"Iya, cuma Fafa yang cocok." Menarik napas panjang Rana dan perlahan menghembuskannya seraya membuka mata, kembali menatap Riski tanpa ekspresi yang dipermainkan lagi. Berkedip pelan Rana dan menghembuskan napasnya dengan kasar, "Kalil yang cocok sama Fafa, atau semua pasangan orang yang cocok sama Fafa?" Terbungkam Riski mendengar sahutan dari Rana, sangat tidak menyangka ia kala mendengar jawaban dari wanita karir itu. Melihat ekspresi sendu Rana saat mendengar fakta ketidakcocokan, cukup mbuat dirinya merasa menang dan akan kembali membawa Kalil pada Fafa. Begitu pula dengan Rana, yang terdiam menyebarkan pandangannya ke segala arah sampai ia melihat mata Nifa yang sedang mengintip. Hal sederhana yang ternyata Nifa lakukan tanpa ragu, hal sederhana juga yang ternyata sengaja minta Nifa lakukan, demi menjamin keselamatannya membiarkan orang asing masuk ke dalam ruangan, "kok enggak jawab?" tanya Rana lagi menggembungkan pipinya dan menatap Riski dengan lekat, tatapan yang terasa
Berjalan masuk dengan tegap dan percaya dirinya Rana ke dalam ruang rapat, meyakinkan diri meski hanya satu jam mempelajari materi rapat. Berbekal harapan pada keberuntungan, Rana meyampaikan semua yang sudah direncanakan tim humas, dan disesuaikan dengan kebutuhan anak perusahaan pada produk baru.Presentasi yang berjalan sesuai harapan diraihnya dengan kecakapan dan kelihaian dalam merangkai kata, persetujuan didapat untuk mulai mempersiapkan sosialisasi dan promosi untuk produk baru. Mengubur dalam-dalam semua rumor lama tentang produk dari perusahaan Awan Buana, menanam dan menumbuhkan bibit baru melalui anak perusahaan dengan produk baru.Terhela napas Kirana Zendaya yang bersandar di salah satu kursi di ruang atap perusahaan, memandang langit biru cerah yang tidak menyilaukan mata, menikmati embusan angin yang sesekali menerbangkan rambutnya, dan meraih ketenangan dalam kesendirian di ruang terbuka. Kesuksesannya dalam berkarir, dan keberuntungannya tumbuh di keluarga serba cuku
"Aku dapat paket baru lagi," kata seorang wanita memegang ponsel di telinganya, "aku berencana untuk teror balik, kamu punya alamatnya Fafa, kan?" Berdeham singkat lawan bicara dalam sambungan telepon itu, saling terdiam bersama semrawutnya pikiran yang terasa memuakkan, "punya, kan?" tanya si penguasa meja kerja dengan papan akrilik bertuliskan Kirana Zendaya. "Kamu mau balas?" Suara seorang pria terdengar jelas dari telepon, setelah sekian waktu terdiam dan hanya berdeham kecil. "Iya," jawab wanita yang berprofesi sebagai karyawan swasta itu, tepatnya memiliki jabatan pada posisi kepala bagi tim hubungan masyarakat alias humas, "ada masalah sama rencanaku?" tanyanya lagi seraya menyeringai dan bersiap untuk menulis apapun yang dikatakan lawan bicaranya. "Kamu mau balas apa memang? Kamu kenal dia saja enggak, ketemu cuma satu atau dua kali gitu ya karena aku dan enggak sengaja juga." Berdeham kecil wanita yang akrab disapa Rana itu mengernyit bingung, "tapi dia tahu tentangku, pa
