"Tampar ... tampar aja ... sekalian saja ambil pisau, bunuh saja sekalian. Biar kamu tahu rasanya gimana ngurusin anak dari A sampai Z," serangku. Dia mendengkus kasar dan berlalu. Tak lama kemudian terdengar deru mesin motornya.
Kalau tidak karena anak-anak masih kecil, aku sudah minta cerai dari dulu. Aku tidak mau anak-anak bernasib sama denganku, dibesarkan tanpa seorang ayah. Emak ditinggal Bapak karena perempuan lain saat aku duduk dibangku kelas satu SMP. Kuseka air mata, lalu lanjut mencuci piring.Aku juga tak tahu mengapa bisa bertahan sejauh ini, entah harapku terlalu yakin dia akan berubah, entah takdir yang masih mengantarku tetap bersama. ***"Ada apa Julio nelepon siang-siang begini?" tanyaku dalam hati. "Iya, Jul, Halo." Terpaksa aku mengangkatnya."Han ... maaf soal yang kemarin aku tidak ada maksud apa-apa," "Kalau tidak ada maksud apa-apa, kenapa kamu memberiku uang, Jul?""Aku kasihan sama kamu, harus berjualan online. Pasti Dennis tidak bisa membahagiakanmu ya 'kan?"Aku menghela napas ringan."Jul, sekalipun aku dan Mas Dennis sedang dirundung berbagai masalah bagaimana pun dia masih suamiku. Mulai sekarang nggak usah hubungi aku lagi dan juga jangan pernah datang ke rumah. Kedatanganmu kemarin membuat semuanya menjadi runyam, Jul.""Iya, Han. Aku minta maaf."Setelah menjawab iya, aku pun mematikan sambungan telepon dan memblokir nomor Julio. Julio adalah rekan kerjaku, dia sempat mengatakan suka padaku, tapi karena aku tahu Julio lelaki playboy, jadi tak kuanggap serius. Lagian jika benar lelaki itu serius dengan cara apa pun pasti dia usahakan. Bukan hanya sekedar omong kosong belaka.Sewaktu masih berpacaran dengan Mas Dennis. Julio pernah mengajak Mas Dennis untuk bertemu, kupikir hanya sekedar makan siang saja. Tapi tidak, Julio berpesan pada Dennis supaya tidak menyakitiku. Sekarang perlakuan simpati Julio padaku tak ada gunanya. Sekalipun kenyataannya Mas Dennis memang menyakitiku.***Aku memesan makanan lewat apikasi jufood, berhubung semalam aku mendapat rezeki yang lebih, hari ini aku mau membelikan makanan siap saji untuk anak-anak, ditambah lagi stok kebutuhan masak memang sudah tidak ada. Lagian anak-anakku juga berhak makan-makanan yang bergizi.Dan tak kalah membahagiakan lagi, hari ini pesanan outer dan baju model gamis dan stelan lumayan banyak. Malah makin banyak dari yang semalam, masih siang sudah 20pcs baju dan outer yang terjual. Mungkin harga yang kutawarkan tidak begitu mahal seperti reseller lainnya, karena memang tujuanku yang penting banyak laku daripada memasang harga terlalu tinggi malah tidak ada yang membeli.Setelah merekap dan mengirim bukti transfer pada Fizah dan Yusa, kini aku pun ingin berselancar di aplikasi berwarna biru. Sekedar mengecek-ngecek, kebetulan anak-anak lagi tidur siang kekenyangan karena mereka begitu lahap sekali makan nasi fillet sayur capcay ditambah kwetiau siram bakso dan sosis.Kini mataku terfokus pada foto yang dijadikan oleh Bang Andika senior organisasiku di zaman kuliah dulu. Dia beda angkatan dan juga jurusan denganku. Tanpa pikir panjang dan semangat 45 tentunya, aku pun mengirim pesan kepada Bang Andika."Assalamu'alaikum, Bang.""Masih ingat nggak sama Hanin?"Tak selang berapa detik Bang Andika pun membalas pesanku."Waalaikumsalam, Han,""Ya masih ingatlah, Han. Apa kabar?""Baik, Bang. Abang apa kabar juga?""Alhamdulillah, baik,""Bang, masih nerima