"Kayaknya sudah sering banget bilang aku-kamu, kenapa?" kata Rana menyambut pertanyaan penuh tekanan dari Kal, bagi Rana selagi bukan sosok yang harus dihormati, maka tidak perlu dipedulikan dengan maksimal."Ck," decak Kalil menatap istrinya dengan malas, tersenyum kecut ia saat melihat Rana mengangkat sedikit kepala mengisyaratkan jawaban cepat, "salah?"Mengernyit Rana lalu mengalihkan pandangan sejenak, "kagak sih, tapi aneh saja," jawabnya sambil mengusap mata dan pipi, menghapus jejak air mata hampir mengering akibat tangis menyesakkan."Jadi kenapa kamu nangis tadi?" tanya Kal lagi, yang cepat mendapat gelengan kepala dari Rana, "oh enggak mau cerita?" katanya bertanya lagi, dan mendapat gelengan kepala lagi sebagai jawaban."Aku sudah biasa sendiri dan bisa sendiri," ucap Rana pelan sembari membelakangi Kalil, "keluar sana, jangan lupa matikan lagi lampunya," lanjut wanita karir itu dengan jelas menunjukkan bahwa ia mengusir sang suami."Ah ... oke," desah Kalil pasrah kemudia
[3 tahun yang lalu] Menarikan jemari dengan lincah di atas papan ketik, wajah serius dengan bibir mungil itu mengerucut dan kening yang mengernyit. Tidak bisa dibohongi dan tidak bisa pula disembunyikan, wanita di meja kafe nomor 04 itu sedang berkutat dengan hal penting di laptopnya, sesekali menyeruput cokelat panas yang di pesannya sekitar lima menit lalu. Keseriusan yang disertai pemikiran bahwa tidak ada gunanya peduli pada sesama, membuat wanita itu benar-benar berada di dalam dunianya, seolah menetap dengan nyaman dan damai dalam relung pikiran tak terbatas bersama imajinasi yang luas. Teralihkan kepalanya menoleh keluar kafe, melihat lalu lalang kendaraan dengan kecepatan aman dan stabil, mengerjakan laporan pekerjaan dari kepala bidang yang layaknya racun, memang akan selalu membuat siapapun terasa seperti kepala diputar 180°. Keseriusan dan keasikan berada di dunia sendiri, jelas membuat wanita itu tidak menyadari betapa menyenangkannya seorang pria mengamati dari meja
"Sejak kejadian tiga tahun lalu itu, sejak gue lihat dan suka sama dia di pandangan pertama, lihat dia marah sekaligus malu gitu sampai keluar dari kafe, ditambah gue tahu kalau dia temannya Den." Terdiam sejenak Tomi menarik dan menghembuskan napas, "gue memutuskan untuk jadi penguntitnya, gue ikuti dia, memantau media sosialnya, sesekali juga kirim pesan ke media sosial karena gue enggak dapat nomor teleponnya." "Terus?" tanggap Kalil melihat wajah temannya itu memerah, entah perasaan yang sedang ditahan untuk tetap mengutarakan isi hati dan pikiran. "Gue pernah ajak dia pacaran, tapi ditolak. Semua pemberian gue dikasih lagi ke orang lain bahkan dibuang, kayak bunga, boneka, camilan, makanan berat, sampai buket uang. Enggak ada satu saja yang dia terima atau pakai sendiri, enggak ada juga satu yang dia bawa pulang atau simpan di meja kerjanya," ujar Tomi menggebu dengan emosi mulai terpancar, "semua dikasih orang atau dibuang." Berdeham singkat Kalil mendengarnya, sebagai sesa
