"Kamu habis ketemu sama Tomi, enggak?" "Oh iya ... Denandra bilang, kalau tadi siang dia ketemu sama Fafa di pasar swalayan," tukas Kalil tanpa menjawab pertanyaan Rana, namun perkataannya cukup jelas memberi tanggapan pada sang istri. "Hah?" sambut Rana terkejut, "Denandra yang jualan roti itu, bukan? Teman kamu tapi juga kakak tingkat masa kuliahku?" lanjutnya bingung. "Iya," jawab pria itu tersenyum kecut, kecantikan dan kecerdasan seorang Rana memang selalu terhalang dengan sikap apatis yang dimiliki, "dia juga bukan jualan roti, tapi keluarganya punya bisnis roti." "Sama saja," sahut Rana acuh tak acuh, "terus gimana tadi?" "Ah ...." Terhela napas Kalil melihat ekspresi Rana yang begitu antusias, ketertarikan yang ternyata cukup membuat tenaga Kalil terkuras oleh kebingungan, "ya sudah dia ketemu saja, memangnya mau apa?" kata Kalil merahasiakan hal-hal yang ditanyakan Fafa pada Denandra. "Bukannya mereka kayak enggak akrab gitu, ya? Berarti semi bertengkar dalam perdebatan,
"Kayaknya sudah sering banget bilang aku-kamu, kenapa?" kata Rana menyambut pertanyaan penuh tekanan dari Kal, bagi Rana selagi bukan sosok yang harus dihormati, maka tidak perlu dipedulikan dengan maksimal."Ck," decak Kalil menatap istrinya dengan malas, tersenyum kecut ia saat melihat Rana mengangkat sedikit kepala mengisyaratkan jawaban cepat, "salah?"Mengernyit Rana lalu mengalihkan pandangan sejenak, "kagak sih, tapi aneh saja," jawabnya sambil mengusap mata dan pipi, menghapus jejak air mata hampir mengering akibat tangis menyesakkan."Jadi kenapa kamu nangis tadi?" tanya Kal lagi, yang cepat mendapat gelengan kepala dari Rana, "oh enggak mau cerita?" katanya bertanya lagi, dan mendapat gelengan kepala lagi sebagai jawaban."Aku sudah biasa sendiri dan bisa sendiri," ucap Rana pelan sembari membelakangi Kalil, "keluar sana, jangan lupa matikan lagi lampunya," lanjut wanita karir itu dengan jelas menunjukkan bahwa ia mengusir sang suami."Ah ... oke," desah Kalil pasrah kemudia
[3 tahun yang lalu] Menarikan jemari dengan lincah di atas papan ketik, wajah serius dengan bibir mungil itu mengerucut dan kening yang mengernyit. Tidak bisa dibohongi dan tidak bisa pula disembunyikan, wanita di meja kafe nomor 04 itu sedang berkutat dengan hal penting di laptopnya, sesekali menyeruput cokelat panas yang di pesannya sekitar lima menit lalu. Keseriusan yang disertai pemikiran bahwa tidak ada gunanya peduli pada sesama, membuat wanita itu benar-benar berada di dalam dunianya, seolah menetap dengan nyaman dan damai dalam relung pikiran tak terbatas bersama imajinasi yang luas. Teralihkan kepalanya menoleh keluar kafe, melihat lalu lalang kendaraan dengan kecepatan aman dan stabil, mengerjakan laporan pekerjaan dari kepala bidang yang layaknya racun, memang akan selalu membuat siapapun terasa seperti kepala diputar 180°. Keseriusan dan keasikan berada di dunia sendiri, jelas membuat wanita itu tidak menyadari betapa menyenangkannya seorang pria mengamati dari meja