reseller nggak?" tanyaku tanpa sungkan, kami masih berbalas pesan."Boleh, Han. Ini nomor Abang, kita lanjut via WA saja ya!" dengan sigap aku pun menyimpan nomor Bang Andika, lalu langsung mengirim pesan padanya. Setelah berbalas balasan kini aku pun juga sudah resmi menjadi reseller Bang Andika. Selang berapa menit rentetan foto baju kaos oblong mulai dari orang dewasa hingga anak-anak terkirim padaku, belum lagi celana panjang dan pendek berbahan katun mulai dari ukuran laki-laki dewasa hingga anak-anak.Tanpa perhitungan lama juga, aku pun memasangnya di story WA. Sekarang aku sudah mempunyai tiga orang owner masing-masing juga beda produk jualnya. Aku tak menyangka atas rezeki yang Allah berikan. Aku berharap dalam waktu dekat jualan baju lewat online ini berkembang dengan pesat dan laris sehingga aku bisa punya toko offline sendiri.Aku masih berselancar di aplikasi WA sibuk meladeni satu per satu pembeli ada yang closing ada yang sekedar tanya harga dan ukuran ataupun model. Tiba-tiba ...Tok ... Tok ... Tok ..."Assalamu'alaikum, permisi," terdengar salam dari luar tapi aku tak mengenali tamu bersuara laki-laki itu. Gegas aku memakai jilbab dan bertolak ke pintu utama.Jantungku berdegup kencang siapa lagi yang datang kali ini."Waalaikumsalam," sahutku sembari berlari kecil ke pintu depan.Kret!"Oh, Pak RW. Ada apa ya, Pak?"Ada yang perlu saya bicarakan dengan Bu Hanindia sebentar, bisa?""Bisa, Pak. Tapi kita bicaranya di luar saja ya, Pak. Suami saya sedang tidak di rumah soalnya," jawabku hormat."Iya, Bu. Saya ke sini mau nyampein pesan warga. Ada yang melapor ke saya karena merasa terganggu sama ibu sekeluarga karena suka ribut dikala pagi, siang, ataupun malam hari." ujar Pak Edin hati-hati."Maaf, Pak. Saya dan suami tidak bermaksud untuk membuat keributan. Sekali lagi maaf kalau sudah mengganggu, Pak bukan bermaksud seperti itu sebenarnya,""Kalau bisa jika ada masalah nggak usah sampai mengeluarkan suara keras seperti itu, Bu. Apalagi kita hidup bertetangga, belum lagi ini masalah rumah tangga tak seharusnya juga yang lain tahu permasalahan yang ada." "Iya, Pak. Saya minta maaf. Sungguh tidak bermaksud membuat ketidaknyamanan di sini," belaku."Jika ada warga yang melaporkan lagi dengan perihal yang sama, mohon maaf, Bu. Mau tak mau ibu dan keluarga harus pindah dari sini.""Baik, Pak. Saya berusaha untuk tidak membuat keributan di sini. Sekali lagi, maaf ya, Pak!""Baik, Bu. Kalau begitu saya permisi dulu," Pak Edin pun pamit lelaki yang mempunyai kumis lumayan tebal itu tinggal di gang satu lagi. Aku mengontrak di perumahaan bersubsidi cukup padat dan rapat juga, antar rumah hanya berbatas dinding. Tidak ada jarak ataupun pemisah lainnya.Ketika ingin hendak masuk rumah ..."Hei, Hanindia. Kalau bisa kamu pindah saja dari sini. Bikin keributan mulu, nggak punya malu." sorak Mba Lulu di depan rumahnya."Nggak usah pura-pura budeg kamu,"Aku tak merespon dan menutup pintu, percuma juga meladeni Mbak Lulu yang mulutnya super super julid, tapi ..."Apakah Mba Lulu yang melaporkan pada Pak RW?" Aku coba menebak, karena hanya dia seorang tetangga yang agak lain sikapnya."Ya Allah, tolong beri hamba kesabaran atas semua yang terjadi akhir-akhir ini. Tunjukan jalan terbaik Ya Allah," pintaku.Aku kembali berkutat dengan gawai pipih karena anak-anak masih terlelap, ketika sedang asyik berselancar di aplikasi hijau. Tiba-tiba ada notifikasi