Rasaku berkecamuk, hatiku sakit, tapi melihat Haseena menangis seperti ini juga membuat ku semakin bersalah. Baru saja aku menghirup udara segar rasanya, berpikiran sedikit tenang.Ting ... Tung ... Ting ... Tung ..."Assalamu'alaikum,""Itu pasti Non Juliana, Ibu bukain pintu dulu ya, Han," aku mengangguk pelan."Ma ... Kakak mau pulang," Haseena terus saja merengek meminta pulang, kuseka air matanya yanh begitu deras membasahi pipi mulusnya. "Ma ..." panggil Almeer yang baru bangun dari tidurnya."Sini, Nak," kupeluk kedua anakku, air mata yang sedari tadi kutahan kini tumpah ruah juga akhirnya."Lho, Hanindia ... kamu kenapa?" aku menatap wajah Juliana dia tampak heran melihat kami bertiga berpelukan."Apa yang terjadi, Bik?" tanya Juliana pada Bu Minah yang sedang berdiri di ambang pintu."Haseena, pengen ketemu sama Papanya, Jul," jawabku pelan."Oooh ya sudah, nggak apa-apa, Han.""Kakak, mau pulang ya, Nak?" Juliana mengelus kepala Haseena, gadis cantik itu mengangguk dalam si
"Itu supir taksi online, Bu. Bukan ..."Belum selesai aku berbicara, lagi dan lagi ibu sudah memotongnya, "Haa ... apa? Supir taksi online? Hahahaha ..." tawa beraroma sindiran itupun pecah, "Mana ada maling yang mau ngaku. Kalau banyak maling ngaku, udah penuh tuh penjara.""Bu ... kasih aku kesempatan untuk jelasinnya, jangan seperti ini," pintaku lirih."Kesempatan apa? Kesempatan supaya kamu bisa nyakitin anak saya lagi? Iya? Oh ... tidak bisa Hanindia ..." Telunjuknya ikut bermain arah kiri ke kanan persis di depan wajahnya."Udah, Bu. Seret aja, Bu. Daripada ngelunjak nantinya, Bu," hasung Mbak Lulu. Aku pikir dia sudah beranjak dari sana."Assalamu'alaikum, Bu Iyum." Terdengar ucapan salam di belakang sana, aku sedikit terkejut melihat Bu Minah menyapa mertua yang baru saja keluar dari mobil. Wajahnya yang memerah dan amarah yang bagaikan bom yang siap meledak berubah dratis bahkan tiga puluh enam derajat celsius."Ibu Minah?!" pekik ibu kaget bukan main, terkesiap, dan terper
"Nggak, Mas. Tadi yang ngantar Juliana dan Bu Minah bukan Julio. Kamu ingat 'kan Bu Minah, tetangga ibumu dulu, dia sudah pindah dua tahun lalu," aku masih berusaha menjelaskan pada Mas Dennis yang sudah berkawan setan, karena raut wajahnya suka memerah seperti bara api."Dia bohong, Den. Kamu jangan percaya, tadi ibu lihat sendiri selingkuhannya itu yang ngantar pulang," timbrung ibu dengan lantang diikuti dengan menyunggingkan ujung bibirnya."Aku berani sumpah, Mas. Aku tidak bohong sama sekali. Juliana barusan pergi, aku bisa minta dia untuk balik ke sini lagi kalau kamu tidak percaya," ucapku seraya terus meyakinkan Mas Dennis."Bu ... tolong jangan memperkeruh keadaan. Jangan memutarbalikkan realita sebenarnya. Jelas-jelas ibu lihat sendiri aku diantar Juliana dan Bu Minah tadi. Bahkan Ibu ikut mengobrol dengan Bu Minah dan juga Juliana. Ibu sebenarnya kenapa sih? Sampai segitunya memfitnahku!""Ngaku aja deh, Han. Nggak usah berselimut dusta gitu," timbrung Erlyn."Kamu lihat '