"Sejak kejadian tiga tahun lalu itu, sejak gue lihat dan suka sama dia di pandangan pertama, lihat dia marah sekaligus malu gitu sampai keluar dari kafe, ditambah gue tahu kalau dia temannya Den." Terdiam sejenak Tomi menarik dan menghembuskan napas, "gue memutuskan untuk jadi penguntitnya, gue ikuti dia, memantau media sosialnya, sesekali juga kirim pesan ke media sosial karena gue enggak dapat nomor teleponnya." "Terus?" tanggap Kalil melihat wajah temannya itu memerah, entah perasaan yang sedang ditahan untuk tetap mengutarakan isi hati dan pikiran. "Gue pernah ajak dia pacaran, tapi ditolak. Semua pemberian gue dikasih lagi ke orang lain bahkan dibuang, kayak bunga, boneka, camilan, makanan berat, sampai buket uang. Enggak ada satu saja yang dia terima atau pakai sendiri, enggak ada juga satu yang dia bawa pulang atau simpan di meja kerjanya," ujar Tomi menggebu dengan emosi mulai terpancar, "semua dikasih orang atau dibuang." Berdeham singkat Kalil mendengarnya, sebagai sesa
"Lah ... kapan datangnya?" tukas seorang wanita terkejut kala melihat kakak iparnya baru saja keluar dari kamar sebelah, "kamu yang bawa dia masuk? Sembarangan amat," lanjutnya pada sang suami yang menguap lebar, mulut terbuka dengan napas bau naga seolah hendak mengisap inti bumi.Muka bantal dengan kotoran mata yang masih berhias diri, benar-benar menjijikkan dan meresahkan untuk tetap dilihat. Berdecih wanita bernama Kirana melihat perilaku pria berstatus suaminya itu, pria yang bahkan tidak pernah menunjukkan tanda pantas untuk menjadi seorang kepala rumah tangga."Gue pamit balik ya," ucap kakak ipar Rana, "terima kasih sudah kasih izin buat gue bermalam di sini," lanjutnya kemudian bergegas keluar rumah bersama Kalil.Terdiam mematung Rana kala mendengar ucapan pria bernama Tomi Uraga, dalam kebingungan ia bertanya-tanya pada kenyataan. Apa katanya? Kasih izin? Aku saja enggak tahu dia bermalam dan masuk rumah, memang sialan si Kalil Nayaka itu.Tanpa menjawab atau sekadar membe
"Maksudnya?" tukas Rana bertanya heran.Secara tiba-tiba saja Kalil berucap bahwa tidak semua orang bisa dipercaya termasuk diri sendiri, ada apa gerangan?Mengernyit dahi wanita karir itu memandang suaminya, menunggu kelanjutan hal yang ingin dikatakan. Dalam benak Rana, pasti ada informasi dan hal lain yang mungkin saja Kalil tahu."Aku tahu sesuatu dari Tomi, katanya dia merasa bersalah, dia cerita banyak hal kayak mengaku gitu terus dia minta banyak saran semalam," ujar Kalil semakin membuat Rana bingung dan merasa gemas."Bisa lebih cepat enggak? Intinya apa?" kata Rana meremas dan memainkan jemarinya, "dia bicara tentang apa? Paket misterius? Fafa? Kak Jess? Atau apa?""Masa lalu kamu," jawab Kalil tanpa ekspresi yang benar-benar dapat dikatakan bahwa ia menanggapi kegemasan sang istri, "pas kamu buang dan kasih orang semua barang dan makanan yang Tomi kirim," lanjutnya membuat Rana sontak melongo bingung."G-gimana? Kok jadi aku sih? Apa hubungannya sama paket misterius? Kan ak
"Fafa bilang dia lagi dekat sama cowok ganteng, katanya dia pengurus anak perusahaan tempat kamu kerja," ujar Kalil membuat Rana mengatup rapat bibirnya bingung, "jadi sepulang dari ruangan kamu waktu itu, aku mampir ke tempatnya Fafa setelah makan siang di luar." "Hm?" deham Rana mengernyit bingung, "kata teman kamu, dia ketemu Fafa di swalayan," lanjutnya berkata. "Iya, kan aku bilang ke tempat Fafa setelah makan siang," ucap Kalil menegaskan perkataan sebelumnya. "Oh ... terus?" "Fafa bilang mereka kenal pas mau kirim paket ketiga buat kamu." Berdeham panjang Rana mendengar ucapan suaminya, berusaha berpikir netral seraya mengingat banyak hal yang telah terjadi demi berada pada posisi terbaik, mengontrol emosi dengan kemampuan maksimal yang terasa seperti menguras pasokan oksigen, "Arhan yang dekati Fafa duluan, terus mulai ajak berbincang sampai tukar nomor. Tapi katanya mereka belum ketemu lagi." Terdiam Rana memandang sang suami dengan pandangan kosong, mengingat segala yang