"Lah ... kapan datangnya?" tukas seorang wanita terkejut kala melihat kakak iparnya baru saja keluar dari kamar sebelah, "kamu yang bawa dia masuk? Sembarangan amat," lanjutnya pada sang suami yang menguap lebar, mulut terbuka dengan napas bau naga seolah hendak mengisap inti bumi.Muka bantal dengan kotoran mata yang masih berhias diri, benar-benar menjijikkan dan meresahkan untuk tetap dilihat. Berdecih wanita bernama Kirana melihat perilaku pria berstatus suaminya itu, pria yang bahkan tidak pernah menunjukkan tanda pantas untuk menjadi seorang kepala rumah tangga."Gue pamit balik ya," ucap kakak ipar Rana, "terima kasih sudah kasih izin buat gue bermalam di sini," lanjutnya kemudian bergegas keluar rumah bersama Kalil.Terdiam mematung Rana kala mendengar ucapan pria bernama Tomi Uraga, dalam kebingungan ia bertanya-tanya pada kenyataan. Apa katanya? Kasih izin? Aku saja enggak tahu dia bermalam dan masuk rumah, memang sialan si Kalil Nayaka itu.Tanpa menjawab atau sekadar membe
"Maksudnya?" tukas Rana bertanya heran.Secara tiba-tiba saja Kalil berucap bahwa tidak semua orang bisa dipercaya termasuk diri sendiri, ada apa gerangan?Mengernyit dahi wanita karir itu memandang suaminya, menunggu kelanjutan hal yang ingin dikatakan. Dalam benak Rana, pasti ada informasi dan hal lain yang mungkin saja Kalil tahu."Aku tahu sesuatu dari Tomi, katanya dia merasa bersalah, dia cerita banyak hal kayak mengaku gitu terus dia minta banyak saran semalam," ujar Kalil semakin membuat Rana bingung dan merasa gemas."Bisa lebih cepat enggak? Intinya apa?" kata Rana meremas dan memainkan jemarinya, "dia bicara tentang apa? Paket misterius? Fafa? Kak Jess? Atau apa?""Masa lalu kamu," jawab Kalil tanpa ekspresi yang benar-benar dapat dikatakan bahwa ia menanggapi kegemasan sang istri, "pas kamu buang dan kasih orang semua barang dan makanan yang Tomi kirim," lanjutnya membuat Rana sontak melongo bingung."G-gimana? Kok jadi aku sih? Apa hubungannya sama paket misterius? Kan ak
"Fafa bilang dia lagi dekat sama cowok ganteng, katanya dia pengurus anak perusahaan tempat kamu kerja," ujar Kalil membuat Rana mengatup rapat bibirnya bingung, "jadi sepulang dari ruangan kamu waktu itu, aku mampir ke tempatnya Fafa setelah makan siang di luar." "Hm?" deham Rana mengernyit bingung, "kata teman kamu, dia ketemu Fafa di swalayan," lanjutnya berkata. "Iya, kan aku bilang ke tempat Fafa setelah makan siang," ucap Kalil menegaskan perkataan sebelumnya. "Oh ... terus?" "Fafa bilang mereka kenal pas mau kirim paket ketiga buat kamu." Berdeham panjang Rana mendengar ucapan suaminya, berusaha berpikir netral seraya mengingat banyak hal yang telah terjadi demi berada pada posisi terbaik, mengontrol emosi dengan kemampuan maksimal yang terasa seperti menguras pasokan oksigen, "Arhan yang dekati Fafa duluan, terus mulai ajak berbincang sampai tukar nomor. Tapi katanya mereka belum ketemu lagi." Terdiam Rana memandang sang suami dengan pandangan kosong, mengingat segala yang
Terulum senyum tipis Rana seperti biasa menyapa beberapa orang yang lebih dulu tersenyum, menyapa ala kadar yang dianggapnya bukan sebagai kebiasaan atau rutinitas, tapi hanya suatu bentuk spontanitas saat melihat orang tersenyum. Tertuju mata Rana pada sebuah kotak di pinggir meja setengah lingkaran area resepsionis, kotak kecil berwarna cokelat yang menghantuinya hampir sebulan terakhir. Terhela napasnya menghampiri resepsionis, bukan untuk menyapa tapi untuk menanyakan perihal kotak terkutuk itu. Kotak yang terkirim tanpa permintaan dan tanpa tertulis nama pengirim, kotak yang terasa seperti membawa teror dan kutukan mengerikan. "Ini?" kata Rana menunjuk kotak yang berada di pinggir meja setengah lingkaran itu, bertanya setelah membentuk kontak mata dengan salah satu wanita di balik meja resepsionis. "Iya, punya ibu lagi," jawab wanita itu menyadari pertanyaan Rana, tersenyum kecut si kepala humas mendengar jawabannya, "isinya alat rekam suara, tidak kami putar karena kami buka