"Kamu mau balas dia? Serius? Buat apa sih, Ran? Aku baru tahu seorang Kirana Zendaya ternyata pendendam," ujar seorang pria mengikuti setiap langkah istrinya yang baru pulang bekerja. Ke dapur, ke kamar tidur, ke ruang tengah, kembali ke mobil, dan berhenti di kamar tidur setelah Rana duduk di tepi ranjang. "Aku diam, bukan berarti aku mengalah dan kalah. Aku diam karena aku enggak ada waktu buat melayani kumpulan pengangguran kayak kalian, proyek terdekatku sudah dapat persetujuan yang artinya aku sedikit luang," balas Rana menatap suaminya tajam, "jadi aku ada waktu buat berantas habis orang enggak guna kayak kalian." "Ran," tegur pria bernama Kalil Nayaka itu menatap marah istrinya, tatapan marah yang tentu mendapat tatapan tajam dari Rana tanpa ada ketakutan yang tersurat. Terhembus kasar napas Kalil lalu terpejam sesaat matanya, "ya sudah, kamu mau balas dengan apa?" tanyanya mendapat kekehan mengejek dari Rana. "Buat apa tanya-tanya? Mau dikasih tahu ke Fafa? Mau melindunginya
Waktu berjalan begitu cepat namun juga terasa amat lambat, sesekali diri dikejutkan dengan waktu yang seolah berputar cepat, sesekali pula diri dibuat malas dengan waktu yang seolah tidak berjalan. Aktivitas dan beban pikiran, jelas sangat berpengaruh dengan kehidupan sehari-hari yang dijalani. "Aahh ...," desah panjang seorang wanita karir setelah membanting dirinya lalu bersandar, mengayunkan kursi kerja ke kanan dan kiri seraya memejamkan mata, menikmati sensasi pinggang santai dan ketenangan pikiran usai rapat untuk sosialisasi produk baru esok hari. Pikiran yang terfokus pada pekerjaan dan perasaan membuat hari terasa cepat, seolah secara tiba-tiba jam sudah menunjukkan pukul 14.07. Kesibukan yang menguras segala energi tubuh, sudah tidak perlu lagi dikhawatirkan pengaruhnya dalam keseharian. Ditarik panjang dan diembus lepas napas wanita bernama Kirana Zendaya itu dengan bebas, embusan napas berat namun bebas itu seolah mengatakan betapa inginnya Rana terlepas dari segala b
Satu pekan sudah waktu berlalu dengan berbagai perasaan dan pikiran, dengan berbagai kegiatan dan beban hidup yang dilewati, dan dengan berbagai kesulitan dan kemudahan yang dijalani. Kegelisahan seringkali hinggap dalam benak maupun pikiran saat sendiri, terbang bersama pikiran berlebih tak terkendali tentang paket yang belum juga datang lagi. Paket yang biasanya datang dua sampai tiga hari sekali, dan kini sudah satu pekan tidak lagi datang. Paket yang biasa sangat tidak ditunggu kedatangannya, sekarang sangat ditunggu dengan ratusan pertanyaan tentang keterlambatannya. Triinngg ... Triiinngg .... Diangkatnya gagang telepon kantor yang berada di pinggir meja, telepon yang penggunaannya hanya untuk urusan dalam kantor, telepon yang juga terbatas cakupannya yaitu lingkungan dalam kantor, dan jelas tidak bisa diharapkan meski dihubungi dari taman kantor, "halo, Bu. Saya mendapat informasi dari Nifala, kalau ibu sedang tidak ada kesibukan dan tidak ada tamu yang ditunggu, benar?" "Iy
"Masuk!" Terbuka perlahan pintu ruang kerja itu oleh seorang wanita setelan formal, senyum simpulnya tidak mendapat balasan apapun dari sang penguasa ruangan itu. Melihat respon yang cenderung biasa diterima, berjalan keluar lagi wanita itu seraya mempersilakan tamu yang dibicarakan sebelumnya. Bunyi langkah dari sepatu tinggi terdengar jelas beradu dengan lantai, bunyi langkah yang sontak menghilang saat gerakan kaki itu terhenti tepat di balik pintu ruang kerja yang kini sudah tertutup. Saling beradu tatap dua wanita itu, napas menderu menjadi bahasa tubuh pertama yang disadari si Kepala Humas. Ada sedikit kegugupan yang wanita itu lihat dari tamu tak diundangnya, kegugupan yang sangat terlihat dari napas tidak stabil. "Sini," kata wanita bernama Kirana Zendaya itu menunjuk kursi di depan meja kerjanya, dua kursi yang berada persis di hadapannya dan hanya terjarak meja kerja. Terdiam wanita bersetelan santai cenderung tak sopan itu, setelan santai berupa celana pendek di atas lut