(khusus bab ini alurnya maju-mundur ya, reader)"Lalu, apa yang terjadi setelah itu, Ma?" tanya Haseena, kulihat matanya sudah berkaca-kaca sedari tadi."Iya, Ma. Kenapa Papa dan Mama bisa bersatu lagi?" tanya Almeer antusias."Terus bagaimana dengan Tante Erlyn? Mereka jadi test DNA, Ma?" tambah Haseena lagi."Aku juga penasaran, Kak dengan Tante Lulu. Dia 'kan julidnya kebangetan, Ma. Gimana dia sama suaminya?" tanya Almeer lagi."Nah iya, Dek. Kakak juga penasaran tuh sama Tante Lulu? Kok ada ya orang punya mulut sejulid dia, heran ..." protes Haseena."Ya ada lah, Kak. Dari zaman behulak juga udah, ada." timpal Almeer. Mereka tawa mereka pecah. Terbahak-bahak yang begitu keras hingga mengundang Mas Dennis keluar dari kamar."Kalian lagi cerita apa, sih? Kok kayaknya seru banget?" timbrung Mas Dennis, dia memutar roda yang ada pada kursi rodanya."Nggak ada, Mas. Cerita lelucuan zaman dulu, zaman kamu tidak waras, Mas," ejekku sembari terkekeh."Astagfirullah, Hanindia ...." Mas De
"Mas, aku minta uang belanja dong. Stok lauk sudah abis di kulkas, hari ini aku mau beli ayam, kasihan anak-anak kalau sama telur terus makannya," ujarku pada Mas Dennis yang tengah mematut diri di depan cermin."Aku nggak ada uang, Han. Bukannya kamu sudah kukasih kemarin lima puluh ribu, dikemanain tu duit. Jadi istri jangan boros lah, sadar dikit kerja suamimu apa," protes Mas Dennis dengan raut wajah masam, aku bisa melihat gurat wajahnya yang masam dari pantulan cermin."Mas, kemarin aku nggak ada minta duit sama kamu. Kamu ngasihnya lima hari yang lalu, Mas. Itupun sudah kubelikan telur, kelengkapan bumbu, tahu, tempe, sayur, dan token listrik," protesku, tapi memang begitu kenyataannya."Halah ... udah pandai berbohong ya kamu sekarang. Yaudah goreng aja telurnya." Mas Dennis mengibas angin saat melewatiku. "Udah ah ... aku mau berangkat kerja. Lagian sok makan ayam segala, makannya pakai telur aja, lebih hemat. Aku yang kerja, malah kamu yang makan enak, 'kan lucu. Huuuh."Dia
Baru saja mendengar deru motor Mas Dennis masuk ke pekarangan rumah hingga akhirnya memarkir di teras, Haseena dan Almeer tidak berhenti bersorak kegirangan kalau Papa mereka sudah pulang bekerja. Kulirik jam dinding ketika hendak membukakan pintu, sudah menunjukkan pukul 21.00 malam.Kret!"Papa ... Papa, aku mau gendong," pinta Haseena dengan mengangkat kedua tangannya minta digendong Mas Dennis."Pa ... Pa ..." Almeer juga tak mau kalah."Udah ya, Nak. Papa capek mau tidur. Makan saja ini." Dia memberikan kantong kresek isi makanan pada Haseena lalu membuka hoodienya tanpa memedulikan Haseena dan Almeer dia pun bertolak ke kamar.Sungguh panas netraku melihat sikapnya, itu anak-anaknya kenapa bersikap seperti bukan darah dagingnya? Capek katanya? Apa dia nggak mikir aku nggak capek ngurus anak sendirian 24 jam.Geram melihat tingkahnya, aku pun menyusulnya ke kamar, "Mas, kamu pulang udah malam gini main dulu lah sebentar sama anak-anak. Nggak liat antusias mereka nyambut kamu pula
"Hanin ... Buka pintunya!" Aku terperanjat kaget mendengar teriakan di luaran sana. Aku tahu siapa yang datang, mertuaku."Sebentar, Bu," sahutku berjalan setengah berlari.Kret!"Dasar menantu tidak tahu diri, kenapa kamu usir anak saya? Hah? Jawab? Makin hari saya lihat, kau makin k*r*ng ajar ya." serang ibu.Tanpa ucapan salam, tanpa masuk ke dalam rumah, dan tanpa bertanya lebih dahulu, dia mencercaku dengan entengnya."Ngusir siapa maksud ibu? Kenapa ibu berkata demikian? Masuk dulu, Bu. Nggak enak diliat orang," usulku."Di sini saja, biar orang-orang tahu kamu itu istri macam apa.""Kamu masih nanya siapa? Siapa lagi kalau bukan Dennis, kamu usir Dennis dini hari 'kan? Kamu sakit hati perihal uang arisan saya? Iya? Hah? Jawab?" Matanya melotot tajam bak ingin menerkamku."Aku tidak ada mengusir Mas Dennis, Bu. Semalam malah dia yang berpamitan keluar rumah. Aku cuma protes karena dia nggak ada waktu buat main sama anak.""Wajar dong dia bilang capek. Dia kan kerja. Kalau kamu n