sms dari nomor baru muncul sekejap pada bagian atas layar. Biasanya aku tidak memperdulikan setiap sms yang masuk, tapi tadi sekilas aku sempat membaca ada kata-kata pinjaman online."Apa Mas Dennis ..."Tok ... Tok ... Tok ...Tiap kali ada yang mengetuk pintu, aku merasa trauma, bahkan mulai ada rasa takut untuk membukanya. Apalagi tidak ada ucapan salam atau memanggil namaku sekedar bunyi ketukan pintu.Tok ... Tok ... Tok ..."Han ... buka pintunya!" sorak Mas Dennis."Kok dia udah pulang kerja jam segini?" tanyaku dalam hati. Padahal baru saja ingin membaca sms pinjaman online yang masuk.Tok ... Tok ... Tok ..."Hanindia ... lama banget sih!" suaranya semakin keras.Dengan sigap aku langsung menaruh handphone di bawah bantal, lalu mengatur napas jangan sampai Mas Dennis curiga akan gerak-gerikku.Kret!"Dasar lelet, buka pintu saja lama!" umpatnya bersamaan dengan mendorong pintu yang tak sepenuhnya terbuka."Hooaaammm ..." aku pun pura-pura menguap tentu dengan menutup mulut sesuai adap."Enak ya kamu di rumah tidur di siang bolong kayak gini, aku panas-panasan di luar sana. Mak
"Ini, Kartika lihat sekarang kakak jualan online yah," tanyanya yang sekarang nada suaranya terdengar serius."Iya, Kar. Nambah-nambah penghasilan, mumpung juga keponakanmu udah beranjak gede, memangnya kenapa, Kar? Kok tahu kakak jualan online?""Iya, Predisa yang bilang. Dia lihat story di WA kakak. Nah kebetulan aku sekarang lagi merintis bisnis jilbab, kak. Mau nawarin kakak mau nggak jadi resellernya aku?" "Apa, Kar? Kamu punya usaha jilbab sekarang, wah keren. Mau ... mau ... Gimana sistem kerjanya nih?" tanyaku antusias."Ya sama kayak online shop yang lain kak. Aku ngasih ke kakak harga reseller nanti terserah kakak mau jual berapanya," "Ashiaaaapp ... Kart. Kirimin langsung foto-foto jilbabnya yah!" suruhku.Sambungan telfon pun berakhir, senyumku semakin mengembang. Bagai ketiban durian runtuh, sekalipun sakit terkena duri tapi ketika memakan isinya begitu manis. "Alhamdulillah, Ya Allah atas jalan yang Engkau be
"Satu lagi, jangan di rumah saja. Kerja kek, apa kek, jangan jadi istri manja cumanya bisa nampung aja. Ibu dulu bisa kok , mengasuh anak sembari berjualan. Nggak kayak kamu, lempengnya minta ampun," hujatnya."Sudah! Ibu mau tidur, ganggu orang istirahat saja kamu!" "Apa ibu tidak tahu, jikalau Mas Dennis sudah dipecat? Berarti kamu tidak di rumah ibu, Mas? Kamu kemana?" Benar 'kan apa yang kutakutkan terjadi, bukannya dapat jawaban malah beruntun hujatan yang dia lontarkan. Entahlah! Padahal sedikit pun aku tak cemburu jikalau Mas Dennis bisa berlaku adil atau setidaknya lebih menjadi lelaki yang pekerja keras. Lagi dan lagi, kuseka air mata yang jatuh membasahi pipiku yang tak terawat lagi.Kuputuskan untuk menidurkan anak-anak terlebih dahulu, apalagi dentingnya jam sudah menunjukkan pukul 21.00 malam. Kurang lebih menidurkan Haseena dan Almeer selama setengah jam, aku kembali mengambil gawai pipih yang tertinggal di ruang tengah. Tadi kelupaan membawanya, karena aku sibuk membua