Meraih titik ketenangan dan kedamaian dalam harapan, sampai kegaduhan di ruang kerja tim humas pun mengejutkannya, membuat Rana spontan membuka matanya dan mendengus, "Awan Buana, A-nya aduh drama mulu," kata Rana mengoceh bergegas keluar ruangan, sebagai kepala humas tentu ia harus bertanggung jawab penuh dalam segala hal tentang tim humas di lingkungan kantor dan pekerjaan. "Dimana Kirana Zendaya?" Terdengar teriakan seorang wanita tepat sebelum Rana membuka pintu ruangan, "dimana?" katanya berteriak lagi. "Di sini," jawab Rana singkat. "Minggir," tukas wanita itu menghempaskan tangan dua orang yang memegang kedua tangannya, berjalan cepat ia ke depan Rana yang masih berdiam diri di ambang pintu, menatapnya santai seraya bersedekap dada, "ayo masuk, gue mau bicara," lanjutnya hendak melangkah masuk ke dalam ruangan Rana, langkah yang cepat dihalangi sang pemilik ruangan tanpa ragu. Mendadak pula tangan Rana membentang dan menghalangi sisi kanan maupun kirinya, menatap tajam wanit
[Hari ini]Diambilnya ponsel dan mencari nama Fauziah Aini Fafa di daftar kontak, pernah saling bertukar nomor saat berjumpa di kantor beberapa hari lalu, demi kepentingan apapun kelak. Ditekannya kolom tulisan yang bertujuan untuk menghubungi, melakukan panggilan suara dengan sengaja, "halo," sapa Rana dengan canggung dan kebingungannya.Begitu pula dengan Fafa di lokasi berbeda, yang terbangun dalam keadaan terkejut karena nada dering dari panggilan. Sapaan ringan itu pula yang cepat ditanggapi, "halo, Rana.""Aku enggak mau basa-basi biar enggak basi juga, aku mau bilang ayo kita jadi teman," kata Rana membuat Fafa sontak terduduk di ranjang dengan mata terbuka lebar."Apa kamu bilang?" tukas Fafa menjawab sambil menggelengkan kepala dan mengusap mata, "aku takut salah dengar, baru bangun tidur hehe," lanjutnya terkekeh ringan tidak beralasan, hanya mencegah adanya kesan canggung."Ayo jadi teman," tanggap Rana singkat dan kali ini semakin jelas terdengar di telinga Fafa, "mau?" ka
[Kemarin] "Kakak mau sampai kapan jadi budak cinta dari cowok sialan itu? Sebenarnya juga, sejak kapan kakak jadi enggak percaya sama aku? Kenapa enggak percaya lagi sama aku? Aku salah apa?" tanya Rana memandang sang kakak dengan kecewa, membiarkan kakaknya hanya tertunduk yang mungkin saja menggerutu, alih-alih berpikir dan menyadari kesalahan, "Kak ... kakak tahu enggak sih yang sudah kakak kasih tahu ke Tomi itu apa? Kakak sadar enggak?" kata Rana mencecar Jess dengan pertanyaan dan pertanyaan. Terdiam dua wanita itu, napas menggebu Rana semakin memperjelas suasana yang canggung dan tidak tentram. Mata memerah dan hidung yang sesekali kembang-kempis, cukup menjelaskan suasana hati Rana kini yang menahan segalanya. Sedih, marah, dan kecewa sudah tidak bisa lagi dibagi atau sekadar dijelaskan semuanya, hanya ada satu kata yang pantas menjelaskan. Sesak. "Itu rencana aku, itu rencanaku untuk mencari tahu keterlibatan Tomi sama Fafa si pengirim paket, itu rencanaku buat cari ta