Terulum senyum tipis Rana seperti biasa menyapa beberapa orang yang lebih dulu tersenyum, menyapa ala kadar yang dianggapnya bukan sebagai kebiasaan atau rutinitas, tapi hanya suatu bentuk spontanitas saat melihat orang tersenyum. Tertuju mata Rana pada sebuah kotak di pinggir meja setengah lingkaran area resepsionis, kotak kecil berwarna cokelat yang menghantuinya hampir sebulan terakhir. Terhela napasnya menghampiri resepsionis, bukan untuk menyapa tapi untuk menanyakan perihal kotak terkutuk itu. Kotak yang terkirim tanpa permintaan dan tanpa tertulis nama pengirim, kotak yang terasa seperti membawa teror dan kutukan mengerikan. "Ini?" kata Rana menunjuk kotak yang berada di pinggir meja setengah lingkaran itu, bertanya setelah membentuk kontak mata dengan salah satu wanita di balik meja resepsionis. "Iya, punya ibu lagi," jawab wanita itu menyadari pertanyaan Rana, tersenyum kecut si kepala humas mendengar jawabannya, "isinya alat rekam suara, tidak kami putar karena kami buka
"Kandungan?" tukas Rana dan Kalil serempak, "Kak Jess hamil?" lanjut Rana masih terkejut."Iya, sudah empat bulan," jawab pria bernama Tomi Uraga itu, pria yang berstatus sebagai kakak ipar Rana tapi pria yang juga pernah menjadi penguntitnya.Terasa aneh, kadang menakutkan, seringkali juga membingungkan. Tapi bagi Rana, namanya bukan hidup jika tidak dipenuhi berbagai hal tidak terduga. Sederhananya, seorang Kirana Zendaya jadi menikah hanya karena selalu didesak dan diganggu orang tua?"Dan badannya sekarang jelek banget, mukanya kusam, susah makan, pemalas juga," lanjut Tomi melambatkan langkahnya agar berjalan di samping Rana, secara sadar memaksa Kalil untuk berjalan di belakang Rana, "dia juga emosian, kalau mau bicara atau dia bicara kasar, bentak saja, biasanya bakal nangis doang," ucapnya lagi lalu berjalan cepat meninggalkan Rana dan Kalil yang sontak berhenti melangkah.Menyipit perlahan mata Rana mendengar ucapan kakak iparnya, sangat ingin dirinya untuk bertanya ulang dan
Terdiam, merengut, melirik sinis, sesekali terhela napas, dan banyak diam seolah telinga telah tuli dan suara sudah tidak bisa lagi keluar. Puluhan pertanyaan sejak bertemu di parkiran tidak juga ditanggapi, keluar mobil dan menutup pintunya dengan kasar, dan melangkah masuk rumah dengan tergesa.Bersandar lelah Rana di atas sofa, membentangkan kedua tangan dan kaki, seolah memaksa suaminya yang baru masuk rumah untuk duduk di sofa lain. Entah diksi yang harus diucapkan, entah hal yang harus diceritakan, dan entah hal yang didengar nantinya. Haruskah mendengar lagi? Haruskah memakluminya lagi?"Rana, kamu ken ....""Kamu yang kenapa?" tukas Rana cepat memotong ucapan suaminya, "pas pergi sama Fafa kemarin, kamu isi survei enggak? Kamu pergi sama KDRFN juga?""Hah? Enggak," tanggap Kalil terlihat bingung tapi juga terkejut, "kenapa?" katanya bertanya lagi.Menggeleng pelan Rana sambil memegang pelipisnya, kali ini bersandar secara utuh ke sofa hingga kepala mendongak malas, terpejam er