Siapa lagi yang menyeka air mata di Subuh yang kian beranjak ini kalau tidak tanganku sendiri. Ketika keluar dari kamar anak-anak tadi, memang tidak ada motor matic itu terparkir di dalam rumah, pertanda dia tidak pulang."Tak bisakah, kamu beri aku waktu untuk bernapas lega sekali saja, Mas!"Jangan tanya, ini bukan kali pertama dia tidak pulang karena berkecimpung dunia haram itu, tatkala aku sedang mengandung Haseena entah berapa kali dia meninggalkanku di rumah kontrakan sendirian. Iba? Tentu saja tidak, jika dia iba dan peduli akan kesehatan fisik dan mentalku pasti lelaki berhidung mancung itu tidak akan tega membiarkanku menghabiskan pergantian malam sendirian."Apa sebenarnya tujuanmu menikahiku, Mas?"Padahal Allah begitu baik, menitipkan rezeki janin di perutku ketika pernikahan kami baru beranjak 1 bulan lebih, tapi kenyataannya hadirnya aku sebagai istrinya dan hadirnya janin di kandunganku rupanya tak mampu membuat dia beranjak dari dunia hitam itu. Semua perjalanan awal
"Den, sekarang 'kan ibu nggak jualan lagi, terus soal arisan gimana, Den? Kalau kebutuhan rumah ada Erlyn yang bantuin,""Biar Dennis yang nanggung, Bu, lagian Dennis juga udah kerja lagi, gampang lah soal itu," "Tapi gajimu 'kan nggak seberapa, Den? Selama ini ibu juga udah banyak 'kan berkorban untuk kamu, itung-itung gitu, Den?""Iya, Bu. Beneran, nggak masalah sama aku, yang penting buat aku, ibu bahagia. Aku seperti sekarang juga berkat pengorbanan ibu,""Terus apa nggak apa-apa sama istrimu nanti? Tapi harusnya nggak apa-apa 'kan ya, kalau nggak karena ibu juga mana mungkin dia punya suami sarjana kayak kamu, Den?""Bu ... soal Hanindia biar aku yang urus, keputusan mutlak ada di tanganku, Bu. Aku kepala keluarga, jadi dia sebagai istri harus nurut," kulihat ibu tersenyum bahagia tatkala aku akan menanggung beberapa kebutuhan ibu dan arisannya. Walaupun ada Erlyn yang membantu tapi aku sebagai anak juga harus bertanggung jawab penuh akan ibu.Malam harinya mau nggak mau aku har
Dulu Hanindia begitu cantik, sangat mempesona, kalau tidak, mana mungkin aku mau memilikinya. Lebih hebatnya, aku bisa mengalahkan beberapa lelaki yang mengagumi Hanindia, termasuk Julio. Kalau soal tampang dan posisi jabatan Julio oke lah, tapi kalau soal mengolah perempuan, Julio kalah jauh, buktinya sekarang aku 'kan yang menjadi suaminya Hanindia."Mas ... Mas ..." "Mas ... Mas Dennis," seperti ada suara merdu yang memanggilku."Hah ... apa, Er?" tanyaku bangun dari lamunan. Aku semakin terbuai melihat senyumnya yang merekah bagai bunga yang sedang kembang."Kamu lamunin apa, Mas? Kok sampai segitunya menatapku tanpa berkedip, dipanggil-panggil nggak nyahut," tanyanya masih dengan senyum menggoda, aku tahu karena aku lelaki."Ah ... enggak ngelamunin apa-apa kok, Er," elakku."Eh, kalian jangan saling menggoda gitu. Nanti malah suka-sukaan, nggak boleh!" serang ibu tiba-tiba. Ucapan ibu seperti itu bukan kali pertama, setiap dia membaca gerak-gerik yang aneh antara aku dan Erlyn
"Istrimu memang tidak bisa dibilangin ya, Den. Dibilangin malah bentak ibu," aku sekesiap mendengarnya."Apaa ... Bu? Hanin bentak ibu? Dasar istri tidak ada akhlak, nggak ada sopan santun sedikitpun. Tenang, Bu. Akan ku beri dia pelajaran supaya nggak ngelunjak lagi."Tanpa pikir panjang aku pun langsung pulang ke rumah, anak mana yang akan terima jika wanita yang melahirkan dan merawatnya dibentak oleh istri sendiri.Sesampainya di rumah tanpa ada rasa iba, tanganku mendarat ke wajahnya, amarahku membuncah hingga tak peduli akan tangis kedua anakku yang semakin menjadi. Kalau saja kewarasanku sudah hilang semuanya mungkin bisa kubunuh Hanindia saat itu juga. Tidak ada yang boleh menyakiti ibu, siapapun itu akan kubuat lebih menderita!"Kenapa lu, Den? Kusut bener?" tanya Adi ketika aku sedang merehatkan pikiran di warung kopi tempat kami nongkrong semalam."Pusing gue masalah di rumah banyak banget, mana nggak ada duit lagi,""Hahaha, makanya jangan sok-sok an nikah lu, contoh kaya