[Kemarin] Satu hari sudah berlalu sejak wanita asing datang dan berbincang, sehari sudah berlalu dengan beban pikiran yang semakin tidak terkendali, dan sudah sehari pula memiliki suami rasa jomlo. Walau hubungan tidak melibatkan perasaan, namun tak jarang perasaan memang tidak bisa dikendalikan, terutama saat diri ini beberapa kali mengandalkannya dalam berbagai hal. "Ih!" seru wanita bersetelan semi formal cenderung santai, hanya menggunakan blus dan blazer dengan celana panjang kulot. Ingin rasanya berkeluh kesah dan mengoceh atas segala yang terjadi, namum nyatanya hidup memang akan selalu sendiri dan berjuang sendiri Melangkah keluar wanita itu tanpa sedikitpun menoleh ke pria yang termenung membisu di sofa ruang tengah, melewatinya seolah memang tidak ada apapun. Memulai pagi dengan perasaan yang berkecamuk, menghabiskan hari kemarin dengan kegundahan dan kesedihan. Walau pernikahan ini dilakukan dengan kesepakatan demi tujuan masing-masing, namun menikah demi sebuah kart
[2 Hari lalu] Membelah ramainya jalan di siang menuju sore hari, lebarnya jalan di area bisnis perkantoran dan pusat kota, membuat jalanan seolah tidak pernah padat merayap meski seluruh karyawan keluar pada waktu bersamaan. Tertibnya lalu lintas tentu bagian dari kelancaran jalan yang dihasilkan, berpacu lagi dengan kecepatan tinggi nan stabil usai lampu jalan telah hijau. Pikiran yang terbang ke banyak hal dengan penuhnya fokus tak terbatas, membawa wanita di dalam kendaraan roda empat berwarna merah itu kembali ke rumah. Menghentikan cepat mobilnya di pinggir jalan tepat depan rumah, keahlian mengemudi jelas tak perlu dipertanyakan lagi. Bruk! "Loh ... sudah pulang?" tanya seorang pria yang kini memiliki perut sedikit buncit, memegang sapu dan terlihat sedang menyapu rumah. Menoleh pria itu ke dalam rumah dan kembali melihat ke arah istrinya yang sedang membuka gerbang, "baru jam 11," katanya lagi. "Aku enggak boleh pulang ke rumahku sendiri?" ketus Rana sambil melangkah masuk
[2 Hari lalu] "Menguasai salah satu cabang bisnis buat berbagi hasil, melanjutkan bisnisnya dan berorientasi pada penghasilannya?" kata Rana mengulang hal yang baru ia tahu, perkataan yang mendapat anggukan setuju, "kalau tentang Kalil taruhan, aku sudah tahu langsung dari Kalil sekitar dua minggu lalu. Tapi kenapa Tomi dendam sama aku?" "Ya kamu punya masa lalu apa sama Tomi?" jawab Fafa membuat Rana mengernyit bingung, terdiam sesaat dan menggeleng, "yakin?" kata wanita itu bertanya lagi, dan mendapat anggukan walau ekspresi tidak meyakinkan. Terhela napas Fafa melihat kebingungan Rana. Sebagai perempuan, dirinya sadar bahwa Rana tidak merasa bersalah dan tidak menganggap hal yang sudah lalu itu sebagai hal penting. "Aku mau tanya dulu, kamu kenapa bisa enggak peduli sama apapun dan siapapun?" tanya Fafa setelah terdiam sejenak dan bertukar tatap dengan Rana, komunikasi mata pun yang didapat hanya kehampaan belaka. "Ya ... buat apa? Aku urus diri sendiri saja belum tentu benar,
[2 hari lalu]Berdeham panjang Rana mendengar itu, begitu ingin mulut berujar jahat tentang fakta bahwa pada akhirnya Kalil tidak menikahi wanita itu, "oke," tanggap Rana singkat dan memilih untuk menahan dirinya dari kejahatan verbal.Saling terdiam dan memikirkan banyak hal dalam satu waktu. Tujuan, manfaat, keinginan, kehendak, harapan, dan hal lainnya yang baru diketahui. Menciptakan hening yang begitu dalam di antara mereka, seolah tidak tahu lagi hal yang ingin dibicarakan namun juga ada banyak hal yang ingin dikatakan dan ditanyakan. Kebingungan melanda keduanya, harus memulai dari mana? Apakah akan ada rasa tersinggung? Bisakah ini dibicarakan? Dan banyak lagi yang dikhawatirkan wanita bernama Fauziah Aini itu.Begitu pula dengan keragaman yang berada di pikiran seorang Kirana Zendaya. Apa harus bertanya lebih jelas tentang hubungan wanita itu dengan Kalil? Bisakah Kalil dan wanita itu dipercaya? Harus mulai dari mana mempercayainya? Tapi apa perkataannya semua itu benar? Kena