Ide cemerlangku menari di pelupuk mata. "Allah sudah ciptakan aku untuk menjadi manusia yang kuat dan pantang menyerah, sekalipun hatiku begitu rapuh." Tanpa pikir panjang aku pun langsung mengomentari status story WA Bang Gunaldi.[Abang jualan sekarang?] tanyaku, karena story WA yang dipasang Bang Gunaldi adalah beberapa koleksi baju wanita, mulai dari daster, longdress, dan model baju lainnya.[Iya, Han. Istri Abang yang jual, Abang cuma bantu-bantu promoin saja] balasnya. Aku tak perlu menunggu lama karena Bang Gunaldi hitungan detik langsung membalas pesanku.[Wah, iyakah? Boleh aku jadi resellernya, Bang?] balasku antusias.[Boleh, banget. Abang telepon ya? Lagi nggak sibukkan?][Boleh, Bang. Nggak, anak-anak lagi sibuk main] balasku sigap. Pilu dan risau hatiku seketika terbang mengudara.Detik kemudian ada panggilan masuk dari Bang Gunaldi, tanpa mengulur, aku pun langsung mengangkatnya."Halo, Bang," sapaku. "Jadi gimana sistem kerjanya, Bang?" tanyaku pada topik pembicaraan.
(khusus bab ini alurnya maju-mundur ya, reader)"Lalu, apa yang terjadi setelah itu, Ma?" tanya Haseena, kulihat matanya sudah berkaca-kaca sedari tadi."Iya, Ma. Kenapa Papa dan Mama bisa bersatu lagi?" tanya Almeer antusias."Terus bagaimana dengan Tante Erlyn? Mereka jadi test DNA, Ma?" tambah Haseena lagi."Aku juga penasaran, Kak dengan Tante Lulu. Dia 'kan julidnya kebangetan, Ma. Gimana dia sama suaminya?" tanya Almeer lagi."Nah iya, Dek. Kakak juga penasaran tuh sama Tante Lulu? Kok ada ya orang punya mulut sejulid dia, heran ..." protes Haseena."Ya ada lah, Kak. Dari zaman behulak juga udah, ada." timpal Almeer. Mereka tawa mereka pecah. Terbahak-bahak yang begitu keras hingga mengundang Mas Dennis keluar dari kamar."Kalian lagi cerita apa, sih? Kok kayaknya seru banget?" timbrung Mas Dennis, dia memutar roda yang ada pada kursi rodanya."Nggak ada, Mas. Cerita lelucuan zaman dulu, zaman kamu tidak waras, Mas," ejekku sembari terkekeh."Astagfirullah, Hanindia ...." Mas De
"Nggak, Mas. Tadi yang ngantar Juliana dan Bu Minah bukan Julio. Kamu ingat 'kan Bu Minah, tetangga ibumu dulu, dia sudah pindah dua tahun lalu," aku masih berusaha menjelaskan pada Mas Dennis yang sudah berkawan setan, karena raut wajahnya suka memerah seperti bara api."Dia bohong, Den. Kamu jangan percaya, tadi ibu lihat sendiri selingkuhannya itu yang ngantar pulang," timbrung ibu dengan lantang diikuti dengan menyunggingkan ujung bibirnya."Aku berani sumpah, Mas. Aku tidak bohong sama sekali. Juliana barusan pergi, aku bisa minta dia untuk balik ke sini lagi kalau kamu tidak percaya," ucapku seraya terus meyakinkan Mas Dennis."Bu ... tolong jangan memperkeruh keadaan. Jangan memutarbalikkan realita sebenarnya. Jelas-jelas ibu lihat sendiri aku diantar Juliana dan Bu Minah tadi. Bahkan Ibu ikut mengobrol dengan Bu Minah dan juga Juliana. Ibu sebenarnya kenapa sih? Sampai segitunya memfitnahku!""Ngaku aja deh, Han. Nggak usah berselimut dusta gitu," timbrung Erlyn."Kamu lihat '