"Eh ... Ada yang mau kabur sepertinya," sindir Mbak Lulu ketika aku masuk ke dalam taksi online. Entah mengapa harus bersamaan waktunya taksiku datang dengan adanya wanita julid ini di sini."Mau pergi ke rumah selingkuhannya ya, Han?" tuduhnya, tidak ada angin ataupun hujan malah cuaca sangat cerah."Wah ... perkembangan yang begitu pesat ya. Baru kemarin disusul ke sini. Eh sekarang malah nyusul balik. Ternyata lebih ngeri ya wanita yang katanya rumahan, tersiksa, pendiam, nggak suka ngumpul, rupanya punya selingkuhan," tambahnya lagi. Ucapan Mbak Lulu begitu jelas di pendengaranku, mungkin sengaja volume bicaranya dikeraskan."Mending kayak aku dan Mbak lainnya yang suka julid, tapi kamis setia," belanya.Tanpa memperdulikan Mbak Lulu yang sibuk mengoceh yang lebih tepatnya menghujat, aku menuntun anak-anak masuk ke dalam mobil, sedangkan tas bawaanku yang berisikan perlengkapanku dan anak-anak sudah masukin pak sopir di bagian belakang mobil.Ocehannya sudah tak terdengar ketika a
(khusus bab ini alurnya maju-mundur ya, reader)"Lalu, apa yang terjadi setelah itu, Ma?" tanya Haseena, kulihat matanya sudah berkaca-kaca sedari tadi."Iya, Ma. Kenapa Papa dan Mama bisa bersatu lagi?" tanya Almeer antusias."Terus bagaimana dengan Tante Erlyn? Mereka jadi test DNA, Ma?" tambah Haseena lagi."Aku juga penasaran, Kak dengan Tante Lulu. Dia 'kan julidnya kebangetan, Ma. Gimana dia sama suaminya?" tanya Almeer lagi."Nah iya, Dek. Kakak juga penasaran tuh sama Tante Lulu? Kok ada ya orang punya mulut sejulid dia, heran ..." protes Haseena."Ya ada lah, Kak. Dari zaman behulak juga udah, ada." timpal Almeer. Mereka tawa mereka pecah. Terbahak-bahak yang begitu keras hingga mengundang Mas Dennis keluar dari kamar."Kalian lagi cerita apa, sih? Kok kayaknya seru banget?" timbrung Mas Dennis, dia memutar roda yang ada pada kursi rodanya."Nggak ada, Mas. Cerita lelucuan zaman dulu, zaman kamu tidak waras, Mas," ejekku sembari terkekeh."Astagfirullah, Hanindia ...." Mas De
"Nggak, Mas. Tadi yang ngantar Juliana dan Bu Minah bukan Julio. Kamu ingat 'kan Bu Minah, tetangga ibumu dulu, dia sudah pindah dua tahun lalu," aku masih berusaha menjelaskan pada Mas Dennis yang sudah berkawan setan, karena raut wajahnya suka memerah seperti bara api."Dia bohong, Den. Kamu jangan percaya, tadi ibu lihat sendiri selingkuhannya itu yang ngantar pulang," timbrung ibu dengan lantang diikuti dengan menyunggingkan ujung bibirnya."Aku berani sumpah, Mas. Aku tidak bohong sama sekali. Juliana barusan pergi, aku bisa minta dia untuk balik ke sini lagi kalau kamu tidak percaya," ucapku seraya terus meyakinkan Mas Dennis."Bu ... tolong jangan memperkeruh keadaan. Jangan memutarbalikkan realita sebenarnya. Jelas-jelas ibu lihat sendiri aku diantar Juliana dan Bu Minah tadi. Bahkan Ibu ikut mengobrol dengan Bu Minah dan juga Juliana. Ibu sebenarnya kenapa sih? Sampai segitunya memfitnahku!""Ngaku aja deh, Han. Nggak usah berselimut dusta gitu," timbrung Erlyn."Kamu lihat '