"Aku mau ke rumah kakakku dulu buat cari celah cara dekati Tomi," ujar Rana tiba-tiba, tidak menoleh atau melihat ke arah suaminya, hanya menoleh ke kiri dan melihat banyaknya pengendara motor melewati mobil.Suasana pagi yang tidak macet tapi juga tidak lancar, suasana pagi cukup membantu Rana yang sedang dikejar waktu demi pertemuan internal yang formal. Pertemuan yang sebenarnya sudah Rana tahu, bisa Rana tebak, bahkan bisa diperkirakan debat yang akan terjadi."Terus?" sambut Kalil atas ujaran Rana, tanpa banyak ucap pun Kalil tahu bahwa Rana menjawab pertanyaan saat di dapur tadi."Untuk langkah selanjutnya tergantung celah yang aku dapat nanti," jawab Rana menegakkan badannya, menghadap depan dan menghela napas singkat, "nanti sore antar aku ke rumah kakakku ya, jadi harus banget jemput aku dan enggak ada drama jalan sama mantan," lanjutnya dengan ketegasan yang terdengar kuat dan menyuratkan bahwa Rana tidak menerima alasan atau bantahan apapun."Iya," jawab Kalil singkat sambi
"Hm," deham seorang wanita memakai setelan formal, merapikan blazernya lalu duduk di meja makan, menunggu nasi uduk yang dibeli untuk disajikan.Berdeham pelan menunggu sekaligus sedikit menuntut cerita berpacaran dari pria berstatus sebagai suaminya, bersandar ia di kursi makan dengan mata terus tertuju pada pria yang sedang membuka bungkusan nasi uduk dan meletakkannya di piring. Tidak bisa dibilang lama, tapi juga tidak bisa dibilang sebentar jika mengingat hanya membuka bungkusan dan meletakkannya di piring."Sarapan," kata pria bernama Kalil Nayaka itu sambil menyajikan menu sarapan yang ia beli, menu sarapan yang jelas dibeli dengan uang dari sang istri, sangat minimal sampai dirinya mendapat pekerjaan tetap dan jelas."Gimana semalam?" tanya wanita karir itu seraya mengambil alat makan dari tempat sendok di pojok meja makan yang dekat dengan tembok, mengelap sendok itu dengan tisu, dan mulai menyuap makanan meski netra terus tertuju pada suaminya."Makan dulu saja," jawab Kalil
"Bagianku selesai, selanjutnya apa?" tanya seorang wanita melaporkan progresnya ke seorang pria melalui telepon video, "aku buat seolah taruhan sama dia buat dekati Kalil," lanjutnya menegaskan hal yang dilaporkan."Bagian Kalil, pura-pura menolak respon dulu. Tipe kaya Fafa, kayaknya bakal jual cerita sedih dan sesekali menggoda juga, kuat iman saja kau kalau memang mau tetap dalam pernikahan sama Rana, kalau serius komitmen dalam pernikahan itu," jawab pria dari sambungan telepon video itu pada temannya, pria yang berada di samping sang istri."Oke, itu gampang, aku sudah tahu betapa enggak ada manfaatnya buat tetap dekat sama Fafa," tanggap suami dari wanita yang tadi melapor, tanggapan yang jelas membuat wanita di sampingnya spontan menoleh, "aku serius buat komitmenku," lanjutnya pada sang istri yang tersenyum kecut."Haha, Rana ... Rana. Kamu sudah percaya sama Kalil buat jadi teman satu tim tapi belum percaya buat jadi pasangan, ya?" komentar pria sambungan telepon video berna
"Terus gimana kamu kenal Tomi? Dia kenal kamu pas dekati kakakmu, kan?""Aku kenal Tomi pas awal masuk kuliah, sial banget bisa satu kampus sama dia. Terus dia bilang suka sama aku, tapi aku tolak, dan dia malah jadi penguntitku," jawab Rana terdengar menyayangi keadaannya yang tidak menyenangkan.Hidup sebagai anak konglomerat, hidup bergelimang harta, dan hidup dengan kepastian tahta, bagi Rana sama sekali tidak enak. Banyak orang mengatakannya munafik dan bodoh, tapi nyatanya Rana tetap merintis semua dari awal tanpa membawa latar belakang yang memuakkan."Terus gimana dia bisa jadi suami kakakmu?""Pas dia menguntitku, sering dilihat Kak Jess. Terus konyol banget itu cewek, menemui langsung si Tomi, mereka berteman bahkan jadi mak comblang tapi gagal karena aku tetap enggak mau." Rana tersenyum miring saat berhasil menjaga dirinya dari Tomi, "dan tiba-tiba, dia masuk ke rumah, dikenalkan Kak Jess sebagai pacar, dan Tomi bilang mau serius dan menikahi Kak Jess. Nikahlah mereka," la