"Itu supir taksi online, Bu. Bukan ..."Belum selesai aku berbicara, lagi dan lagi ibu sudah memotongnya, "Haa ... apa? Supir taksi online? Hahahaha ..." tawa beraroma sindiran itupun pecah, "Mana ada maling yang mau ngaku. Kalau banyak maling ngaku, udah penuh tuh penjara.""Bu ... kasih aku kesempatan untuk jelasinnya, jangan seperti ini," pintaku lirih."Kesempatan apa? Kesempatan supaya kamu bisa nyakitin anak saya lagi? Iya? Oh ... tidak bisa Hanindia ..." Telunjuknya ikut bermain arah kiri ke kanan persis di depan wajahnya."Udah, Bu. Seret aja, Bu. Daripada ngelunjak nantinya, Bu," hasung Mbak Lulu. Aku pikir dia sudah beranjak dari sana."Assalamu'alaikum, Bu Iyum." Terdengar ucapan salam di belakang sana, aku sedikit terkejut melihat Bu Minah menyapa mertua yang baru saja keluar dari mobil. Wajahnya yang memerah dan amarah yang bagaikan bom yang siap meledak berubah dratis bahkan tiga puluh enam derajat celsius."Ibu Minah?!" pekik ibu kaget bukan main, terkesiap, dan terper
Rasaku berkecamuk, hatiku sakit, tapi melihat Haseena menangis seperti ini juga membuat ku semakin bersalah. Baru saja aku menghirup udara segar rasanya, berpikiran sedikit tenang.Ting ... Tung ... Ting ... Tung ..."Assalamu'alaikum,""Itu pasti Non Juliana, Ibu bukain pintu dulu ya, Han," aku mengangguk pelan."Ma ... Kakak mau pulang," Haseena terus saja merengek meminta pulang, kuseka air matanya yanh begitu deras membasahi pipi mulusnya. "Ma ..." panggil Almeer yang baru bangun dari tidurnya."Sini, Nak," kupeluk kedua anakku, air mata yang sedari tadi kutahan kini tumpah ruah juga akhirnya."Lho, Hanindia ... kamu kenapa?" aku menatap wajah Juliana dia tampak heran melihat kami bertiga berpelukan."Apa yang terjadi, Bik?" tanya Juliana pada Bu Minah yang sedang berdiri di ambang pintu."Haseena, pengen ketemu sama Papanya, Jul," jawabku pelan."Oooh ya sudah, nggak apa-apa, Han.""Kakak, mau pulang ya, Nak?" Juliana mengelus kepala Haseena, gadis cantik itu mengangguk dalam si
Ku sisir pandangan sampai bagian belakang mobil yang dikemudi Juliana hilang dari pandanganku, mengunci pintu lalu berjalan menuju kamar sekedar mengintip, dan rupanya mereka masih tertidur dengan lelap.Aku beranjak menuju ruang samping dapur yang digunakan khusus mencuci dan menjemur pakaian di sana. Aku ingin menemui Bu Minah karena masih penasaran dengan ucapan Bu Minah tadi soal Erlyn. Mumpung Juliana sedang berpergian aku pun tak melewatkan kesempatan bertanya lebih leluasa dengan Bu Minah. Design rumah Juliana terbilang unik menurutku, walaupun setiap ruangan tidak terbilang besar tetapi karena di design penuh cekatan makanya terlihat rapi dan tertata. Di lantai dasar ada dua buah kamar yang letaknya berdampingan, antara ruang tamu dan ruang tengah di"Bu ..." panggilku."Astagfirullah Al'adzim, Hanindia ... kamu bikin ibu kaget saja," Bu Minah terperanjat karena kaget sembari menepuk-nepuk dadanya dan tak henti beristighfar."Maaf, Bu. Nggak bermaksud ngagetin. Hmm ... itu Bu
Esok harinya ..."Eh, Han kamu nggak usah repot-repot," sergah Juliana dari belakang. Seketika ku hentikan aktivitas mencuci piring dan menoleh ke belakang."Kamu udah bangun, Jul?" sapaku, "Nggak apa-apa, Jul. Udah kebiasaan aku juga kayak gini. Itu teh hangat udah kubikin untuk kamu sama roti selai coklat juga.""Ya ampun Hanindia ... Wah makasih, Han. Aku jadi nggak enak malah kamu siapin sarapan. Nggak usah repot-repot nyuci piring dan lainnya, Han. Lagian nanti juga ada yang beresin rumah, palingan Bik Minah bentar lagi juga datang," ujar Juliana."Bik Minah? Siapa tuh, Jul?" aku tetap melanjutkan mencuci piring dan sekawannya karena nanggung hanya tinggal beberapa biji saja."Orang yang bersihin rumahku setiap pagi, Han. Dia datang jam 6 pagi, nanti sebelum aku pergi kerja dia sudah pulang lagi, bentar lagi juga datang," ujar Juliana, gadis berkulit putih dan berambut sepanjang punggung itu."Memangnya kenapa, Han? Kok wajahmu kayak bingung gitu?" tanya Juliana heran sambil meng
