeruh keadaan. Jangan memutarbalikkan realita sebenarnya. Jelas-jelas ibu lihat sendiri aku diantar Juliana dan Bu Minah tadi. Bahkan Ibu ikut mengobrol dengan Bu Minah dan juga Juliana. Ibu sebenarnya kenapa sih? Sampai segitunya memfitnahku!""Ngaku aja deh, Han. Nggak usah berselimut dusta gitu," timbrung Erlyn."Kamu lihat '
"Itu supir taksi online, Bu. Bukan ..."Belum selesai aku berbicara, lagi dan lagi ibu sudah memotongnya, "Haa ... apa? Supir taksi online? Hahahaha ..." tawa beraroma sindiran itupun pecah, "Mana ada maling yang mau ngaku. Kalau banyak maling ngaku, udah penuh tuh penjara.""Bu ... kasih aku kesempatan untuk jelasinnya, jangan seperti ini," pintaku lirih."Kesempatan apa? Kesempatan supaya kamu bisa nyakitin anak saya lagi? Iya? Oh ... tidak bisa Hanindia ..." Telunjuknya ikut bermain arah kiri ke kanan persis di depan wajahnya."Udah, Bu. Seret aja, Bu. Daripada ngelunjak nantinya, Bu," hasung Mbak Lulu. Aku pikir dia sudah beranjak dari sana."Assalamu'alaikum, Bu Iyum." Terdengar ucapan salam di belakang sana, aku sedikit terkejut melihat Bu Minah menyapa mertua yang baru saja keluar dari mobil. Wajahnya yang memerah dan amarah yang bagaikan bom yang siap meledak berubah dratis bahkan tiga puluh enam derajat celsius."Ibu Minah?!" pekik ibu kaget bukan main, terkesiap, dan terper
Rasaku berkecamuk, hatiku sakit, tapi melihat Haseena menangis seperti ini juga membuat ku semakin bersalah. Baru saja aku menghirup udara segar rasanya, berpikiran sedikit tenang.Ting ... Tung ... Ting ... Tung ..."Assalamu'alaikum,""Itu pasti Non Juliana, Ibu bukain pintu dulu ya, Han," aku mengangguk pelan."Ma ... Kakak mau pulang," Haseena terus saja merengek meminta pulang, kuseka air matanya yanh begitu deras membasahi pipi mulusnya. "Ma ..." panggil Almeer yang baru bangun dari tidurnya."Sini, Nak," kupeluk kedua anakku, air mata yang sedari tadi kutahan kini tumpah ruah juga akhirnya."Lho, Hanindia ... kamu kenapa?" aku menatap wajah Juliana dia tampak heran melihat kami bertiga berpelukan."Apa yang terjadi, Bik?" tanya Juliana pada Bu Minah yang sedang berdiri di ambang pintu."Haseena, pengen ketemu sama Papanya, Jul," jawabku pelan."Oooh ya sudah, nggak apa-apa, Han.""Kakak, mau pulang ya, Nak?" Juliana mengelus kepala Haseena, gadis cantik itu mengangguk dalam si
Ku sisir pandangan sampai bagian belakang mobil yang dikemudi Juliana hilang dari pandanganku, mengunci pintu lalu berjalan menuju kamar sekedar mengintip, dan rupanya mereka masih tertidur dengan lelap.Aku beranjak menuju ruang samping dapur yang digunakan khusus mencuci dan menjemur pakaian di sana. Aku ingin menemui Bu Minah karena masih penasaran dengan ucapan Bu Minah tadi soal Erlyn. Mumpung Juliana sedang berpergian aku pun tak melewatkan kesempatan bertanya lebih leluasa dengan Bu Minah. Design rumah Juliana terbilang unik menurutku, walaupun setiap ruangan tidak terbilang besar tetapi karena di design penuh cekatan makanya terlihat rapi dan tertata. Di lantai dasar ada dua buah kamar yang letaknya berdampingan, antara ruang tamu dan ruang tengah di"Bu ..." panggilku."Astagfirullah Al'adzim, Hanindia ... kamu bikin ibu kaget saja," Bu Minah terperanjat karena kaget sembari menepuk-nepuk dadanya dan tak henti beristighfar."Maaf, Bu. Nggak bermaksud ngagetin. Hmm ... itu Bu