Waktu berputar tak kenal lelah, waktu berjalan tak tahu bosan, dan waktu berlalu tanpa terasa. Sepuluh hari sudah sejak paket terakhir dikirim, dan dua hari sudah setelah bertemu tatap muka dan berbicara langsung dengan si penerima paket.Aktivitas harian selama satu bulan yang biasa terisi dengan pikiran untuk paket, kini menjadi aktivitas harian yang terasa lebih tenang dan santai. Bisa melakukan apapun dengan bebas dan sesuai keinginan, tidak perlu berharap dan hanya perlu mengambil segala hal serupa kesempatan yang menguntungkan terlihat.Berbaring cepat seorang wanita dengan rambut hitam sebatas bahu, napas terengah, mata terpejam, dan keringat yang membasahi wajah maupun tubuhnya. Diembuskan napas terengah itu berulang kali dari mulut, seolah meniup udara yang tak kunjung mengantarkan oksigen yang cukup."Ah ... kamu enak," puji seorang pria sambil mengubah posisi berbaringnya jadi menghadap ke wanita di sebelahnya, menatap penuh kepuasan pada wanita yang hanya tersenyum kecil t
"Kandungan?" tukas Rana dan Kalil serempak, "Kak Jess hamil?" lanjut Rana masih terkejut."Iya, sudah empat bulan," jawab pria bernama Tomi Uraga itu, pria yang berstatus sebagai kakak ipar Rana tapi pria yang juga pernah menjadi penguntitnya.Terasa aneh, kadang menakutkan, seringkali juga membingungkan. Tapi bagi Rana, namanya bukan hidup jika tidak dipenuhi berbagai hal tidak terduga. Sederhananya, seorang Kirana Zendaya jadi menikah hanya karena selalu didesak dan diganggu orang tua?"Dan badannya sekarang jelek banget, mukanya kusam, susah makan, pemalas juga," lanjut Tomi melambatkan langkahnya agar berjalan di samping Rana, secara sadar memaksa Kalil untuk berjalan di belakang Rana, "dia juga emosian, kalau mau bicara atau dia bicara kasar, bentak saja, biasanya bakal nangis doang," ucapnya lagi lalu berjalan cepat meninggalkan Rana dan Kalil yang sontak berhenti melangkah.Menyipit perlahan mata Rana mendengar ucapan kakak iparnya, sangat ingin dirinya untuk bertanya ulang dan
Terdiam, merengut, melirik sinis, sesekali terhela napas, dan banyak diam seolah telinga telah tuli dan suara sudah tidak bisa lagi keluar. Puluhan pertanyaan sejak bertemu di parkiran tidak juga ditanggapi, keluar mobil dan menutup pintunya dengan kasar, dan melangkah masuk rumah dengan tergesa.Bersandar lelah Rana di atas sofa, membentangkan kedua tangan dan kaki, seolah memaksa suaminya yang baru masuk rumah untuk duduk di sofa lain. Entah diksi yang harus diucapkan, entah hal yang harus diceritakan, dan entah hal yang didengar nantinya. Haruskah mendengar lagi? Haruskah memakluminya lagi?"Rana, kamu ken ....""Kamu yang kenapa?" tukas Rana cepat memotong ucapan suaminya, "pas pergi sama Fafa kemarin, kamu isi survei enggak? Kamu pergi sama KDRFN juga?""Hah? Enggak," tanggap Kalil terlihat bingung tapi juga terkejut, "kenapa?" katanya bertanya lagi.Menggeleng pelan Rana sambil memegang pelipisnya, kali ini bersandar secara utuh ke sofa hingga kepala mendongak malas, terpejam er