"Iya, nggak apa-apa, Han. Kamu kalau ada apa-apa jangan sungkan sama aku. Kalian di sini aku senang banget. Rumah ramai, biasanya aku sendiri saja. Juliana belum menikah sekalipun secara karir dia begitu sukses, sangat menjadi kebanggaan orang tuanya. Malah ekonomi orang tua Juliana ikut menanjak naik dikarenakan dimodali usaha beras oleh Juliana di kampung halaman."Aku? Entah kapan bisa membahagiakan, Mama yang sekarang tinggal seorang diri di kampung,""Makasih banyak ya, Jul.""Iya, aku bikinin minum dulu," ujar Juliana hendak beranjak."Oo iya, Jul. Maaf, kamar mandinya dimana? Aku mau mandiin Haseena dan Almeer dulu."Ada di dalam kamar depan, Han. Kamu masukin aja barang-barang ke sana. Itu memang kamar khusus tamu," jelasnya dan berlalu ke belakang.Haseena dan Almeer tengah asyik bermain kejar-kejaran. Tak ada raut cemas sama sekali di wajah mereka ketika berada di rumah Juliana. Padahal ini baru kali pertamanya mereka ke sini sama sepertiku.Sembari menunggu Juliana membuatk
"Eh ... Ada yang mau kabur sepertinya," sindir Mbak Lulu ketika aku masuk ke dalam taksi online. Entah mengapa harus bersamaan waktunya taksiku datang dengan adanya wanita julid ini di sini."Mau pergi ke rumah selingkuhannya ya, Han?" tuduhnya, tidak ada angin ataupun hujan malah cuaca sangat cerah."Wah ... perkembangan yang begitu pesat ya. Baru kemarin disusul ke sini. Eh sekarang malah nyusul balik. Ternyata lebih ngeri ya wanita yang katanya rumahan, tersiksa, pendiam, nggak suka ngumpul, rupanya punya selingkuhan," tambahnya lagi. Ucapan Mbak Lulu begitu jelas di pendengaranku, mungkin sengaja volume bicaranya dikeraskan."Mending kayak aku dan Mbak lainnya yang suka julid, tapi kamis setia," belanya.Tanpa memperdulikan Mbak Lulu yang sibuk mengoceh yang lebih tepatnya menghujat, aku menuntun anak-anak masuk ke dalam mobil, sedangkan tas bawaanku yang berisikan perlengkapanku dan anak-anak sudah masukin pak sopir di bagian belakang mobil.Ocehannya sudah tak terdengar ketika a
"Istrimu memang tidak bisa dibilangin ya, Den. Dibilangin malah bentak ibu," aku sekesiap mendengarnya."Apaa ... Bu? Hanin bentak ibu? Dasar istri tidak ada akhlak, nggak ada sopan santun sedikitpun. Tenang, Bu. Akan ku beri dia pelajaran supaya nggak ngelunjak lagi."Tanpa pikir panjang aku pun langsung pulang ke rumah, anak mana yang akan terima jika wanita yang melahirkan dan merawatnya dibentak oleh istri sendiri.Sesampainya di rumah tanpa ada rasa iba, tanganku mendarat ke wajahnya, amarahku membuncah hingga tak peduli akan tangis kedua anakku yang semakin menjadi. Kalau saja kewarasanku sudah hilang semuanya mungkin bisa kubunuh Hanindia saat itu juga. Tidak ada yang boleh menyakiti ibu, siapapun itu akan kubuat lebih menderita!"Kenapa lu, Den? Kusut bener?" tanya Adi ketika aku sedang merehatkan pikiran di warung kopi tempat kami nongkrong semalam."Pusing gue masalah di rumah banyak banget, mana nggak ada duit lagi,""Hahaha, makanya jangan sok-sok an nikah lu, contoh kaya