"Itu supir taksi online, Bu. Bukan ..."Belum selesai aku berbicara, lagi dan lagi ibu sudah memotongnya, "Haa ... apa? Supir taksi online? Hahahaha ..." tawa beraroma sindiran itupun pecah, "Mana ada maling yang mau ngaku. Kalau banyak maling ngaku, udah penuh tuh penjara.""Bu ... kasih aku kesempatan untuk jelasinnya, jangan seperti ini," pintaku lirih."Kesempatan apa? Kesempatan supaya kamu bisa nyakitin anak saya lagi? Iya? Oh ... tidak bisa Hanindia ..." Telunjuknya ikut bermain arah kiri ke kanan persis di depan wajahnya."Udah, Bu. Seret aja, Bu. Daripada ngelunjak nantinya, Bu," hasung Mbak Lulu. Aku pikir dia sudah beranjak dari sana."Assalamu'alaikum, Bu Iyum." Terdengar ucapan salam di belakang sana, aku sedikit terkejut melihat Bu Minah menyapa mertua yang baru saja keluar dari mobil. Wajahnya yang memerah dan amarah yang bagaikan bom yang siap meledak berubah dratis bahkan tiga puluh enam derajat celsius."Ibu Minah?!" pekik ibu kaget bukan main, terkesiap, dan terper
Rasaku berkecamuk, hatiku sakit, tapi melihat Haseena menangis seperti ini juga membuat ku semakin bersalah. Baru saja aku menghirup udara segar rasanya, berpikiran sedikit tenang.Ting ... Tung ... Ting ... Tung ..."Assalamu'alaikum,""Itu pasti Non Juliana, Ibu bukain pintu dulu ya, Han," aku mengangguk pelan."Ma ... Kakak mau pulang," Haseena terus saja merengek meminta pulang, kuseka air matanya yanh begitu deras membasahi pipi mulusnya. "Ma ..." panggil Almeer yang baru bangun dari tidurnya."Sini, Nak," kupeluk kedua anakku, air mata yang sedari tadi kutahan kini tumpah ruah juga akhirnya."Lho, Hanindia ... kamu kenapa?" aku menatap wajah Juliana dia tampak heran melihat kami bertiga berpelukan."Apa yang terjadi, Bik?" tanya Juliana pada Bu Minah yang sedang berdiri di ambang pintu."Haseena, pengen ketemu sama Papanya, Jul," jawabku pelan."Oooh ya sudah, nggak apa-apa, Han.""Kakak, mau pulang ya, Nak?" Juliana mengelus kepala Haseena, gadis cantik itu mengangguk dalam si
Ku sisir pandangan sampai bagian belakang mobil yang dikemudi Juliana hilang dari pandanganku, mengunci pintu lalu berjalan menuju kamar sekedar mengintip, dan rupanya mereka masih tertidur dengan lelap.Aku beranjak menuju ruang samping dapur yang digunakan khusus mencuci dan menjemur pakaian di sana. Aku ingin menemui Bu Minah karena masih penasaran dengan ucapan Bu Minah tadi soal Erlyn. Mumpung Juliana sedang berpergian aku pun tak melewatkan kesempatan bertanya lebih leluasa dengan Bu Minah. Design rumah Juliana terbilang unik menurutku, walaupun setiap ruangan tidak terbilang besar tetapi karena di design penuh cekatan makanya terlihat rapi dan tertata. Di lantai dasar ada dua buah kamar yang letaknya berdampingan, antara ruang tamu dan ruang tengah di"Bu ..." panggilku."Astagfirullah Al'adzim, Hanindia ... kamu bikin ibu kaget saja," Bu Minah terperanjat karena kaget sembari menepuk-nepuk dadanya dan tak henti beristighfar."Maaf, Bu. Nggak bermaksud ngagetin. Hmm ... itu Bu
Esok harinya ..."Eh, Han kamu nggak usah repot-repot," sergah Juliana dari belakang. Seketika ku hentikan aktivitas mencuci piring dan menoleh ke belakang."Kamu udah bangun, Jul?" sapaku, "Nggak apa-apa, Jul. Udah kebiasaan aku juga kayak gini. Itu teh hangat udah kubikin untuk kamu sama roti selai coklat juga.""Ya ampun Hanindia ... Wah makasih, Han. Aku jadi nggak enak malah kamu siapin sarapan. Nggak usah repot-repot nyuci piring dan lainnya, Han. Lagian nanti juga ada yang beresin rumah, palingan Bik Minah bentar lagi juga datang," ujar Juliana."Bik Minah? Siapa tuh, Jul?" aku tetap melanjutkan mencuci piring dan sekawannya karena nanggung hanya tinggal beberapa biji saja."Orang yang bersihin rumahku setiap pagi, Han. Dia datang jam 6 pagi, nanti sebelum aku pergi kerja dia sudah pulang lagi, bentar lagi juga datang," ujar Juliana, gadis berkulit putih dan berambut sepanjang punggung itu."Memangnya kenapa, Han? Kok wajahmu kayak bingung gitu?" tanya Juliana heran sambil meng