"Aku mau ke rumah kakakku dulu buat cari celah cara dekati Tomi," ujar Rana tiba-tiba, tidak menoleh atau melihat ke arah suaminya, hanya menoleh ke kiri dan melihat banyaknya pengendara motor melewati mobil.Suasana pagi yang tidak macet tapi juga tidak lancar, suasana pagi cukup membantu Rana yang sedang dikejar waktu demi pertemuan internal yang formal. Pertemuan yang sebenarnya sudah Rana tahu, bisa Rana tebak, bahkan bisa diperkirakan debat yang akan terjadi."Terus?" sambut Kalil atas ujaran Rana, tanpa banyak ucap pun Kalil tahu bahwa Rana menjawab pertanyaan saat di dapur tadi."Untuk langkah selanjutnya tergantung celah yang aku dapat nanti," jawab Rana menegakkan badannya, menghadap depan dan menghela napas singkat, "nanti sore antar aku ke rumah kakakku ya, jadi harus banget jemput aku dan enggak ada drama jalan sama mantan," lanjutnya dengan ketegasan yang terdengar kuat dan menyuratkan bahwa Rana tidak menerima alasan atau bantahan apapun."Iya," jawab Kalil singkat sambi
"Hm," deham seorang wanita memakai setelan formal, merapikan blazernya lalu duduk di meja makan, menunggu nasi uduk yang dibeli untuk disajikan.Berdeham pelan menunggu sekaligus sedikit menuntut cerita berpacaran dari pria berstatus sebagai suaminya, bersandar ia di kursi makan dengan mata terus tertuju pada pria yang sedang membuka bungkusan nasi uduk dan meletakkannya di piring. Tidak bisa dibilang lama, tapi juga tidak bisa dibilang sebentar jika mengingat hanya membuka bungkusan dan meletakkannya di piring."Sarapan," kata pria bernama Kalil Nayaka itu sambil menyajikan menu sarapan yang ia beli, menu sarapan yang jelas dibeli dengan uang dari sang istri, sangat minimal sampai dirinya mendapat pekerjaan tetap dan jelas."Gimana semalam?" tanya wanita karir itu seraya mengambil alat makan dari tempat sendok di pojok meja makan yang dekat dengan tembok, mengelap sendok itu dengan tisu, dan mulai menyuap makanan meski netra terus tertuju pada suaminya."Makan dulu saja," jawab Kalil
"Bagianku selesai, selanjutnya apa?" tanya seorang wanita melaporkan progresnya ke seorang pria melalui telepon video, "aku buat seolah taruhan sama dia buat dekati Kalil," lanjutnya menegaskan hal yang dilaporkan."Bagian Kalil, pura-pura menolak respon dulu. Tipe kaya Fafa, kayaknya bakal jual cerita sedih dan sesekali menggoda juga, kuat iman saja kau kalau memang mau tetap dalam pernikahan sama Rana, kalau serius komitmen dalam pernikahan itu," jawab pria dari sambungan telepon video itu pada temannya, pria yang berada di samping sang istri."Oke, itu gampang, aku sudah tahu betapa enggak ada manfaatnya buat tetap dekat sama Fafa," tanggap suami dari wanita yang tadi melapor, tanggapan yang jelas membuat wanita di sampingnya spontan menoleh, "aku serius buat komitmenku," lanjutnya pada sang istri yang tersenyum kecut."Haha, Rana ... Rana. Kamu sudah percaya sama Kalil buat jadi teman satu tim tapi belum percaya buat jadi pasangan, ya?" komentar pria sambungan telepon video berna
"Terus gimana kamu kenal Tomi? Dia kenal kamu pas dekati kakakmu, kan?""Aku kenal Tomi pas awal masuk kuliah, sial banget bisa satu kampus sama dia. Terus dia bilang suka sama aku, tapi aku tolak, dan dia malah jadi penguntitku," jawab Rana terdengar menyayangi keadaannya yang tidak menyenangkan.Hidup sebagai anak konglomerat, hidup bergelimang harta, dan hidup dengan kepastian tahta, bagi Rana sama sekali tidak enak. Banyak orang mengatakannya munafik dan bodoh, tapi nyatanya Rana tetap merintis semua dari awal tanpa membawa latar belakang yang memuakkan."Terus gimana dia bisa jadi suami kakakmu?""Pas dia menguntitku, sering dilihat Kak Jess. Terus konyol banget itu cewek, menemui langsung si Tomi, mereka berteman bahkan jadi mak comblang tapi gagal karena aku tetap enggak mau." Rana tersenyum miring saat berhasil menjaga dirinya dari Tomi, "dan tiba-tiba, dia masuk ke rumah, dikenalkan Kak Jess sebagai pacar, dan Tomi bilang mau serius dan menikahi Kak Jess. Nikahlah mereka," la