[2 hari lalu]"Jadi inti tujuanmu untuk mengingatkanku tentang bahaya sosial terutama lingkunganku gitu?"Mengangguk Fafa menanggapinya, "kamu bisa menjauhi bahaya itu dengan sikap bodoamat, dengan perilaku individualis, tapi itu tetap enggak bisa menyelamatkanmu. Orang jahat bisa saja dari sekitarmu sendiri, kayak yang dialami kakakmu," jelas Fafa membuat Rana terbungkam bersama pemahaman dan kesadarannya."Aku payah," lirih Rana seorang diri menyadari kegagalannya melindungi orang yang disayang dan menjaga diri sendiri, "terus apa urusannya sama kamu?""Kalau orang jahat saja bisa dari lingkungan sekitar, dari orang terdekat. Berarti orang baik juga bisa dari lingkungan terjauh, bahkan enggak dikenal dong," tutur Fafa membuat Rana sontak menyipitkan matanya bingung, "enggak ada yang bilang kalau aku baik, aku juga enggak baik ke kamu. Buktinya kamu ketakutan, dan kakakmu mau melibatkan pihak berwajib, ya karena caraku juga salah sih.""Sadar?" kata Rana menjawab dengan ketus."Aku c
Waktu berputar tak kenal lelah, waktu berjalan tak tahu bosan, dan waktu berlalu tanpa terasa. Sepuluh hari sudah sejak paket terakhir dikirim, dan dua hari sudah setelah bertemu tatap muka dan berbicara langsung dengan si penerima paket.Aktivitas harian selama satu bulan yang biasa terisi dengan pikiran untuk paket, kini menjadi aktivitas harian yang terasa lebih tenang dan santai. Bisa melakukan apapun dengan bebas dan sesuai keinginan, tidak perlu berharap dan hanya perlu mengambil segala hal serupa kesempatan yang menguntungkan terlihat.Berbaring cepat seorang wanita dengan rambut hitam sebatas bahu, napas terengah, mata terpejam, dan keringat yang membasahi wajah maupun tubuhnya. Diembuskan napas terengah itu berulang kali dari mulut, seolah meniup udara yang tak kunjung mengantarkan oksigen yang cukup."Ah ... kamu enak," puji seorang pria sambil mengubah posisi berbaringnya jadi menghadap ke wanita di sebelahnya, menatap penuh kepuasan pada wanita yang hanya tersenyum kecil t
"Masuk!" Terbuka perlahan pintu ruang kerja itu oleh seorang wanita setelan formal, senyum simpulnya tidak mendapat balasan apapun dari sang penguasa ruangan itu. Melihat respon yang cenderung biasa diterima, berjalan keluar lagi wanita itu seraya mempersilakan tamu yang dibicarakan sebelumnya. Bunyi langkah dari sepatu tinggi terdengar jelas beradu dengan lantai, bunyi langkah yang sontak menghilang saat gerakan kaki itu terhenti tepat di balik pintu ruang kerja yang kini sudah tertutup. Saling beradu tatap dua wanita itu, napas menderu menjadi bahasa tubuh pertama yang disadari si Kepala Humas. Ada sedikit kegugupan yang wanita itu lihat dari tamu tak diundangnya, kegugupan yang sangat terlihat dari napas tidak stabil. "Sini," kata wanita bernama Kirana Zendaya itu menunjuk kursi di depan meja kerjanya, dua kursi yang berada persis di hadapannya dan hanya terjarak meja kerja. Terdiam wanita bersetelan santai cenderung tak sopan itu, setelan santai berupa celana pendek di atas lut