"Iya, nggak apa-apa, Han. Kamu kalau ada apa-apa jangan sungkan sama aku. Kalian di sini aku senang banget. Rumah ramai, biasanya aku sendiri saja. Juliana belum menikah sekalipun secara karir dia begitu sukses, sangat menjadi kebanggaan orang tuanya. Malah ekonomi orang tua Juliana ikut menanjak naik dikarenakan dimodali usaha beras oleh Juliana di kampung halaman."Aku? Entah kapan bisa membahagiakan, Mama yang sekarang tinggal seorang diri di kampung,""Makasih banyak ya, Jul.""Iya, aku bikinin minum dulu," ujar Juliana hendak beranjak."Oo iya, Jul. Maaf, kamar mandinya dimana? Aku mau mandiin Haseena dan Almeer dulu."Ada di dalam kamar depan, Han. Kamu masukin aja barang-barang ke sana. Itu memang kamar khusus tamu," jelasnya dan berlalu ke belakang.Haseena dan Almeer tengah asyik bermain kejar-kejaran. Tak ada raut cemas sama sekali di wajah mereka ketika berada di rumah Juliana. Padahal ini baru kali pertamanya mereka ke sini sama sepertiku.Sembari menunggu Juliana membuatk
"Eh ... Ada yang mau kabur sepertinya," sindir Mbak Lulu ketika aku masuk ke dalam taksi online. Entah mengapa harus bersamaan waktunya taksiku datang dengan adanya wanita julid ini di sini."Mau pergi ke rumah selingkuhannya ya, Han?" tuduhnya, tidak ada angin ataupun hujan malah cuaca sangat cerah."Wah ... perkembangan yang begitu pesat ya. Baru kemarin disusul ke sini. Eh sekarang malah nyusul balik. Ternyata lebih ngeri ya wanita yang katanya rumahan, tersiksa, pendiam, nggak suka ngumpul, rupanya punya selingkuhan," tambahnya lagi. Ucapan Mbak Lulu begitu jelas di pendengaranku, mungkin sengaja volume bicaranya dikeraskan."Mending kayak aku dan Mbak lainnya yang suka julid, tapi kamis setia," belanya.Tanpa memperdulikan Mbak Lulu yang sibuk mengoceh yang lebih tepatnya menghujat, aku menuntun anak-anak masuk ke dalam mobil, sedangkan tas bawaanku yang berisikan perlengkapanku dan anak-anak sudah masukin pak sopir di bagian belakang mobil.Ocehannya sudah tak terdengar ketika a
"Istrimu memang tidak bisa dibilangin ya, Den. Dibilangin malah bentak ibu," aku sekesiap mendengarnya."Apaa ... Bu? Hanin bentak ibu? Dasar istri tidak ada akhlak, nggak ada sopan santun sedikitpun. Tenang, Bu. Akan ku beri dia pelajaran supaya nggak ngelunjak lagi."Tanpa pikir panjang aku pun langsung pulang ke rumah, anak mana yang akan terima jika wanita yang melahirkan dan merawatnya dibentak oleh istri sendiri.Sesampainya di rumah tanpa ada rasa iba, tanganku mendarat ke wajahnya, amarahku membuncah hingga tak peduli akan tangis kedua anakku yang semakin menjadi. Kalau saja kewarasanku sudah hilang semuanya mungkin bisa kubunuh Hanindia saat itu juga. Tidak ada yang boleh menyakiti ibu, siapapun itu akan kubuat lebih menderita!"Kenapa lu, Den? Kusut bener?" tanya Adi ketika aku sedang merehatkan pikiran di warung kopi tempat kami nongkrong semalam."Pusing gue masalah di rumah banyak banget, mana nggak ada duit lagi,""Hahaha, makanya jangan sok-sok an nikah lu, contoh kaya