Melaju santai kendaraan roda empat itu melintasi ramainya jalan kota di siang hari, terik panasnya matahari tidak membuat para pejuang nominal itu melunturkan semangatnya, "mau makan siang dimana?" tanya Kalil pada sang istri yang sedari tadi terdiam membisu, tidak banyak kata dan hanya sesekali melihat ke arahnya."Nasi goreng buatan kamu saja," jawab Rana singkat, bagi Rana tidak ada gunanya untuk memberi kode harapan pada siapapun, lebih baik langsung katakan dan urusan disukai atau tidak itu sudah hak masing-masing orang. Bagi Rana, yang terpenting tetap bisa bertahan hidup dan mempertahankan hidup, meski tanpa tujuan jelas untuk bertahan."Oke," kata Kalil sambil mengatur persneling mobil dan perlahan menambah injakannya pada pedal gas untuk mempercepat laju kendaraan.Kedekatan memang harus terjalin lebih dulu sebelum kekompakan dipertemukan, rencana sudah terbentuk berlandas pada kepercayaan yang sebenarnya belum bisa dijamin oleh apapun. Tapi desakan dan desakan seolah menghim
"Oke, aku ada ide."Empat kata yang sontak membuat Rana membuka mata lebar, dan Kalil yang menatap temannya tidak percaya. Bagi Kalil, ini serius? Seorang Denandra Jamali bisa berpikir cepat? Hal yang biasa terjadi di kumpulan hanyalah, Denandra mengikuti hasil kesepakatan tanpa benar-benar berpikir atau berpendapat, sampai membuat Kalil pernah berpikir bahwa Denandra bisa bertahan hidup karena dia cerdas secara teori."Cepat amat," komentar Kalil mendapat senyuman miring mengejek dari temannya yang akrab disapa Den, "gimana idemu?" lanjut Kalil bertanya."Semalam Rana telepon dan bilang buat kita dekati Fafa, buat dia mau diajak ke dokter dan tes DNA. Rana juga bilang, semua dimulai pekan depan karena mau konfirmasi tujuan dari kotak itu dulu, betul?" tutur Den mengingat sambungan telepon mereka semalam, hal yang sebenarnya tidak perlu diungkit lagi karena terjadi kurang dari dua puluh jam. Tapi, bagi Den semua hal harus jelas dan terarah.Mengangguk serentak antara Rana dan Kalil, m
"Terus karena aku risih ya, banyak kerjaan tapi harus menanggapi dua tua bangka bau tanah itu. Padahal ada anak kesayangan mereka yang sudah nikah, belum beranak pinak, tapi aku yang dikejar buat nikah dan cepat beranak, apa enggak gila?" oceh Rana yang sudah mulai terpancing emosinya, umpan kecil Den berhasil dimakan walau belum terkena kail, "akhirnya aku cari orang yang mau nikah tapi cuma untuk formalitas sampai kakakku hamil, jadi aku enggak akan berperan sebagai istri dan dia juga enggak akan berperan sebagai suami. Enggak ada istilah hak dan kewajiban suami istri, kita cuma seatap karena sudah satu kartu keluarga dan tercatat sebagai pasangan.""Terus dia mau?" kata Den menunjuk Kalil yang cukup peka untuk segera membuka matanya, menatap tajam Den yang hanya tersenyum mengejek."Saat itu aku dan Kalil baru menyelesaikan satu proyek konflik perusahaan, aku sebagai Kepala Humas butuh berkas lama dan proses pemberkasan baru, kebetulan juga Kalil punya posisi sebagai Kepala Arsip,