Esok harinya ..."Eh, Han kamu nggak usah repot-repot," sergah Juliana dari belakang. Seketika ku hentikan aktivitas mencuci piring dan menoleh ke belakang."Kamu udah bangun, Jul?" sapaku, "Nggak apa-apa, Jul. Udah kebiasaan aku juga kayak gini. Itu teh hangat udah kubikin untuk kamu sama roti selai coklat juga.""Ya ampun Hanindia ... Wah makasih, Han. Aku jadi nggak enak malah kamu siapin sarapan. Nggak usah repot-repot nyuci piring dan lainnya, Han. Lagian nanti juga ada yang beresin rumah, palingan Bik Minah bentar lagi juga datang," ujar Juliana."Bik Minah? Siapa tuh, Jul?" aku tetap melanjutkan mencuci piring dan sekawannya karena nanggung hanya tinggal beberapa biji saja."Orang yang bersihin rumahku setiap pagi, Han. Dia datang jam 6 pagi, nanti sebelum aku pergi kerja dia sudah pulang lagi, bentar lagi juga datang," ujar Juliana, gadis berkulit putih dan berambut sepanjang punggung itu."Memangnya kenapa, Han? Kok wajahmu kayak bingung gitu?" tanya Juliana heran sambil meng
"Iya, nggak apa-apa, Han. Kamu kalau ada apa-apa jangan sungkan sama aku. Kalian di sini aku senang banget. Rumah ramai, biasanya aku sendiri saja. Juliana belum menikah sekalipun secara karir dia begitu sukses, sangat menjadi kebanggaan orang tuanya. Malah ekonomi orang tua Juliana ikut menanjak naik dikarenakan dimodali usaha beras oleh Juliana di kampung halaman."Aku? Entah kapan bisa membahagiakan, Mama yang sekarang tinggal seorang diri di kampung,""Makasih banyak ya, Jul.""Iya, aku bikinin minum dulu," ujar Juliana hendak beranjak."Oo iya, Jul. Maaf, kamar mandinya dimana? Aku mau mandiin Haseena dan Almeer dulu."Ada di dalam kamar depan, Han. Kamu masukin aja barang-barang ke sana. Itu memang kamar khusus tamu," jelasnya dan berlalu ke belakang.Haseena dan Almeer tengah asyik bermain kejar-kejaran. Tak ada raut cemas sama sekali di wajah mereka ketika berada di rumah Juliana. Padahal ini baru kali pertamanya mereka ke sini sama sepertiku.Sembari menunggu Juliana membuatk
"Eh ... Ada yang mau kabur sepertinya," sindir Mbak Lulu ketika aku masuk ke dalam taksi online. Entah mengapa harus bersamaan waktunya taksiku datang dengan adanya wanita julid ini di sini."Mau pergi ke rumah selingkuhannya ya, Han?" tuduhnya, tidak ada angin ataupun hujan malah cuaca sangat cerah."Wah ... perkembangan yang begitu pesat ya. Baru kemarin disusul ke sini. Eh sekarang malah nyusul balik. Ternyata lebih ngeri ya wanita yang katanya rumahan, tersiksa, pendiam, nggak suka ngumpul, rupanya punya selingkuhan," tambahnya lagi. Ucapan Mbak Lulu begitu jelas di pendengaranku, mungkin sengaja volume bicaranya dikeraskan."Mending kayak aku dan Mbak lainnya yang suka julid, tapi kamis setia," belanya.Tanpa memperdulikan Mbak Lulu yang sibuk mengoceh yang lebih tepatnya menghujat, aku menuntun anak-anak masuk ke dalam mobil, sedangkan tas bawaanku yang berisikan perlengkapanku dan anak-anak sudah masukin pak sopir di bagian belakang mobil.Ocehannya sudah tak terdengar ketika a
"Istrimu memang tidak bisa dibilangin ya, Den. Dibilangin malah bentak ibu," aku sekesiap mendengarnya."Apaa ... Bu? Hanin bentak ibu? Dasar istri tidak ada akhlak, nggak ada sopan santun sedikitpun. Tenang, Bu. Akan ku beri dia pelajaran supaya nggak ngelunjak lagi."Tanpa pikir panjang aku pun langsung pulang ke rumah, anak mana yang akan terima jika wanita yang melahirkan dan merawatnya dibentak oleh istri sendiri.Sesampainya di rumah tanpa ada rasa iba, tanganku mendarat ke wajahnya, amarahku membuncah hingga tak peduli akan tangis kedua anakku yang semakin menjadi. Kalau saja kewarasanku sudah hilang semuanya mungkin bisa kubunuh Hanindia saat itu juga. Tidak ada yang boleh menyakiti ibu, siapapun itu akan kubuat lebih menderita!"Kenapa lu, Den? Kusut bener?" tanya Adi ketika aku sedang merehatkan pikiran di warung kopi tempat kami nongkrong semalam."Pusing gue masalah di rumah banyak banget, mana nggak ada duit lagi,""Hahaha, makanya jangan sok-sok an nikah lu, contoh kaya