Melaju santai kendaraan roda empat itu melintasi ramainya jalan kota di siang hari, terik panasnya matahari tidak membuat para pejuang nominal itu melunturkan semangatnya, "mau makan siang dimana?" tanya Kalil pada sang istri yang sedari tadi terdiam membisu, tidak banyak kata dan hanya sesekali melihat ke arahnya."Nasi goreng buatan kamu saja," jawab Rana singkat, bagi Rana tidak ada gunanya untuk memberi kode harapan pada siapapun, lebih baik langsung katakan dan urusan disukai atau tidak itu sudah hak masing-masing orang. Bagi Rana, yang terpenting tetap bisa bertahan hidup dan mempertahankan hidup, meski tanpa tujuan jelas untuk bertahan."Oke," kata Kalil sambil mengatur persneling mobil dan perlahan menambah injakannya pada pedal gas untuk mempercepat laju kendaraan.Kedekatan memang harus terjalin lebih dulu sebelum kekompakan dipertemukan, rencana sudah terbentuk berlandas pada kepercayaan yang sebenarnya belum bisa dijamin oleh apapun. Tapi desakan dan desakan seolah menghim
"Oke, aku ada ide."Empat kata yang sontak membuat Rana membuka mata lebar, dan Kalil yang menatap temannya tidak percaya. Bagi Kalil, ini serius? Seorang Denandra Jamali bisa berpikir cepat? Hal yang biasa terjadi di kumpulan hanyalah, Denandra mengikuti hasil kesepakatan tanpa benar-benar berpikir atau berpendapat, sampai membuat Kalil pernah berpikir bahwa Denandra bisa bertahan hidup karena dia cerdas secara teori."Cepat amat," komentar Kalil mendapat senyuman miring mengejek dari temannya yang akrab disapa Den, "gimana idemu?" lanjut Kalil bertanya."Semalam Rana telepon dan bilang buat kita dekati Fafa, buat dia mau diajak ke dokter dan tes DNA. Rana juga bilang, semua dimulai pekan depan karena mau konfirmasi tujuan dari kotak itu dulu, betul?" tutur Den mengingat sambungan telepon mereka semalam, hal yang sebenarnya tidak perlu diungkit lagi karena terjadi kurang dari dua puluh jam. Tapi, bagi Den semua hal harus jelas dan terarah.Mengangguk serentak antara Rana dan Kalil, m
"Terus karena aku risih ya, banyak kerjaan tapi harus menanggapi dua tua bangka bau tanah itu. Padahal ada anak kesayangan mereka yang sudah nikah, belum beranak pinak, tapi aku yang dikejar buat nikah dan cepat beranak, apa enggak gila?" oceh Rana yang sudah mulai terpancing emosinya, umpan kecil Den berhasil dimakan walau belum terkena kail, "akhirnya aku cari orang yang mau nikah tapi cuma untuk formalitas sampai kakakku hamil, jadi aku enggak akan berperan sebagai istri dan dia juga enggak akan berperan sebagai suami. Enggak ada istilah hak dan kewajiban suami istri, kita cuma seatap karena sudah satu kartu keluarga dan tercatat sebagai pasangan.""Terus dia mau?" kata Den menunjuk Kalil yang cukup peka untuk segera membuka matanya, menatap tajam Den yang hanya tersenyum mengejek."Saat itu aku dan Kalil baru menyelesaikan satu proyek konflik perusahaan, aku sebagai Kepala Humas butuh berkas lama dan proses pemberkasan baru, kebetulan juga Kalil punya posisi sebagai Kepala Arsip,